Al Istihsan PERBEDAAN ANTARA BIDAH,

Dalil pertama: Firman Allah SWT, Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dam Tuhanmu. Qs. Az-Zumar [39]: 55 Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik. Qs. Az- Zumar [23]: 23 Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan Jalu mengikuti apa yang terbaik diantaranya. Qs. Az-Zumar [391:17-18 Dalil kedua: Sabda Nabi SAW, Apa yang dilihat oleh kaum muslim sebagai sesuatu yang baik, maka hal itu baik di sisi Allah. Maksudnya adalah yang mereka lihat dengan akal mereka. Jika yang ia nilai baik berdasarkan dalil syari, maka kebaikan tersebut bukan seperti yang mereka lihat, sebab tidak ada tempat untuk akal dalam pensyariatan. Oleh karena itu, tidak ada gunanya membicarakannya. Bila demikian, maka yang dimaksud adalah yang mereka lihat dengan pendapat mereka. Dalil ketiga: Umat ini telah menganggap baik masuk ke kamar mandi tanpa memperkirakan bayaran atau lama waktunya atau jumlah air yang dipakainya. Tidak ada sebab dalam masalah itu selain bahwa dalam permasalahan seperti itu dianggap buruk dalam adat kebiasaan, sehingga manusia menganggap baik untuk meninggalkannya. Padahal kita yakin bahwa bila sewa yang majhul tidak tertentu atau waktu sewanya atau kadar yang dibeli, tidak diketahui, maka itu terlarang. Namun menyewakan toilet umum dalam hal ini dianggap baik meskipun menyelisihi dalil. Oleh karena itu, selama al istihsan tidak menyelisihi dalil, maka ia lebih berhak untuk diperbolehkan. Lihatlah, ini juga ketergelinciran kaki orang yang akan membuat bidah. Ia boleh saja berkata, Kalau aku sudah ber-istihsan untuk masalah ini dan itu, maka dikalangan ulama selain aku pasti sudah ada yang melakukannya. Jika demikian kondisinya, maka nampaknya kita juga harus menekuni hal ini, agar tidak ada orang bodoh yang teperdaya atau mengaku sebagai alim. Billaahit-tautiiq.

C. Pendalaman dalam Al Istihsan

Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, istihsan merupakan salah satu sumber hukum. Sementara Imam Syafii sangat mengingkarinya, hingga ia berkata, Barangsiapa ber-istihsan berarti ia telah membuat syariat baru. Sebetulnya orang yang menditi pendapat kedua imam tersebut Malik dan Abu Hanifah -penerj akan memahami bahwa yang dimaksud oleh mereka adalah mengamalkan dalil yang terkuat antara dua dalil sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Al Arabi. Dianggap dalil umum jika berlangsung terus-menerus dan dianalogikan apabila cocok, maka menurut Imam Malik dan Abu Hanifah hal itu bisa di-takhsis dikhususkan dengan dalil apa pun, baik secara zhahir lafazh -penerj maupun maknanya. Imam Malik meng-istihsan-kan menganggap baik untuk ditakhsis dengan mashlahah kepentingan umum, sementara Imam Abu Hanifah meng- istihsan-kan untuk ditakhsis dengan perkataan salah seorang sahabat yang bertentangan dengan qiyas. Akan tetapi mereka berdua berpendapat sama dalam pen-takhsis-an qiyas dan pengurangan ‘illat sebab atau alasan. Sementara itu, Imam Syafii tidak mengakui adanya pen-takhsis-an dalam ‘illat syariat. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnu Al Arabi dan seperti yang tersirat dari perkataan Imam Al Kurkhi, bahwa istihsan adalah berpaling dari satu hukum kepada hukum lainnya yang lebih kuat dalam suatu permasalahan atau yang serupa dengannya. Sebagian ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa istihsan adalah suatu analogi yang wajib diamalkan, karena iZar dikatakan demikian lantaran adanya atsar pengaruh darinya, baik pengaruh itu lemah maupun kuat. Semua itu dinamakan al istihsan atau qiyas mustahsan qiyas yang baik. Hal ini seperti pengamalan terhadap salah satu qiyas yang terkuat, yaitu menampakkan hasil pengamatan terhadap masalah-masalah yang mereka dasarkan atas istihsan menurut kasus-kasus hukum fikih yang baru muncul. Bahkan disebutkan dari Imam Malik, ia berpendapat, Al istihsan merupakan 90 dari ilmu. Diriwayatkan oleh Ashbagh dari Ibnu Al Qasim, dari Malik, ia berkata tentang al istihsan, Bisa jadi istihsan itu lebih kuat daripada qiyas. Disebutkan pula dari Imam Malik, ia berkata, Orang yang meninggalkan qiyas hampir-hampir juga meninggalkan Sunnah. Perkataan seperti ini tidak mungkin diartikan sama dengan pengertian istihsan -penrj yang telah disebutkan tadi, {istihsan -penrj yaitu: apa yang dianggap baik oleh seorang mujtahid dengan akal pikirannya. Atau dengan kata lain; istihsan adalah dalil yang dianggap susah untuk diungkapkan oleh seorang mujtahid. Tentu saja istihsan dengan pengertian seperti ini tidak mungkin dianggap sama dengan 90 dari ilmu dan juga tidak mungkin lebih kuat daripada qiyas yang merupakan salah satu sumber hukum. Dalam kesempatan lain, Ibnu Al Arabi berkata, Istihsan adalah meninggalkan apa yang ditunjukkan oleh suatu dalil dengan cara pengecualian atau rukhshah keringanan lantaran adanya suatu hal yang bertentangan dengan apa yang ditunjuk oleh dalil tersebut. Beliau membagi istihsan menjadi empat macam, yaitu: 1. Meninggalkan dalil karena urf adat kebiasaan. 2. Meninggalkan dalil karena mashlahat {sebuah kepentingan 3. Meninggalkan dalil karena taisir memudahkan. 4. Meninggalkan dalil untuk menghilangkan haraj keberatan dan untuk meringankan. Ulama dari madzhab Maliki mendefinisikan istihsan, Menggunakan suatu maslahat yang parsial dengan meninggalkan qiyas yang global. Atau mengutamakan mengambil dalil secara mutlak daripada qiyas. Ibnu Rusyd mendefinisikan al istihsan dengan berkata, Al istihsan yang banyak digunakan secara umum daripada qiyas adalah meninggalkan qiyas yang menyebabkan sikap ghuluw berlebihan dalam hukum pada sebagian masalah karena adanya alasan yang mempengaruhi hukum terhadap suatu masalah tertentu. Pengertian-pengertian tersebut pada intinya maknanya hampir sama. Jika ini yang dimaksud dengan al istihsan dalam madzhab Maliki dan Hanafih, maka al istihsan bisa dianggap sebagai dalil, karena sebagian dalil membatasi dan mengkhususkan sebagian yang lain, sebagaimana dalil dari Al Quran dan Sunah. Yang seperti ini tidak diingkari oleh Imam Syafii, maka tidak ada hujjah sama sekali bagi seorang mubtadi untuk membuat al istihsan. 10 contoh kasus untuk menerangkan maksud dari istihsan: 1. Meninggalkan suatu masalah ke masalah yang semisalnya karena adanya dalil dari Al Qur an, seperti firman Allah, Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka Qs. At-Taubah [9]: 103 Secara teks, ayat ini umum mencakup semua harta benda, akan tetapi syariat mengkhususkannya pada harta yang wajib dizakati. Jika ada yang bertanya: Hartaku ini untuk sedekah, maka secara zhahir mencakup semua harta. Akan tetapi yang dimaksud adalah harta yang wajib dizakati karena adanya dalil dari Al Quran yang mendukung hal ini. Maka para ulama menjawab, Hal seperti ini kembali kepada pen-takhsis-an sebuah keumuman dengan pernahaman Al Qur’an yang lazim. Contoh ini disebutkan oleh Al Kurkhi ketika memberikan contoh untuk istihsan. 2. Ulama madzhab Hanafi berkata: Bekas minum burung buas hukumnya najis karena diqiyaskan dengan binatang buas. Inilah sebab yang kuat