Menilai Berdasarkan Maqam Derajat Kemanusiaan

begini...dan memerintahkanku untuk mengerjakan ini... la mengerjakan dan meninggalkan segala sesuatu karena mimpi itu, tanpa mempedulikan batasan-batasan yang ada dalam syariat, dan itu adalah perbuatan yang salah, karena mimpi dari selain para nabi tidak dapat dijadikan hukum yang sejajar dengan syariat dalam segala kondisi, kecuali bersesuaian dengan hukum- hukum syariat yang ada pada kita. Jika syariat membolehkannya maka ia akan mengerjakannya sesuai dengan tuntutan, dan jika tidak demikian maka tinggalkanlah dan berpalinglah darinya, karena mimpi itu hanya untuk memberi kabar gembira atau peringatan. Sedangkan memanfaatkan hukum, jelas tidak diperbolehkan, sebagaimana dikisahkan dari Al Kattani, ia berkata, Aku bermimpi melihat Nabi, dan di dalam mimpi itu aku berkata, Doakanlah aku kepada Allah agar tidak mematikan hatiku. Beliau menjawab, Katakanlah setiap hari sebanyak empat puluh kali kalimat, Ya hayyu ya qayyum laailaaha ilia anta. Ini perkataan baik dan tidak ada masalah kebenarannya, karena menurut syariat dzikir memang dapat menghidupkan hati. Faidah mimpi adalah memberitahukan kebaikan, dan ini dari sisi kabar gembira. Dengan demikian, masalah yang tersisa hanya pembicaraan tentang empat puluh kali; apabila tidak ada dalam bentuk kelaziman, maka itu benar. Diriwayatkan dari Abu Yazid Al Bustami, ia berkata, Aku melihat Tuhanku di dalam mimpi, maka aku berkata, Bagaimana jalan menuju-Mu? Allah berfirman, Tinggalkan dirimu dan kemarilah Perkataan seperti itu ada di dalam syariat, mengerjakan sesuai substansinya adalah benar, karena ia seperti pemberitahuan pada dalil, karena meninggalkan jiwa artinya meninggalkan hawa nafeu secara mutlak dan berdiri pada kaki persembahan. Ada beberapa ayat yang menunjukkan makna ini, antara lain Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya. n Qs. An-Naaziaat [79]: 40-41 Seandainya di dalam mimpinya ia melihat orang berkata, Sesungguhnya si fulan mencuri, maka potonglah tangannya, atau, Si fulan orang pandai, maka tanyalah atau Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin kerjakan perintah atau, Fulan berzina, maka dirikanlah hadd padanya dan sebagainya, maka tidak dibolehkan untuk mengerjakan hal tersebut, sampai ada saksi pada waktu terjaga, dan jika tidak maka ia telah mengerjakannya. tanpa syariat, karena tidak ada wahyu setelah Nabi. Tidak dikatakan, Mimpi itu bagian dari kenabian, maka tidak seharusnya hal itu diremehkan, dan orang yang mengabarkan di dalam mimpi bisa jadi Nabi, beliau bersabda, Orang yang melihatku dalam tidurnya, berarti ia sungguh telah melihatku, karena syetan tidak dapat menyerupaiku. Jika demikian, maka pengabarannya dalam mimpi sama seperti pengabaran beliau pada waktu terjaga. Oleh karena itu, kami mengatakan: Jika mimpi itu bagian dari kenabian, maka itu bukan untuk menyempumakan wahyu kepada kita, tapi hanya bagian dari bagian-bagiannya, dan bagian tidak menempati posisi keseluruhannya dalam segala sisi, tetapi hanya menempati posisinya pada sebagian sisinya, yaitu memberikan sisi kabar gembira dan peringatan, dan itu saja cukup. Di samping itu, mimpi yang merupakan satu bagian dari bagian kenabian di antara syaratnya adalah kecocokannya untuk orang shalih, dan tercapainya syarat yang perlu ditinjau, sebab hal itu terkadang memenuhi syarat dan terkadang tidak. Mimpi terbagi menjadi mimpi yang bersumber dari syetan, kepada pembicaraan jiwa, dan terkadang hanya untuk mengacaukan. Lalu, kapan menentukan yang shalih dan kapan harus meninggalkan yang tidak shalih? Jika mimpi menuntut adanya pembaharuan wahyu dengan hukum setelah Nabi SAW, maka yang demikian itu terlarang secara ijma. Dikisahkan bahwa Syarik bin Abdullah Al Qadhi datang kepada Al Mahdi, dan ketika Al Mahdi melihatnya ia berkata, Aku harus memenggal dan mengulitimu. Ia bertanya, Kenapa wahai Amirul Mukminin? Ia Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin menjawab, Aku melihat di dalam mimpiku seakan-akan kamu menginjak permadaniku dan kamu membelot dariku. Aku lalu mengisahkan mimpiku kepada orang yang pandai menta’birkannya, kemudian ia berkata kepadaku, la nampak taat bagimu, padahal hatinya bermaksiat. Syarik lalu berkata kepadanya, Demi Allah, mimpimu itu bukan mimpi Ibrahim AS, dan yang mentabirkan mimpimu itu bukan Yusuf AS. Apakah hanya dengan mimpi dusta itu kamu memenggal leher orang-orang beriman? Al Mahdi pun malu, lalu berkata, Pergilah kamu dariku. Ia kemudian meninggalkan dan menjauhkannya. Al Ghazali menceritakan tentang sebagian imam bahwa ia memfatwakan wajib membunuh seorang laki-laki yang mengatakan kemakhlukan Al Quran, maka ia dikoreksi supaya meninjau kembali fatwanya, ia berdalil bahwa seorang laki-laki di dalam rnimpinya melihat iblis telah melewati pintu Madinah tapi ia tidak memasukinya? Ia ditanya, Kamu tidak memasukinya? Ia menjawab, Yang menyebabkanku tidak memasukinya adalah seorang laki-laki yang berkata dengan kemakhlukan Al Qur’an. Orang itu bangkit seraya berkata, Seandainya iblis memfatwakan wajib membunuhku dalam keadaan terjaga, maka apakah kamu akan mengikutinya dalam fatwanya? Mereka menjawab, Tidak la pun berkata, Perkataannya di dalam mimpi tidak menambahkan perkataannya pada waktu terjaga. Mimpi yang di dalamnya Rasulullah SAW mengabarkan kepada yang bermimpi tentang suatu hukum, maka mimpi itu juga perlu ditinjau, karena jika beliau mengabarkan suatu hukum yang sesuai dengan syariat, maka hukumnya sebagaimana telah ditetapkan. Tapi jika beliau mengabarkan suatu hukum yang bertentangan dengan syariat, maka itu mustahil, karena beliau tidak me-nasakh syariatnya yang sudah tetap di dalam hidupnya setdah beliau wafat, sebab ketetapan agama tidak tergantung pada mimpi setelah beliau wafat. Dengan demikian, hal itu batil secara ijma. Jadi, orang yang melihat sesuatu dari hal tersebut, tidak boleh melaksanakannya. Ketika itu kami berkata, Sesungguhnya mimpinya itu tidak benar, karena ia benar-benar melihatnya, maka beliau tidak akan mengabarkannya dengan hal-hal yang Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin bertentangan dengan syariat. Yang tersisa pada pembahasan ini adalah peninjauan terhadap makna sabda Nabi, Barangsiapa melihatku di dalam mimpinya berarti ia sungguh-sungguh telah melihatku. Dalam hal ini terdapat dua penakwilan; 1. Jawaban Ibnu Rusyd, ketika ia ditanya tentang seorang hakim yang bersaksi di sisinya ada dua saksi yang terkenal keadilannya bersaksi dalam suatu masalah. Ketika hakim itu tidur, ia bermimpi melihat Nabi, beliau berkata kepadanya, Janganlah kamu menghukumi dengan persaksian ini, karena persaksiannya itu batil. Ibnu Rusydi menjawab, Tidak boleh baginya meninggalkan amal pemberian hukum dengan persaksian tersebut, karena itu berarti pembatalan terhadap hukum- hukum syariat dengan mimpi, dan hal itu batil serta tidak boleh diyakini, sebab tidak ada yang dapat mengetahui yang gaib dari sisi mimpi kecuali para nabi yang mimpinya merupakan wahyu, dan selain mereka mimpinya hanya satu bagian dari 46 kenabian. Kemudian ia berkata, Sabdanya, Barangsiapa melihatku di dalam mimpinya berarti ia sungguh-sungguh telah melihatku, bukan bermakna bahwa setiap orang yang melihat Rasulullah di dalam mimpinya berarti telah benar-benar melihat beliau. Dalilnya adalah, orang yang melihat beliau terkadang melihat beliau berkali-kali dalam bentuk yang berbeda-beda dan dengan suatu sifat, sedangkan orang lain melihat beliau dengan sifat lainnya. Padahal, tidak boleh berbeda- beda bentuk dan sifat Nabi SAW. Jadi, makna hadits Nabi adalah, Barangsiapa melihatku dalam bentuk aku diciptakan, berarti ia sungguh telah melihatku, karena syetan tidak dapat menyerupaiku. Beliau tidak berkata, Barangsiapa sadar bahwa ia melihatku, berarti ia telah melihatku. Tetapi hanya berkata, Barangsiapa melihatku di Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin dalam mimpinya berarti ia sungguh-sungguh telah melihatku. Bagaimana mungkin orang yang bermimpi melihat beliau dalam suatu bentuk, telah melihatnya dalam bentuk tersebut, walaupun ia mengira bahwa ia melihatnya, padahal ia tidak tahu bahwa bentuk itu adalah bentuk beliau yang sebenarnya, dan ini merupakan suatu hal yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Ini adalah yang dinukil dan Ibnu Rusydi. Kesimpulannya, yang dilihat itu mungkin bukan Nabi SAW, walaupun orang yang melihat berkeyakinan bahwa itu Nabi SAW. 2. Ulama tabir mimpi berkata: Sesungguhnya syetan terkadang mendatangi orang yang tidur dengan bentuk orang-orang yang dikenal oleh orang yang bermimpi, namun terkadang juga dalam rupa orang yang tidak dikenal. Lalu ia mengatakan bahwa ia adalah Nabi, atau malaikat, atau orang yang tidak dapat diserupakan oleh syetan seperti yang disebutkan dalam nash. Dengan itu lalu syetan menghilangkan kesamaran pada orang yang bermimpi, dan ia mempunyai tanda menurut mereka. Jika demikian, bisa jadi syetan yang menyerupai orang lain itu akan memberikan perintah dan larangan yang tidak sesuai dengan syariat. Orang yang bermimpi menyangka bahwa hal itu bersumber dari Nabi, padahal sebenarnya tidak demikian. Oleh karena itu, jangan percaya dengan perkataannya. Alangkah layaknya contoh ini, sebab perintah dan larangan tersebut bertentangan dengan kesempurnaan yang terdapat pada bagian pertama, padahal itu diharapkan dapat bersesuaian, sehingga tidak menyisakan permasalahan yang membingungkan. Benar, mestinya masalah ini tidak dihukumi berdasarkan mimpi, namun benar-benar dihukumi berdasarkan ilmu, karena adanya kemungkinan bercampurnya satu bagian dengan bagian yang lain. Secara umum, tidak ada yang menggunakan mimpi sebagai dasar hukum kecuali orang yang lemah ilmunya. Benar, mimpi hanya berfungsi sebagai dorongan, kabar gembira, dan peringatan serta tidak dapat dijadikan Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin dasar hukum. Itulah keobjektifan dalam mengambilnya sesuai dengan yang dipahami dari syariat. Wallahu a’lam.

I. Intisari dan Argumentasi

Kami melihat alangkah baiknya menutup pembicaraan ini dengan sebuah perbuatan yang menghimpun sejumlah argumentasi-argumentasi yang lalu dan argumentasi lainnya yang senada maknanya, yang di dalamnya terkandung sejumlah kata-kata mutiara kitab ini. Ini termasuk sesuatu yang dibutuhkan, sesuai dengan waktu dan kondisi, walaupun agak panjang, namun membantu pembahasan yang sedang kita bicarakan. Yang dimaksud adalah pertanyaan tentang suatu kaum yang dipenuhi orang-orang fakir, mereka menyangka bahwa perbuatan mereka adalah tarekat orang-orang sufi. Mereka berkumpul —pada salah satu malam— untuk melaksanakan dzikir bersama dengan satu suara, kemudian diiringi dengan lagu dan berjoget hingga akhir malam. Dalam perkumpulan tersebut dihadiri pula orang-orang yang dikenal kefakihannya, yang berpakaian ala guru besar yang menunjukkan jalan ke tarekat tersebut. Apakah amal perbuatan ini benar? Jawabannya: Semua itu termasuk bidah yang dibuat-buat, yang bertentangan dengan tarekat cara Rasulullah, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada siapa saja yang dikehendaki dari makhluk-Nya. Jawaban kemudian itu sampai ke sebagian negeri, maka terjadilah kiamat pada orang-orang yang mengerjakan bidah tersebut, mereka takut tarekat mereka punah dan mereka tidak dapat makan, maka mereka berusaha keras untuk memenangkannya —demi kepentingan diri mereka— dengan cara menisbatkan diri kepada para sesepuh sufi yang secara jelas memiliki keutamaan dan terkenal tekun dalam beribadah kepada Allah serta mengamalkan Sunnah sebagai tarekat mereka. Tentu saja argumentasi mereka tidak dapat menolong, karena perbuatan mereka berlawanan dengan perbuatan kaum tersebut, yang mendirikan alirannya berdasar tiga hal: Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin 1. Mengikuti Nabi dalam akhlak dan perbuatan. 2. Makan makanan yang halal. 3. Mengikhlaskan niat pada setiap amal perbuatan. Jelas sekali perbuatan mereka bertentangan dengan perbuatan kaum tersebut, sehingga mereka tidak mungkin masuk dalam kelompok kaum tersebut. Berkat ketentuan Allah, salah seorang dari mereka bertanya kepada salah seorang syaikh saat itu, tentang permasalahan yang serupa dengan permasalahan tersebut, dan temyata ia menampakkan kebaikan pada zhahimya sehingga hal itu tidak mungkin dapat dimengerti oleh orang yang tidak memperhatikan. Ia menjawab —semoga Allah SWT memaafkannya— sesuai dengan zhahirnya tanpa menyinggung bidah dan kesesatan yang mereka lakukan. Ketika sebagian mereka mendengar jawaban ini, ia mengirim jawaban ini ke negeri lainnya, lalu pergi ke negeri yang bukan negerinya, kemudian menunjukkan pada rakyatnya bahwa ia memegang hujjah untuk tarekatnya yang mengalahkan semua hujjah, dan ia menuntut untuk diadakan perdebatan dalam permasalahan tersebut. Akhirnya orang itu diundang untuk tujuan itu, maka ia tidak berdiri dan juga tidak duduk, selain berkata, Ini adalah hujjahku lalu melemparkan kartu yang di dalamnya terdapat tulisan syaikh yang menjawab pertanyaan, dan ia, pencintanya, dan golongannya, berjingkrak kegirangan. Masalah itu sampai ke Gornathoh, kemudian ia meminta semua orang untuk mendebatnya dan tidak ada seorang pun yang mampu mendebat permasalahan itu kecuali menampakkan sisi kebenaran di dalamnya yang Allah kukuhkan, karena hal tersebut termasuk nasihat dalam agama yang lurus dan jalan yang lurus. Teks intisari pertanyaan: Apa yang dikatakan oleh syaikh fulan tentang sekelompok kaum muslim yang berkumpul dalam suatu ikatan di pinggir pantai pada malam-malam yang dianggap memiliki keutamaan. Mereka membaca bagian dari Al Quran, mendengarkan pembacaan kitab-kitab nasihat dan hiburan, yang dibacakan selama waktu memungkin, serta berdzikir kepada Allah dengan berbagai macam tahlil, tasbih, dan taqdis. Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin