Pendalaman dalam Al Istihsan

Ibnu Rusyd mendefinisikan al istihsan dengan berkata, Al istihsan yang banyak digunakan secara umum daripada qiyas adalah meninggalkan qiyas yang menyebabkan sikap ghuluw berlebihan dalam hukum pada sebagian masalah karena adanya alasan yang mempengaruhi hukum terhadap suatu masalah tertentu. Pengertian-pengertian tersebut pada intinya maknanya hampir sama. Jika ini yang dimaksud dengan al istihsan dalam madzhab Maliki dan Hanafih, maka al istihsan bisa dianggap sebagai dalil, karena sebagian dalil membatasi dan mengkhususkan sebagian yang lain, sebagaimana dalil dari Al Quran dan Sunah. Yang seperti ini tidak diingkari oleh Imam Syafii, maka tidak ada hujjah sama sekali bagi seorang mubtadi untuk membuat al istihsan. 10 contoh kasus untuk menerangkan maksud dari istihsan: 1. Meninggalkan suatu masalah ke masalah yang semisalnya karena adanya dalil dari Al Qur an, seperti firman Allah, Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka Qs. At-Taubah [9]: 103 Secara teks, ayat ini umum mencakup semua harta benda, akan tetapi syariat mengkhususkannya pada harta yang wajib dizakati. Jika ada yang bertanya: Hartaku ini untuk sedekah, maka secara zhahir mencakup semua harta. Akan tetapi yang dimaksud adalah harta yang wajib dizakati karena adanya dalil dari Al Quran yang mendukung hal ini. Maka para ulama menjawab, Hal seperti ini kembali kepada pen-takhsis-an sebuah keumuman dengan pernahaman Al Qur’an yang lazim. Contoh ini disebutkan oleh Al Kurkhi ketika memberikan contoh untuk istihsan. 2. Ulama madzhab Hanafi berkata: Bekas minum burung buas hukumnya najis karena diqiyaskan dengan binatang buas. Inilah sebab yang kuat dan inilah istihsan, karena binatang buas secara dzatnya bukan najis, tapi dikarenakan dagingnya haram, maka kenajisannya ditetapkan karena percampuran air dengan liurnya. Hal ini berbeda dengan burung, karena burung minum dengan paruhnya dan itu suci, maka bekas minumnya juga suci. Inilah sebab yang kuat, sekalipun samar. Jadi, pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang pertama, sekalipun perkaranya jelas. Ini merupakan pengamalan salah satu qiyas yang terkuat, yang telah disepakati oleh para ulama. 3. Abu Hanifah berkata, Jika ada empat orang memberikan persaksian atas seseorang yang berzina, tetapi setiap orang di antara mereka memberikan kesaksian dari segi yang berbeda, maka ia tidak bisa dihukum had. Namun menurut dalil al istihsan ia perlu dihukum had. Alasannya adalah, hukum had bisa dilaksanakan apabila telah ada empat saksi dan setiap orang menyebutkan sebuah rumah, meskipun setiap orang di antara mereka tidak satu tingkatan dalam pemberitaannya, karena terjadinya kata sepakat di antara mereka atas satu tingkatan yang sama persis tidaklah mungkin. Jadi, jika setiap orang di antara mereka hanya menyebutkan satu sudut pandang, maka itu menunjukkan kejadian itu berulang-ulang, dan sangat mungkin saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain. Jika ada yang berkata, Menurut qiyas perkara seperti ini tidak wajib dikenakan hukuman had, maka artinya secara zhahir keempat saksi tersebut tidak bersepakat atas terjadinya satu kali perzinaan. Bahkan pada ujungnya hal ini —secara zhahirnya— telah mengklaim para saksi yang adil sebagai orang-orang yang fasik, karena seandainya hukuman had tidak dilakukan, berarti para saksi adalah orang fasik. Padahal tidak ada alasan sama sekali untuk menyatakan mereka sebagai orang fasik, selama secara zhahir mereka adalah orang-orang yang adil. Hal ini bukan termasuk menghukumi sesuatu berdasarkan qiyas, akan tetapi berdasarkan apa yang disampaikan oleh Al Qur’an. Pada intinya, masalah ini dikembalikan pada pembuktian tentang ada tidaknya sebab yang mewajibkan adanya suatu hukum. 4. Dalam madzhab Maliki dinyatakan: Dibolehkan meninggalkan dalil karena adanya urf adat. la menghukumi sumpah dengan urf, padahal secara bahasa lafazh sumpah itu tidak ditunjukkan sama sekali oleh urf, seperti perkataan orang, Demi Allah, aku tidak akan masuk rumah bersama orang itu, maka ia dianggap melanggar sumpahnya jika masuk ke setiap tempat yang secara bahasa disebut rumah. Masjid juga disebut rumah, maka ia dianggap melanggar jika masuk masjid. Akan tetapi menurut urf, masjid tidak termasuk dalam kata rumah, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. 5. Meninggalkan dalil karena adanya maslahat, seperti: denda bagi pekerja meskipun ia bukan seorang tukang. Menurut madzhab Maliki, dalam masalah ini ada dua pendapat. Demikian juga seperti denda penjaga kamar mandi sewaan atas baju yang hilang, denda pemilik perahu, dan denda para cab pembantu. —Menurut pendapat Malik— pekerja pembawa barang juga wajib membayar denda, apalagi para tukang yang melakukan pekerjaan secara langsung -penrj. Adapun alasannya adalah dianalogikan dengan denda yang diwajibkan atas para tukang. Jika dikatakan: Bukankah ini termasuk bab al mashlahat al mursalah, bukan bab al istihsan? Maka jawabannya: Benar, hanya saja mereka menggambarkan al istihsan sebagai pengecualian dari sebuah kaidah, berbeda dengan al mashlahat al mursalah. Yang seperti ini cocok dalam masalah denda, karena para pelaku termasuk orang yang dipercaya, yang ditunjukkan oleh dalil, bukan dengan al bara ah alashliyyah pada dasarnya manusia itu terbebas dari tanggung jawab. Oleh karena itu, pemberlakuan ganti rugi atas mereka masuk dalam kategori pengecualian atas sebuah dalil dan masuk dalam bab al istihsan dari sudut pandang ini. 6. Mereka menyatakan ijma atas wajibnya denda bagi orang yang memotong ekor keledai milik Hakim. Maksudnya adalah denda seharga seekor keledai, bukan seharga hewan yang dipotong. Alasannya adalah, keledai tersebut hanya dipakai oleh Hakim untuk dikendarai, dan tidak mungkin dikendarai dengan cacat yang ada padanya, sehingga adanya keledai yang seperti ini sama saja dengan tidak adanya. Oleh karena itu, pelaku wajib menggantinya dengan harga penuh seekor keledai. Hal ini sesuai dengan tujuan khusus, meskipun pada dasarnya pelaku hanya berkewajiban mengganti seharga barang yang dipotongnya. Hal ini dilakukan dengan dalil al istihsan. Penegasan adanya ijma dalam masalah ini perlu mendapat perhatian, karena sebenarnya dalam masalah ini ada dua pendapat, baik dalam madzhab Maliki maupun yang lainnya. Akan tetapi pendapat yang kuat dalam madzhab Maliki adalah yang disebutkan tadi, sebagaimana yang disebutkan oleh Qadhi Abdul Wahab. 7. Meninggalkan sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil dalam masalah yang sepele dan jarang terjadi, guna menghilangkan kesusahan dan memberikan kemudahan bagi manusia. Jadi, boleh menukar sesuatu yang sepele dengan sejenisnya, dengan adanya perbedaan dalam ukuran ketika dalam timbangan dalam porsi besar. Bolehnya tukar-menukar uang antara yang satu dengan yang lain, jika salah satunya mengikuti yang lain. Boleh juga menukar uang dirham dengan perak yang ditimbang, karena selisih antara keduanya sangat sedikit. Padahal, pada dasarnya model transaksi-transaksi tersebut dilarang, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits, bahvwa —boleh tukar menukar antara— perak dengan perak dan emas dengan emas jika ukurannya sama. Barangsiapa menambah atau minta tambah maka ia telah melakukan riba. Alasan diperbolehkannya transaksi tersebut adalah, suatu hal yang sepele dihukumi seakan-akan tidak ada sama sekali, karena biasanya transaksi tersebut bukanlah tujuan utamanya. Lagi pula, mempersulit dalam masalah yang sepele ini akan mengakibatkan kesusahan dan kesulitan yang keduanya diangkat dihapus dari mukallaf. 8. Dalam kitab Al Utaibah dari riwayat Ashbagh, mengenai dua orang yang sama-sama menggauli seorang budak perempuan dalam satu kali suci, kemudian budak perempuan tersebut melahirkan seorang anak. Salah seorang di antara mereka mengingkari bahwa itu anaknya, sedangkan yang satunya lagi mengakuinya. Dalam hal ini perlu dilakukan penelitian atas orang yang mengingkari bahwa itu anaknya dalam masalah jima yang diakuinya. Apabila ketika ia menggauli budak tadi terjadi inzal keluarnya air mani darinya, maka pengingkarannya terhadap anak tersebut tidak dianggap, sehingga anak itu menjadi milik mereka berdua. Namun, jika ia mengaku telah melakukan azl mengeluarkan air mani di luar rahim wanita yang digauli saat jima yang diakuinya, maka dalam hal ini Ashbagh berkata, Aku berpendapat dengan dalil al istihsan, bahwa anak itu adalah anak temannya. Padahal menurut qiyas keduanya dalam posisi yang sama dan dimungkinkan telah terjadi pembuahan sementara ia tidak tahu. Dalam masalah ini Amr bin Ash RA berkata, Sesungguhnya tempat itu kadang terbalik. Ia berkata, Memberlakukan al istihsan dalam hal ini —yaitu dengan menisbatkan anak tersebut pada temannya, padahal menurut qiyas kedudukan mereka berdua sama— ada kalanya lebih kuat daripada qiyas. ? Ia lalu menceritakan riwayat dari Malik seperti pendapat ini. Ibnu Rusyd mencoba memberikan alasan pendapat ini: Pada dasarnya, orang yang menggauli budak perempuannya dan melakukan ad, lata budak tadi melahirkan seorang anak, maka anak itu dinisbatkan kepadanyanya, meskipun ia mengingkarinya. Demikian juga jika budak tadi dimiliki oleh dua orang dan keduanya menggaulinya dalam satu kali suci, sedangkan salah seorang di antara keduanya melakukan azl, sehingga ia mengingkari anak itu dan menganggap anak itu sebagai anak temannya yang tidak melakukan azl. Dalam masalah ini hukumnya sama apabila keduanya azatau melakukan inzal. Al istihsan —sebagaimana dikatakan— menghendaki anak tersebut dinisbatkan kepada orang yang mengaku telah melakukan inzal, sehingga terbebaslah orang yang mengaku telah melakukan azl, karena terjadinya anak pada umumnya dari proses inzal, bukan dari proses azl. Oleh karena itu, menurut dugaan yang kuat, anak tersebut adalah anak dari orang yang mengakuinya sebagai anaknya dan mengaku bahwa ia telah melakukan inzal. Hukum yang berdasarkan dugaan yang kuat termasuk sebuah dasar hukum, dan dalam hal ini memiliki pengaruh, maka harus diambil sebagai bentuk istihsan—sebagaimana yang dikatakan Ashbagh—. 9. Umat telah menganggap baik atas tidak adanya ketentuan yang baku untuk lama dan banyak sedikitnya air yang dipakai saat masuk kamar mandi sewaan. Pada dasarnya ini dilarang, tetapi mereka membolehkannya. Ini berbeda dengan perkataan pendukung bidah. Itu adalah hal lain yang hampir serupa dengan masalah ini, yang tidak keluar dari dalil sama sekali. Adapun masalah upah, ditentukan oleh adat kebiasaan urlf, maka tidak perlu ditetapkan secara baku. Sedangkan lamanya pemakaian dan banyak sedikitnya air yang dipakai, meskipun hal ini juga tidak ditetapkan dengan kebiasaan, maka sebaiknya disesuaikan dengan keperluan yang sewajarnya. Ini berdasarkan sebuah kaidah fikih yang mengatakan bahwa nafyu jami alghurur fi al uqud la yuqddir alaih peniadaan semua bentuk penipuan dalam masalah akad tidak ada ketentuannya. Kaidah ini mempersempit lingkup muamalah dan menghilangkan tawar-menawar ?. Hal ini dimaksudkan untuk meniadakan masalah dan sebagai langkah antisipasi terhadap perselisihan yang mungkin saja terjadi. Ini termasuk kategori pelengkap yang bila melihat sesuatu yang dilengkapi menjadi batal, maka tidak boleh dilakukan secara keseluruhan, guna menjaga sesuatu yang lebih penting —sebagaimana yang diterangkan dalam masalah ushul—. Oleh karena itu, sebagian bentuk penipuan yang ringan dan susah ditinggalkan perlu ditolerir dimaafkan dikarenakan susahnya meninggalkan hal itu dan susahnya untuk mengira-ngira. Akan tetapi dalam hal penipuan yang besar tidak boleh ditolerir, lantaran besarnya bahaya yang ditimbulkan. Namun, perbedaan besar kecilnya sebuah penipuan tidak ada pada semua hal dan hanya dilarang dalam beberapa macam hal yang akibatnya besar. Jadi, dibuatlah pokok-pokok untuk mengqiyaskan menganalogikan masalah-masalah yang tidak sedikit jumlahnya dalam hal boleh tidaknya suatu masalah tadi, dan ternyata kebanyakan hukumnya tidak boleh. Dari dua pokok inilah muncul berbagai masalah yang menjadi fokus pembahasan para ulama. Jika segi penipuannya sedikit, masalahnya mudah, pertentangannya sedikit, dan sangat perlu untuk ditolerir, maka pendapat ini perlu diambil. Termasuk dalam hal ini adalah masalah penetapan banyak sedikitnya air kamar mandi yang dipakai dan lama tidaknya waktu pemakaian. Para ulama berkata: Imam Malik dalam masalah ini sangat perhatian dan teliti. la membolehkan seseorang untuk mempekerjakan orang lain dengan upah makanan, walaupun dasarnya tidak ditentukan, karena hal itu termasuk masalah sepele dan tidak menjadi permasalahan yang berarti. la membedakan antara kemungkinan adanya unsur penipuan ringan yang berhubungan dengan waktu, lalu ia membolehkannya, dan antara adanya unsur penipuan besar yang berhubungan dengan upah, lalu ia melarang. Ia berkata, Seseorang boleh membeli suatu barang hingga musim panen tiba, meskipun tidak pasti harinya, akan tetapi jika seseorang menjual suatu barang dengan harga satu dirham atau kurang lebih itu, maka tidak boleh. Sebab perlu ada perbedaan dalam masalah ini, guna sebagai penentu harga secara pasti, karena hal itu tidak bisa ditentukan dengan adat kebiasaan. Hal itu tidak sama seperti masalah waktu, dan juga kadang-kadang orang lebih bisa mentolerir masalah waktu daripada masalah harga. Hal ini dikuatkan dengan riwayat Amru bin Ash RA, bahwa Nabi SAW pernah menyuruh membeli unta hingga dikeluarkan zakatnya. Hal ini tidak pasti kapan hari dan waktunya, tapi hanya berdasarkan perkiraan. Perhatikanlah bagaimana timbulnya pengecualian dari sebuah dasar hukum yang disebabkan oleh adanya kesusahan dan keberatan. Bagaimana mungkin ini termasuk dalam masalah al istihsan dengan akal yang hanya berlandaskan kebiasaan, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang? Jelas ada sebuah perbedaan yang sangat mencolok antara dua hal ini. 10. Mereka berkata: Sebagian dari al istihsan adalah memperhatikan masalah perbedaan ulama. Ini merupakan salah satu dasar dalam madzhab Maliki, yang mengandung beberapa masalah, antara lain: a. Air yang sedikit jika terkena najis dalam jumlah sedikit dan salah satu sifat airnya tidak berubah, maka ia tidak boleh dipakai untuk berwudhu dan diganti dengan tayamum. Jika salah seorang berwudhu dengan air tersebut, lalu mengerjakan shalat, maka shalatnya harus diulang selama masih ada waktu, dan tidak diulang jika waktunya telah habis. Pendapat tentang diulangnya shalat selama masih ada waktu didasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa air tersebut tetap suci dan menyucikan sehingga boleh digunakan untuk wudhu. Pendapat ini mengharuskan diulanginya shalat untuk selamanya ketika seseorang tidak berwudhu dengan air ini dan menggantinya dengan tayamum. b. Pendapat mereka dalam masalah nikah tidak sah, yang wajib dibatalkan jika tidak ada kesepakatan dikalangan ulama atas tidak sahnya nikah tersebut. Jadi, nikah tersebut batal dengan jalan cerai, tetapnya hak waris, dan mengharuskan adanya plrceraian sebagaimana dalam nikah yang sah. Tapi jika ada kesepakatan di antara ulama atas tidak sahnya nikah tersebut, maka nikah tersebut batal dengan jalan selain cerai, tidak adanya hak waris, dan tidak diharuskan adanya perceraian. c. Masalah orang yang lupa takbiratul ihram dan takbir ketika ruku bersama imam, sehingga ia harus melanjutkan shalatnya, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa hal itu cukup baginya, dan setelah imam salam ia harus mengulang shalatnya. Masalah-masalah seperti ini banyak sekali terdapat dalam madzhab Maliki, yang intinya adalah memperhatikan dalil mereka yang tidak sependapat dengan madzhab Maliki dalam beberapa hal, karena yang kuat menurut mereka belum tentu kuat pula menurut madzhab Maliki dalam beberapa hal. Aku telah menulis pembahasan tentang masalah perbedaan pendapat yang aku tujukkan kepada penduduk Maroko dan negara-negara Afrika lainnya karena adanya dua hal yang mendasarinya: Salah satunya adalah hal yang berkenaan khusus dengan masalah ini jika hal ini benar, yaitu, Apa dasar masalah ini dari syariat? Terdapat dalam kaidah fikih yang mana masalah ini? Dasar masalah ini, yang kami ketahui sampai sekarang, adalah hasil pangamatan yang bisa dijadikan dasar, dan kapan pun seorang mujtahid menguatkan salah satu dalil —meskipun dengan dalil tarjih yang paling lemah sekalipun— maka ia wajib mengambil dalil tersebut dan membuang yang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam kaidah ushul fikih. Dengan demikian, jika seorang mujtahid mengambil pendapat orang lain padahal dalil yang dipakai orang tersebut lemah menurut pendapatnya dan ia meninggalkan dalil yang ia kuatkan tarfih yang wajib ia ambil dan ikuti, maka ia telah bertentangan dengan kaidah yang berlaku. Sebagian mereka memberikan jawaban kepadaku dengan jawaban yang bervariasi, akan tetapi aku menyarankan kepada salah seorang dari mereka saudaraku, Abu Al Abbas bin Al Qabbab untuk meneliti kembali. Beliau mengirim surat padaku yang isinya: Kitab ini mengandung pembahasan tentang perlunya menanyakan kembali masalah perbedaan pendapat. Anda berpendapat bahwa lebih kuatnya salah satu di antara dua dalil yang ada dan mengutamakannya dari yang lainnya menyebabkan tidak berlakunya sama sekali dalil-dalil yang marjuh lemah. Anda juga mengkritik keras perkataan seorang mufti yang pada awalnya mengatakan, Ini tidak boleh. tapi setelah ia menyelaminya, kemudian ia membolehkannya. Karena hal seperti ini menyebabkan perkara yang terlarang menjadi boleh dilakukan bila telah dikerjakan. Anda juga berkata, Hal ini mungkin hanya bisa digabungkan dengan sesuatu yang makruh bukan yang haram. Serta masalah-masalah lainnya yang Anda sebutkan dalam tulisan Anda, yang semuanya merupakan pernyataan- pernyataan keras yang muncul dari sebuah pendapat yang mengingkari adanya al istihsan yang merupakan pendapat kebanyakan ulama, hingga Imam Syafii berkata, Barangsiapa mengambil al istihsan berarti telah membuat syariat baru. Sudah sangat banyak pengertian tentang al istihsan sampai mereka berkata, Pengertian yang paling mendekati kebenaran adalah, Al istihsan adalah sesuatu yang ada dalam diri seorang mujtahid, yang susah untuk diungkapkan. Jika seperti ini pengertian al istihsan yang menjadi dasar atas berbagai macam masalah, maka bagaimana dengan masalah-masalah yang disandarkan padanya? Tentu sangat susah cakupannya. Aku pernah berpendapat sebagaimana pendapat para ulama lainnya dalam masalah al istihsan dan masalah-masalah lain yang disandarkan padanya, akan tetapi karena ada hal-hal yang menguatkan tentang adanya al istihsan seperti fatwa-fatwa para khulafaurrasyidin dan sahabat tanpa adanya pengingkaran sama sekali dalam masalah ini, maka saya berpendapat dengan alistihsan. Inilah yang aku pegang dan yakini, karena kita memang disuruh untuk mengikuti dan mencontoh para sahabat. Salah satu contohnya adalah tentang seorang wanita yang menikah dengan dua lelaki, sedangkan lelaki yang kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut sudah menikah kecuali setelah menggaulinya. Umar, Muawiyah, dan Al Hasan berpendapat bahwa ia harus menceraikannya. Masalah ini mencakup semua perkara yang kalian pertanyakan, bahwa jika terbukti suami yang belum menggaulinya adalah suami yang pertama, maka berarti suami kedua telah menggauli istri orang lain. Bagaimana mungkin kelalaian yang ia lakukan membolehkan wanita tadi untuk tetap menjadi istrinya dan menganggap sah akad nikah yang ia lakukan, padahal ia menikahi istri orang lain dan telah membatalkan akad nikah lelaki suami pertama yang telah disepakati keabsahannya karena dilakukan sesuai dengan Al Quran dan Sunnah? Sepatutnya kelalaian tersebut hanya untuk meniadakan dosa dan hukuman had, bukan untuk menjadikan istri lelaki lain tetap menjadi istrinya dan memutuskan hubungan antara istrinya dengan suami pertamanya. Kasus ini serupa dengan kasus seorang wanita yang suaminya hilang dalam tidak diketahui lobar beritanya. Jadi, suaminya kembali sebelum istrinya menikah lagi, maka suaminyalah yang berhak mendapatkan istrinya kembali. Namun, jika ia kembali setelah istrinya menikah lagi dan sudah digauli oleh suaminya yang baru, maka suami pertamanya harus menceraikan istrinya. Lain halnya jika suaminya tersebut kembali setelah istrinya menikah lagi namun belum digauli oleh suaminya yang baru, maka ada dua pendapat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa istri harus melakukan iddah dari suaminya yang pertama. Apabila bisa dipastikan suaminya selamat tidak melakukan seperti apa yang disangkakan maka tidak boleh menikahi istrinya meskipun suaminya kembali sebelum istrinya nikah lagi. Demikian juga jika tidak ada kepastian tentang keselamatan si suami. Jadi, bagaimana mungkin wanita tadi boleh dinikahi lelaki lain, padahal ia masih menjadi istri tentang suaminya yang hilang? Diriwayatkan dari Umar dan Utsman, mereka berkata, Jika suami yang hilang kembali, maka ia diberi dua pilihan; istri atau mahar yang ia berikan pada istrinya. Jika si suami memilih mahar, maka si istri tetap menjadi istri dari suami yang baru. Hal ini berlawanan dengan qiyas. Ibnu Abdul Barr men-shahih-kan penukilan pendapat ini dari Umar dan Utsman. Ia juga menukil dari Ali RA bahwa ia pun berpendapat seperti ini dan menghukumi dengannya, meskipun pendapat yang masyhur dari beliau adalah tidak begitu. Demikian pula masalah-masalah yang terjadi di kalangan sahabat yang sangat banyak. Ibnu Al Muadil berkata, Jika ada dua orang memasuki waktu shalat, lalu salah seorang melakukan shalat dengan memakai baju yang terkena najis yang banyak ?, sementara yang satu orang lagi duduk menunggu hingga habis waktu shalat dan ia tidak mendekatkannya ?. Padahal, sebagian ulama menukilkan ijma bahwa orang tersebut wajib shalat walaupun dengan sengaja memakai baju yang terkena najis ?, dan tidak boleh mengakhirkan waktu shalat dikarenakan bajunya yang najis. Diantaranya adalah Al-Lakhmi dalam Al Maziri, serta di-shahih-kan oleh Al Baji. Inilah yang disampaikan oleh Abdul Wahhab dalam majelisnya. Metode yang kalian sebutkan —bahwa perkara yang pada awalnya dilarang tidak dianggap— setelahnya dilaksanakan untuk kedua orang tersebut telah berlawanan dengan perkataan Ibnu Al Muadil, karena ia berpendapat bahwa orang yang melakukan shalat setelah habis waktunya hams mengqadha shalat yang ia lalaikan, sedangkan yang lain belum melaksanakan shalat sebagaimana yang diperintahkan dan tidak mengqadha shalat. Jadi, tidak semua perkara yang pada awalnya dilarang tidak dianggap setelah dilaksanakan. Ad-Daruquthni men-shahih-kan hadits Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lain, dan tidak juga seorang wanita menikahkan dirinya sendiri nikah tanpa wall, karena pezina yang menikahkan dirinya tanpa wall. Ia juga mengeluarkan hadits dari Aisyah RA yang berbunyi, Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya tidak sah. -Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali— Jika suaminya telah menggaulinya maka ia berhak atas mahar, sebagai ganti dari apa yang telah didapatkan si suami darinya. Nabi SAW pada awalnya mengatakan bahwa akadnya tidak sah dan menguatkannya tiga kali, serta menyebutnya sebagai zina, dan ini paling tidak menyebabkan tidak sahnya segala sesuatu yang terjadi setelah akad. Akan tetapi beliau SAW menutup sabdanya dengan sebuah pernyataan yang mengandung sahnya sesuatu yang terjadi setelah adanya jima, Dan ia berhak mendapat mahar sebagai ganti dari apa yang telah didapatkan suaminya menggauli. Padahal, mahar seorang pezina adalah haram. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah Qs. Al MaaMdah [5]: 2 Dalam ayat ini Allah mengaitkan larangan atas pelanggaran tersebut dengan keinginan mereka mencari keutamaan dan ridha Allah, padahal mereka kafir kepada-Nya, sehingga tidak dianggap sah ibadah mereka dan tidak diterima amal mereka. Meskipun hukum ini telah dihapus di-naskh, namun tetapi bisa dijadikan dalil untuk masalah ini. Salah satu contohnya adalah perkataan Abu Bakar RA, Kamu akan mendapati sekelompok orang yang menganggap dirinya telah menghambakan diri kepada Allah para pendeta, maka tinggalkanlah mereka dan ibadah mereka. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menjadikan seorang pendeta sebagai tawanan budak dan perintah untuk membiarkan mereka dan peribadahannya —walaupun masih ada perselisihan dalam masalah ini—. Tidak boleh pula menjadikan orang yang tidak ikut berperang sebagai tawanan budak. Semua ini dilakukan karena mereka melakukan penghambaan kepada Allah -seperti anggapan mereka- dan ini adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT, meskipun dengan cara yang sangat salah dan keliru. Oleh karena itu, kita tidak boleh menilai salah ibadah seorang muslim meskipun hanya sekadar perkiraan yang dilakukan sesuai dengan dalil syari. Jika hal ini dilanjutkan, maka akan menjadi panjang pembahasan ini. Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah larangan dari syara; apakah itu menjadikan sesuatu yang dilarang menjadi batal dan tidak sah? Hal ini telah dijelaskan oleh para ahli fikih dan ahli ushul. Lalu, bagaimana tidak dengan masalah ini? Jika ada masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, yang disandarkan pada dalil yang masih diperselisihkan, berarti masalah tadi keluar dari permasalahan yang ada, maka kita tinggal men-tarjih menguatkan salah satu pendapat dari pendapat-pendapat yang ada masalah-masalah yang seperti ini, lalu setiap orang akan men-tarjih pendapat yang ia pandang paling kuat. Mungkin kita cukupkan pembahasan ini sampai di sini. Inilah yang ditulis oleh beliau kepadaku. Beliau telah menjelaskan secara panjang lebar tentang dalil-dalil yang menguatkan adanya al istihsan. Tidak mungkin dengan ini semua, setiap orang boleh berpegang pada sesuatu yang ia anggap baik {al istihsan tanpa menggunakan dalil sama sekali.

D. Dalil yang Digunakan Seorang Mujtahid dalam Al Istihsan

Jika hal-hal yang disebutkan tadi sudah menjadi ketetapan, maka terlebih dahulu kita lihat dalil-dalil yang mereka gunakan. Adapun mengenai definisi al istihsan, yaitu: sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid dengan pandangan akalnya dan sesuai dengan pendapatnya. Ini menunjukkan seakan-akan mereka berpendapat bahwa alistihsan termasuk bagian dari dalil hukum yang berlaku. Hal ini pasti akan mengakibatkan bolehnya akal menolak suatu dalil syariat. Bahkan boleh jadi ada anggapan bahwa pandangan orang awam bisa dijadikan hukum dan boleh diamalkan oleh mereka. Akan tetapi hal itu belum pernah terjadi dan belum pernah ada orang yang beribadah berdasarkan pandangan tersebut, baik dengan spontan, dengan pandangan akal, maupun dengan dalil syari yang qathi dan yang dzanni. Jadi, hal tersebut tidak boleh dijadikan sandaran dalam hukum Allah, karena itu merupakan bentuk pensyariatan atas dasar akal semata. Kita juga tahu bahwa para sahabat membatasi pandangan mereka atas peristiwa-peristiwa yang terjadi yang tidak ada dalilnya sama sekali dengan jalan istinbat hukum dan mengembalikannya pada pokok-pokok hukum yang berlaku. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang berkata, Sesungguhnya aku menghukumi masalah ini dengan hukum tertentu berdasarkan perasaan yang ada, karena hal inilah yang aku sukai dan senangi. Jika ada orang yang berkata seperti itu maka orang lain pasti akan mengingkarinya dengan sangat keras dan dikatakan kepadanya, Bagaimana bisa kamu memberi hukum dengan berdasarkan pada perasaan dan kata hatimu saja kepada manusia? Ini jelas suatu hal yang sangat keliru. Bahkan mereka para sahabat selalu berdiskusi dan saling mengkritik yang sesuai dengan syariat. Seandainya suatu hukum dikembalikan hanya kepada alistihsan, maka diskusi-diskusi yang mereka lakukan tidak akan ada artinya, karena manusia berbeda-beda dalam hal keinginan, tujuan, selera, dan hal-hal lainnya. Manusia tidak lagi membutuhkan sikap saling kritik dengan berkata, Kenapa kamu lebih suka minum ini? Tentunya syariat tidak seperti ini. Terlebih lagi orang yang suka melakukan ritual-ritual bidah, biasanya mereka tidak suka mengkritik dan dikritik. Mereka enggan untuk berdiskusi dengan orang alim atau yang lainnya, lantaran takut terbuka semua kesalahannya, sebab tidak ada dalil yang dapat mereka jadikan sandaran. Mereka akan bersikap baik ketika bertemu orang alim, tetapi jika mereka bertemu orang awam yang bodoh, mereka akan menyampaikan hal-hal yang berbau syubhat untuk menggoncang dan meracuni agama orang tersebut. Jika mereka melihat adanya keraguan dan kebingungan dalam diri orang tersebut, maka mereka memberikan bidah-bidah mereka secara bertahap. Mereka tidak segan-segan mengklaim para ulama sebagai orang yang cinta dunia dan menganggap diri mereka sebagai orang pilihan Allah dan kekasih- Nya. Mungkin juga mereka menguatkan perbuatan mereka dengan perkataan para sufi ekstrem yang akan mengantar mereka ke dalam neraka Jahannam. Adapun untuk berdialog dan berdiskusi dengan orang alim, mereka tidak akan bersedia Perhatikanlah riwayat yang dinukil oleh Al Ghazali tentang tahapan- tahapan yang dilakukan oleh kaum Batiniyah untuk memperdaya orang lain agar masuk ke madzhab mereka. Kamu akan temukan bahwa dalam usahanya tersebut mereka selalu menggunakan tipuan-tipuan yang sama sekali tidak berdasar pada ilmu, hingga mereka bisa mengeluarkan orang lain dari jalan Sunnah atau bahkan keluar dari agama secara keseluruhan. Jika bukan karena takut membosankan, aku akan pasti akan nukilkan perkataan beliau secara lengkap. Bagi yang ingin mengetahui hal ini bacalah kitabnya Fadhaih Al Bathiniyyah [Kerancuan-Kerancuan Paham BathiniyahJ Adapun definisi al istihsan yang kedua telah dijawab, yaitu: seandainya pintu ini dibuka, maka batallah seluruh dalil yang ada dan setiap orang bebas memilih apa saja yang ia sukai dan mencukupkan diri dengan pendapat akal, lalu lawan bicara secara langsung akan menolak pendapatnya. Hal ini akan menyebabkan kerusakan. Seandainya pendapat ini diterima dan disesuaikan dengan dalil yang ada artinya jika salah maka tidak dianggap dan jika benar maka dikembalikan pada dalil-dalil syari, maka tidak apa- apa. Dalil pertama tidak ada kaitannya sama sekali, karena hal terbaik yang wajib kita ikuti adalah dalil-dalil syari, terutama Al Quran, karena Allah berfirman, Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al Qur’an yang serupa mutu ayat-ayatnyaj Az-Zumar [39]: 23 Diriwayatkan oleh Muslim, bahwa dalam sebuah khutbah beliau bersabda,