Tingkatan Dosa Pelaku Bidah
ditanggung oleh orang yang membuat bidah tersebut, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits shahih.
Bagaimanapun juga, dosa orang yang pertama berbuat bidah, pasti lebih besar, sementara orang yang mengikutinya pasti lebih ringan,
karena meskipun dirinya berpendapat dan menyelisihi kebenaran serta berdalil dengan akalnya, namun dirinya hanya memiliki dalil yang
global bukan dalil yang terperinci. Adapun perbedaan antara kedua perkara tersebut, sangatlah jelas, karena dalil-dalil yang terperinci itu
lebih kuat untuk digunakan sebagai dalil —terhadap pokok-pokok perkara— daripada dalil-dalil yang global.
Jadi, besarnya dosa yang diberikan sesuai dengan dalil yang dikemukakan.
2. Dari segi terjadinya bidah; dalam perkara yang wajib atau selainnya.
Penjelasannya akan diterangkan dalam pembahasan tentang hukum- hukum bidah.
3. Dari segi perbuatan; sembunyi-sembunyi atau terang-terangan dalam
melakukannya. Dosa pelaku yang mengerjakannya secara sembunyi- sembunyi hanya terbatas untuk dirinya dan tidak meluas kepada
orang lain. Akan tetapi tetap saja perbuatan bidah telah diperbuat, baik dalam ukuran besar, kecil, maupun sedang. Hukumnya seperti
hukum asalnya. Jika dikerjakan secara terang-terangan — meski tidak mengajak orang lain— maka keterus-terangannya dalam perbuatan
bidah menjadi perantara untuk diikuti orang lain. Hal ini akan dijelaskan, insyaallah.
Jadi, dosa akan ditimpakan kepada orang yang membuat bidah dan orang yang mengikutinya, dan dosa dalam perkara tersebut
sangatlah besar. Contoh-contohnya adalah tentang asal usul shalat malam
pertengahan bulan Syaban yang diceritakan oleh Ath-Tharthusi dari Abu Muhammad Al Maqdisi, ia berkata, Sesungguhnya shalat anjuran
yang dilakukan pada bulan Rajab dan bulan Syaban tidak pernah ada
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
sebelumnya pada kehidupan kami di Baitul Maqdis. Pertama kali terjadinya perkara tersebut yaitu pada tahun 448 H, setelah seorang
laki-laki yang dikenal dengan panggilan Ibnu Abu Al Hamra datang kepada kami di Baitul Maqdis. la termasuk orang yang bacaan Al
Qurannya bagus. la lalu shalat di masjidil Aqsha pada malam pertengahan bulan Syaban dan diikuti oleh seseorang di belakangnya,
lalu berikutnya terbentuklah satu shaf, lalu dua shaf, lalu tiga shaf, dan akhirnya ia mempunyai jamaah yang banyak. Pada tahun berikutnya
ia datang kembali dan melakukan hal yang sama. Banyak orang shalat bersamanya berjam-jam di dalam masjid, hingga tersebarlah shalat
tersebut di masjidil Aqsha dan di tempat tinggal mereka. Hal itu terus berjalan hingga seakan-akan menjadi Sunnah, sampai zaman kita ini.
Saya katakan kepadanya, Saya melihatmu shalat bersama jamaah. Ia menjawab, Ya, tetapi saya telah memohon ampunan kepada Allah
darinya. 4. Dari segi menyeru kepadanya atau tidak. Terkadang, seseorang
yang menawarkan bidahnya agar diikuti, temyata tidak diikuti oleh orang lain. Manusia memang berbeda-beda kesiapan unsur-unsur
yang terdapat di dalam diri mereka agar dapat diikuti, ada yang kurang terkenal, atau tidak terkenal sehingga seruannya tidak diikuti.
Hal itu dikarenakan adanya orang yang lebih terkenal dan lebih mulia kedudukannya di sisi manusia daripada dua contoh orang
tersebut. Adapun seorang penyeru, jika ia menyerukan kepada perbuatan
bidah, maka potensi untuk diikuti lebih kuat dan lebih terkesan. Apalagi jika ia pintar berorasi dan berargumentasi, pasti dapat menyentuh
perasaan ketika menyampaikan sesuatu yang sesat. Bualannya pun menjadi sesuatu yang menyakinkan dan tambahan-tambahannya lebih
bisa merasuk ke dalam hati. Seperti Al Mabad Al Juhani yang menyeru manusia kepada pendapatnya tentang perkara takdir, dengan
kepandaian lidahnya, ia bisa menisbatkan pendapatnya kepada Al Hasan Al Bashri.
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Diriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah, bahwa Amr bin Ubaid pernah ditanya tentang permasalahan takdir, ia lalu menjawab, Ini
dari pendapat Al Hasan. Seseorang kemudian berkata kepadanya, Sesungguhnya orang-orang telah meriwayatkan hal yang berbeda
dengan pendapat dari Al Hasan. Ia menjawab, Saya katakan kepada kamu, Ini adalah dari pendapat saya al hasan yang baik. Yang
dinginkan adalah pendapat dari dirinya. Muhammad bin Abdullah Al Anshari berkata, Sesungguhnya bila
Amr bin Ubaid ditanya tentang sesuatu, ia menjawab, Ini dari perkataan Al Hasan. Jawaban itu seakan-akan perkataan Al Hasan bin Abu Al
Hasan, namun sebenamya adalah perkataannya sendiri. 5. Dari segi status pelakunya; keluar dari kelompok Ahlus-Sunnah
atau tidak. Pelaku bidah yang tidak keluar dari Ahlus-Sunnah tidak menambah kerusakan lain yang menyebabkan dosa, tetapi jika
keluar dari Ahlus-Sunnah maka ia telah semakin membangkang terhadap para imam —perbuatan ini menyebabkan pelakunya harus
dihukum mati—, membuat kerusakan di atas muka bumi, menebarkan fitnah, dan menimbulkan peperangan hingga
menimbulkan permusuhan serta kebencian di antara kelompok- kelompok tersebut. Baginya dosa yang sangat besar dan tak
terhingga. Contohnya adalah kisah tentang kelompok Khawarij yang telah
disifati oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya,
Mereka membunuh para pemeluk agama Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya
anak panah dari busurnya. Terkadang mereka tidak sampai keluar dari batasan tersebut, namun
hanya menyeru kepadanya, tapi seruan itu mengarah pada keharusan
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
menerima, sebab seruan tersebut diikuti dengan pemaksaan, ancaman keras, dan tindakan anarkis kurungan penjara, pukulan, bahkan
pembunuhan. Semua itu dengan meminta bantuan dari para pemimpin yang ditetapkan oleh para sultan, sehingga mengikutinya dengan
terpaksa —dianggap— lebih selamat. Sebagaimana yang telah dialami oleh Basyar Al Mursi pada masa kepeniimpinan Al Mamun dan Ahmad
bin Abu Daud pada masa kepemimpinan Al Watsiq. Seperti halnya yang dialami oleh seorang ulama pengikut Imam
Malik di Andalus —termasuk daerah kekuasaan Al Mahdi—, mereka merobek-robek kitab-kitab ajaran Imam Malik dan menyebutnya sebagai
pendapat akal, serta menyiksa sebagian besar orang-orang mulia hanya karena mereka menganut madzhab Imam Malik dalam perkara syariat.
Mereka menganut faham Zhahiriyyah tulen yang menurut para ulama paham tersebut adalah bidah yang muncul pada tahun 200 H.
Sungguh sangat disayangkan Seandainya saja mereka mengikuti madzhab Daud dan para sahabatnya. Mereka justru menentangnya
hingga melampaui batas dan membuat pemahaman agama dari pendapat akal mereka serta membuat madzhab bagi manusia, yang
tidak ada hubungannya sama sekali dengan syariat, lalu memerintahkan mereka untuk menganutnya dengan pemaksaan dan ancaman sehingga
tersebarlah kekeliruan di tengah-tengah manusia. Paham tersebut dapat bertahan lama, namun kemudian berangsur-
angsur punah hingga tersisa sedikit darinya sampai sekarang. Mudah-mudahan tersedia waktu yang lapang agar kita dapat
menyebutkan beberapa paham aliran tersebut, yang tersisa di tengah- tengah penulisan kitab ini, insyaallah.
