Sekelumit Uraian tentang Hukuman untuk Pelaku Bidah

khusus terhadap kepentingan orang-orang awam serta menjamurnya kebodohan pada diri orang awam, sehingga mereka tidak dapat membedakan antara Sunnah dengan bidah. Bahkan keadaan telah berbalik, yang Sunnah menjadi bidah, sehingga mereka berpijak bukan pada tempatnya dan mengikuti jalan yang —dianggap— lurus, padahal itu bukan jalan yang lurus, sehingga tersebar penyakit di mana- mana, yang disebabkan ketiadaan dokter, seperti yang telah diceritakan dalam sejarah. Oleh sebab itu, kami tidak akan mengkhususkannya pada pembahasan tersendiri dan tidak pula berpanjang lebar dalam membahasnya, cukup membahasnya sekilas sebagai penutup dan pembahasan ini; penjelasan tentang macam-macam hukuman yang ditegakkan atas mereka dengan penjelasan secara global. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita. Kami katakan: Sesungguhnya pemberian sanksi atas mereka yaitu dengan diasingkan, disiksa, diusir, dibuang, atau diingkari, sesuai dengan status bidah itu sendiri berdasarkan besar tidaknya kerusakan yang ditimbulkannya terhadap ajaran agama, dan apakah pelakunya termasuk orang yang dikenal melakukan bidah tersebut? Apakah ia menyerukan bidah tersebut kepada orang lain? Apakah ia mengerjakannya karena kebodohan? Setiap bagian memiliki hukum-hukum ijtihad yang khusus, sebab tidak terdapat dalam syariat hukum had atas bidah yang tidak lebih atau kurang seperti hukum had yang telah ditetapkan pada kebanyakan perbuatan maksiat, seperti pencurian, penodongan, pembunuhan, menuduh istri berbuat zina, perkelahian, dan meminum khamer. Tidak ada salahnya para imam mujtahid mempertimbangkan perkara tersebut sesuai dengan kejadiannya dan memutuskan hukum dari hasil akal agar dapat membuat cabang-cabang atas hal-hal yang telah mereka ketahui dari sebagian nash, sebagaimana yang telah disebutkan. Seperti kelompok Khawarij, di dalam atsar disebutkan hukuman mati, dan juga yang telah dinukil dari Umar bin Khaththab RA tentang pembohong dari Irak. Telah disimpulkan dari perkataan ulama tentang perkara tersebut menjadi beberapa bagian, yaitu: Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin 1. Memberi nasihat dan pengajaran serta memberi pandangan dan dalil- dalil, sebagaimana kejadian yang dialami oleh Ibnu Abbas RA tatkala mendatangi kelompok Khawarij dan menasihati mereka sehingga dua ribu atau tiga ribu orang kembali kepada Islam. 2. Mengisolasi mereka dan meninggalkan percakapan serta ucapan salam mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian ulama salaf, dan yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab RA tentang kisah seorang pendusta dari Irak. 3. Sebagaimana Umar mengisolasi pembohong, maka yang sesuai dengan hal ini adalah penahanan atau pemenjaraan. 4. Memenjarakan mereka. Seperti halnya mereka telah memenjarakan Al Hallaj beberapa tahun sebelum mengeksekusinya. 5. Menceritakan keadaan dan ajaran yang mereka jalani dan menyebarkan berita bidah yang mereka perbuat, agar dapat diwaspadai serta tidak dapat dipengaruhi oleh mereka, sebagaimana yang telah diriwayatkan dari kebanyakan ulama salaf tentang perkara tersebut. 6. Memerangi mereka jika mereka memusuhi kaum muslim dan keluar dari kelompok Ahlus-Sunnah, sebagaimana Ali RA memerangi kaum Khawarij dan orang-orang yang menyelisihi Sunnah. 7. Mengeksekusi mereka jika tetap berbuat bidah setelah bertobat, yaitu bagi yang terang-terangan melakukan bidah, sedangkan yang sembunyi-sembunyi melakukannya berarti telah berbuat kekufuran atau yang semisalnya, sehingga tetap harus dibunuh tanpa bertobat terlebih dahulu. 8. Memasukkan perbuatan mereka sebagai bagian dari perbuatan munafik, seperti kelompok orang-orang zindik. 9. Pengafiran terhadap orang yang telah jelas tanda-tanda kekafirannya, sebagaimana bidah yang terang-terangan dalam perbuatan kufur, seperti kelompok Al lbahiyah dan Al Bathiniyah yang mengatakan tentang perkara hulul [yang meyakini Allah bersamanya di dalam Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin hatinya], atau tentang masalah-masalah pengingkaran terhadap Hari Akhirat. Oleh karena itu, sebagian ulama mujtahidin seperti Ibnu Thayyaib mengafirkan beberapa kelompok dan menegaskan hukuman atas perkara tersebut 10. Mereka tidak mendapat warisan dari kaum muslim, tidak dapat mewariskan hartanya kepada kaum muslim, dan jika meninggal dunia jenazahnya tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan di pekuburan kaum muslim, selama ia mengerjakan bidah secara terang-terangan. Sesungguhnya orang yang mengerjakan bidah secara sembunyi-sembunyi hukumnya sama seperti orang yang mengerjakan bidah secara terang-terangan. Ahli warisnya lebih mengetahui tentang harta warisan yang ditinggalkannya. 11. Perintah untuk tidak menikahkan mereka. Ini termasuk pengisolasian dan pemutusan hubungan. 12. Menghinakan mereka pada semua aspek kehidupannya, maka persaksian dan periwayatan mereka tidak dapat diterima, tidak diperbolehkan menjadi penguasa atau penegak hukum, dan tidak boleh menempatkan mereka sebagai imam atau khatib, kecuali telah diketahui periwayatan mereka dari sebagian ulama salaf. Para ulamanya berselisih pendapat tentang shalat di samping pelaku bidah, sebagai pelajaran agar mereka sadar atas kesalahan yang telah mereka lakukan. 13. Tidak menjenguk mereka jika sakit, sebagai tindakan penghinaan dan pemberian sanksi. 14. Meninggalkan penyaksian atas jenazah mereka. 15. Memukul mereka. Sebagaimana Umar RA memukul seorang pembohong. Telah diriwayatkan dari Malik RA tentang orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk. Orang tersebut dipukul sampai sakit dan dipenjara sampai mati. Saya pernah melihat dalam kitab sejarah tentang negeri Baghdad dari Asy-Syafii, ia berkata, Hukuman bagi orang-orang yang berselisih tentang Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin ilmu kalam adalah pukulan dan penelanjangan, kemudian dinaikkan ke atas unta dan diarak ke setiap penjuru dihadapan setiap kabilah, lalu diserukan, Ini hukuman bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As-Sunnah lalu memakai pendapatnya. Maksudnya adalah ahli bidah.

