Mengembalikan Hukum kepada Keyakinan Hati dan Bisikan Jiwa

meragukan. Kebenaran itu ketenangan dan kebohongan adalah keragu- raguan. e. Diriwayatkan dari Wabishah RA, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan dan dosa. Beliau menjawab, Wahai Wabishah, mintalah fatwa pendapat pada hatimu dan mintalah fatwa pada jiwamu Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan membuat hatimu tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat gelisah dalam jiwamu dan kerisauan dalam dadamu, dan meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan kamu memberi fatwa. f. Dalam kitab Mujam-nya Imam Al Baghawi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Muawiyah, bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah SAW, Wahai Rasulullah, apa yang dihalalkan dan diharamkan atas kami? Rasulullah SAW diam hingga laki-laki tersebut mengulangnya sampai tiga kali, sedangkan Rasulullah SAW tetap diam. Beliau lalu bersabda, Dimana orang yang bertanya tadi? Laki-laki tadi menjawab, Aku wahai Rasulullah. Beliau kemudian bersabda sambil mengetuk-ngetuk jarinya, Apa yang diingkari oleh hatimu, maka tinggalkanlah. g. Diriwayatkan dari Abdullah, ia berkata, Dosa adalah sesuatu yang membuat hati gelisah, maka semua hal yang membuat hatimu gelisah tinggalkanlah. Syetan sangat senang dengan segala sesuatu yang enak dilihat. Dia juga berkata, Sesuatu yang halal itu jelas dan sesuatu yang haram itu jelas, sedangkan di antara keduanya ada sesuatu yang meragukan. Oleh karena itu, tinggalkanlah sesuatu yang meragukan dan lakukanlah sesuatu yang tidak meragukan. h. Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda RA, ia berkata, Sesungguhnya sesuatu yang baik itu adalah sebuah ketenangan, maka tinggalkanlah sesuatu yang meragukan dan lakukanlah sesuatu yang tidak meragukan. i. Syuraih berkata, Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan dan lakukanlah sesuatu yang tidak meragukan. Demi Allah, aku tidak mendapatkan apa pun yang aku tinggalkan kecuali mengharap ridha dari Allah. Semua hadits dan atsar-atsar tersebut artinya: masalah hukum-hukum syariat dikembalikan pada apa yang ada di dalam hati dan apa yang dibisikkan oleh jiwa. Jika hati merasa tenang maka boleh dilakukan, tapi jika merasa ragu-ragu tidak boleh dilakukan. Hal ini sama dengan mengembalikan pada dalil al istihsan yang bersumber dari hati dan pikiran, selama tidak ada dalil syari yang lain. Bila ada dalil syari atau ada sesuatu yang di-taqyid dibatasi dengan salah satu dalil syari, maka kita tidak boleh menentukan hukum dengan berlandaskan pada apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita, karena ini merupakan hal yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya, seperti orang yang mengambil landasan dari dalil-dalil syari untuk masalah-masalah yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan hukum syari. Semua ini menunjukkan bahwa al istihsan adalah pendapat akal dan kecenderungan jiwa yang sangat berpengaruh dalam penetapan hukum. Maka jawabannya: Semua hadits dan atsar yang disebutkan tadi, menurut Imam Ath-Thabari —dalam kitab Tahdzib Al Atsar— telah di- shahihkan oleh sebagian ulama dan bisa diamalkan. Beliau lalu menambah dengan menyebutkan atsar dari Umar, Ibnu Masud, dan lainnya. Beliau kemudian menyatakan bahwa sebagian ulama yang lain menghukumi lemah hadits-hadits tersebut. Perkataan beliau ini cocok sekali dengan masalah yang sedang kita bahas saat ini. Tetapi saya mengutipnya secara makna saja, karena perkataannya panjang sekali. la lalu menyebutkan perkataan dari beberapa ulama: Tidak ada satu masalah pun kecuali Allah telah menjelaskannya, baik secara tekstual maupun kontekstual. Jika suatu itu halal maka orang yang mengerjakannya harus berkeyakinan tentang kehalalannya selama ia tahu itu halal. Jika suatu itu haram maka ia harus meyakini keharamannya. Jika suatu itu makruh maka ia harus meyakini kemakruhannya. Orang tidak boleh beramal dengan berdasarkan kata hatinya, karena Allah telah melarangnya atas Nabinya SAW, Dia berfirman, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antar a manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu. Qs. An- Nisaa [4J: 105 Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk menghukumi manusia dengan wahyu yang telah diturunkan kepadanya bukan dengan pendapat dan kata hatinya. Oleh karena itu, orang selain beliau lebih utama dalam hal pelarangan atas hal ini. Jika ia orang yang bodoh, maka kewajibannya adalah bertanya kepada para ulama, bukan mengambil pendapat berdasarkan kata hatinya. Diriwayatkan dari Umar RA, bahwa beliau pernah berkhutbah, Wahai manusia, telah disyariatkan bagimu sunah-sunah dan telah diwajibkan bagimu kewajiban-kewajiban. Kalian ditinggalkan di atas perkara yang terang, sehingga kalian tidak akan disesatkan oleh orang-orang, baik ke kanan maupun ke kiri. 35 Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, Apa yang disebutkan di dalam Al Qur an tentang kehalalan atau keharamannya, begitulah adanya, sedangkan apa yang tidak disebutkan di dalam Al Qur’an merupakan sesuatu yang Allah maafkan bagi kalian. 35 Tidak suka untuk tersesat dan menghindari kesesatan. Imam Malik berkata, Rasulullah SAW meninggal dunia dan urusan ini telah sempurna, maka hendaklah lata mengikuti sabda-sabda beliau dan para sahabatnya, serta jangan mengikuti akal pikiran. Sesungguhnya jika seseorang mengikuti akalnya, maka ketika ada orang lain yang lebih baik akalnya daripadanya, ia akan mengikuti orang tersebut, dan begitu seterusnya jika ada orang yang lebih baik akalnya, sehingga tidak akan ada habisnya. Oleh karena itu, kalian harus beramal sesuai dengan Sunnah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir RA, bahwa Nabi SAW bersabda, Aku telah meninggalkan sesuatu pada kalian, apabila kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat; kitabullah dan Sunnahku, keduanya tidak akan terpisahkanhinggasampaiditelaga. 36 Diriwayatkan dari Amr bin... bahwa Rasulullah SAW suatu hari keluar dan mendapati orang-orang sedang memperdebatkan Al Quran. Beliau lalu marah dan bersabda, 37 36 Aku tidak mengetahui ada hadits dengan lafazh ini dari Jabir Hal itu diriwayatkan darinya dengan lafazh yang kurang lebih seperti ini, juga riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Al Khatib dalam kitab A Muttafaq, dan yang membedakan adalah Aku telah meninggalkan sesuatu pada kalian, sehingga apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan tersesat; Kitabullah dan keluargaku ahli bait. Diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dengan lafazh, Wahai manusia sesungguhnya aku meninggalkan sesuatu pada kalian jika kalian ambil, maka kalian tidak tersesat; kitabullah dan keluargaku; ahli bait. Hadits ini menggunakan lafazh keluarga sebagai ganti dari Sunnah, di antara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam dan Abu Said Al Khudri. Namun hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan lafazh Sunnah dan kedua redaksi itu menggunakan redaksi, Tidak akan terpecah hingga sampai ke telaga. Kumpulan dari dua redaksi itu adalah bahwa keluarga adalah orang yang menjaga Sunnah atau zaman tidak akan meninggalkannya sebagai suriteladan. 37 Seperti inilah redaksi aslinya yang diriwayatkan oleh Nash Al Maqdisi dari Ibnu Umar, ia berkata, Suatu ketika Rasulullah pernah keluar, dan orang-orang yang ada di belakang kamarnya berdebat masalah Al Qur’an, kemudian beliau menemui mereka dengan wajah yang memerah seperti darah tanda kemerahan lalu beliau berkata, Wahai kaum, janganlah berdebat dalam masalah Al Qur ’ an, karena orang-orang sebelum kalian sesat karena mendebat Wahai kaum, hal seperti inilah yang membuat umat-umat sebelum kalian hancur. Mereka memperdebatkan Al Qur’an dan mempertentangkan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Jadi, apa yang dihalalkan Al Quran kerjakanlah, apa yang diharamkan Al Quran tinggalkanlah, dan apa yang meragukan imanilah. Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda RA —ia me-marfu-kannya— ia berkata, Apa yang telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya adalah haram, dan apa yang tidak dijelaskan maka itu dimaafkan. Jadi, terimalah sesuatu yang dimaafkan Al- lah ini, karena Allah tidak mungkin lupa atas sesuatu apa pun. Firman-Nya, Dan tidaklah Tuhanmu lupa.Qs. Maryam [19]: 64 Mereka berkata, Semua hadits dan atsar tersebut menunjukkan kewajiban mengamalkan Al Quran dan menjelaskan bahwa orang yang mengamalkannya tidak akan tersesat. Hadits-hadits tersebut tidak mengizinkan seorang pun untuk mengamalkan selain Al Qur’an dan Sunnah, karena seandainya ada dalil selain keduanya, niscaya diterangkan. Tidak ada keterangan adanya dalil selain keduanya, maka kita tidak boleh melakukannya, dan orang yang beranggapan adanya dalil selain keduanya maka pendapatnya salah. Mereka berkata: Jika dikatakan, Sesungguhnya Nabi SAW telah menjelaskan adanya dalil yang ketiga pada umatnya, yaitu, sabda beliau SAW, Mintalah fatwa pada hatimu. dan sabda beliau SAW, Dosa adalah kitab mereka, sesungguhnya Al Quran tidaklah diturunkan untuk membohongi sebagian dengan sebagian yang lain, namun ia turun untuk membenarkan sebagian dengan sebagian yang lain maka sesuatu yang muhkam, maka amalkanlah dan sesuatu yang mutasybih, maka imanilah. sesuatu yang membuat hati gelisah dan hadits-hadits yang lain. Maka jawabannya: Kalau hadits-hadits ini shahih, maka akan menjadi pembatal atas kewajiban mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah, karena hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya tidak ditetapkan lewat sesuatu yang dianggap baik atau buruk oleh hati. Dalil ketiganya ini hanya bisa diberlakukan jika ada sesuatu yang tidak dijelaskan oleh keduanya Al Qur’an dan Sunnah dan yang seperti ini tidak ada, maka tidak perlu lagi adanya penambahan dalil ketiga. Jika dikatakan, Mungkin saja sabda beliau SAW, Mintalah fatwa pada hatimu dan yang lain berfungsi sebagai perintah bagi setiap orang yang masalahnya tidak disebutkan oleh Al Qur’an maupun Sunnah, dan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan umat, maka ini bisa dijadikan sebagai dalil ketiga. Maka jawabannya: Hal ini tidak boleh karena beberapa hal berikut ini: 1. Segala sesuatu yang secara tersurat tidak disebutkan, telah disebutkan hukumnya secara tersirat. Jika kata fatwa hati dan lainnya merupakan dalil, maka sesuatu yang telah disebutkan hukumnya secara tersirat tidak ada gunanya dan termasuk perbuatan yang sia-sia. Ini adalah batil. 2. Firman Allah, Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul Sunnahnya. Qs. An-Nisaa [4]: 59 Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk kembali kepada Allah Al Qur’an dan Rasul Sunnah bukan kembali pada bisikan jiwa dan fatwa hati. 3. Allah berfirman, Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. Qs. An-Nahl [16]: 43 dan Al Anbiyaa [21]: 7 Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan mereka untuk bertanya kepada para ulama tentang kebenaran dalam masalah yang menjadi perselisihan, yang berkaitan dengan masalah agama. Allah SWT tidak menyuruh mereka untuk bertanya kepada diri mereka sendiri. 4. Allah SWT telah berfirman pada Nabi-Nya sebagai hujjah bagi orang-orang yang mengingkari keesaan-Nya, Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.... Qs. Al Ghaasyiyah [88]: 17 Dalam ayat ini Allah SWT menyuruh mereka untuk mengambil pelajaran dengan petunjuk-Nya dan berdalil dengan dalil-dalil-Nya atas kebenaran yang sampai kepada mereka. Dalam hal ini Allah SWT tidak menyuruh mereka untuk meminta fatwa kepada jiwa mereka dan melaksanakan apa yang membuat hatinya tenteram. Allah SWT telah menciptakan berbagai macam tanda dan dalil, maka sepantasnyalah segala hal tersebut digunakan sebagai sebuah dalil pula, bukan justru menggunakan dalil dari fatwa hati dan ketenteraman jiwa dari orang-orang yang bodoh yang sama sekali tidak tahu hukum Allah. Inilah yang diceritakan oleh Ath-Thabari dari ulama-ulama terdahulu. Beliau lalu lebih memilih mengamalkan hadits-hadits tersebut, karena mungkin beliau men-shahih-kannya atau karena maknanya yang shahih dalam pandangan beliau, seperti hadits, Sesuatu yang halal itu jelas dan sesuatu yang haram itu jelas... Hadits ini shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Akan tetapi penulis tidak menggunakan hadits ini untuk semua permasalahan fikih, karena hadits ini tidak mungkin dipakai sebagai dalil untuk membuat syariat baru dalam amalan dan membuat ibadah baru. Jadi, untuk masalah membuat syariat baru dalam amalan tidak bisa dikatakan, Apabila hatimu merasa tenteram dengan amalan ini, maka itu adalah amalan yang baik. Atau, Mintalah fatwa dari hatimu dalam membuat amalan baru. Jika hatimu merasa tenteram dengannya maka lakukanlah, namun jika tidak maka tinggalkanlah. Demikian pula yang berkenaan dengan masalah tarkiyyah meninggalkan amalan, hadits-hadits tersebut tidak dipahami dengan sebuah perkataan, Jika hatimu merasa tenteram dengan meninggalkan amalan tertentu, maka tinggalkanlah, namun jika tidak maka lakukanlah. Hadits- hadits hanya bisa diamalkan secara benar dalam masalah yang ditunjukkar oleh hadits, Sesuatu yang halal itu jelas dan sesuatu yang haram itu jelas.” Sesuatu yang berhubungan dengan adat kebiasaan, seperti: menggunakan air, makan, minum, menikah, berpakaian, dan sejenisnya sebagian sudah jelas kehalalannya dan sebagian lagi sudah jelas keharamannya. Adapun sesuatu yang masih samar, maka itu masuk dalam perkara yang syubhat tidak jelas hukum halal haramnya. Jadi, meninggalkan perkara syubhat lebih baik daripada melakukannya dengan ketidakjelasan status hukumnya, sebagaimana sabda Nabi SAW, Sesungguhnya aku pernah mendapati sebutir kurma yang jatuh di atas tempat tidurku. Kalau seandainya aku tidak khawatir itu adalah kurma sedekah, aku pasti memakannya. Jelas kurma itu tidak lepas dari kurma sedekah yang haram bagi beliau, atau bukan dari kurma sedekah yang halal bagi beliau. Beliau tidak memakannya karena ditakutkan kurma itu kurma sedekah. Ath-Thabari berkata, Demikian pula hak Allah atas hamba-Nya dalam masalah-masalah syubhat yang diberi keleluasaan untuk mengerjakan atau meninggalkannya, atau sesuatu yang bukan merupakan sebuah kewajiban. Seorang hamba harus meninggalkan sesuatu yang meragukan dan melaksanakan sesuatu yang tidak meragukan, karena dengan begitu keraguan yang ada dalam dirinya akan hilang. Seperti orang yang ingin meminang [khitbah seorang gadis lalu ada seorang wanita yang memberitahukannya bahwa seorang wanita pernah menyusuinya bersama dengan gadis tadi, dan orang tadi tidak tahu apakah yang disampaikan wanita tadi benar atau tidak. Jika ia tidak jadi meminang gadis tadi, maka hilanglah keraguan dalam dirinya yang disebabkan oleh informasi wanita tadi, dan menikah dengan gadis itu bukanlah sebuah kewajiban. Lain halnya jika ia tetap bersikeras meminang dan menikah dengan gadis tadi, maka jiwanya tidak akan merasa tenang atas kehalalan gadis tadi untuknya. Demikian pula perkataan Umar RA yang berkenaan dengan masalah jual beli yang tidak ia ketahui halal haramnya jual beli tersebut. Jadi, jika ditinggalkan maka akan membuat hati tenteram dan tenang, namun jika dilakukan akan menimbulkan keraguan, apakah ia berdosa atau tidak dengan melakukannya? Inilah maksud dari sabda Nabi SAW kepada An-Nuwas dan Wabishah RA. Hal ini ditunjukkan pula oleh hadits tentang perkara-perkara syubhat yang tadi telah disebutkan, bukan seperti yang disangka oleh mereka, bahwa hadits-hadits tersebut merupakan perintah bagi orang- orang bodoh untuk melaksanakan sesuatu yang dipandang baik oleh diri mereka dan meninggalkan sesuatu yang dipandang buruk oleh diri mereka tanpa bertanya kepada para ulama. Ath-Thabari berkata, Jika dikatakan, Bila ada orang yang berkata kepada istrinya, Kamu haram bagiku, lalu orang tersebut bertanya kepada ulama dan mereka berbeda pendapat; sebagian berkata, la telah dithalak tiga olehmu. Sebagian lagi berkata, la halal bagimu, tetapi kamu harus membayar kafarat denda dari sumpahmu. Lalu yang lain lagi berkata, Hal ini tergantung pada niatnya, jika bemiat thalak maka itu berarti thalak, jika berniat dhihar maka hukumnya dhihar, jika berniat hanya sumpah maka hukumnya adalah sumpah, dan jika tidak berniat apa pun maka tidak ada hukumnya sama sekali. Maka apakah perbedaan ini menunjukkan adanya hukum yang berbeda, sebagaimana informasi dari seorang wanita tentang susuan sehingga ia disuruh untuk menceraikan istrinya, atau sebagaimana dalam kasus susuan tadi sehingga ia diharamkan menikah dengan wanita tersebut, dikarenakan takut jatuh dalam hal yang dilarang? Ataukah perbedaan tersebut tidak menunjukkan adanya hukum yang berbeda? Ada yang berpendapat bahwa dalam masalah bertanya kepada ulama, ia berkewajiban untuk melihat kepribadian masing-masing ulama, dilihat dari segi kepercayaan dan nasihat yang disampaikan, lalu ia mengikuti yang menurutnya kuat. Ini mungkin saja dilakukan, dan dengan ini keragu-raguan akan hilang darinya. Hal ini berbeda dengan masalah melihat kepribadian wanita tadi, maka keragu-raguan masih tetap ada. Jika hasil pengamatan menunjukkan bahwa wanita tadi memiliki akhlak yang baik, maka bisa dikatakan adanya perbedaan antara dua hukum tadi. Terkadang, dua hukum itu sama saja ketika ia menanyakannya kepada ulama yang secara kepribadian sama menurut pandangannya dan ia tidak bisa menguatkan salah satu di antara keduanya. Jadi, perintah untuk meninggalkannya sama kuatnya dengan perintah untuk melakukannya dalam masalah seorang wanita yang menginformasikan bahwa ia telah menyusui mereka berdua, karena tidak ada perbedaan antara dua hukum tadi. Saya telah menetapkan dalam masalah Perbedaaan Pendapat Ulama bagi orang yang meminta fatwa kepada mereka, bahwa kewajibannya adalah memilih dan hukumnya sama seperti hukum orang yang ragu atas suatu masalah dan tidak tahu apakah hal itu halal atau haram? Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk keluar dari syubhat keragu- raguan ini kecuali mengikuti ulama yang paling baik menurutnya dan beramal dengan fatwanya. Jika tidak demikian maka ia sebaiknya meninggalkan perbuatan tadi, karena hati akan menjadi gelisah.

F. Mengambil Fatwa dari Hati

Masih ada satu lagi permasalahan dalam pembahasan ini bagi mereka yang memilih mengambil fatwa dari hati secara mutlak tanpa batas, yang merupakan pendapat Imam Ath-Thabari. Pada intinya, kata hati dan apa yang membuat jiwa tenang termasuk hukum-hukum syara dan sekaligus sebagai dalil syari. Sesungguhnya ketenangan jiwa dan kata hati sama sekali terlepas dari dalil, sehingga bisa dianggap atau tidak dianggap sebagai dalil -penrj. Jika tidak dianggap, maka jelas hal ini bertentangan dengan hadits dan atsar yang ada. Telah dijelaskan dimuka bahwa ini dianggap sebagai sebuah dalil -penrj berdasarkan dalil-dalil yang ada. Seandainya dianggap sebagai sebuah dalil, maka akan ada dalil ketiga selain Al Qur an dan Sunnah, padahal ini dinafikan diingkari oleh Ath-Thabari dan yang lain. Bila dikatakan: Ini dianggap sebagai suatu dalil dalam masalah larangan bukan perintah, maka hal ini tidak lepas dari masalah yang lalu, karena setiap larangan dan perintah adalah sebuah bentuk perbuatan yang berhubungan dengan hukum syara, yaitu antara hukum boleh dan tidak boleh, dan ini dikaitkan dengan tenang tidaknya hati dan jiwa. Meskipun itu berasal dari sebuah dalil, tetapi tetap saja tidak bisa lepas dari masalah tadi. Maka jawabannya: Pernyataan awal benar, tetapi yang perlu diperhatikan adalah cara mencapai hal itu. Ketahuilah, setiap masalah memerlukan dua hal: 1. Melihat pada dalil hukum Adapun melihat pada dalil hukum, itu hanya berkisar antara dua dalil, yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Atau dalil yang dikembalikan pada keduanya, yaitu ijma, qiyas, dan lainnya. Sedangkan ketenangan hati tidak adanya keraguan dalam hati tidak dianggap dalam hal ini, kecuaB dari segi keyakinan; bisa dijadikan dalil atau tidak? Tidak ada seorang pun ? kecuali para pelaku bidah yang menganggap sesuatu itu baik atau buruk tanpa berlandaskan pada dalil sama sekali kecuali apa yang menjadi ketenangan hati ? sesungguhnya perkaranya seperti yang mereka sangka. Inilah pandangan mereka yang bertentangan dengan kesepakatan ijma kaum muslim. 2. Melihat masuk tidaknya suatu masalah pada dalil tersebut Hal ini tidak hanya ditunjukkan dengan dalil syari, namun bisa juga dengan dalil lainnya, bahkan tanpa dalil sama sekali. Jadi, dalam hal ini tidak disyaratkan derajat ijtihad atau ilmu. Jika orang awam ditanya tentang status hukum suatu amalan yang bukan termasuk amalan shalat ketika sedang shalat, maka orang tersebut pasti menjawab, Jika amalan tersebut sedikit maka tidak membutuhkan shalat, tapi jika banyak maka membatalkan shalat. Untuk menentukan amalan sedikit yang tidak membatalkan shalat, tidak memerlukan pendapat dari orang alim, karena setiap orang yang berakal pasti bisa membedakan antara amalan yang sedikit dengan amalan yang banyak. Di sini sebuah hukum -yaitu batal tidaknya suatu perbuatan- ditentukan oleh pendapat orang yang awam dan bukan termasuk salah satu dari dalil kitab atau Sunnah, karena perkataan orang awam tadi bukan termasuk dalil untuk sebuah hukum tertentu, tapi disebut sebagai Manathul Hukm sesuatu yang sebuah hukum ditentukan olehnya. Jika ada sesuatu yang menjadi penentu sebuah hukum, maka hukum itu pun ada, dan inilah yang dicari sehingga bisa dihukumi dengan dalil syari. Demikian juga bila kita berpendapat tentang wajibnya bersegera untuk bersuci dan kita bedakan antara sesuatu yang ringan dengan sesuatu yang berat saat bersuci. Cukuplah bagi orang awam untuk mengetahui hal itu menurut penglihatan. Jadi, sah tidaknya bersuci ditentukan oleh sesuatu yang ada di dalam hatinya, karena ia melihat pada Manathul Hukm tersebut. Jika demikian halnya, maka orang yang mempunyai daging kambing berhak halal untuk memakannya, karena kehalalannya sudah jelas dengan adanya syarat kehalalannya. Jadi, hukum ditentukan berdasarkan hal ini. Jika ia punya bangkai kambing, maka haram baginya untuk memakannya, karena keharamannya sudah jelas dengan tidak adanya syarat kehalalannya. Jadi, hukum ditentukan berdasarkan hal ini, bukan berdasarkan pada apa yang ada pada diri orang tersebut. Bukankah sepotong daging secara dzatnya bisa berbeda hukumnya, tergantung pada sebabnya, bisa jadi itu halal karena ada sebab yang menghalalkannya dan bisa jadi itu haram karena ada sebab yang mengharamkannya. Bahkan boleh jadi sepotong daging yang halal dimakan oleh seseorang menjadi haram bila dimakan oleh orang lain? Jadi, jika disyaratkan atas apa yang ada di dalam hati adanya dalil syari yang menunjukkan hal itu, maka contoh tersebut adalah salah, karena dalil-dalil syara tidak mungkin saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Jika kita umpamakan adanya daging yang status hukumnya membingungkan seseorang, maka ia tidak boleh memakannya karena