Hal tersebut dosanya sangat besar dari sekadar seruan biasa, bila ditinjau dari dua hal berikut ini:
a. Menakut-nakuti dan mengancam atas nama Islam dan pembunuhan.
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
b. Banyaknya orang yang mengikuti seruan tersebut, sebab peringatan dan ancaman tentang kehidupan akhirat sudah tidak lagi
berpengaruh pada jiwa kebanyakan manusia, bcrbeda dengan ancaman dunia. Oleh sebab itu, disyariatkan Al Hududbatasan
hukum Allah dan siksaan-siksaan yang disebutkan dalam syariat. Sesungguhnya Allah tidak akan menggoncangkan kepemimpinan
sdama ia tidak menggoncangkan Al Qur an. Seorang pelaku bidah, jika merasa seruannya yang dilakukan dengan mengancam tidak
membuahkan hasil maka ia pasti berusaha menjilat para penguasa agar penguasa tersebut menekan masyarakat supaya seruannya
lebih mudah untuk diterima. 6. Dari segi kategori bidah; bidah hakikiyah atau bidah idhafiyah.
Bidah hakikiyah lebih besar dosanya, sebab bidah hakikiyah mengingkari Sunnah secara langsung tanpa perantara, dan juga
karena ia adalah pengingkaran yang murni dan keluar dari Sunnah secara terang-terangan. Seperti: pernyataan tentang takdir, penilaian
baik dan buruk, pernyataan terhadap pengingkaran hadits ahad, pengingkaran terhadap ijma ulama, pengingkaran terhadap
pengharaman khamer, serta pengukuhan terhadap seseorang sebagai imam yang maksum.
Jika dikatakan sebagai bidah idhafiyyah, maka arti dari kalimat idhafiyah yaitu bahwa perbuatan bidah tersebut pada satu sisi ada di
dalam syariat, sedangkan dari sisi lain murni dari pendapat akal telah dimasukkan tambahan pada posisi tertentu dari segi pendapat akal
dengan tidak menghapuskan dalil-dalilnya dari semua segi. Meskipun bidah idhafiyyah sejalan dengan bidah hakikiyah, namun
perbedaan antara keduanya sangat jelas, seperti yang akan diterangkan selanjutnya, insyaallah.
Oleh karena perbedaan tersebut, maka berbeda pula dosanya, misalnya:
a. Menyediakan mushaf Al Qur’an dimasjid untuk dibaca setiap selesai shalat Subuh.
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Malik berkata, Pertama kali yang menyediakan mushaf adalah Al Hajjaj bin Yusuf, ia ingin menjadi orang yang pertama mengatur
pembacaan Al Qur’an setelah shalat Subuh di masjid. Ibnu Rusyd berkata, Seperti yang dilakukan di daerah kami
sampai saat ini. Semua ini adalah perkara yang baru —yang saya maksud adalah
mewajibkannya di masjid— sebab membaca Al Qur’an di masjid secara keseluruhannya memang telah disyariatkan dan ditetapkan,
tetapi pengkhususan masjid untuk membaca Al Qur’an dari segi pengaturan tersebut adalah hal yang baru.
b. Menyediakan mushaf untuk dibaca pada hari Jumat—dan bertujuan seperti pada poin a— pada zaman sekarang.
7. Dari segi pengambilan dalil; dalil yang jelas atau dalil yang samar.
Jika dalil yang jelas sharih digunakan di dalam bidah, maka pasti mengarah pada penentangan terhadap syariat. Namun jika
menggunakan dalil yang samar, maka tidak akan mengarah pada penentangan syariat, ada kemungkinan hal tersebut tidak termasuk
bidah. Menggunakan dalil yang samar lebih ringan dosanya daripada menggunakan dalil yang jelas sharih.
