Melazimkan Perbuatan-Perbuatan Sunah yang Pelaksanaannya secara Terus-menerus telah

hilanglah larangan, tidak ada penentangan terhadap dalil, dan tidak ada anggapan bidah, walaupun ia tidak melazimkan pelaksanaannya. Jika dengan pilihan, maka tidak ada problem dalam menentangan hal-hal tersebut, seperti orang yang bemadzar meninggalkan perbuatan sunah tanpa udzur. Walaupun demikian, meninggalkannya tidak dinamakan bidah, mengerjakannya pada waktu kerja juga tidak dinamakan bidah, dan mengerjakannya pada kesempatan apa pun tidak dinamakan bidah. Walaupun sebab adanya udzur adalah —misalnya— sakit. Jadi, kami tidak menerima bahwa itu bertentangan, sebagaimana ia tidak bertentangan dalam hal yang wajib, apabila dihalangi oleh udzur, seperti puasa bagi orang sakit dan haji bagi orang yang tidak mampu. Jika demikian maka tidak ada perbuatan bidah. Adapun jika tidak selaras dengan dalil-dalil yang mencelanya, maka telah ditetapkan bahwa dalam kategori bidah ada yang tidak terlarang, bahkan termasuk perbuatan ibadah, bukan termasuk kategori al mashaalih al mursalah, dan bukan pula yang lainnya dari hal-hal yang mempunyai dasar secara umum. Namun, pada saat-saat tertentu, dasar ini mencakup setiap pelaziman yang bersifat ibadah, baik yang mempunyai dasar maupun tidak. Tetapi ia mempunyai dasar secara umum dan tidak secara terperinci, seperti mengkhususkan malam kelahiran Nabi SAW dengan melakukan shalat malam dan pada siangnya dengan puasa atau shalat-shalat khusus, menghidupkan malam awal Jumat bulan Rajab, malam pertengahan Syaban, dan melazimkan doa dengan suara keras seusai shalat dengan mengangkat imam, untuk memimpin, dan hal-hal lainnya dari hal-hal yang mempunyai dasar yang jelas. Ketika itu sirnalah semua hal yang berdasarkan. Jawaban atas penyataan pertama adalah: Hal itu benar dan tidak terlarang berkumpulnya larangan dan pertimbangan untuk perkara yang diluar batasannya, karena larangan bukan karena adanya cela pada substansi ibadah itu sendiri, dan tidak juga pada salah satu dari rukun-rukunnya, akan tetapi karena adanya kekhawatiran Rasulullah terhadap perkara yang diharapkan terjadi, sebagaimana perkataan Aisyah RA, Sesungguhnya larangan dari Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin puasa wishal sebagai bentuk kekhawatiran terhadap mereka, karena seandainya wishal itu dilarang, maka beliau tidak akan mengerjakannya. Uhatlah bagaimana ibadah dan sesuatu yang diiarang berkumpul dalam satu perkara. Namun hal ini dengan dua pandangan, adapun pandangan terhadap hal ini adalah seperti yang terdapat dalam masalah fikih, yaitu perkataan para muhaqqk} dalam masalah jual beli setelah adzan Jumat, ia terlarang bukan dari sisi karena ia adalah jual beli, tetapi dari sisi karena ia berpotensi menjadi pencegah dari menghadiri shalat Jumat. Oleh karena itu, mereka membolehkan jual beli setelah terjadinya adzan, namun menjadikannya sebagai jual beli yang tidak sah, walaupun ada penjelasan tegas tentang larangan itu, karena larangan bukan kembali ke substansi jual beli tetapi kembali kepada perkara yang ada disampingnya. Oleh karena itu, sekelompok orang yang berpendapat batalnya jual beli bertanya untuk menegur mereka yang melakukan jual beli, bukan untuk melarangnya melakukan jual beli, sehingga menurut mereka jual beli itu tidak dikategorikan sebagai jual beli yang rusak dan larangan itu bukan kembali kepada substansi jual beli. Perintah untuk beribadah adalah sesuatu yang lain, dan kondisi mukallaf yang dapat memenuhinya adalah lebih baik dan hal itu adalah sesuatu yang lain pula. Jadi, penetapan Nabi SAW untuk Abdullah bin Amru RA terhadap yang dilazimkan dan larangannya untuk mengerjakan perbuatan itu tidak menunjukkan rusaknya amal tersebut, sebab jika tidak demikian maka hal itu akan saling bertolak belakang, dan hal itu mustahil, kecuali ada tinjauan lain; yaitu Rasulullah SAW dalam masalah-masalah ini menjadi pembimbing bagi mukallaf dan sebagai pemula ? dengan nasihat ketika adanya sesuatu yang mungkin perlu mendapatkan nasihat. Ketika mukallaf terbebani oleh ijtihadnya tanpa memperoleh nasihat dari orang yang paling mengetahui keadaan jiwa, maka ia menjadi seperti orang yang mengikuti pendapatnya, padahal ada nash yang jelas, walaupun dengan takwil. Jadi, bila dalam lafazh tersebut dinamakan bidah, maka itulah itibarnya, dan jika tidak maka ia adalah orang yang mengikuti dalil nash yang datang dari orang yang memberi Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin nasihat, dan dialah yang menunjukkan bagaimana membangun ibadah kepada Allah agar tidak terputus. Hal itu mengandung bidah idhafiyyah bukan bidah hakikiyyah, karena dalil yang dipakai adalah dalil yang marjuh tidak benar bagi orang yang merasa berat untuk melaksanakannya secara terus-menerus, dan dalil rajih bagi orang yang memenuhi syarat. Dalam hal ini, Abdullah bin Amru RA adalah orang yang memenuhi syarat setelah kondisinya melemah, walaupun kemudian pada kondisi tertentu ia mendapat kesulitan dalam melaksanakannya sehingga ia berharap mendapat keringanan dari Rasulullah SAW. Hal ini tentu berbeda dengan bidah hakikiyyah, karena dalil atas hal-hal tersebut benar-benar tidak ada, ditambah lagi ia merupakan dalil yang marjuh. Jadi, masalah ini menyerupai masalah kesalahan seorang mujtahid, karena perkataan tentang keduanya hampir mirip. Akan dibahas dalam bab selanjutnya. Sedangkan perkataan penanya tentang problem, Jika suatu syarat dilazimkan, lalu ibadah dilaksanakan dengan semestinya.... maka hal itu memang benar, kecuali perkataannya, Jika ia meninggalkannya karena suatu sebab alasan maka tidak apa-apa tidak berdosa, seperti orang sakit, karena bukan masalah ini yang sedang kita bicarakan, namun ada hal lain, yaitu ia meninggalkannya karena ada suatu yang membuatnya tidak bisa melaksanakannya. Jika ia jelas-jelas bukan termasuk kategori tersebut, maka bila ia mengerjakannya karena alasan yang sama dengan orang sakit sehingga ia tidak mampu berjihad, maka dalam hal ini berada si antara dua sisi; dari sisi yang menjadi sebab ia tidak mampu melaksanakannya adalah sesuatu yang tidak terpuji, sehingga ia tidak suka atau mengurangi kadar sesuatu yang wajib, maka ia dianggap menentang larangan. Juga dari sisi adanya kesulitan dalam melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya, maka ia mungkin dimaafkan. Dengan demikian, dari dua tinjauan ini yang berlaku hanya satu tinjauan. Sedangkan perkataannya, Telah ditetapkan bahwa di antara macam- macam bidah ada bidah yang tidak terlarang, kami katakan bahwa hal itu Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin tidaklah demikian, sebab yang sunah ditinjau dari sisi bahwa ia adalah perbuatan sunah, menyerupai yang wajib dari sisi keumuman perintah, dan menyerupai yang mubah dari sisi terangkatnya dosa dari orang yang meninggalkannya. Ia menjadi perantara antara dua sisi yang tidak berakhir kepada mengerjakan salah satu dari keduanya. Akan tetapi kaidah syariat mensyaratkan dari sisi perbuatan itu sebagai syarat, sebagaimana mensyaratkan dari sisi peninggalan sebagai syarat. Syarat bolehnya mengerjakan adalah tidak memasukkan hal-hal yang akan menyulitkan orang yang akan melaksanakannnya sehingga hukum sunah atau yang lebih utama dari itu menjadi sirna. Adapun yang akan terjadi setelahnya, telah diserahkan kepada pilihan mukallaf. Jika hal-hal yang menyulitkan itu masuk, maka ada kemungkinan sesuatu yang masuk memiliki tujuan menghilangkan syarat yang ada. Jika demikian, maka inilah jenis bidah yang akan datang penjelasannya insyaallah. Kesimpulannya, Pembuat syariat menuntutnya untuk tidak menyertakan kesulitan, karena yang sering terjadi membebankannya kepada dirinya sehingga dirinya tidak mampu mengerjakannya dan banyak menyia- nyiakan kewajiban dan Sunnah yang lebih utama daripada yang dibebankan kepadanya. Hal itu maklum diketahui sebagai bidah madzmumah yang tercela. Jika tidak sesuai dengan tujuan tersebut maka ada kemungkinan; suatu Sunnah berada dalam jalurnya atau tidak, jika sesuai dengan jalurnya dan mengerjakan sesuai dengan kemampuannya, saat dalam kondisi semangat dan tidak berbenturan dengan yang lebih utama dari apa yang ia masukkan, maka itu murni Sunnah yang tidak ada perdebatan di dalamnya, karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan benarnya amal itu. Dengan demikian ia diperintah untuk tidak meninggalkan dan dilarang memasukkan kesulitan, sehingga ia menjadi terjaga, dan tidak ada masalah dalam kebenarannya. Itulah kondisi salaf kita yang pertama dan orang-orang setelah mereka. Walaupun ia tidak berjalan sesuai dengan jalannya, namun bila ia memasukkan pendapat untuk melazimkan diri dan mengerjakan sesuatu dengan cara terus- menerus, maka pendapat itu hukumnya makruh untuk memulainya. Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Akan tetapi bisa dipahami dari syariat bahwa penunaian —jika terjadi— menjadi kafarat larangan tersebut, sehingga tidak cocok bila pada bagian ini dimaknai bidah, karena Allah SWT memuji orang yang menunaikan nadzar dan orang-orang yang menepati janji. Jika tidak ada penunaian janji maka jelas bahwa hal itu masuk pada sisi larangan, dan mungkin saja ia berdosa karena pelaziman yang bukan nadzar. Karena mempertimbangkan tidak terjadinya penunaian, maka dinamakan bidah, bukan karena ia mengerjakan perbuatan yang tidak ada dalilnya, tetapi karena ada dalil yang menunjukkan hal itu. Oleh karena itu, bila seseorang melazimkan sebagian perbuatan sunah, baik ia mengetahui maupun memperkirakan bahwa menjalankannya secara terus-menerus tidak membuatnya berada dalam kesulitan —ini adalah sisi ketiga dari tiga sisi yang perlu diperhatikan— maka ia tidak masuk dalam kategori terlarang, namun masuk dalam perbuatan-perbuatan sunah, seperti shalat sunah rawatib, bertasbih, bertahmid, dan bertakbir dzikir lisan yang dilazimkan pada waktu pagi dan petang, dan yang sejenisnya dari hal-hal yang tidak meluputkan dari perbuatan yang lebih utama, serta tidak memasukkan kesulitan dengan mengamalkan pekerjaan itu dan juga tidak dengan mendawamkannya. Pada bagian ini ada anjuran untuk melaksanakannya secara terus- menerus dengan tegas, diantaranya adalah sikap yang diambil Umar untuk mengumpulkan manusia di masjid pada bulan Ramadhan, dan manusia terus- menerus menjalankannya, karena pada awalnya ia merupakan sunah yang tetap dari Rasulullah SAW, kemudian beliau mendirikannya untuk orang- orang yang mampu dan menyukainya, dan hanya sebulan dalam satu tahun, bukan selalu dikerjakan sepanjang tahun. Walaupun demikian, pilihan tetap diserahkan kepada mereka, karena Umar berkata, Dan orang-orang yang tidur darinya tidak melaksanakannya dengan cara ini lebih utama. Salafush-shalih telah memahami bahwa melakukan qiyamullail rumah itu lebih baik, maka banyak di antara mereka pergi dan melakukan shalat malam di rumah-rumah mereka. Walaupun demikian, ia berkata, Betapa Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin indahnya bidah ini. la mengungkapkannya dengan lafazh bidah melihat pada adanya anggapan terus-menerus, walaupun satu bulan dalam satu tahun. Belum pernah terjadi sebelumnya orang yang melaksanakannya secara terus- menerus, atau sikapnya yang telah menampakkan ibadah tersebut dalam masjid jami bertentangan dengan shalat-shalat sunah lainnya, walaupun pada asalnya pernah terjadi yang demikian, maka ketika dalil yang menunjukkan atas qiyamullail secara khusus ini jelas, ia berkata, Betapa indahnya bidah ini. Ia menilainya baik dengan redaksi Nima yang fungsinya untuk memuji seperti redaksi taajjub; seandainya ia berkata, Alangkah indahnya bidah Hal itu secara pasti menganggapnya tidak termasuk dalam kategori sebagai bidah. Perkataan Abu Umamah sesuai dengan makna ini, ia juga memberi penguat dengan ayat, ia berkata, Kalian membuat-buat hal baru dalam hal shalat malam pada bulan Ramadhan, padahal itu tidak diwajibkan atas kalian. Maknanya hanya seperti yang kami sebutkan. Untuk itu, ia berkata, Maka terus-meneruslah mengerjakannya Seandainya itu benar-benar bidah, maka ia akan dilarang. Dari sisi ini kami mengarahkan perkataan terhadap hal-hal yang dilarang oleh Nabi SAW lantaran pelaksanaannya yang dikhawatirkan akan menyulitkan pelakunya pada masa mendatang, maka memudahkan kami untuk meletakkannya pada bagian bidah idhafiyyah sebagai pengingat bentuknya dan dalam syariat sesuai dengan tempatnya, agar tidak tepedaya olehnya sehingga mengambil sesuatu yang bukan semestinya dan berhujjah dengannya untuk mengerjakan bidah hakikiyyah dengan cara mengqiyaskan kepadanya, lantaran ia tidak tahu sisi negatifnya. Kami enggan mengungkapkan dengan lafazh pada pembahasan ini karena seharusnya tidak dikerjakan kalau bukan karena sesuatu yang darurat.

G. Pengharaman terhadap Hal-Hal yang Dihalalkan oleh Allah

Allah SWT berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal Jagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Qs. Al Maa idah [5]: 87-88. Banyak khabar yang diriwayatkan berbicara tentang sebab turunnya ayat tersebut, yang semuanya berkisar pada satu makna, yaitu pengharaman terhadap apa-apa yang baik, yang telah dihalalkan oleh Allah SWT; baik sebagai pedoman maupun yang menyerupai pedoman. Allah SWT melarang hal tersebut dan menyifatinya sebagai perbuatan yang melampaui batas, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Kemudian Dia menetapkan pembolehan sebagai ketetapan tambahan atas apa yang telah ditetapkan-Nya melalui firman-Nya, Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dart apa telah yang Allah rezekikan kepadamu. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk bertakwa. Hal itu mengisyaratkan bahwa mengharamkan hal yang dihalalkan oleh Allah SWT merupakan perbuatan yang keluar dari derajat takwa. Ismail Al Qadhi meriwayatkan dari hadits Abu Qalabah RA, ia berkata, Beberapa orang sahabat Rasulullah SAW ingin menolak dunia, meninggalkan wanita, serta menjalani kehidupan rahbaniyyah. Namun Rasulullah SAW berdiri dan mengduarkan perkataan keras tentang niat mereka dengan sabda beliau, Orang-orang sebelum kamu binasa hanya karena bersikap keras. Mereka bersikap keras terhadap diri mereka, maka Allah berlaku keras terhadap mereka. Mereka inilah sisa-sisa mereka di rumah-rumah dan biara- biara. Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan- Nya, lakukanlah ibadah haji dan umrah serta istiqamahlah, maka Dia akan beristiqamah karenamu. Ia berkata, Dan turunlah ayat tentang mereka, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagikamu. Dalam Shahih At-Timvdzidi sebutkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW seraya berkata, Ya Rasulullah Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin