besar, mulia atau hina, tinggi atau rendah derajatnya kedudukannya sama dalam hukum syariat. Jadi, setiap perkara yang keluar dari pokok yang umum
ini, berarti keluar dari Sunnah menuju bidah, dan dari jalan yang lurus ke jalan yang bengkok.
F. Jika Bidah Tidak Satu Tingkatan
Apabila telah ditetapkan bahwa bidah dalam ketercelaannya dan pelarangannya tidak satu derajat, berarti ada yang makruh dan ada yang
haram. Namun sifatnya sebagai amalan yang sesat adalah lazim dan mencakup segala jenisnya, berdasarkan ketetapan sabda Nabi SAW yang telah kukuh,
yaitu, Setiap bidah adalah sesat.
Tetapi di sini masih ada problem, yaitu bahwa sesat adalah lawan dari petunjuk, sebagaimana firman Allah:
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.... Qs. AlBaqarah [2]:16
.. dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pun yang akan memberi petunjuk. Qs. Ghaafir [40]: 33
Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya.... Qs. Az-Zumar [39]: 37
Serta ayat-ayat lain yang serupa, yang mempertentangkan antara petunjuk dengan kesesatan. Ini mengharuskan bahwa kedua hal tersebut
berlawanan dan tidak ada perantara di antara keduanya yang dianggap dalam syariat. Dengan demikian, bidah yang makruh juga diluar petunjuk.
Di antara pelanggaran serupa yang bukan bidah yang makruh dalam bentuk perbuatan adalah menoleh sedikit dalam shalat tanpa ada keperluan,
shalat dengan menahan dua hadats, dan hal lain yang serupa. Perkara serupa yang terdapat dalam hadits misalnya adalah,
Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, tetapi tidak diharamkan. Orang yang melakukan perbuatan makruh tidak disebut sebagai
pelanggar atau orang yang melakukan kemaksiatan, walaupun ketaatan lawannya adalah kemaksiatan dan pelaku sesuatu yang Sunnah adalah orang
yang taat, sebab ia mengerjakan sesuatu yang diperintahkan. Oleh karena itu, bila lawan ini kita jadikan itibar, maka seharusnya pelaku hal-hal yang
makruh adalah orang yang bermaksiat, sebab ia melakukan sesuatu yang dilarang. Akan tetapi itu tidak benar, sebab orang yang melakukan sesuatu
yang makruh tidak disebut sebagai orang yang bermaksiat ‘ashin. Demikian juga orang yang melakukan bidah yang makruh, tidak disebut
sebagai orang yang sesat dhal. Jika kita katakan sesat maka tidak ada bedanya meng-tf6arsebuah lawan dalam hal tha atketaatan dan dalam hal
huda petunjuk. Sebagaimana bidah yang makruh dikategorikan sebagai kesesatan, semestinya melakukan sesuatu yang makruh juga disebut sebagai
kemaksiatan. Jika bidah yang makruh tidak disebut sebagai kesesatan, semestinya melakukan sesuatu yang makruh juga tidak disebut sebagai
kemaksiatan. Hanya saja telah kita lalui pembahasannya bahwa lafazh sesat itu mencakup seluruh jenis bidah, maka mestinya lafazh kemaksiatan juga
mencakup segala perbuatan yang makruh, namun ini berarti batil, sehingga kelanjutannya pun batil.
Jawab: Keumuman lafazh sesat untuk setiap bidah telah kukuh, tetapi yang kalian tuntut pada perbuatan yang makruh ternyata tidak harus demikian
dengan beberapa alasan -penerj. sebab untuk perbuatan bukan lafazh - penerj tidak harus diberlakukan dengan lawan katanya, kecuali telah
mengalami penelitian terhadap syari. Setelah kami teliti sumber hukum-hukurn syari, ternyata antara taat dengan maksiat ada perantara yang menengahinya.
Ini disepakati atau hampir seperti disepakati, yaitu hal-hal yang mubah, yang pada hakikatnya bukanlah ketaatan jika dilihat dari sisi kemubahannya,
sehingga perintah dan larangan adalah dua hal yang berlawanan, yang ditengahi oleh suatu perantara yang tidak berhubungan dengan perintah atau
larangan, sebab mubah berhubungan dengan takhyir pilihan.
Jika kita perhatikan, maka sesuatu yang makruh —sebagaimana ditetapkan oleh ahli ushul— mempunyai dua sisi:
27
Sis Pertama Sisi dimana sesuatu yang makruh itu dilarang. Di sini terdapat
kesamaan dengan sesuatu yang diharamkan, karena sama-sama dilarang. Mungkin akan dipahami bahwa melanggar larangan yang sifatnya makruh
adalah sebuah kemaksiatan, karena mempunyai kesamaan dengan sesuatu yang haram dari segi keumuman pelanggarannya.
Akan tetapi keumuman ini terhalang oleh sisi atau bagian yang lain, yaitu dari sisi bahwa pelakunya tidak mendapatkan celaan secara syari, tidak
dosa dan tidak dihukum. Dari sisi ini berbeda dengan sesuatu yang haram, tetapi mempunyai kesamaan dengan perkara mubah, sebab sesuatu yang
mubah untuk pelakunya tidak mendapatkan celaan, tidak ada dosa, dan tidak dihukum, maka mereka menghindari memberikan label maksiat untuk
perkara yang kedudukannya seperti ini. Bila telah tetap demikian dan kita dapatkan di antara taat dan maksiat
ada penengahnya, maka boleh saja bila bidah yang makruh dinisbatkan kepadanya. Allah SWT berfirman, .. .maka tidak ada sesudah kebenaran
itu, melainkan kesesatan.... Qs. Yunuus [10]: 32 Jadi, tidak ada sesuatu yang lain lagi kecuali kebenaran dan ia adalah
huda petunjuk. Adapun kesesatan adalah kebatilan, maka bidah yang makruh adalah sesat.
SiaKedua Penetapan bidah makruhah pada hakikatnya masih dalam taraf yang
perlu dicermati, jangan sampai ada orang yang terpedaya dengan sebuah istilah dari para ahli fikih dalam memberikan label makruh untuk sebagian
bidah. Hakikat masalahnya sebenarnya menunjukkan -penerj. bahwa bidah
27
Penulis menyebutkan tiga sisi.