E. Mengkhususkan yang Umum dan Membatasi yang Mutlak

Jika dikatakan, Bagaimana semua ini dapat dibenarkan, sedangkan di dalam syariat telah ditetapkan dalil-dalil pengkhususan atas perkara-perkara yang umum dan mengikat semua perkara yang belum dikuatkan? Para ulama telah membuat cabang-cabang yang beraneka ragam dan membuat dasar- dasar darinya agar dapat diambil kesimpulan hukumnya yang sesuai dengan apa yang telah dibenarkan periwayatannya. Maka dapat dikatakan bahwa dalil-dalil nash yang tersurat akan keluar dari hal-hal yang dituju dengan adanya ijtihad, dan sudah pasti semua hasil ijtihad mengqiyaskan hukum yang telah dikhususkan. Oleh sebab itu, manusia membagi perkara bidah dan sama sekali tidak mencelanya secara mutlak. Kesimpulan perkataan mereka kembali kepada beberapa hal berikut ini: 1. Kembali kepada sabda Nabi SAW dalam hadits shahih, Barangsiapa membuat Sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Barangsiapa membuat Sunnah yang buruk maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka. Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi —ia telah men-shahih-kannya— bahwa Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa menunjukkan kebaikan maka baginya pahala orang yang mengerjakannya. Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa membuat Sunnah yang baik, kemudian perbuatan itu diikuti, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Barangsiapa membuat Sunnah yang buruk, kemudian perbuatan itu diikuti, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka. Hadits hasan shahih. Hadits-hadits ini menjelaskan dengan tegas bahwa orang yang membuat Sunnah yang baik balasannya adalah kebaikan, dan juga menjadi dalil atas seseorang yang berbuat bidah. Kalimat man sanna barangsiapa membuat Sunnah dinisbatkan kepada seorang mukallaf, bukan kepada Pembuat syariat Allah. Apabila maksudnya adalah orang yang mengerjakan Sunnah yang telah ditetapkan dalam syariat, maka tidak akan dikatakan dengan kalimat man sanna dan dalil dari perkara tersebut adalah sabda Rasulullah SAW, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin