Segi Kedua: Perselisihan karena Mengikuti Hawa Nafsu

para ahli fikih dengan para menteri, tetapi maksud Nasir tersebut tidak sampai kepada mereka. Berita tersebut sampai kepada Ibnu Lubabah, maka ia lalu berbicara kepada Nasir tentang sebagian temannya yang ahli fikih itu, Sebenamya mereka telah menghalangi keleluasaannya. Jika ia hadir maka ia akan memberikan fatwa tentang diperbolehkannya menerima ganti rugi. Hal ini berarti ia tetap mengikuti kebenaran. Para sahabat Ibnu Lubabah kemudian memperdebatkan permasalahan tersebut, maka Nasir memerintahkan mereka untuk mengembalikan Ibnu Lubabah kepada kondisinya yang semula melalui jalan musyawarah. Hakim kemudian memerintahkan mereka semua untuk kembali bermusyawarah tentang masalah tersebut. Saat para ahli fikih dan hakim berkumpul, Ibnu Lubabah datang untuk terakhir kalinya. Hakim dan Ibnu Baqi telah terlebih dahulu mengetahui keperluan mereka berkumpul dalam satu tempat, yaitu permasalahan yang menyangkut nama Ibnu Lubabah. Dalam perkumpulan itu semua orang yang hadir menghendaki seperti yang disuarakan pertama kali. Saat mendengar hal tersebut, Ibnu Lubabah diam tak berkata. Setelah itu hakim bertanya, Apa pendapatmu wahai Abu Abdullah? Ia menjawab, Apa yang dikatakan oleh Imam Malik adalah yang diyakini oleh para ahli fikih. Adapun bangsa Irak, mereka tidak membenarkan adanya pemenjaraan, padahal mereka adalah para ulama yang banyak diikuti oleh mayoritas masyarakat dunia. Adapun aku, lebih memilih untuk mengikuti perkataan ulama Irak, baik secara tindakan maupun pendapat. Para ahli fikih berkata, Subhanallah, kamu meninggalkan pendapat Imam Malik yang juga difatwakan oleh ulama salaf. Kami generasi setelahnya juga meyakini dan berfatwa dengan menggunakan pendapat tersebut. Sungguh, dalam hal tersebut tidak ada celah untuk membantahnya, sebab itu juga menjadi pendapat Amirul Mukminin dan para imam setelah mereka. Muhammad bin Yahya juga berkata kepada mereka, Kami beritahukan kepada kalian, bukankah telah turun kepada salah seorang dari kalian suatu musibah yang juga meluas kepada kalian semua jika kalian mengambil fatwa dalam urusan tersebut tanpa mengikutsertakan pendapat Imam Malik? Pada hal itu kalian telah membuat keringanan untuk diri kalian sendiri. Mereka lalu berkata, Benar. la lalu berkata, Ketahuilah, pendapat Amirul Mukminin lebih utama untuk diikuti, maka ambillah, dan ikuti pula mereka yang mengikutinya, sebagai teladan bagi kalian, sebab mereka semua memang pantas untuk diikuti. Mereka yang hadir pun diam tak berucap. Mendengar hal ini hakim berkata, Kita cukupkan pendapat ini dengan adanya pendapat dari Amirul Mukminin. Setelah itu hakim menulis surat keputusan bersama yang ditujukan kepada Amirul Mukminin, sedangkan ia tetap di tempatnya hingga datang jawaban dari yang bersangkutan, agar mereka bisa mengambil atau menolak pendapat yang dilontarkan oleh Ibnu Lubabah. Setelah jawaban yang ditunggu datang kepada mereka, maka semua tindakan yang akan diambil oleh hakim didasarkan pada perkataan Ibnu Lubabah, dan semua yang hadir menjadi saksi. Sementara itu Ibnu Lubabah tetap mengikuti hasil musyawarah hingga meninggal dunia pada tahun 336 H. Al Qadhi Iyadh berkata, Aku menyebutkan khabar ini dihadapan para syaikh kami untuk kali pertama, lalu ia berkata, Khabar ini hendaknya diletakkan pada hasil yang telah dipertentangkan, sebab hal itu lebih baik dan lebih kuat daripada masalah itu sendiri. Demikian kira-kira perkataannya. Jadi, pikirkanlah cara pengikut hawa nafsu ini memainkan perannya, padahal semestinya mereka menyerahkan permasalahannya kepada orang yang membuat masalah, walaupun yang demikian itu tidak sah bila dilihat dari dua sisi berikut ini: 1. Tidak adanya kejelasan hukum dari satu madzhab pun, karena ulama Irak juga tidak membatalkan adanya pemenjaraan. Demikianlah menurut pendapat yang benar. Adakah orang yang mengambil hukum dengan seenaknya tanpa diperiksa terlebih dahulu, karena hal itu masih bisa diperdebatkan oleh mereka? Apa yang mereka yakini itu berasal dari madzhab Maliki, walaupun hal tersebut ada dalam kitab madzhab Hanafi. 2. Jika kita menerima keputusan yang ada, maka tidak sah bagi seorang hakim untuk menentukan satu hukum karena cinta, emosi, atau ada unsur kepentingan. Namun langkah yang benar adalah mendasarkannya pada hukum syari, sebab itulah yang disepakati oleh para ulama. Adapun aktivitas yang didasari oleh taqlid, maka hal itu tidak benar dan tidak berdasar pada syariat. Semoga Allah memberi ampunan kepada kita dengan karunia-Nya. Keputusan yang tertuang dalam fatwa yang disebutkan tadi adalah sesuatu yang tidak sah, karena termasuk bidah dalam agama Allah, seperti akal yang rnenghukumi hal-hal yang bersifat agamis. Hal itu akan disebutkan kemudian, insya Allah. Dalam Al Quran disebutkan tentang mereka yang mengikuti hawa nafsu, yaitu yang berjalan tidak di atas shirathal mustaqim. Allah berfirman, Dialah yang menurunkan Al Kitab Al Quran kepada kamu, di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat yang terang dan tegas maksudnya itulah pokok-pokok isi Al Quran dan yang lain ayat-ayat mutasyabih 43 . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Qs. Aali Imraan [3]: 7. Maksudnya adalah perbuatan mereka yang hanya meninggalkan hal-hal yang jelas untuk mengikuti yang belum jelas hukumnya. Tentu saja hal itu bertentangan dengan jiwa yang menyuarakan suatu yang hak. Dalam riwayat Ibnu Abbas —disebutkan— bahwa orang Khawarij itu hanya mengimani yang muhkam dan tidak menggunakan yang mutasyabih. la lalu membacakan ayat tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Wahab. Ada juga ayat yang mencela perbuatan mereka, Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. 43 Ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam. Atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya diketahui oleh Allah. Qs. Al Jaatsiyah [45]: 23 Al Qur’an menyebutkan hawa nafsu hanya untuk menghinakan, seperti dalam surah Al Qashash ayat 50,Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Banyak lagi ayat lainnya. Alkisah ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Ibrahim An-Nukhai tentang hawa nafsu, Dimanakah kebaikannya? la menjawab, Allah sama sekali tidak menjadikan kebaikan darinya, walaupun sebesar biji dzarrah, sebab ia hanya hiasan syetan. Yang lebih baik dan tepat adalah perbuatan yang dilakukan oleh salafush-shalih. Ada juga sebuah cerita tentang seorang laki-laki yang berkata kepada Ibnu Abbas, Aku mengikuti hawa nafsumu. Ia pun menjawab, Hawa nafsu semuanya sesat, jadi apa yang kamu maksud dengan mengikuti hawa nafsumu?