Oleh karena itu, ulama menjadikan perkara meninggalkan dalil- dalil yang mutasyabihat secara keseluruhan sebagai Sunnah.
Dalam hadits juga telah diperingatkan untuk meninggalkan perkara yang mutasyabihat agar
tidak terjatuh dalam perkara yang haram, menjadi perlindung baginya. Karena terjatuh ke dalam perkara
yang mutasyabihat berarti terjatuh ke dalam perkara yang haram, dan meninggalkan perkataan yang haram bukan termasuk perkara
sunnah namun wajib hukumnya. Begitu juga dengan mengerjakan perbuatan yang meragukan dalam bidah, perbedaan antara
keduanya sangat jelas. Apabila kita berkata, Sesungguhnya meninggalkan perkara yang
mutasyabihat masuk dalam perkara Sunnah, sedangkan
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
mengerjakannya masuk dalam perkara makruh, maka perbedaan dosanya dilihat dari sisi ini, karena dosa dalam perkara yang diharamkan
sangat jelas. Adapun perkara yang makruh, pada hakikatnya tidak berdosa bila mengerjakannya, selama tidak diiringi dengan sesuatu
yang menyebabkan terjadinya dosa, seperti terus-menerus mengerjakannya, sebab terus-menerus melakukan dosa kecil akan
menyebabkan terjadinya dosa besar. Begitu juga jika terus-menerus melakukan perkara yang makruh, akan terjadinya dosa kecil.
Dalam hal tersebut, tidak terdapat perbedaan antara dosa kecil dengan dosa besar pada penyebutannya sebagai perbuatan dosa, maka
jika terdapat perbedaan pada keduanya, berarti dari sisi yang lain. Berbeda dengan perbuatan makruh dengan dosa kecil dan kebiasaan
bidah —meski perbuatan bidah itu makruh— yang terus-menerus dikerjakan dan ditampakkan oleh pengikut mereka di tempat-tempat
perkumpulan dan di masjid-masjid, acap kali hal tersebut dikerjakan sesuai hukum aslinya —makruh— atau disertakan dengan sesuatu yang
menyebabkan munculnya dosa karena terus-menerus mengerjakan, mempelajari, menyebarkan, fanatik terhadapnya, dan sebagainya.
Dalam hal itu pasti tetap terdapat bidah -sesuai kejadiannya- yang makruh yang tidak melampaui batas hukum makruh tersebut. Wallahu
alam. 8.
Dari segi tingkat perbuatan; terus-menerus atau tidak. Hal itu disebabkan dosa kecil dapat menjadi dosa besar apabila dikerjakan
secara terus-menerus. Begitu pula bidah yang kecil akan dapat menjadi besar karena terus-menerus dikerjakan. Apabila bidah tersebut
merupakan kesalahan, maka lebih hina lagi jika dikerjakan dengan terus-menerus, dan termasuk dalam kategori ini jika pelaku bidah
meremehkannya dan menganggap mudah perkaranya, sebab yang demikian itu seperti meremehkan dosa. Sedangkan orang-orang yang
menganggap remeh sesuatu dosanya lebih besar daripada selainnya. 9.
Dari segi akibat; mengakibatkan kekufuran atau tidak. Sebab sesuatu
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
yang menyebabkan kekufuran balasannya adalah akan selalu disiksa. Tetapi tidak demikian jika tidak menghantarkan pada tingkatan dosa-
dosa besar dalam kemaksiatan. Tidak ada dosa bidah yang lebih besar dari bidah yang menghalang-halangi Islam, sebagaimana tidak ada
dosa yang lebih besar dari dosa keluar dari Islam. Jadi, bidah karena kelompok Bathiniyah dan Zindik tidak sama dengan bidah kaum
Mutazilah dan Murjiah serta yang sepadan dengan mereka. Sisi perbedaannya sangat banyak dan telah diterangkan oleh para ulama.
Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya kepada kita.