Segi Pertama: Perselisihan pada Sumber Kepercayaan atau Keyakinan

Diriwayatkan dari Ibnu Wahab, dari Umar bin Abdul Aziz, dia mengatakan bahwa firman Allah Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka maksudnya adalah Allah menciptakan ahli rahmat itu agar mereka tidak saling berselisih. Makna ini dikutip dari Malik dan Ath-Thawus di masjid Jami. Adapun orang-orang selain mereka, akan tetap berselisih pendapat, menyelisihi yang benar dan yang jelas keputusan hukumnya serta membuang ajaran yang benar. Imam Malik juga berpendapat bahwa orang-orang yang telah diberi rahmat oleh Allah tidak akan saling berselisih, sebagaimana firman Allah SWT Manusia itu adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan... Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Qs. Al Baqarah [2]: 213 Adapun pengertian dari Manusia itu adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah mengutus para nabi, maknanya adalah manusia saling berselisih pendapat dan tidak saling bermufakat, sehingga Allah mengutus para nabi kepada manusia, guna memberikan keputusan terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Orang-orang yang beriman pasti diberi petunjuk oleh Allah SWT tentang kebenaran dari perkara yang mereka perselisihkan. Dalam hadits shahih, Kami adalah orang-orang terakhir —namun kami adalah— orang- orang yang pertama pada Hari Kiamat, hanya karena mereka diturunkan kitab sebelum kita dan kita diturunkan kitab sesudah mereka. Ini adalah hari mereka hari Jum at yang diwajibkan Allah atas mereka, maka mereka sating berselisih di dalamnya, lalu Allah menentukan kepada lata untuknya, maka manusia mengikutikita daJam hal tersebut. Sedangkan orang-orang Yahudi besok hari Sabtu dan orang-orang Nasrani lusa hari Minggu. Ibnu Wahab menolak pendapat Zaid bin Aslam tentang firman Allah SWT Manusia itu adalah umat yang satu maksudnya pada hari itu manusia diambil janjinya, sehingga mereka belum menjadi umat yang satu selain pada hari itu. Maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Qs. Al Baqarah 2]: 213 Mereka berselisih pendapat tentang hari Jumat, maka ditentukan bahwa hari orang Yahudi adalah hari Sabtu dan orang Nasrani hari Minggu. Allah memberikan petunjuk bahwa hari umat Muhammad SAW adalah hari Jumat. Mereka berselisih pendapat tentang arah kiblat; orang Nasrani menjadikan arah Timur sebagai kiblat mereka, orang Yahudi menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblat mereka, dan Allah memberi petunjuk bahwa umat Nabi Muhammad SAW memiliki kiblat Kabah. Mereka berselisih pendapat tentang shalat; ada yang melakukan ruku namun tidak melakukan sujud, sebagian lagi ada yang melakukan sujud namun tidak melakukan ruku. Ada yang melakukan shalat tapi hanya diam saja, dan ada yang melakukan shalat sambil berjalan. Allah lahi memberi petunjuk kepada umat Nabi Muhammad SAW tentang cara shalat yang benar. Mereka berselisih pendapat tentang puasa; ada yang berpuasa setengah hari dan ada yang berpuasa hanya terhadap makanan-makanan tertentu. Allah SWT lalu memberi petunjuk kepada umat Nabi Muhammad SAW tentang cara berpuasa yang benar. Mereka berselisih pendapat tentang keberadaan Nabi Ibrahim AS; orang Yahudi mengatakan bahwa Nabi Ibrahim AS adalah orang Yahudi, sementara orang Nasrani mengatakan bahwa Nabi Ibrahim AS adalah orang Nasrani. Allah lalu menjadikan Nabi Ibrahim AS sebagai seorang muslim yang lurus dan menunjukkan kebenaran itu kepada umat Nabi Muhammad SAW. Mereka berselisih pendapat tentang Nabi Isa AS; orang Yahudi mengafirkan Nabi Isa AS dan menganggapnya sebagai pembohong besar, sementara umat Nasrani menjadikan Nabi Isa AS sebagai tuhan anak. Allah SWT lalu menjadikan Nabi Isa AS sebagai nabi yang membawa wahyu-Nya dan menunjukan kembali kebenaran itu kepada umat Nabi Muhammad SAW. Sebenamya orang-orang yang bermufakat itu bermaksud menjadikan suatu perselisihan hanya terhadap materi yang kedua, bukan materi yang utama, karena Allah SWT telah menetapkan bahwa di dalam cabang-cabang agama tersebut terdapat pelbagai perkara yang meragukan dan membutuhkan penelitian. Para peneliti ini menetapkan bahwa hasil penditian mereka tidak mungkin selalu sama, dan sikap praduga ini sudah mengakar di pelbagai tempat yang berpotensi rnenirnbulkan perselisihan. Akan tetapi perselisihan tersebut hanya terjadi pada masalah furu iyah, bukan pada masalah yang prinsip, dan pada masalah yang jus’iyah, bukan pada masalah yang kulliyah. Oleh karena itu, perselisihan ini tidak berbahaya. Para ahli tafsir mengutip dari Al Hasan tentang ayat ini, ia berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahli rahmat adalah mereka yang tidak saling berselisih pendapat dengan perselisihan yang membahayakan diri mereka terhadap permasalahan ijtihad yang tidak memiliki nash-nash, dengan menghilangkan suatu alasan, bahkan terhadap alasan yang terpenting. Jalan keluar untuk mengetahui materi perselisihan yang sedang terjadi adalah dengan cara mengembalikannya kepada sumbernya, sebagaimana firman Allah SWT, Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Al Quran dan Rasul Sunnahnya. Qs. An-Nisaa [4]: 59 Allah memerintahkan agar setiap perselisihan yang terjadi pada mereka dikembalikan kepada Allah Al Qur’an dan Rasulullah SAW jika beliau masih hidup, namun jika telah meninggal dunia maka dikembalikan kepada Sunnah beliau. Hal inilah yang dilakukan oleh para ulama. Jika ada yang berkata, Apakah mereka ini golongan ahli rahmat yang berselisih pendapat termasuk golongan yang ada dalam finnan Allah, Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.? Maka jawabannya: Tidak, tidak benar mengategorikan ahli rahmat ini ke dalam kelompok yang berselisih tersebut dari segi apa pun, karena: 1. Ayat ini menunjukkan bahwa kelompok yang berselisih tersebut berbeda dengan kelompok ahli rahmat, sebagaimana firman Allah, Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Qs. Huud [11]: 118-119 Di dalam ayat ini terdapat dua golongan, yaitu golongan yang selalu berselisih pendapat dan golongan yang diberi rahmat. Jadi, jelas sekali perbedaannya, bahwa ahli rahmat bukanlah bagian dari golongan yang selalu berselisih pendapat. Jika kata pengecualian ini diartikan bahwa suatu bagian kelompok itu mengambil bagian kelompok lainnya, maka pengertian dari istina di sini tidak tercapai. 2. Dalam ayat, Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, jelas sekali bahwa sifat perselisihan itu sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka, sehingga nama pelaku mudah diucapkan dan paten. Sementara itu, kelompok ahli rahmat terbebas dari sifat yang demikian, karena sifat orang yang mendapatkan rahmat adalah menafikan adanya sifat paten yang selalu memperselisihkan. Jika terjadi suatu perselisihan di antara mereka terhadap suatu masalah, maka mereka melakukan penelitian untuk mencari solusinya. Bila telah jelas bahwa dirinya bersalah, maka dengan sendirinya ia memperbaiki kembali permasalahan itu. Lagi pula, perselisihan yang terjadi pada mereka dilakukan dengan cara yang terpuji dan objeknya bukan pada masalah yang esensial. Perselisihan itu tidak dijadikan sebagai perkara yang biasa dan kontinu. Di dalam perselisihan itu mengandung penjelasan yang menuntut adanya perbaikan-perbaikan untuk mewujudkan pencerahan pada berbagai bidang. 3. Perselisihan yang terjadi di antara sebagian kelompok ahli rahmat terhadap masalah ijtihad adalah para sahabat dan pengikutnya yang baik, sehingga tidak benar jika mengategorikan mereka ke dalam kelompok yang suka berselisih. Meskipun di dalam kelompok ini terdapat orang-orang yang berselisih pendapat terhadap berbagai masalah, dan jumlah mereka sepadan dengan kelompok yang berselisih, namun tetap tidak benar jika mengingkari suatu kebenaran bahwa mereka adalah kelompok yang diberi rahmat, dan hal itu akan menggugurkan kesepakatan Ahlus-Sunnah. 4. Salafush-shalih menganggap bahwa perselisihan umat terhadap masalah furu adalah bagian dari rahmat. Jadi, jika perselisihan itu merupakan bagian dari rahmat, maka tidak mungkin orang yang melakukan perselisihan tersebut keluar dari kelompok yang telah diberi rahmat. Adapun penjelasan tentang keberadaan perselisihan tersebut sebagai rahmat adalah sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Qasim bin Muhammad, ia berkata, Sesungguhnya Allah memberikan manfaat dengan adanya perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Nabi SAW dalam suatu perbuatan. Seseorang di antara kalian tidak dapat dikatakan telah melakukan perbuatan seseorang dari mereka kecuali telah mengerti akan perbuatannya itu. Diriwayatkan dari Dumrah bin Raja, ia mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz berkumpul bersama Qasim bin Muhammad, lalu keduanya berdiskusi. Dikatakan bahwa Umar menghadirkan suatu perkara yang membuat Qasim berselisih pendapat dengannya, dan hal tersebut telah menyusahkan Qasim, sehingga Umar menjelaskan kepada Qasim tentang perkara tersebut, ia berkata, Kamu tidak melakukan sesuatu yang membuatku merasa senang dengan adanya perselisihan di antara manusia. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Qasim, ia mengatakan bahwa Qasim merasa kagum dengan perkataan Umar bin Abdul Aziz, Aku tidak suka jika para sahabat Nabi Muhammad SAW tidak saling berselisih pendapat, karcna jika hanya ada satu pendapat, maka hidup manusia menjadi sempit. Mereka adalah umat yang selalu akan diikuti, maka seandainya ada orang yang mengikuti pendapat salah satu dari mereka, berarti hal tersebut merupakan Sunnah. Artinya, para sahabat salafush-shalih membukakan pintu ijtihad bagi manusia dan memperbolehkan mereka untuk saling berselisih pendapat terhadap suatu perkara. Seandainya para sahabat tidak membukakan pintu ijtihad, maka kondisi ini akan menyulitkan para mujtahid, mengingat materi ijtihad dan materi orang-orang yang berprasangka itu terkadang tidak ada titik temunya, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Para mujtahid akan merasa terbebani dengan hanya mengikuti perkara yang mereka ragukan dan perselisihkan. Kondisi tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab dan kesulitan yang sangat berat, maka Allah memberikan keleluasaan kepada manusia dengan adanya perselisihan terhadap masalah furu iyah dan membukakan pintu ijtihad kepada mereka agar masuk dalam kelompok ahli rahmat. Bagaimana mungkin mereka tidak dapat dikategorikan sebagai kelompok yang telah diberikan rahmat oleh Tuhan mereka, sedangkan perselisihan mereka terhadap masalah furuiyah sama nilainya dengan kesepakatan mereka terhadap masalah tersebut? Alhamdulillah. Di antara kedua metode tersebut terdapat jalan tengah yang posisinya lebih rendah daripada metode yang pertama dan lebih tinggi daripada metode yang kedua, yaitu kesepakatan yang terjadi pada masalah usiuagama, sedangkan perselisihan pendapat terjadi pada masalah kaidah-kaidah al kulliyah, dan inilah yang menyebabkan munculnya perbedaan dalam kelompok-kelompok. Mungkin saja ayat tersebut mengandung pengertian bahwa kelompok ahli rahmat yang berselisih pendapat itu termasuk kelompok yang berselisih pendapat. Hal tersebut telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa umatnya kelak akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan. Mereka akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan perilaku orang-orang sebelum mereka, sedikit demi sedikit. Perselisihan tersebut telah terjadi pada masa orang- orang sebelum kami dan sikap tersebut tetap dipertahankan oleh kelompok ahli bidah dengan cara yang sesat, yang membuat mereka jauh dari rahmat. Nabi Muhammad SAW telah memberikan petunjuk kepada kami melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, ia berkata, Ketika Nabi Muhammad SAW hadir 39 —dikatakan bahwa di dalam rumah terdapat banyak orang, diantaranya adalah Umar bin Khaththab RA— Nabi bersabda, Kemarilah, aku akan menuliskan mewasiatkan sebuah kitab kepada kalian, dimana kalian tidak akan tersesat setelahnya. Umar berkata, Nabi SAW sedang mengalami sakit parah yang mengantarkan beliau para kematian, dan di sisi kalian terdapat Al Qur an, maka kami merasa cukup puas dengan kitab Allah. Lalu terjadilah perselisihan pendapat di kalangan ahli bait, sebagian dari mereka ada yang berkata, Mendekatlah kalian, Rasulullah SAW akan menuliskan kitab kepada kalian agar kalian tidak tersesat setelah beliau —meninggal dunia—. Sebagian lagi mengatakan sebagaimana yang telah dikatakan Umar. Ketika terjadi kericuhan dan perselisihan di sisi Nabi SAW, beliau bersabda, Bangkitlah kalian dariku. Ibnu Abbas berkata, Sesungguhnya musibah dari segala musibah tidak berlalu tetap berada di antara nabi SAW dan menulis sebuah kitab bagi mereka dikarenakan adanya perbedaan dan kesalahan mereka. Adapun yang dimaksud dengan kitab ini —hanya Allah Yang Maha Tahu akan kebenarannya— adalah wahyu yang telah Allah berikan kepada beliau SAW. Jika beliau menuliskan mewasiatkan kitab tersebut kepada 39 Yaitu ketika ajal akan menjemput beliau. Hadits ini shohih. Dalam periwayatannya terdapat perselisihan pada lafazhnya, namun tidak merubah maknanya. umatnya, maka mereka diharapkan tidak akan hidup dalam kesesatan setelah kepergian beliau. Oleh karena itu, umat Nabi SAW tidak termasuk golongan yang disebutkan di dalam firman Allah, Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, melainkan termasuk golongan Orang-orangyang telah diberi rahmat oleh Tuhanmu. Allah menolak kecuali sesuatu yang Dia ketahui terlebih dahulu dari perselisihan mereka sebagaimana selain mereka yang sedang berselisih. Kami meridhai keputusan Allah serta kekuasaan-Nya, dan kami memohon agar Dia selalu mengokohkan kami di atas Kitab serta Sunnah, dan mematikan kita dalam keadaan seperti itu. Sebagian besar ahli tafsir mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang selalu berselisih pendapat pada ayat tersebut adalah kelompok bidah, sementara orang- orang yang telah diberikan rahmat oleh Tuhanmu adalah Ahlus-Sunnah. Perlu Anda ketahui bahwa perselisihan yang terjadi pada sebagian kaidah alkulliyah tidaklah terjadi pada adat kebiasaan yang selaras dengan orang yang sedang mendalami ilmu syariat, yang berdinamika dengan hal- hal yang berat serta yang mengetahui maksud-maksud dan dasar-dasarnya. Bukti tentang hal tersebut adalah terjadinya kesepakatan antara periode pertama dengan mayoritas periode kedua terhadap masalah tersebut. Kalaupun ada perselisihan, maka hal itu terjadi pada perkara furu. Namun perselisihan terjadi setelah periode tersebut, yang memiliki tiga sebab yang terkadang terkumpul dan terkadang terpecah: Salah satunya, manusia memiliki keyakinan pada dirinya sendiri atau diyakinkan bahwa ia adalah bagian dari ilmuwan serta mujtahid dalam agama —namun sebenamya ia belum sampai pada derajat tersebut— dan ia berlaku seperti itu, sedangkan pendapatnya terhitung sebagai pendapat akal dan perselisihannya tergolong sebagai perselisihan murni. Terkadang perselisihan terjadi pada masalah juzi, dan furu, namun terkadang terjadi pada masalah kulliyah dan usftuagama — us?ukeyakinan atau bagian dari dasar-dasar perbuatan—. Pada suatu waktu Anda melihatnya mengambil Sebagian juz’iyah dalam hal syariat, guna menghancurkan kulliyat-nya, sehingga ia menjadikan sesuatu —yang sebenamya adalah cabang— nampak seperti dasar atau pokok. Pemikirannya itu tidak diimbangi dengan pengetahuan yang baik terhadap makna dari ilmu tersebut dari berbagai segi, dan ia tidak memiliki keteguhan dalam memahami maksud dari ilmu tersebut. Orang inilah yang dikatakan sebagai pembuat bidah, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi SAW, Allah tidak akan mencabut iltnu dengan cara langsung dari manusia, tetapi Allah mencabut ilmu tersebut dengan mematikan para ulama, hingga jika orang yang berilmu sudah tidak ada, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin-pemimpin mereka. Mereka ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan. Hadits shahih. Sebagian ulama berkata, Kira-kira hadits ini menunjukkan bahwa manusia tidak pernah mendatangi ulama mereka ketika mereka masih hidup tetapi justru mendatangi ulama mereka ketika ulama mereka telah meninggal dunia. Mereka lalu meminta fatwa kepada orang yang tidak berilmu. Dalam kalimat tersebut mengandung banyak makna, dikatakan, Orang yang jujur tidak pernah berkhianat, tetapi ia mempercayai orang yang tidak jujur, lalu ia berkhianat. Kami berkata, Orang yang berilmu tidak akan pernah melakukan bidah, akan tetapi ia meminta fatwa kepada orang yang tidak berilmu. Malik bin Anas berkata, Suatu hari Rabiah Al Adawiyah menangis tersedu-sedu, lalu Malik bertanya kepadanya, Apakah kamu tertimpa musibah? Rabiah menjawab, Tidak tetapi akan ada orang yang meminta fatwa kepada orang yang tidak berilmu. Hal inilah yang menyebabkan Rabiah menangis. Dalam hadits Al Bukhari dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW 40 bersabda, Sebelum datangnya Hari Kiamat akan ada tahun- tahun masapenuh dengan kebohongan. Pada saatitu orang yang menipu dianggap benar, sedangkan orang yang baik dianggap berbohong. Mereka mengkhianati 40 Kami tidak mengetahui apakah ini hadits Al Bukhari atau hadits Muslim. Hadits ini disanadkan oleh Ahmad dan lafazhnya dipertegas oleh Ibnu Majah, Aam dotang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan kebohongan. Pada masa itu seorang penipu dianggap benar sedangkan orang yang benar dianggap berbohong. Seorang pengkhianat diberi kepercayaan sedangkan orang yang jujur dikhianati. Ar-Ruwaibidhah pun berbicara dalam hal tersebut. Lalu ditanyakan, Apakah yang dimaksud dengan Ar-Ruwaibidnah? Beliau lalu bersabda, Orang yang bodoh dalam perkara-perkara umum. Yang dimaksud dengan perkara umum adalah hal-hal yang dibicarakan dalam perkara-perkara umum dan pelbagai kemaslahatan. Ia adalah serendah- rendahnya manusia. Tahun-tahun kebohongan adalah suatu masa yang saat itu manusia menjadi haus dengan kemewahan dan kenikmatan, namun mereka tidak dapat meraihnya. Hadits ini disanadkan oleh Ibnu Majah dan Ishaq bin Bakr bin Abu Farrat. Adz-Dzahabi berkata. la adalah majhuL Dikatakan bahwa ia adalah munkar. Hal ini juga disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqat. Hal ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Al Hakim dalam kitab Al Kunni serta Ibnu Asakir dari hadits Auf bin Malik Al Asyjai dengan lafazh, Di antara tahun-tahun sebelum Kiamat penuh dengan kebohongan. Pada saat itu orang yang jujur diperlakukan dengan buruk, sementara seorang pengkhianat diberi kepercayaan. Chang yang jujur dianggap penipu, sedangkan seorang penipu dianggap baik. Ar-Ruwaibidhah pun berbicara. Mereka bertanya, Ya Rasulullah, siapakah Ar-Ruwaindhah? Rasulullah menjawab, la adalah orang bodoh yang berbicara tentang permasalahan umum. Diriwayatkan dari hadits Anas dengan lafazh, Tahun- tahun kebohongan itu terjadi sebelum adanya DajjaL... Nuaim bin Hammad meriwayatkan —tentang fitnah-fitnah— dari Abu Hurairah dalam hadits, Dajjal ada pada masa tahun-tahun kebohongan, sebelum Nabi ha AS keluar... Ar- Ruwaibidhah juga berbicara tentang manusia. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Auf bin Malik dengan lafazh, Tahun-tahun kebohongan itu terjadi sebelum adanya Dajjal. Orang yang amanah dan mempercayai orang yang berkhianat, dan Ar-Ruwaibidhah berbicara. Mereka berkata bahwa ia adalah seorang yang bodoh yang berbicara tentang pelbagai masalah umum, sepertinya sudah tidak ada lagi seorang pakar yang dapat berbicara tentang masalah umum tersebut, maka dia tampil untuk berbicara. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab RA, ia berkata, Tahukah kamu siapa 41 yang menghancurkan manusia? Yaitu ilmu fikih yang datang dari ash-shighar dan ditentang oleh al kabir. Apabila ilmu fikih datang dari al kabir dan diikuti oleh ash-shaghir, maka keduanya mendapatkan petunjuk. Ibnu Masud RA berkata, Manusia akan senantiasa menjadi baik selama mereka mengambil ilmu pengetahuan dari al akabir. Namun apabila mereka mengambilnya dari ash-ashaghir dan orang-orang jahat, maka mereka akan hancur. Para ulama berselisih pendapat tentang maksud kata ash-shaghir dan perkataan Umar. Ibnu Mubarak berkata, Mereka adalah ahli bidah, karena ahli bidah adalah orang yang paling minim dalam ilmu pengetahuan. Al Baji berkata, Yang dimaksud dengan ash-shaghir adalah mereka yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, seperti yang ia kutip dari pemyataan Umar. Ia Umar mengisyaratkan bahwa ash-shaghira adalah orang yang mahir dalam membaca dan bermusyawarah. Mereka berusia antara 30-50 tahun. Al Baji juga berkata, Ash-shaghir sebenarnya tidak memiliki kemampuan dan mereka mengenyampingkan agama. Namun bagi yang memiliki keduanya, harus disebut seperti apa adanya ia dan dimuliakan lantaran kemampuannya. Uraian tersebut diperjelas dengan hadits Nabi SAW yang disampaikan oleh Ibnu Wahab —dengan sanad maqtu —dari Al Hasan, beliau bersabda, Seseorang yang melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan sama 41 Mungkin saja ia menggunakan kata kapan, namun hukufhya di-nosokh, maka ditulis dengan kata siapa.. seperti seseorang yang berjalan tidak pacta tempatnya. Seseorang yang melakukan suatu pekerjaan tanpa memiliki ilmu pengetahuan, maka ia akan merusak sebagian besar kemaslahatan. Tuntutlah ilmu dengan harapan tidak mendatangkan bahaya dengan mengabaikan ibadah, dan laksanakanlah ibadah dengan harapan tidak mendatangkan kerugian dengan mengabaikan ilmu. Sesungguhnya kaum itu melaksanakan ibadah namun mengabaikan ilmu, sehingga mereka melawan umat Nabi Muhammad SAW dengan pedang mereka. Meskipun mereka menuntut ilmu, namun ilmu tersebut tidak menuntun apa yang telah mereka perbuat. Mereka itu adalah kaum Khawarij. Hanya Allah Yang Maha Tahu kebenarannya, karena meskipun mereka membaca Al Qur’an, tetapi mereka tidak memahami isinya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Nabi berikut ini, Mereka membaca Al Qur an —tetapi bacaannya— tidak melampaui kerongkongan mereka. Diriwayatkan dari Makhul, ia berkata, Pemahaman orang yang tak berakal akan menyebabkan rusaknya agama dan dunia, sedangkan pemahaman orang yang hina adalah rusaknya agama. Al Faryabi berkata, Jika Sufyan Ats-Tsauri melihat orang-orang rendahan orang bodoh sedang menulis ilmu, maka berubahlah raut wajahnya. Aku lalu bertanya kepadanya, Wahai Abu Abdullah, aku melihat Anda sangat marah ketika menyaksikan orang-orang bodoh itu menulis ilmu. Ia menjawab, Ilmu itu berada di Arab dan berada di tangan orang-orang yang mulia. Jika ilmu itu pindah dari mereka dan menuju orang-orang rendahan, maka agama akan berubah. Jika penjelasan tersebut dipakai untuk menerangkan maksud perkataan Umar, maka akan menjadi baik dan lurus, sebab secara tersurat kata-katanya mengundang masalah. Semoga Anda dapat memberantas kelompok bidah dari ahli kalam dan memberantas jumlah serta kekuasaan mereka dari keturunan para pengikut mereka yang setia. Jika seseorang tidak memiliki kemurnian bahasa Arab, maka ia tidak dapat memahami kitab Allah sesuai dengan maksud yang sebenarnya, sebagaimana orang yang tidak memahami maksud ilmu syariah, maka pemahamannya tidak akan sesuai dengan tujuan ilmu tersebut.

B. Segi Kedua: Perselisihan karena Mengikuti Hawa Nafsu

Oleh karena itu, ahli bidah dinamakan juga dengan pengikut hawa nafsu, karena mereka menuruti hawa nafsu dan tidak memposisikan dalil- dalil syari sebagai kebutuhan yang seharusnya mereka gunakan sebagai tempat bersandar pedoman. Bahkan mereka lebih mengedepankan hawa nafsu dan berpegang pada pemikiran mereka. Dalil-dalil syari hanya mereka jadikan sebagai sesuatu yang mereka lihat dari belakang. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang baik sekaligus tercela; kalangan filsuf dan yang lainnya. Termasuk dalam kelompok ini yaitu orang-orang yang terlalu takut kepada pemimpin, dengan harapan mendapatkan posisi kepemimpinan tersebut. Jika kondisinya seperti ini maka mau tidak mau mereka lebih cenderung menggunakan hawa nafsu dan mengutamakan keinginan mereka, sebagaimana telah diingatkan oleh ulama agar waspada dari pemimpin seperti itu. Kelompok yang pertama ahli bidah menolak sebagian besar hadits Nabi yang shahih dengan akal mereka, serta berburuk sangka terhadap kebenaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka juga membenarkan prasangka mereka dengan mempergunakan pemikiran- pemikiran yang menyesatkan, sehingga mereka menolak pelbagai permasalahan yang berhubungan dengan akhirat, seperti shiratal mustaqim, mizan timbangan amal, binasanya jasad manusia, kenikmatan, dan siksaan yang bersifat jasmaniah di akhirat. Mereka menolak bahwa manusia kelak di akhirat dapat melihat Tuhan dan pelbagai hal yang sejenis dengan itu. Mereka juga menjadikan logika sebagai sumber solusi, bahkan menunjukkan hasil pemikiran mereka yang keji itu kepada orang lain agar diikuti. Kelompok lain dari kelompok yang pertama yaitu mereka yang keluar dari perkara yang batil menuju perkara yang benar. Apabila terjadi perselisihan pendapat, maka cara mereka mencari solusi adalah berdebat dengan lawan bicara namun ada sisi manfaat yang diberikan kepada teman pengikut mereka dan kepada diri mereka sendiri. Sebagaimana telah mereka sebutkan dari Muhamad bin Yahya bin Lubabah, saudaraku Syaikh Ibnu Lubabah yang terkenal itu, menjauhkan diri dari minuman keras dan tidak mau kompromi dengan segala perkara yang ia benci. Hakim Habib bin Ziad lalu meluapkan amarahnya dan menghukum Syaikh Ibnu Lubabah dengan menyuruhnya untuk tetap berada di dalam rumahnya agar ia tidak dapat memberikan fatwa kepada orang lain. Nasir merasa perlu untuk membeli sebuah bak air 42 dari Ahbas RA, di tepi lembah sungai di daerah Qurtubah, maka Ibnu Baqi mengadukan kebutuhan orang ini kepada hakim, ia menyarankan agar hakim membandingkan baik dan buruknya serta untung dan ruginya jika cenderung kepada pendapat mereka mengikuti kemauan mereka, dan mengamati dengan teliti alasannya. Ibnu Baqi berkata kepada hakim itu, Aku tidak memiliki tipu muslihat di sini. Ia lebih mengutamakan penahanan sebagai tindakan keamanan. Hakim lalu berkata kepada Ibnu Baqi, Bicarakanlah hal ini kepada para ahli fikih dan beritahukan kepada mereka tentang keinginanku. Aku tidak akan memperbanyak jumlah orang-orang yang lemah dalam masalah ini hakim ini tidak mau menjadi orang yang lemah, seperti yang banyak terjadi selama ini. Semoga mereka dapat memberiku keringanan atas masalah ini. Ibnu Baqi lalu membicarakan masalah ini kepada para ahli fikih, namun mereka tidak juga mendapatkan jalan keluamya. Nasir pun menjadi marah kepada mereka, ia menyuruh para menteri agar menghadap ke istana sambil mencaci-maki mereka. Lalu terjadilah pembicaraan antara 42 Bak air yang tidak diairi. para ahli fikih dengan para menteri, tetapi maksud Nasir tersebut tidak sampai kepada mereka. Berita tersebut sampai kepada Ibnu Lubabah, maka ia lalu berbicara kepada Nasir tentang sebagian temannya yang ahli fikih itu, Sebenamya mereka telah menghalangi keleluasaannya. Jika ia hadir maka ia akan memberikan fatwa tentang diperbolehkannya menerima ganti rugi. Hal ini berarti ia tetap mengikuti kebenaran. Para sahabat Ibnu Lubabah kemudian memperdebatkan permasalahan tersebut, maka Nasir memerintahkan mereka untuk mengembalikan Ibnu Lubabah kepada kondisinya yang semula melalui jalan musyawarah. Hakim kemudian memerintahkan mereka semua untuk kembali bermusyawarah tentang masalah tersebut. Saat para ahli fikih dan hakim berkumpul, Ibnu Lubabah datang untuk terakhir kalinya. Hakim dan Ibnu Baqi telah terlebih dahulu mengetahui keperluan mereka berkumpul dalam satu tempat, yaitu permasalahan yang menyangkut nama Ibnu Lubabah. Dalam perkumpulan itu semua orang yang hadir menghendaki seperti yang disuarakan pertama kali. Saat mendengar hal tersebut, Ibnu Lubabah diam tak berkata. Setelah itu hakim bertanya, Apa pendapatmu wahai Abu Abdullah? Ia menjawab, Apa yang dikatakan oleh Imam Malik adalah yang diyakini oleh para ahli fikih. Adapun bangsa Irak, mereka tidak membenarkan adanya pemenjaraan, padahal mereka adalah para ulama yang banyak diikuti oleh mayoritas masyarakat dunia. Adapun aku, lebih memilih untuk mengikuti perkataan ulama Irak, baik secara tindakan maupun pendapat. Para ahli fikih berkata, Subhanallah, kamu meninggalkan pendapat Imam Malik yang juga difatwakan oleh ulama salaf. Kami generasi setelahnya juga meyakini dan berfatwa dengan menggunakan pendapat tersebut. Sungguh, dalam hal tersebut tidak ada celah untuk membantahnya, sebab itu juga menjadi pendapat Amirul Mukminin dan para imam setelah mereka. Muhammad bin Yahya juga berkata kepada mereka, Kami beritahukan kepada kalian, bukankah telah turun kepada salah seorang dari kalian suatu musibah yang juga meluas kepada kalian semua jika kalian mengambil fatwa dalam urusan tersebut tanpa mengikutsertakan pendapat Imam Malik? Pada