C. Sisi Ketiga: Perselisihan karena Bersikeras untuk Mengikuti Paham yang Salah dan Bertentangan

dengan Kebenaran Hal ini kebanyakan terjadi pada individu yang mengikuti keyakinan nenek moyang dan para syaikh, atau hal-hal lainnya. Hal ini dinamakan juga at-taqlid al madzmum taklid yang tercela, seperti yang tertuang dalam ayat yang mencelanya, yakni, Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama. Qs. Az-Zuhruf [43]: 22 Rasul itu berkata, Apakah kamu akan mengikutinya juga sekalipun aku membawa untukmu agama yang lebih nyatamemberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya? Qs. Az-Zuhruf [43]: 24 Berkata Ibrahim, Apakah berhala-berhala itu mendengar doamu sewaktu kamu berdoa kepadanya?Qs. Asy-Syuaraa ’ [26]: 72. Allah juga memperingatkan mereka dengan dalil yang jelas terhadap keyakinan mereka yang hanya bertaqlid kepada keyakinan bapak-bapak mereka. Mereka berkata, Bukan karena itu sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian. {Qs. Asy-Syuaraa [26]: 74. Hal ini juga dijelaskan dalam hadits yang telah disebutkan pada pembahasan yang lalu, yaitu, Manusia mengambil pemimpin-pemimpin —bagi mereka— dari kalangan orang-orang bodoh.... Tentu saja hal ini akan membuat seseorang mengikuti siapa pun yang mereka kehendaki. Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib RA, Berhati-hatilah kalian dalam mengikuti jejak seseorang, sebab seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga kemudian dengan sepengetahuan Allah ia berganti amal dengan amalan ahli neraka, lalu ia meninggal dunia, maka ia termasuk ahli neraka. Sedangkan seseorang yang beramal dengan amalan ahli neraka kemudian dengan sepengetahuan Allah ia berganti dengan amalan ahli surga, maka ia termasuk ahli surga. Jika kalian —disuruh— melakukan sesuatu, maka ikutilah mereka yang telah meninggal dunia, dan bukan mereka yang masih hidup. Hadits tersebut mengisyaratkan kepada kita untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama dengan hati-hati. Selain itu, seseorang hendaknya menanyakan setiap perbuatan yang ia lakukan kepada seseorang yang ilmunya paten. Ada orang yang berkata, Janganlah melihat pada amalan orang yang alim, namun tanyakanlah, dan jika ia membenarkan —maka lakukanlah apa yang kamu tanyakan—. Orang yang paling lemah adalah orang yang melakukan perbuatan berdasarkan sesuatu yang ia lihat atau karena meniru perbuatan orang yang ia anggap alim, padahal bisa jadi orang lain tersebut melakukannya karena ia sedang lupa, yang demikian itu bukanlah yang selalu dilakukan oleh penduduk Madinah atau seperti perbuatan lainnya. Sebab, setiap gerak ada alasannya, seperti yang ditetapkan oleh para ulama, bahwa segala sesuatu yang kita pertentangkan tidak mendapat tempat di dalamnya. Ada Ali bin Abu Thalib RA berkata, Kalaupun kalian harus melakukan —apa yang kalian anut—, maka pilihlah mereka yang telah meninggal dunia —sebagai panutan—. Yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah para sahabat dan mereka yang mengikuti perkataan para sahabat serta mendasarkan perbuatan mereka terhadap fatwa mereka para sahabat. Bagi mereka yang berseberangan dengan apa yang telah dijelaskan, berarti tidak masuk di dalamnya. Hal ini seperti orang yang melihat orang lain baik dalam itiqad-nya, namun perbuatannya masih bersifat kemungkinan —antara benar dan salah— sebab bisa jadi perbuatannya tersebut tidak diperintahkan atau dilarang oleh syariat, kemudian ia mengikutinya secara mutlak dan menyandarkan amal ibadahnya kepadanya. Yang lebih parah lagi, orang tersebut menjadikannya sebagai argumentasi dalam agama Allah. Inilah yang disebut dengan kesesatan yang nyata. Sebab, mengapa orang tersebut tidak mengokohkan keyakinannya tersebut dengan bertanya dan berdiskusi dengan orang yang lebih paten ilmunya dan yang termasuk ahli fatwa? Sisi inilah yang banyak digandrungi oleh kebanyakan generasi belakangan, terutama mereka yang disebut sebagai orang awam yang selalu mengekor dan meniru. Jika mereka sepakat untuk menyandarkan segala aktivitasnya kepada seorang syaikh yang bodoh atau yang belum sampai ke derajat ulama, maka mereka akan melakukan amalan yang mereka anggap sebagai ibadah, lalu mereka menirunya, bagaimanapun bentuk amalan tersebut, baik bertentangan dengan syariat maupun justru berdampingan dengan syariat. Walaupun demikian, orang tersebut masih membantah dengan argumentasi, Syaikh yang bernama Fulan adalah seorang wali, dan perbuatannya lebih patut untuk diikuti daripada para ulama sekarang. Sebenamya perbuatan tersebut lebih tepat jika dikatakan sebagai taklid, karena ia melihat dengan kaca mata husnuzh-zhan, baik yang ia ikuti benar maupun salah. Mereka yang bertaklid sama saja seperti orang yang mengikuti nenek moyang mereka. Walaupun demikian, mereka mengatakan bahwa nenek moyang mereka bukanlah golongan yang suka menjiplak seperti permasalahan ini. Yang mereka inginkan dari perkataan ini adalah dijadikannya sebagai dasar dan argumentasi bagi mereka, walaupun yang nampak adalah keadaan mereka yang sama sekali tidak memilikinya dan tidak ada satu dasar pun yang mengarahkan mereka.