Jika Bidah Tidak Satu Tingkatan

Jika kita perhatikan, maka sesuatu yang makruh —sebagaimana ditetapkan oleh ahli ushul— mempunyai dua sisi: 27 Sis Pertama Sisi dimana sesuatu yang makruh itu dilarang. Di sini terdapat kesamaan dengan sesuatu yang diharamkan, karena sama-sama dilarang. Mungkin akan dipahami bahwa melanggar larangan yang sifatnya makruh adalah sebuah kemaksiatan, karena mempunyai kesamaan dengan sesuatu yang haram dari segi keumuman pelanggarannya. Akan tetapi keumuman ini terhalang oleh sisi atau bagian yang lain, yaitu dari sisi bahwa pelakunya tidak mendapatkan celaan secara syari, tidak dosa dan tidak dihukum. Dari sisi ini berbeda dengan sesuatu yang haram, tetapi mempunyai kesamaan dengan perkara mubah, sebab sesuatu yang mubah untuk pelakunya tidak mendapatkan celaan, tidak ada dosa, dan tidak dihukum, maka mereka menghindari memberikan label maksiat untuk perkara yang kedudukannya seperti ini. Bila telah tetap demikian dan kita dapatkan di antara taat dan maksiat ada penengahnya, maka boleh saja bila bidah yang makruh dinisbatkan kepadanya. Allah SWT berfirman, .. .maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.... Qs. Yunuus [10]: 32 Jadi, tidak ada sesuatu yang lain lagi kecuali kebenaran dan ia adalah huda petunjuk. Adapun kesesatan adalah kebatilan, maka bidah yang makruh adalah sesat. SiaKedua Penetapan bidah makruhah pada hakikatnya masih dalam taraf yang perlu dicermati, jangan sampai ada orang yang terpedaya dengan sebuah istilah dari para ahli fikih dalam memberikan label makruh untuk sebagian bidah. Hakikat masalahnya sebenarnya menunjukkan -penerj. bahwa bidah 27 Penulis menyebutkan tiga sisi. itu bukan satu tingkatan atau satu derajat sebagai sesuatu yang tercela. Adapun menentukan lafazh makruh, yang bermakna bahwa pelakunya tidak berdosa dan sama sekali tidak apa-apa, maka yang seperti ini hampir-hampir tidak mendapatkan dasar satu pun dalam syariat, sampai pun perkataan salah seorang imam secara khusus. Syariat justru mencakup sesuatu yang bertentangan dengan pengertian itu, sebab Rasulullah SAW menolak orang yang berkata, Adapun aku akan shalat malam dan tidak tidur. yang lain menyatakan, Aku tidak akan menikah.... Rasulullah SAW lalu menolak keinginan mereka tersebut dengan menuturkan, Barangsiapa membenci Sunnahku berarti bukan dari gohnganku. Ungkapan Rasulullah SAW ini adalah ungkapan yang sangat keras dalam mengingkari, sehingga para sahabat hanya melakukan hal-hal yang Sunnah atau meninggalkan suatu Sunnah untuk melaksanakan Sunnah yang bin. Demikian juga yang disebutkan dalam hadits, bahwa Rasulullah SAW melihat seorang lelaki yang sedang berdiri sambil menjemur dirinya di terik matahari. Beliau laki bertanya, Kenapa orang ini? Para sahabat menjawab, la bernadzar untuk tidak berteduh, tidak bicara, tidak duduk, dan berpuasa. Rasulullah SAW pun bersabda, Perintahkanlah ia untuk duduk, bicara, dan berteduh. Adapun puasanya, teruskanlah. Malik berkata, Rasulullah SAW memerintahkannya untuk melakukan suatu bentuk ketaatan kepada Allah dan meninggalkan suatu bentuk kemaksiatan. Diperkuat lagi oleh hadits yang diriwayatkan oleh Malik —dalam riwayat Al Bukhari— dari Qais bin Abu Hazim, ia berkata, Abu Bakar menemui seorang wanita dari Ahmas yang bernama Zaenab. Umar melihat wanita itu tidak berbicara, maka Umar bertanya, Ada apa dengan wanita ini? Dijawab, Dia haji dengan diam dan tidak akan berbicara. Umar lalu berkata, Bicaralah, karena diammu itu tidak halal. Itu adalah perbuatan jahiliyyah. Wanita itu pun kemudian berbicara..... Al Hadits. Malik juga berkomentar mengenai sabda Rasulullah SAW, Barangsiapa telah bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah, janganlah bermaksiat. Ini seperti orang yang bernadzar untuk berjalan kaki ke Syam atai Mesir, atau daerah lainnya, yang tidak mengandung unsur ketaatan. Atai bernadzar —misalnya—, Aku tidak akan mengajak bicara fulan. la tidal terkena apa pun jika kemudian mengajak bicara orang itu, sebab nadzai seperti ini tidak mengandung ketaatan kepada Allah. Nadzar yang harus dipenuhi adalah nadzar yang mengandung ketaatan kepada Allah, sepert berjalan menuju Baitullah, puasa, sedekah, dan shalat. Setiap nadzar yanc mengandung ketaatan kepada Allah wajib dipenuhi. Perhatikanlah, Malik memandang bahwa sikap menjemur diri di bawah terik matahari, tidak berbicara, dan bernadzar untuk berjalan kaki menuju Syam atau Mesir, sebagai bentuk kemaksiatan. la juga menafsirkan hadits yang masyhur, meskipun perkara-perkara tadi adalah perkara-perkara mubah. namun ketika kemubahan itu diberlakukan seperti sesuatu yang disyariatkan dan dihitung sebagai ibadah kepada Allah, maka —menurut Malik— akhirnya justru menjadi kemaksiatan kepada Allah. Keumuman sabda Nabi, Dari setiap bid ah adalah sesat adalah penguat dari pendapat atau pandangan Imam Malik di sini. Semuanya mendapatkan dosa, ancaman, dan peringatan keras, dan ini adalah kekhususan yang dimiliki oleh perkara yang haram. Telah dibahas sebelumnya, riwayat Zubair bin Bakkar, ia didatangi seorang lelaki yang berkata, Wahai Abu Abdullah, dari mana aku mesti berihram? Ia menjawab, Dari Dzul Hulaifah, yang menjadi tempat Rasulullah SAW berihram. Orang itu berkata, Aku ingin ihram dari Masjid Nabawi -penerj. Ia menjawab, Jangan lakukan. Lelaki itu berkata Iagi, Aku ingin berihram mulai dari masjid yang ada di sisi kuburan {Rasulullah SAW. Ia menjawab, Jangan lakukan, sesungguhnya aku takut terjadi fitnah padamu.” la menjawab, Ada fitnah apa dalam masalah seperti ini? Aku hanya menambah beberapa mil. Zubair berkata, Apakah ada fitnah yang lebih besar dibandingkan dengan melakukan fadhilah yang —akan dianggap— bahwa Rasulullah SAW meninggalkannya? Aku mendengar Allah berfirman, ... maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. Qs. An-Nuur [24]: 63 Anda bisa cermati bahwa Zubair khawatir akan timbul fitnah karena berihram dari tempat yang utama tidak ada tempat yang lebih mulia dari masjid Allah dan Rasul-Nya SAW serta kuburan Nabi SAW. Di samping itu, masjid Rasulullah SAW lebih jauh dari miqat yang semestinya, berarti akan menambah rasa lelah orang yang berniat melakukan miqat dari tempat itu. Lelaki itu bemiat mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya SAW, namun Zubair lalu menjelaskan bahwa niatnya tersebut meskipun terlihat ringan pada awalnya, dikhawatirkan akan mendapatkan adzab di dunia dan akhirat. Zubair pun mengambil dalil ayat Al Quran. Jadi, setiap perkara yang kondisinya seperti ini —menurut Malik— masuk dalam makna ayat itu. Pertanyaannya, Dimanakah karahiyah tanzih hukum makruh pada perkara- perkara yang seperti ini yang secara sepintas terlihat mudah dan ringan? Ibnu Hubaib berkata: Ibnu Al Majisun mengabarkan kepadaku bahwa ia mendengar Malik berkata, Tatswib adalah sesat? Malik berkata, Dan, barangsiapa mengada-adakan pada umat ini sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulunya, berarti telah menuduh bahwa Rasulullah SAW mengkhianati agama, karena Allah berfirman, ... Pada hari ini telah Ku- sempurnakan untukkamu agamamu.... Qs. Al Maa x idah [5]: 3 Jadi, perkara yang pada hari itu masa Rasulullah bukan merupakan agama, maka pada hari ini pun bukan merupakan agama. Tatswib yanq dimakruhkan oleh Malik di sini adalah ketika seorang muadzin mengumandangkan adzan, kemudian ia melihat bahwa orang- orang lambat dalam mendatangi masjid, maka muadzin itu berkata —antara adzan dan qamatnya—, Qad qaamatish-shalaah, hayya alash-shalaah, hayya alalfalaah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih, bahwa tatswib semacam ini adalah bidah. At-Tirmidzi —ketika menukil masalah ini dari Sahnun— berkata, Yang dikatakan oleh Ishaq adalah tatswib yang dimakruhkan oleh ulama dan diada- adakan sepeninggal Nabi SAW. Jika dilihat pada lafazhnya, maka setiap orang secara sepintas akan menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh, sebab tidak ada tambahan dari lafazh mengingatkan shalat. Kisah Shabigh Al Iraqi sangat jelas dalam makna ini,... .Ibnu Wahb, ia berkata: Anas bin Malik menceritakan kepadaku, ia berkata, Shabigh berkeliling dengan Kitab Allah seraya berkata, Barangsiapa belajar untuk menjadi ahli fikih, maka Allah akan menjadikannya sebagai ahli fikih. Barangsiapa belajar maka Allah akan memberinya ilmu. Umar bin Khaththab RA lalu memegangnya dan memukulnya dengan pelepah kurma yang masih basah, kemudian memasukkannya ke dalam sel tahanan. Ketika telah ringan —beban yang ada pada dirinya— Umar mengeluarkannya lagi lalu dipukulnya kembali, maka Shabigh berkata, Wahai Amirul mukminin, kalau engkau ingin membunuhku maka siapkanlah dengan baik. Namun jika tidak maka sesungguhnya aku telah sembuh. Semoga Allah menyembuhkanmu. Umar lalu melepaskannya. Ibnu Wahb berkata: Malik berkata, Umar bin Khattab RA telah memukul Shabigh, ketika beritanya sampai kepada Umar; yaitu masalah pertanyaan tentang Al Qur’an dan yang lainnya. Pukulan ini disebabkan oleh pertanyaannya seputar perkara-perkara Al Quran yang tidak berkaitan dengan amal. Ada yang mengatakan bahwa pertanyaanya adalah seputar firman-Nya: Dan malaikat-malaikat yang turun dari langit dengan cepat. Qs. An-Naaziaat [79]:3 Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan. Qs. AlMursalaat [77]:l Pukulan ini disebabkan oleh perbuatan jahat yang sifatnya karahiyyah tanzih, sebab darah dan kehormatan seorang muslim tidak halal dengan sebab karahiyyah tanzih. Pukulan Umar itu disebabkan kekhawatiran adanya bidah dalam masalah agama yang akan menyibukkannya, padahal itu tidak mendatangkan amal, dan agar tidak menjadi perantara untuk mencari-cari hal-hal yang mutasyabihat Quraniyyah. Oleh karena itu, ketika Umar bin Khattab membaca ayat, Dan buah-buahan serta rumput-rumputan. Qs. Abasa [80]: 31 ia berkata, Ini adalah buah-buahan, kemudian apa makna abb? la berkata, Kita tidak diperintahkan untuk mempertanyakan ini. Dalam riwayat lain dikatakan, Kita dilarang untuk memaksakan diri Masih berbicara tentang kisah Shabigh, dalam riwayat Ibnu Wahb dari Laits, bahwa Umar memukulnya dua kali dan ketika ingin memukulnya untuk ketiga kali, Shabigh berkata kepadanya, Jika engkau ingin membunuhku maka bunuhlah aku dengan cara yang baik, tapi jika Anda ingin menyembuhkanku, maka demi Allah, aku telah sembuh. Umar lalu mengizinkannya untuk kembali ke negerinya dan ia menulis surat kepada Abu Musa Al Asyari FIA, 28 agar tidak duduk-duduk dengan Shabigh. Ternyata cara Umar ini cukup membuat Shabigh merasa sempit. Abu Musa laki menulis surat kepada Umar untuk memberitahukan bahwa keadaan Shabigh telah berubah baik. Umar pun membalas suratnya dan mengizinkan orang-orang untuk bergaul kembali dengannya. Bukti penguat yang semakna dengan ini cukup banyak, yang semuanya menunjukkan bahwa bidah yang menurut manusia ringan sesungguhnnya adalah perkara yang besar. Allah berfirman, u ...dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Qs. An-Nuur [24]:15 Adapun perkataan para utama, jika mereka menyatakan al karaahiyah dalam hal-hal yang dilarang, maka mereka tidak memaksudkannya sebagai karahiyyah tanzih saja.. Yang demikian itu adalah istilah mutaakkhirin ketika mereka membedakan antara dua kiblat. Untuk karahiyyah tahrim 28 Yang isinya menyuruh Abu Musa untuk meberitahu kaum muslim. mereka hanya memakai istilah tahrim atau haram, manu atau larangan, dan yang sejenisnya. Adapun jika orang-orang yang terdahulu pada kalangan salaf, tidak mendapatkan nash yang sharih, mereka tidak akan mengatakan ini halal atau haram dan berusaha menjauhi ungkapan seperti ini, karena khawatir pada firman Allah yang berbunyi, Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, Ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.... Qs. An-Nahl [16]: 116 Malik menceritakan dari orang yang sebelumnya mengenai pengertian semacam ini; apabila dalam perkataan mereka Anda mendapatkan hal-hal yang berkenaan dengan masalah bidah atau yang lainnya, Aku membenci ini, atau Aku tidak menyukai ini, atau Ini makruh dan yang sejenisnya, maka janganlah Anda pastikan bahwa yang mereka maksudkan adalah makruh tanzih saja, bila dalil sudah menunjukkan kepada kita bahwa seluruh bidah adalah sesat, dari mana hal yang sudah jelas bidah dihukumi kaiahiyyah tanzih saja? Kecuali jika mereka menyatakan makruh secara umum untuk sesuatu yang ada dasarnya dalam syariat tetapi bertentangan dengan perkara lain yang mutabar dalam syariat, sehingga dianggap makruh dari sisi ini, bukan karena ia adalah bidah makruhah. Perinciannya tentang hal ini akan disebutkan kemudian. Sisi Ketiga Jika kita perhatikan, hakikat bidah —baik samar maupun jelas— berbeda dengan sesuatu yang makruh dari hal-hal yang dilarang. Penjelasannya dapat dilihat dari berbagai arah, yang salah satunya adalah dari arah tujuan; terpenuhinya tujuan duniawi. Orang yang melakukan sesuatu yang makruh bukan hanya bermaksud memenuhi kebutuhan dan keinginan duniawi, namun juga berharap mendapat pengampunan yang bisa diperoleh lantaran perkara-perkara yang dilakukan hanya hal-hal yang makruh, dan demi menghilangkan adanya perasaan berat dalam syariat, sehingga pelakunya berharap mendapat rahmat Allah. Ikatan imannya juga tidak goyah, sebab ia meyakini sesuatu yang makruh itu tetap makruh, sebagaimana yang haram itu tetap haram, meskipun ia melakukannya, namun ia tetap takut kepada Allah dan tetap mengharapkan-Nya Orang yang melakukan perbuatan makruh tetap memandang bahwa meninggalkan perbuatan itu sebenarnya tetap lebih baik daripada melakukannya. Tetapi jiwanya memperindahnya walaupun ia tidak ingin melakukannya, maka hatinya akan terus —ketika ingat— gundah, sangat berharap bisa meninggalkannya, terlepas apakah ia berusaha mencari sebabnya —agar bisa meninggalkannya— atau tidak. Adapun pelaku bidah yang paling kecil sekalipun, kondisinya berlawanan dengan kondisi orang yang melakukan perbuatan makruh, sebab ia melihat bidahnya sebagai sesuatu yang baik, bahkan lebih baik daripada yang telah digariskan oleh syariat. Jadi, dimanakah rasa takut dan harapnya bila kondisinya seperti ini? Ia mengira bahwa cara yang ia tempuh lebih lurus dan ajarannya lebih layak untuk diikuti. Begitulah, walaupun syubhatnya ada. Syariat telah memberikan kesaksian melalui beberapa ayat dan hadits bahwa orang seperti ini mengikuti hawa nafsunya. Akan dijelaskan nanti, insyaallah. Pada permulaan bab kedua telah disebutkan sejumlah makna yang menunjukkan betapa besar perkara bidah secara umum, kemudian pada akhir bab telah disebutkan beberapa perkara yang menjelaskan perbedaan antara bidah dengan karahiyyah tanzih. Jika Anda menginginkan maka rujuklah kembali bagian itu, insyaallah akan menjadi jelas bagimu kebenaran yang aku isyaratkan di sini. Wa billahit-taufiq. Walhasil, perbedaan antara amal perbuatan yang makruh dengan bidah sangatlah jauh meskipun kecil.

G. Haram Besar dan Haram Kecil

Perkara yang haram dalam syariat terbagi menjadi haram kecil dan haram besar —sepanjang yang telah dimengerti dalam ilmu ushul—. Seperti pada bidah yang hukumnya haram, terbagi menjadi dua, haram besar dan haram kecil, dengan berpandangan pada perbedaan derajatnya. Pembagian ini didasarkan pada pendapat bahwa maksiat terbagi menjadi maksiat besar dan maksiat kecil. Mereka berselisih pendapat dalam membedakan keduanya ke dalam beberapa sisi perbedaan, dan seluruh pendapat mereka bisa jadi tidak memenuhi maksud secara sempurna. Jadi dalam hal ini kita tidak akan melebarkan bahasan. Sisi pandang yang paling dekat untuk pembahasan ini adalah ketetapan yang ditulis dalam kitab Al Muwafaqat, bahwa dosa besar terbatas pada perbuatan dosa yang merusak dharuiyyat mu’tabarah hal-hal dhurur yang telah dinyatakan penting pada setiap agama, yaitu: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Setiap yang ditetapkan dalam nash kembali padanya, sedangkan yang tidak ditetapkan dalam nash beriaku sesuai dengan itibar dan pandangan. Inilah yang telah mengumpulkan perkara-perkara yang disebut ulama dan yang tidak disebut tetapi masih dalam satu kandungan makna. Demikian juga kita katakan untuk bidah-bidah yang besar, Yang merusak salah satu pokok dharuriyyat wutabaiah adalah bidah besar. Pada awal bab telah dijelaskan beberapa contoh, sebagaimana kemaksiatan yang besar terbatas pada perkara yang diisyaratkan dalam kitab itu, maka demikian juga masalah bidah-bidah besar. Di sini muncullah problem yang amat besar bagi ahli bidah, mereka akan kesulitan menyelesaikannya; permasalahan cara menetapkan bidah-bidah kecil, sebab seluruh bidah merusak salah satu dharuriyyat; merusak agama, baik yang berkenaan dengan pokok maupun cabangnya. Sebab bidah diadakan untuk disatukan dengan sesuatu yang masyru, baik menambah, mengurangi, maupun merubah aturannya. Atau dengan melakukan tindakan yang mengarah pada pembahasan tersebut, yang demikian itu tidak khusus dalam masalah ibadah, namun masuk juga adat kebiasaan dan semua hal yang terlarang. Bila bidah secara menyeluruh merusak agama, berarti merusak dharuriyyat yang pertama, yaitu agama. Sebuah hadits shahih telah menegaskan bahwa setiap bidah adalah sesat. Rasulullah SAW telah bersabda dalam masalah firqah-firqah, Semuanya di neraka kecuali satu, dan ini juga sebagai ancaman yang terperinci bagi semuanya. Demikianlah, walaupun derajat perusakannya terhadap agama berbeda- beda, namun bukan berarti telah mengeluarkan bidah dari lingkup bidah besar, sebagaimana lima dasar sebagai rukun agama, meskipun urutannya berbeda-beda. Merusak syahadatain tidak seperti merusak shalat, merusak shalat tidak seperti merusak zakat, merusak zakat tidak seperti merusak puasa Ramadhan, demikian juga kalau merusak seluruhnya. Semuanya adalah dosa besar, maka pandangan kita kembali tertuju bahwa setiap bidah adalah besar. Dijawab: Pandangan ini menunjukkan apa yang telah disebutkan. Dalam pandangan itu ada hal yang justru menunjukkan dari arah yang lain sebagai penetapan adanya bidah yang kecil, dilihat dari berbagai sisi berikut ini: Sisi pertama: Merusak jiwa adalah dosa besar. Perusakan terhadap jiwa terdapat tingkatan-tingkatannya, dan yang paling rendah tidak disebut besar. Pembunuhan adalah besar, memotong anggota tubuh tanpa membunuhnya adalah satu tingkat lebih rendah dari dosa besar, tapi memotong satu anggota badan adalah satu tingkat lebih rendah darinya, kemudian ada lagi diibawahnya dan terus sampai berupa tamparan atau yang lebih ringan dari lebam atau memar. Tidak benar jika yang terakhir dikatakan dosa besar. Sebagaimana dikatakan oleh ulama dalam masalah pencurian, bahwa pencurian adalah dosa besar, sebab merusak harta, tetapi jika seseorang hanya mencuri sesuap nasi atau mengurangi sebuah biji, maka mereka menghitungnya sebagai dosa kecil, padahal ini menyangkut dharurat agama juga. Disebutkan dalam sebagian hadits, diantaranya adalah riwayat yang datang dari Hudzaifah RA, ia berkata: