Kelompok kedua: Mujtahid dan Muqallid Orang yang Mengikuti tanpa Mengetahui Dalil

orang yang mengikutinya, dan sekarang nama itu dinisbatkan kepadanya. la berasal dari Kufah dan suka kepada hal-hal yang zuhud. Pada suatu hari ia bertemu seorang dai penyeru aliran Bathiniyah yang sedang berjalan menuju perkampungannya, orang itu menggiring beberapa ekor sapi, maka Hamdan berkata kepadanya sedangkan ia tak tahu keadaannya, Sepertinya aku melihatmu berjalan dari tempat yang jauh, kemanakah tujuanmu? Orang itu lalu menyebutkan sebuah tempat, dan temyata tempat itu adalah desa Hamdan. Hamdan pun berkata, Naikilah salah satu sapi itu, agar kamu bisa sedikit beristirahat dari letihnya perjalanan. Tatkala ia melihatnya Hamdan condong kepada banyak agama, orang itu masuk dari pintu itu untuk menarik Hamdan, lalu berkata, Sesungguhnya aku tidak percaya, tapi aku diperintahkan untuk itu. Hamdan kemudian berkata, Seakan-akan kamu tidak mengerjakan sesuatu kecuali atas perintah Ia berkata, Ya Hamdan lalu berkata, Atas perintah siapa kamu melakukannya? Ia berkata, Atas perintah yang memilikiku, memilikimu, serta yang memiliki dunia dan akhirat. Ia Hamdan berkata, Itulah Tuhan semesta Alam Ia berkata, Kamu benar, tapi Allah memberikan kerajaannya kepada orang yang ia kehendaki. Ia berkata, Lalu apa maksud kedatanganmu ke desa yang kamu tuju? Ia berkata, Aku diperintahkan untuk menyeru kepada penduduknya untuk pergi dari kebodohan kepada pengetahuan, dari kesesatan kepada petunjuk, dan dari kesengsaraan menuju kesenangan, serta untuk menolong mereka dari keterpurukan dan kemiskinan. Sesungguhnya aku memiliki jalan keluar bagi mereka untuk pergi dari keletihan dan kepedihan hidup. Hamdan berkata, Tolonglah aku Mudah-mudahan Allah akan menolongmu Siramilah aku dengan ilmu yang dapat menghidupkan —jiwa—ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan semua hal yang Anda sebutkan Ia berkata, Sesungguhnya aku tidak diperbolehkan untuk mengungkapkan rahasia yang tersembunyi kepada siapa pun kecuali setelah aku mempercayainya dan mengambil suatu perjanjian dengannya. Ia Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Hamdan berkata, Apa perjanjianmu? Sebutkanlah, maka aku akan melaksanakannya la berkata, Kamu harus berjanji pada dirimu, demi Allah, akan menjaga semua rahasiaku dan rahasia Al Imam. Kamu tidak boleh membuka rahasia Al Imam yang aku beritahu kepadamu dan kamu juga tidak boleh menyebarkan rahasiaku. Setelah itu Hamdan memenuhi dan melaksanakan perjanjiannya, lalu mulailah penyeru itu mengajarkan ilmu-ilmu kebodohannya sehingga ia dapat memperdayai Hamdan. la pun selalu mengikuti semua ajakan penyeru itu, lalu ia mulai berkecimpung dalam dakwah dan menjadi pemuka dari para pemuka bidah. Oleh karena itu, para pengikutnya dinamakan dengan sebutan Al Qaramithah. b. Lebih berprasangka baik kepada pelaku bidah dan ia mengikutinya. Ia tidak mempunyai dalil khusus tentang hal tersebut kecuali prasangka baik terhadap pelaku bidah secara khusus. Yang mengikuti bentuk kedua ini kebanyakan berasal dari orang awam. Contohnya: kisah yang disebutkan dalam firman-Nya, Apabila dikatakan kepada mereka, Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab, Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. Qs. Al Maa’dah [5]: 104 dan Berkata Ibrahim, Apakah berhala- berhala itu mendengar doamu sewaktu kalian berdoa kepada- Nya... atau dapatkah mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat? Mereka menjawab, Bukan karena itusebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian. Qs. Asy-Syuaraa [26]: 72-74 Al Masudi menceritakan: Suatu ketika di perkampungan yang ada di Mesir ada seorang lelaki Nasrani dari daerah Qibthy yang menampakkan agamanya. Orang itu terkenal dengan keilmuannya dan kearifannya. Kabar itu pun sampai ke telinga Ahmad bin Thalun penguasa Mesir saat itu, maka ia memerintahkan untuk menghadirkannya. Ia lalu mengajukan permohonan kepada orang itu Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin tentang banyak hal, diantaranya memintanya untuk datang ke suatu majelis yang dihadiri oleh beberapa orang yang pandai dalam ilmu kalam, untuk menanyakan bukti-bukti kebenaran agama — Nasrani— nya. Kemudian mereka menanyakan hal itu, ia pun berkata, Dalilku akan kebenarannya agama Nasrani yaitu bahwa keberadaanku di sana {shaidj bertentangan dengan yang lain, bertolak belakang dengan yang bin, dan ditentang oleh akal dan dijauhi oleh jiwa-jiwa manusia karena keanehannya. Berlawanannya dengan agama lain, tidak ada pandangan yang dapat menguatkannya, tidak ada alasan yang membenarkannya, dan tidak ada bukti yang menguatkannya, baik dari akal maupun dari perasaan seorang pengkaji yang mengkajinya. Akan tetapi walau demikian aku melihat banyak umat dan raja-raja agung yang mempunyai pengetahuan yang luas, tunduk kepadanya agama Nasrani dan memeluk ajarannya —walaupun ada ketimpangan dan pertentangan dengan akal—. Aku jadi aku mengerti bahwa mereka tunduk kepada ajarannya dan memeluk agamanya karena bukti-bukti yang telah mereka lihat dan tanda-tanda serta mukjizat yang telah mereka ketahui, yang mewajibkan mereka untuk tunduk kepadanya dan memeluknya. Dengan pemyataannya tersebut, bertanyalah seseorang kepadanya, Apakah segi agamamu yang bertentangan dan dan bertolak belakang itu? Apakah hal itu akan diketahui atau dimengerti tujuannya? Diantaranya adalah; perkataan mereka bahwa tiga itu satu dan satu itu tiga. Serta penyifatan mereka terhadap seorang manusia dan ruh kudus serta Dia Tuhan adalah Trinitas. Apakah pada diri manusianya terdapat kemampuan atau pengetahuan? Juga dalam hal pernahaman mereka tentang bersatunya Tuhan mereka Yang Qadim tidak ada yang mendahului dengan manusia atau seorang hamba yang Muhdits yang baru tercipta. Juga dengan yang terjadi pada kelahirannya, penyalibannya, dan pembunuhannya, apakah ada penghinaan yang lebih besar dan keji dari seorang Tuhan yang disalibkan dan diludahi Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin muka-Nya, lalu diletakkan di atas kepalanya mahkota duri dan dipukul kepalanya dengan kayu? Diikat dan dipaku kedua kakinya, ditusuk kedua tangannya dengan mata pisau dan kayu? la minta air untuk minum tapi diberikan kepadanya cuka dari semangka khanzalah? Mereka tidak mendebatnya, meski banyaknya masalah yang bertentangan dan bertolak belakang dalam agamanya. Bukti yang dapat diambil dari cerita tersebut adalah bertumpunya secara total terhadap para sesepuh dan orang-orang tua tanpa disertai bukti dan dalil. 3.Kdompokketiga: Pada bagian ini juga ada bermacam-macam, mereka yang ber-taqlid kepada orang lain dengan landasan kaidah Al ashlu bara ah minadz-dzirnmah, yaitu yang mengatakan bahwa pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Hal ini tidak luput dari dua kemungkinan: Pertama, di sana terdapat orang lain yang lebih patut untuk ditiru atau diikuti daripada dia. Hal ini disebabkan penyebutan orang itu hanya dibesar- besarkan di kalangan masyarakat luas dalam hal agamanya, baik di kalangan awam maupun orang alim. Juga disebabkan oleh pengagungan mereka terhadap orang itu yang melebihi pengagungan mereka terhadap orang lain. Kedua, di sana tidak ada orang yang lebih patut untuk ditiru kecuali ia, tetapi ia tidak mendapatkan pengagungan yang besar dari masyarakat luas setinggi apa yang mereka lakukan terhadap orang lain yang ditiru. Apabila ada orang yang mendapat posisi yang demikian akan tetapi mereka meninggalkan orang yang pantas untuk diikuti, lalu mengikuti orang lain, maka orang ini berdosa apabila tidak kembali kepada orang yang pantas untuk diikuti, terlebih lagi bila ia meninggalkannya orang yang pantas dan membiarkan dirinya pada posisi yang merugi mengikuti orang yang tidak pantas. Alasan apa pun atas perbuatannya itu, maka tetap tidak bisa diterima, karena ia telah mengikuti orang yang tidak mengerti agama, maka ia dihukumi Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin sama seperti orang yang telah mengerjakan suatu bid ah namun mengira bahwa ia berada pada jalan yang lurus. Inilah kondisi saat Rasulullah SAW diutus kepada mereka dan mereka meninggalkan ajaran agama mereka yang benar, tetapi mereka lagi kembali kepada kesalahan yang sama seperti yang dialami oleh orang-orang tua mereka, dan tidak melihat dengan sebenar-benarnya karena hawa nafsu telah menutupi akal sehat mereka, sehingga mereka tidak bisa membedakan antara dua jalan yang berbeda. Demikian juga orang yang memiliki kondisi semacam ini. Jarang sekali Anda temukan sifat orang yang termasuk dalam golongan ini, kecuali ia membela memberikan argumen atas perbuatannya dan mempertahankannya, hanya karena ia meniru dan mengikuti sesuatu yang ia anggap benar. Diriwayatkan oleh Al Baghwi dari Abu Ath-Thufail Al Kinani bahwa pada zaman Rasulullah SAW dikabarkan bahwa seseorang telah dikaruniai seorang anak laki-laki, lalu orang itu membawa anaknya kepada Rasulullah SAW, maka beliau mendoakan anak tersebut agar menjadi anak yang —selalu mendapatkan— berkah. Rasulullah kemudian memegang kening anak tersebut, lalu dari kening anak tersebut tumbuhlah rambut yang menyerupai jambul kuda. Ia berkata lagi, Ketika anak tersebut beranjak dewasa, tatkala pada zaman Khawarij, anak tersebut menjadi pengikut aliran Khawarij, temyata jambul yang ada di kening menjadi rontok. Bapaknya lalu mengambilnya anak itu dan mengurungnya karena takut anaknya ditemui oleh seseorang sehingga ia dihukum. Ia melanjutkan, Kami pun menemuinya dan menasihatinya, kami berkata, Tidakkah kamu melihat berkah Nabi SAW telah hilang? Ia berkata, Kami masih terus menasihatinya sehingga ia kembali dari pendapat mereka golongan Khawarij. Tatkala anak tersebut telah bertobat, Allah SWT mengembalikan rambutnya keningnya ditumbuhi rambut kembali. Apabila tidak ada pendukung bagi orang yang diikuti ini karena ia Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin tidak dipandang oleh masyarakat, namun ia memposisikan dirinya sebagai orang yang patut untuk diikuti, maka dalam masalah apa mengatakan orang ini berdosa atau tidak berdosa? Ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan, namun ada kecondongan untuk mengatakan bahwa ia berdosa. Masalah yang sama dengan hal ini adalah masalah Ahlul Fatarat 14 yang mengerjakan ibadah dengan mengikuti bapak-bapak mereka dan ketidaktahuan orang-orang pada zamannya tentang cara beribadah kepada Allah SWT, karena para ulama mengatakan tentang hukum mereka. Mereka terbagi atas dua kelompok, yaitu: Pertama, kelompok yang tidak mendapatkan ajaran syariat dan tidak mengetahui cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka ia tidak mengerjakan sesuatu yang menurutnya belum tentu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, sehingga ia mengerjakan sesuatu yang dikerjakan oleh orang-orang pada zamannya yang tidak memiliki sandaran kecuali hal-hal yang mereka anggap baik, dan hal tersebut tidak membuatnya takut untuk tidak memilih jalan orang-orang pada zamannya. Orang seperti ini adalah orang yang benar-benar termasuk dalam keumuman ayat Al Qur an dalam firman Allah SWT, Dan Kami tidak akan mengadzab sebeum Kami mengutus seorang rasul. Qs. Al Israa [17]: 15. Kedua, kelompok yang berada dalam kebimbangan terhadap sesuatu yang dikerjakan oleh orang-orang pada zamannya dalam peribadahan terhadap selain Allah. Juga dalam kebimbangan antara penghalalan dengan pengharaman sesuatu yang menggunakan akal pikiran, akan tetapi ia menyetujui mereka dalam keyakinan mereka yang salah. Dalam hal ini ulama mengategorikan mereka sebagai orang yang tidak mendapat udzur dan mempunyai andil dalam berbuat dosa, karena menyetujui dan mengikuti or- ang-orang pada zamannya. Dalam pekerjaan ia juga membela dan mempertahankan ajaran tersebut. Oleh karena itu, mereka dianggap sebagai ahlinya baca; pengikutnya, begitu pula dengan pembahasan yang sedang 14 Yaitu orang-orang yang hidup di antara pengutusan dua nabi, sedangkan mereka tidak merasakan keduanya. Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin kita bicarakan, karena keduanya tidak memiliki perbedaan antara keduanya. Sebagian ulama ada yang mengartikan ungkapan dalam ayat Al Qur’an secara mutlak dan berkata, Bagaimanapun keadaan seseorang, ia tidak akan diadzab kecuali setelah pengutusan seorang rasul dan mereka tidak diterima kecuali setelah pengutusan. Apabila hal ini bisa dianggap sebagai suatu perkataan, maka timpalannya dalam masalah kita adalah adanya seorang alim yang lebih mengetahui dalam urusan agama daripada orang yang telah diikuti dan mampu menerangkan serta membedakan antara Sunnah dengan bidah. Apabila seorang muqallid mengembalikan permasalahan agamanya kepadanya orang yang lebih alim dan tidak bersikeras berpegang kepada yang pertama, berarti ia telah menjalankan sebuah kehati-hatian yang merupakan sikap dari orang-orang yang memiliki akal sehat dan mendambakan keselamatan. Akan tetapi apabila ia bersikeras berpegang kepada yang pertama, maka jelaslah kekerasan hatinya, karena meski keadaan telah jelas di hadapannya, namun ia tidak rela dengan hal tersebut. Ketidakrelaannya itu dikarenakan hawa nafsu yang ada dalam dirinya dan rasa fanatik yang selalu mengikutinya, sebagaimana seekor anjing yang selalu mengikuti tuannya. Apabila demikian adanya, maka ia tidak akan bisa mempertahankan madzhab tuannya dan akan mengangkat dalil dengan sekuat tenaga untuk sesuatu yang ia pertahankan, dan hukumnya telah dikemukakan di depan. Anda telah melihat seseorang yang membawa syariat, yaitu Rasulullah SAW, yang diutus kepada para pelaku bidah dan pengikut hawa nafsu yang bersandar kepada bapak-bapak dan pembesar-pembesar mereka dalam urusan agama. Mereka mereka menolak syariat yang dibawa oleh Rasulullah, karena godaan hawa nafsu telah menutupi hati mereka, sehingga samar bagi mereka antara mukjizat dengan hal-hal lainnya. Anda melihat bagaimana syariat yang dibawa beliau SAW menjadi suatu hujjah alasan atas mereka secara mutlak dan umum, sehingga setiap orang yang meninggal dunia dari mereka semua digiring ke neraka tanpa pembedaan antara pembangkang secara terang-terangan dengan yang tidak. Pengutusan beliau SAW berarti datangnya suatu hujjah kepada mereka, karena telah datang bukti-bukti yang Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin menerangkan tentang yang hak yang mereka tentang dan yang batil bidah. Orang yang menjalankan dengan hati-hati berarti telah menyelamatkan agamanya, sedangkan orang yang mengikuti hawa nafsu akan ditimpa kehancuran. Cukup Allah sebagai pelindung kita.

B. Penjelasan Tambahan tentang AhluI Ahwa dan Ahlul Bidah

Dalam pembahasan ini kita tambahkan sedikit penjelasan sebagai penguat, karena hal itu adalah suatu masalah yang pelik, yang merupakan penelitian tentang pokok permasalahan kitab ini dan permasalahan- permasalahan yang mencakup isinya. Semoga Allah memberikan taufik-Nya. Sesungguhnya ungkapan Ahlul Ahwa dan Ahlul Bid’ah diungkapkan secara benar-benar kepada mereka yang mengadakan suatu pembaharuan dan mengedepankan hawa nafsu dalam mengambil suatu kesimpulan. Mereka membela syariat pembaharuan tersebut dengan cara menunjukkan dalil- dalil kebenarannya menurut perspektif mereka. Mereka menganggap semua yang berbeda dengan mereka adalah aliran sesat dan sesuatu yang menyerupainya perlu diteliti atau untuk ditolak, atau dijawab, sebagaimana kita memberi laqab atau julukan kepada kelompok Mutazilah, Qadariah, Murji’ah, Khawarij, Bathiniah, dan nama-nama lain yang sepertinya. Juhikan- julukan tersebut ditujukan kepada mereka yang menjalankan aliran tersebut, baik sebagai pengambil kesimpulan maupun sebagai pembela aliran tersebut, dan yang demikian ini telah melebar, seperti julukan Ahlus-Sunnah, yang dituliskan bagi pembela-pembelanya, dan bagi yang mengambil kesimpulan agar mengikuti dan menjaga sesuatu yang harus dijaga pada aliran ini. Yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah SWT, Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan. Qs. Al Anaam [6]: 159. Dalam ayat ini terasa pengungkapan lafazh secara mutlak kepada orang yang memecah-belah, bukan khusus kepada orang yang memulainya atau bagi penggantinya. Begitu juga firman Allah SWT, Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin bercerai-berai dan berselisih. Qs. Aali Imraan [3]: 105 dan Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat. Qs. Aali Imraan [3]: 7 Di sini, mengikuti ayat-ayat mutasyabih hanya untuk mereka yang menduduki posisi mujtahid. Begitu pula sabda Nabi SAW, Hingga apabila tidak ada lagi orang yang alim dalam agama, maka ketika itu orang-orang akan memilih orang bodoh sebagai pemimpin mereka, mereka ditanya lalu mereka mengeluarkan fatwa tanpa ilmu. Yang demikian itu karena mereka memposisikan diri mereka dalam posisi pengambil kesimpulan dalam masalah hukum syariat yang patut diikuti. Berbeda halnya dengan orang awam, mereka hanya mengikuti semua hal yang telah ditetapkan oleh bapak-bapak mereka dan pendahulu-pendahulu mereka, karena keputusan itu adalah kewajiban mereka pendahulu-pendahulu mereka. Oleh karena itu, mereka bukan orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih secara benar-benar, dan mereka tidak mengikuti hawa nafsu mereka, akan tetapi mereka mengikuti semua yang dikatakan kepada mereka dari para pendahulu. Oleh karena itu, ahlul ahwa tidak ditujukan kepada mereka orang awam, sehingga mereka memahami hal tersebut dengan pengamatan mereka sendiri, hingga mereka bisa membedakan; apakah ini baik atau buruk, ketika itu baru bisa ditetapkan lafazh ahlul ahwa dan ahlul bidah ditujukan kepada orang yang memposisikan dirinya kepada pelaku bidah dan membenarkan pendapatnya. Namun bagi orang yang tidak sadar atau tidak menyadari posisi dirinya dan orang-orang yang mengikuti jejak pemimpin-pemimpinnya hanya dengan ikut-ikutan dan tanpa pengkajian ulang, maka tidak disebut demikian. Hakikat permasalahan sebenamya terbagi atas dua bagian; Al Mubtadi Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin