Penjelasan Sepuluh Contoh Tadi
m. Dalam masalah memandikan mayit, kita tidak mendapatkan maknanya yang masuk akal, sebab ia sudah tidak sebagai mukallaf.
Lalu kita diperintahkan menshalatinya empat takbir tanpa ruku dan sujud tasyahhud. Dalam takbir shalat mayit juga menggunakan
empat takbir, bukan dua, enam, tujuh, atau bilangan yang lain. n. Dalam masalah puasa, terdapat ibadah-ibadah yang tidak bisa
dipahami oleh akal; mengapa menahannya pada siang hari dan tidak pada malam hari? Mengapa yang dilarang hanya makan dan
minum, bukan pakaian, kendaraan, pandangan, jalan, bicara, atau hal-hal lainnya? Adapun masalah jima adalah seperti masalah
makanan, di mana jima sifatnya mengeluarkan adapun makanan adalah dimasukkan. Adapun bulan Ramadhan —walaupun telah
diturunkan Al Quran di dalamnya— namun ia bukan hari-hari perkumpulan, walaupun ia adalah hari yang matahari nampak paling
baik dibandingkan dengan yang lainnya, atau mengapa jumlah puasa tidak lebih banyak atau lebih kurang dari sebulan. Kemudian masalah
haji, yang memiliki cakupan ibadah yang sangat banyak. Demikianlah, kita dapatkan umumnya masalah ibadah dalam bab-
bab fikih, yang tidak dikerjakan ? bahwa dengan mempelajari secara mendalam, ada makna yang diketahui sebagai maksud dari syariat,
bahwa memang itulah yang dituju dan dari situlah diambil fear-nya, yaitu bahwa setiap taklif termasuk dari sisi ini, maka Pembuat
syariat menghendaki untuk berhenti padanya dan memisahkan pandangan ijtihad darinya secara umum, namun hanya diserahkan
kepada yang membuat syariat dan berserah diri kepada-Nya dalam hal ini. Sama saja bagi kita, baik kita katakan, Taklif-taklif itu
memiliki alasan yang sesuai dengan maslahat hamba, maupun tidak kita katakan demikian. Ya Allah, melainkan sedikit dari masalah-
masalah taklif nampak suatu makna dalam yang bisa kita pahami dari syariat dan kita ambil itibar-nya, atau kita saksikan dalam
sebagiannya tidak ada perbedaan antara yang di-nash atau didiamkan. Jadi, tidak ada masalah jika ada permasalahan yang
timbul, sebab kita harus mengembalikannya
kepada kaidah pokok itu, karena itulah pokok yang menjadi pegangan kuat bagi seseorang yang mendalami ilmu syariat, dan pokok itu baginya
seperti gunung yang kokoh. Oleh karena itu, Hudzaifah berkata, Setiap ibadah yang tidak
dilakukan oleh sahabat Rasulullah SAW jangan kalian lakukan, sebab generasi yang awal tidak membiarkan generasi yang akhir untuk
membuat suatu pendapat, maka bertakwalah kepada Allah wahai para qari dan ikutilah jalan orang yang sebelum kalian.
Riwayat yang semisal juga diberitakan dari Ibnu Masud. Banyak riwayat lain yang sebelumnya sudah kami paparkan.
Itulah yang membuat Malik berkomitmen untuk tidak menoleh makna-makna dalam melaksanakan ibadah, walaupun terkadang makna
itu bisa ia cermati. la bermaksud mengambil, sebagaimana yang dikehendaki oleh Penentu syariat, yaitu agar seorang hamba
menyerahkan diri kepada-Nya seperti apa adanya. Ia tidak menoleh keumuman makna menghilangkan kotoran dan mengangkat hadats,
hingga mensyaratkan niat dalam menghilangkan hadats. Menurutnya, tidak ada yang bisa menggantikan posisi air —walaupun bisa bersih—
meskipun posisinya sederajat dengan air yang mutlak. Ia tidak sepakat dilakukannya takbir, salam, dan membaca ayat selain dengan bahasa
Arab, sebagaimana dalam masalah penghalalan, pengharaman, dan sah atau tidaknya. Ia tidak setuju mengeluarkan zakat dengan nilai
tukar bukan dengan barang. Dalam masalah kafarat ia sangat menjaga jumlah yang sudah ditentukan. Banyak lagi hal-hal lainnya.
Pada semua hal itu ia memilih untuk tawaquf dan menerima apa adanya, sebagaimana yang telah dibatasi oleh Pembuat syariat, bukan
yang terkandung dalam makna munasib pertalian —walaupun makna itu tergambar—; sebab makna pertalian yang tergambar dalam masalah-
masalah ibadah sangatlah sedikit. Berbeda dengan bagian adat kebiasaan yang berjalan di atas makna
pertalian antara yang zhahir dengan yang akal. Dalam hal adat
kebiasaan ini Malik sangat lepas ketika memahami makna-makna yang bersifat maslahah. Begitulah, dengan tetap menjaga maksud dari
Pembuat syariat, selama tidak keluar dari maksud itu dan tidak bertentangan dengan salah satu kaidah pokoknya. Hingga ulama
menganggap tidak baik tentang jumlah yang banyak dalam hal al rmslahat al mursalah yang diputuskannya. Mereka sempat menyangka
Malik bebas ikatan dan membuka pintu pembuatan syariat. Sangat jauh sekali sangkaan ulama dalam pribadi Malik Alangkah
jauhnya ia —rahimahullahu— dari berita itu Dia bahkan orang yang cukup ber-ittiba dalam fikihnya, hingga orang mengatakan bahwa ia
sebagai manusia yang ber-taqlid kepada orang sebelumnya. Sesungguhnya ia adalah orang yang memiliki bashirah dalam
agama Allah ini, sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat-sahabat dalam buku perjalanan hidupnya.
Bahkan Ahmad bin Hanbal berkata, Apabila engkau melihat seseorang membenci Malik, maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang
mubtadi. Ini adalah persaksian yang tertinggi tentang sikap ittiba Malik.
Abu Daud berkata, Aku khawatir orang itu yakni orang yang membenci Malik berbuat bidah.
Ibnu Mahdi berkata, Apabila engkau mendapatkan seorang Hijaz menyukai Malik bin Anas, maka orang itu adalah pengikut Sunnah.
Namun bila engkau mendapatkan orang yang membencinya, maka ia adalah orang yang menyelisihi Sunnah.
Ibrahim bin Yahya bin Hisyam berkata, Aku tidak pernah mendengar Abu Daud melaknat seseorang sama sekali kecuali dua
orang, yaitu orang yang melaknat Malik dan Bisyr Al Murisi. Ringkasnya, orang selain Malik juga sepakat jika pokok ibadah itu
tidak terpahami maknanya. Walaupun dalam sebagian perinciannya mereka berselisih pendapat, namun dalam masalah pokoknya mereka
bersepakat, selain golongan Zhahiriyyah. Sebab golongan itu tidak
membedakan antara ibadah dengan adat, bagi mereka semuanya bersifat taabbud yang tidak terpahami maknanya. Mereka adalah
orang yang paling tidak mengakui adanya hal pokok yang bernama maslahah, lebih-lebih mengenai al maslahat al mursalah, tidak diakui
oleh mereka. 3. Dari beberapa perkara yang dipahami tentang sepuluh contoh tersebut
bahwa hasil dari al maslahat al mursalah kembalinya adalah menjaga perkara yang dharury dan menghilangkan hal-hal yang memberatkan
{haraji, yang lazim dalam agama. Dalam menjaga perkara yang dharury sangat berkaitan dengan sebuah kaidah Sebuah kewajiban tidak
sempurna melainkan dengan melaksanakan sesuatu ............. Jadi, al maslahat al mursalah termasuk perantara, bukan tujuan. Sedangkan
fungsinya untuk menghilangkan hal-hal yang memberatkan dalam agama termasuk ameringankan bukan tasydid memberatkan.
Al maslahat al mursalah dalam lingkup dharury sudah bisa kita cermati dari contoh-contoh yang tadi.
Fungsi al maslahat almursalah untuk menghilangkan keberatan yang lazim dalam agama, bisa jadi mengikuti hal yang dharury darurat atau haaji
sesuatu yang dibutuhkan, tapi kedua-duanya sama sekali tidak ada yang berfungsi untuk taqbih menjadikan lebih buruk atau tazyiin hanya
memperbagus. Kalaupun ada, berarti datang dari hal lain, bukan dari al maslahat al mursalah, seperti qiyam Ramadhan di masjid secara berjamaah.
Atau terhitung sebagai bidah yang diingkari oleh salafush-shalih seperti menghiasi masjid atau melakukan tatswib dalam shalat.
Adapun kondisi almaslahat al mursalah untuk maslahat yang dharury, diposisikan sebagai perantara, bukan tujuan, dan di dalam lingkup sebuah
kewajiban yang tidak sempurna melainkan dengan melaksanakan sesuatu. Jika pensyaratannya tertuang dalam nash, maka ini adalah syarat syari,
tidak ada campur tangan manusia dalam hal ini, sebab nash asy-syandalam masalah ini sudah cukup, tidak perlu kita diteliti lagi.
Jika tidak ada nash dalam pensyaratannya, maka bisa jadi bersifat aqli
atau adat kebiasaan, tidak harus bersifat syari, sebagaimana tidak harus dalam cara yang bentuknya sudah tertentu. Kalau kita andaikan untuk menjaga
Al Quran dan ilmu secara adat tanpa tulisan, maka bisa dibenarkan. Demikian juga seluruh maslahat yang dharuriyyah, boleh bagi kita untuk
menjaganya. Begitu pula jika kita andaikan mendapatkan maslahat imamah kubra tanpa imam misalnya tidak ada nash dalam hal ini, itu juga bisa
dibenarkan. Begitulah seluruh maslahat yang dharuriyyah—bila sudah kukuh penjelasannya— maka tidak benar mengambil istinbath darinya berkaitan
dengan tujuan-tujuan agama yang kedudukannya bukan sebagai perantara. Adapun al maslahat al mursalah dalam lingkup sebagai kebutuhan,
termasuk takhfif, nampak jelas sebagai sesuatu yang kuat untuk menghilangkan sebuah keberatan, tidak ada arah yang menuju tasydid
pemberatan atau menambah taklif. Contoh-contoh yang telah disebutkan bisa sebagai penjelasnya.
Jika persyaratan ini sudah terpenuhi maka kita dapat kian mengerti bahwa bidah sangat berlawanan dengan al maslahat al mursalah. Sebab,
perkara-perkara yang al maslahat almursalah adalah perkara yang maknanya dapat dipahami oleh akal secara terperinci, sedangkan perkara-perkara ibadah
adalah perkara yang maknanya tidak dapat dipahami oleh akal secara terperinci.
Kami juga telah menjelaskan bahwa bila adat kebiasaan dimasuki oleh bidah, maka masuknya itu dari sisi ta’abbud yang ada padanya, bukan masuk
secara mutlak. Bidah secara umum tidak sesuai dengan maqashid syariat dan
keadaannya tidak lepas dari dua hal: 1.
Berlawanan dengan maqashid syariat, seperti contoh seorang mufti yang memberikan fatwa kepada penguasa untuk berpuasa dua bulan
berturut-turut. 2.
Didiamkan seperti terhalangnya seorang pembunuh dengan perlakuannya melalui cara yang berlawanan dengan keinginannya,
seandainya tidak ada nash yang berbicara tentangnya.
Tadi telah dipaparkan oleh ijma untuk membuang kedua bagian dan tidak menganggap keberadaan keduanya.
Tidak bisa kita katakan bahwa yang didiamkan itu diikutsertakan pada sesuatu yang diizinkan madzun fihi, sebab jika demikian maka akan
mengutak-atik ijma, karena tidak ada kesesuaian. Masalah ibadah hukumnya tidak seperti hukum adat kebiasaan jika dalam hukum adat yang didiamkan
artinya diizinkan. —Jika ada yang mengatakan sama ia keliru}—, adat berbeda dengan ibadah, sebab tidak ada istinbath ibadah yang tidak berdasar pada
satu pokok. Ibadah itu khusus untuk yang diizinkan syariat secara jelas, bukan seperti adat. Perbedaan lain secara umum adalah, akal memahami
maksud adat, sementara akal tidak dapat memahami maksud ibadah dan taqarrubat. Saya juga membawakan masalah ini di dalam kitab Al Muwafaqat.
Jika sudah bisa kita tetapkan di sini bahwa al maslahat al mursalah berfungsi untuk menjaga perkara yang bersifat dharury, termasuk perantara,
atau untuk meringankan takhfij, maka tidak mungkin membuat bidah dari arah ini, atau menambahkan hal-hal yang Sunnah. Sebab bidah adalah ibadah
yang diada-adakan, menambahi taklif dan tidak meringankan. Jadi, jelas bahwa tidak ada hubungan bagi seorang mubtadi dengan
al maslahat al mursalah, kecuali bagian yang sudah tidak dianggap dengan kesepakatan ulama, dan cukuplah ini sebagai catatannya. Allah Maha Pemberi
Taufik. Kita juga tahu maksud Pembuat syariat Allah dan Rasul-Nya dalam
masalah ibadah tidak diserahkan kepada pendapat manusia sedikit pun. Tidak ada pilihan kecuali berhenti pada batasan yang telah ditentukan, karena
menambahi atau menguranginya adalah bidah. Hal ini telah dijelaskan dengan banyak contoh, tetapi pada bagian akhir akan dijelaskan lagi.