Haram Besar dan Haram Kecil

dharuriyyat yang pertama, yaitu agama. Sebuah hadits shahih telah menegaskan bahwa setiap bidah adalah sesat. Rasulullah SAW telah bersabda dalam masalah firqah-firqah, Semuanya di neraka kecuali satu, dan ini juga sebagai ancaman yang terperinci bagi semuanya. Demikianlah, walaupun derajat perusakannya terhadap agama berbeda- beda, namun bukan berarti telah mengeluarkan bidah dari lingkup bidah besar, sebagaimana lima dasar sebagai rukun agama, meskipun urutannya berbeda-beda. Merusak syahadatain tidak seperti merusak shalat, merusak shalat tidak seperti merusak zakat, merusak zakat tidak seperti merusak puasa Ramadhan, demikian juga kalau merusak seluruhnya. Semuanya adalah dosa besar, maka pandangan kita kembali tertuju bahwa setiap bidah adalah besar. Dijawab: Pandangan ini menunjukkan apa yang telah disebutkan. Dalam pandangan itu ada hal yang justru menunjukkan dari arah yang lain sebagai penetapan adanya bidah yang kecil, dilihat dari berbagai sisi berikut ini: Sisi pertama: Merusak jiwa adalah dosa besar. Perusakan terhadap jiwa terdapat tingkatan-tingkatannya, dan yang paling rendah tidak disebut besar. Pembunuhan adalah besar, memotong anggota tubuh tanpa membunuhnya adalah satu tingkat lebih rendah dari dosa besar, tapi memotong satu anggota badan adalah satu tingkat lebih rendah darinya, kemudian ada lagi diibawahnya dan terus sampai berupa tamparan atau yang lebih ringan dari lebam atau memar. Tidak benar jika yang terakhir dikatakan dosa besar. Sebagaimana dikatakan oleh ulama dalam masalah pencurian, bahwa pencurian adalah dosa besar, sebab merusak harta, tetapi jika seseorang hanya mencuri sesuap nasi atau mengurangi sebuah biji, maka mereka menghitungnya sebagai dosa kecil, padahal ini menyangkut dharurat agama juga. Disebutkan dalam sebagian hadits, diantaranya adalah riwayat yang datang dari Hudzaifah RA, ia berkata: Hal pertama yang akan hilang dari agama kalian adalah amanah, sedangkan yang terakhir hilang adalah shalat. Tali iman akan terlepas satu persatu, para wanita haid akan melakukan shalat. — Kemudian ia berkata—, sampai hanya tertinggal dua kelompok dari sekian banyak kelompok, yang salah satu kelompok berkata, Mengapa harus shalat lima waktu? Pendahulu kita telah tersesat. Bukankah Allah berfirman, Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang pagi dan petang dan pada bagian permulaan daripada malam. Qs. Huud [ll]: 114 Oleh karena itu, jangan mengerjakan shalat selain pada tiga waktu. Sedangkan kelompok yang satunya lagi berkata, Kami beriman kepada Allah seperti imannya para malaikat, tidak ada orang kafir di antara kami. Allah akan mengumpulkan mereka semua bersama Dajjal. Atsar ini, walaupun tidak pasti ke-shahih-annya, tetapi dapat menjadi salah satu contoh dalam masalah yang sedang kita bicarakan. Telah ditegaskan bahwa pada akhir zaman, ada yang berpendapat bahwa shalat wajib itu hanya tiga waktu, dan akan ada wanita-wanita yang shalat dalam keadaan haid. Sepertinya ia memaksudkan hal ini karena sikap berlebihan dan sikap kehati-hatian dari kekhawatiran akan keluar dari ruang lingkup Sunnah. Namun yang ini masih lebih ringan daripada yang pertama. Ibnu Hazm menceritakan, Sebagian manusia menyangka bahwa shalat Zhuhur lima rakaat, bukan empat rakaat, kemudian terjadi di Utaibah. Ibnu Qasim berkata, Aku mendengar Malik berkata, Orang yang pertama kali membuat bidah bersandar dalam shalat —sampai tidak menggerakkan kakinya— adalah orang yang dikenal dan ternama, hanya saja aku tidak suka untuk menyebutkannya, ia tidak dipuji yakni mencoreng pujian padanya. Malik berkata, Telah dinyatakan kepadanya bahwa hal itu adalah buruk, dan ini adalah perbuatan yang makruh. Ibnu Rusyd berkata, Dalam pandangan Malik seseorang yang sedang shalat boleh meletakkan kaki dengan posisi tarwih bagian depan berjauhan dan bagian tumit berdekatan. Ia menyatakan ini dalam Al Mudawwanah. Malik tidak sukai jika keduanya digabungkan, supaya tidak bersandar pada salah satunya saja, sebab hal itu bukan batasan-batasan shalat, karena tidak disebutkan dari Nabi SAW atau salah seorang kalangan salaf atau sahabat sebelumnya. Jadi, perkara tersebut diada-adakan. Hal seperti ini —jika pelakunya menganggapnya sebagai kebaikan dalam shalat, walaupun tidak mendatangkan pengaruh— bisa dikatakan sebagai bidah besar, sebagaimana dikatakan untuk rakaat kelima dalam shalat Zhuhur dan semisalnya. Akan dianggap sebagai bidah kecil bila kita terima bahwa lafazh karahiyyah padanya dimaksudkan sebagai tanzih, kemudian apabila hal itu bisa diberlakukan pada sebagian contoh dalam kaidah dasar agama, maka mungkin akan diberlakukan pada seluruh bidah yang derajatnya berbeda-beda. Jadi, bidah kecil itu ada sebagaimana maksiat, sebagai sesuatu yang tetap. Sisi kedua: Bidah terbagi menjadi bidah kulliyyah dalam syariat dan bidah juziyyah parsial. Bidah kulliyah terjadi saat ada kerusakan secara menyeluruh dalam syariat, misalnya akal sebagai ukuran untuk menentukan baik dan buruk, mengingkari hadits, dan hanya menerima Al Qur an, dan menafsirkan tidak ada hukum selain hukum Allah bidah kelompok Khawarij. Bidah ini tidak khusus pada salah satu cabang syariat, tetapi juga perkara furd yang tidak terhitung jumlahnya. Bidah jaaiyyah terjadi hanya pada sebagian furu’.\ seperti bidah tatswib dalam shalat sebagaimana yang dikatakan Malik bahwa tatswib itu adalah sesat, bidah adzan dan iqamah pada shalat hari raya, bidah bersandar pada satu kaki ketika shalat, dan bidah lain yang serupa, yang hanya terjadi pada sekitar permasalahan itu dan tidak ada perkara lain layaknya sebuah pokok yang mempunyai furu-penerj. Bagian pertama, apabila dihitung sebagai bidah besar, maka nampaknya tujuan tersebut sudah jelas, dan mungkin dimasukkan ke dalam keumuman 72 golongan. Ancaman yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah nampaknya dikhususkan untuknya. Adapun yang selain itu, termasuk dosa kecil yang diharapkan dapat ampunan, ini jumlahnya tidak terhitung. Maka kita tidak bisa pastikan bahwa seluruh bidah itu hanya satu macam, padahal telah jelas pembagiannya. Sisi Ketiga: Kemaksiatan terbagi menjadi dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Bidah adalah salah satu jenis kemaksiatan, maka dengan keumuman pembagian ini, bidah mestinya juga terbagi menjadi besar dan kecil. Keberadaan bidah tidak bisa dianggap umum dan masuk dalam dosa besar, sebab jika seperti itu namanya adalah mengkhususkan sesuatu tanpa pengkhususan, dan jika pengkhususan semacam itu mendapatkan itibar, maka para ulama terdahulu yang menyatakan adanya pembagian kemaksiatan pasti akan mengkhususkan pembagian untuk kategori bidah, sehingga mereka menyatakan bahwa maksiat selain bidah terbagi menjadi dosa besar dan kecil. Namun kenyataannya mereka tidak memandang adanya pengecualian ini dan menyatakan adanya pembagian secara umum. Jadi, nampak di sini bahwa pembagian yang dimaksudkan mencakup seluruhnya maksiat dan bidah-penerj Jika dikatakan: Perbedaan itu bukanlah dalil yang menetapkan secara mutlak adanya bidah kecil. Perbedaan itu hanya menunjukkan bahwa bidah itu bertingkat-tingkat, ada yang berat, ada yang lebih berat, ada yang ringan, ada yang lebih ringan, dan ada yang lebih ringan lagi. Maka pertanyaannya adalah, Apakah tingkatan itu nantinya akan sampai kepada sebuah bidah yang masuk sebagai dosa kecil? Ini nampaknya perlu dicermati. Adapun besar dan kecil dalam masalah maksiat —bukan bidah— memang sudah jelas bagi kita. Adapun untuk masalah bidah ada dua perkara: 1. Bidah itu menyaingi Penentu dan Pencipta syariat. Orang yang membuat bidah menempatkan dirinya pada posisi sebagai orang yang menemukan syariat, bukan sebagai orang yang merasa cukup dengan batasan yang sudah ditetapkan. 2. Setiap bidah —walaupun sedikit— adalah tasyri yang ditambahkan, atau dikurangi, atau dirubah, terhadap pokok syariat yang shahih, serta bisa berdiri sendiri atau diikutkan pada amalan yang disyariatkan, sehingga terjadi kecacatan pada perkara yang disyariatkan. Jika ada orang yang melakukan hal ini —dalam syariat— dengan sengaja, maka ia telah kafir, sebab penambahan, pengurangan, dan pengurangan adalah kafir, tidak ada bedanya sedikit atau banyak. Orang yang melakukan hal itu dengan takwil yanq rusak atau pendapat yang keliru, atau ia ikutkan dalam amalan yang masyru’, adalah tindak kejahatan yang tidak dibenarkan oleh syariat walaupun tidak sampai menjadikannya kafir, tidak ada bedanya sedikit atau banyak. Pandangan ini diperkuat oleh keumuman dalil yang mencela bidah tanpa kecuali, yang beda adalah antara bidah juziyyah dengan bidah kulliyyah. Telah terjawab pertanyaan pertama dan kedua. Jawaban ketiga dari pertanyaan di atas adalah, bahwa hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan, sebab sabda Nabi SAW Setiap bidah adalah sesat, dan perkataan salaf yang telah lalu menunjukkan ketercelaan bidah dan nampak bahwa bidah bersama dengan maksiat tidak masuk dalam pembagian itu. Kemaksiatan yang Iain yang terbagi dalam pembagian tersebut. Dengan memperhitungkan hal-hal yang telah disebutkan pada bab kedua, maka menjadi jelas bagimu bahwa tidak ada perbedaan padanya. Ungkapan yang paling tepat dan sesuai dengan ketetapan ini adalah: Seluruh bidah adalah besar dan berat, disamping sebagai perbuatan yang mdampaui batas- batas Allah dalam tasyri’. Hanya saja, walaupun bidah itu besar seperti yang telah kami paparkan, tetapi jika dilihat kondisi antara satu bidah dengan bidah yang lainnya, memang berbeda-beda derajatnya, ada yang besar dan ada yang kecil. Bila dilihat dari sisi hukuman, maka bidah yang lebih besar akan lebih dahsyat hukumannya. Bila dilihat dari sisi kerusakan yang ditimbulkan, maka terbagi menjadi bagus dan lebih bagus, karena melihat maslahatnya antara yang sempurna dengan yang lebih sempurna. Bidah berdasarkan kerusakannya terbagi menjadi hina dan lebih hina, kecil dan besar, dengan diukur menggunakan nisbah dan idhafah dibandingkan satu sama lain. Bisa jadi sesuatu itu sudah besar tetapi masih kecil jika dibandingkan dengan sesuatu yang lebih besar. Ungkapan seperti ini telah dinyatakan sebelumnya oleh Imam Al Haramain, namun ia berbicara mengenai pembagian maksiat ke dalam dosa besar dan dosa kecil. Ia berkata, Pandangan yang kami pilih —bahwa setiap dosa adalah besar dan berat— disandarkan pada status perbuatannya yang menyelisihi Allah, karenanya dikatakan secara mutlak bahwa maksiat kepada Allah lebih besar daripada maksiat kepada hamba-Nya. Tetapi walaupun besar dan berat seperti kami sebutkan, namun jika dibandingkan antara yang satu dengan yang lain, akan didapatkan perbedaan derajat. Imam Al Haramain kemudian menyebutkan makna yang telah lalu, meskipun tidak disepakati oleh yang lain, walaupun ada hal yang mungkin dapat dicermati, dan saya sempat isyaratkan —hal ini— dalam kitab Al Muwafaqat. Hanya saja secara zhahir tidak demikian —sebatas penyebutan para ulama yang lain— dzahir bidah tidak menolak pendapat Al Imam —selama sejalan dengan yang telah diungkapkan— sehingga meyakini bahwa bidah- bidah kecil nampaknya termasuk musytabihat, sebagaimana meyakini tidak adanya karahiyyah tanzih dalam masalah bidah yang termasuk masalah yang jelas {al wadhihat. Jadi, perhatikanlah permasalahan ini secara cermat dan bersikaplah objektif. Jangan melihat bidah sebagai sebuah bobot yang ringan lantaran bentuknya, walaupun bidah itu lembut, tetapi lihatlah bidah sebagai perbuatan yang berbenturan dengan syariat, menuduhnya sebagai syariat yang kurang, berusaha menemukan syariat baru, dan tidak sempurna, sehingga masih harus mendapatkan penambahan. Berbeda dengan —pelaku— kemaksiatan yang tidak menuduh syariat itu kurang lengkap dan cacat, bahkan ia ingin keluar darinya. Ia yakin terhadap Allah dan mengakui-Nya, namun ia melakukan perbuatan yang menyelisihi hukum syariat. Kesimpulannya, maksiat adalah pelanggaran dari mukallaf, dengan meyakini bahwa yang dilakukan adalah sesuatu yang dibenarkan dalam syariat. Sedangkan bidah adalah pelanggaran dalam meyakini kesempurnaan syariat. Oleh karena itu, Malik bin Anas berkata, Barangsiapa membuat bidah dalam umat ini, perkara yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulunya, berarti ia telah menyangka Rasulullah SAW telah mengkhianati risalah, karena Allah berfirman, Hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu.... Qs. Al Maa’dah[5]:3 Seperti itulah kira-kira tatkala ia menjawab pertanyaan seseorang yang ingin melakukan ihram dari Madinah masjid Nabawi -penerj. Orang itu lalu berkata, Apakah ada fitnahnya dalam masalah seperti ini? Aku hanya menambahkan beberapa mil. Ia menjawab, Adakah fitnah yang lebih besar daripada apa yang kamu sangka dalam dirimu, bahwa kamu melakukan sesuatu yang kamu anggap sebagai fadhilah -penerj, namun tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW.... dan sebagainya. Dengan demikian benar bahwa dalam bidah ada yang dikategorikan kecil. Jawab: hal itu benar dengan cara yang akan dijelaskan, insyaallah, bahwa ini adalah tahqiq dari masalah yang tidak berujung ketentuannya. Pelaku bidah bisa jadi mengetahui perbuatan itu sebagai perbuatan bidah, namun ada kemungkinan juga ia tidak mengetahuinya. Pelaku bidah yang tidak mengetahui perbuatan itu sebagai perbuatan bidah ada dua macam, yaitu seorang mujtahid yang melakukan istinbath dalam penetapannya sebagai syariat, dan seorang yang ber-taqlid kepada seorang mujtahid. Semua yang berkaitan itu disertai oleh sikap takwil jika kita hukumi dengan hukum ahli Islam, sebab dirinya bertabrakan dengan Pencipta syariat, serta membenci syariat dengan menambah, mengurangi, atau merubah. Jadi, ia pasti mempunyai takwil, seperti berkata, Bidah tetapi hasanah. Atau, Bidah tetapi aku melihat si fulan, orang yang punya keutamaan, rnelakukannya dan membenarkannya. Tetapi ia melakukannya untuk masalah keduniaan. Layaknya orang yang melakukan sebuah dosa karena alasan duniawi, khawatir dengan bagian duniawinya atau lari dari kekhawatiran duniawinya, atau pelarian dari kekhawatiran akan adanya rintangan jika ia mengikuti Sunnah Rasulullah, sebagaimana kebanyakan keadaan manusia sekarang. Adapun orang yang tidak mengetahui —pembuatnya—, itu disebabkan ia tidak mungkin meyakini bahwa perbuatan itu adalah bidah. Bahkan menurutnya perbuatan itu termasuk perkara-perkara yang disyariatkan. Seperti perkataan orang yang menjadikan puasa hari Senin, karena Nabi SAW dilahirkan pada hari Senin, menjadikan tanggal 12 Rabiul Awwal sebagai hari raya karena Rasulullah SAW dilahirkan pada tanggal itu, atau menganggap mendengarkan nyanyian dan bernyanyi sebagai sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah, karena bisa mendatangkan keadaan yang bersifat Sunnah. Atau selalu memberikan semangat untuk melakukan doa dengan cara berkumpul bersama selepas shalat lima waktu, dengan alasan semangat kebersamaan, atau menambahkan hadits-hadits palsu dan menyangka hal itu dapat menolong menghidupkan Sunnah Muhammad SAW. Anda berdusta atas nama Rasulullah, padahal Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka. n Ia akan berkata, Aku tidak berdusta atas nama Rasulullah SAW. Ia juga berkata, Aku tidak mendustakannya, tapi aku berdusta untuk mendukung atau menolongnya Atau dengan cara mengurangi dan beralasan sebagai takwil, sebab Allah berfirman mencela orang kafir, Mereka tidak Iain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran. Qs. An-Najm [53]: 28. Itibar dari hadits-hadits yang dinukil dari Nabi dengan khabarahad digugurkan berdasarkan ayat yang menjelaskan tentang masalah dzan ini, padahal keduanya tidaklah sama. Mereka mengatakan hadits ahad hanya bersifat dzan, padahal itu semua hanya hasil penakwilan mereka. Demikian juga orang yang ber-taqlid, ia akan berkata, Fulan adalah panutan, ia saja melakukan amalan ini dan ia memujinya. Seperti mengambil nyanyian sebagai bagian dari tarikat Sufi, dengan alasan syaikh-syaikh sufi telah mendengarkannya juga atau didapati melakukan perbuatan itu, bahkan ada yang mati dalam kondisi seperti itu atau merobek pakaian ketika menari atau kondisi lainnya yang alasannya adalah karena para syaikh sufi melakukannya. Ini banyak terjadi pada orang-orang yang berafiliasi kepada tasawuf. Terkadang untuk membela bidahnya mereka melandaskan perbuatannya pada Al Junaid, Al Bustami, Syabli, dan yang lainya, baik kabarnya shahih maupun tidak. Mereka justru tidak berhujjah dengan Sunnah Allah dan Rasul-Nya, padahal Sunnah Allah dan Rasul-Nya SAW adalah syariat yang bersih bila dinukil oleh orang-orang yang adil dan ditafsiri oleh orang- orang yang tekun dalam belajar dan memahaminya. Akan tetapi mereka tidak meyakini sedang menyelisihi Sunnah dengan melakukan bidah itu. Mereka masuk dalam bermacam-macam takwil, sebab tak seorang muslim pun rela jika dinyatakan menyelisihi Sunnah Nabi. Jika demikian, berarti perkataan Malik, Barangsiapa membuat bidah dalam umat ini, perkara yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulunya, berarti ia menyangka Rasulullah SAW telah mengkhianati risalah dan sebagai jawabannya adalah seseorang yang ingin melakukan ihram dari Madinah masjid Nabawi -penerj, Dan adakah fitnah yang lebih besar daripada apa yang kamu sangka dalam dirimu, bahwa kamu melakukan sesuatu yang kamu anggap sebagai fadhilah -penerj, namun tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW.... dan lain sebagainya, adalah sebuah ilzam pengharusan kepada lawan bicara sebagaimana kebiasaan ahlun-nadzar, seakan ia berkata, Perkataanmu ini membawa konsekuensi demikian, sebab ia berkata, Anda sengaja melakukannya, sebab seorang muslim tidak mungkin sengaja melakukannya. Lalu bagaimana dengan me-lazim-kan sebuah madzhab, Apakah itu sebagai madzhab? Ini adalah masalah yang menjadi perbedaan di kalangan ahli ushul. Adapun yang menjadi pendapat syaikh-syaikh kami dari orang-orang Bajai dan Maroko, serta pendapat para muhaqqkj, bahwa me-lazim-kan madzhab bukanlah madzhab, maka jika dipaksakan seperti itu bahwa itu madzhab ia sangat menolaknya. Dengan demikian hal itu menjadi sama antara bidah dengan maksiat, ada besar dan ada kecil. Demikian juga dengan bidah. Kemudian bidah itu ada dua bentuk: kulliyyah dan juziyyah. Bidah kulliyyah adalah bidah yang tersusun padanya furu syariat yang tidak terbartas jumlahnya, seperti bidah 73 golongan, ini khusus untuk bidah-bidah kulliyyat. Insyaallah akan dijelaskan nanti. Sedangkan bidah juziyyah adalah bidah yang terjadi pada furu juziyyah, dan bentuk ini tidak termasuk dalam bentuk neraka sebagai ancaman hadits 73 golongan-penerj, walaupun masuk dalam kategori sesat setiap bidah adalah sesat -penerj, sebagaimana masalah mencuri sesuap nasi atau mengurangi timbangan seberat biji, meskipun tetap dinamakan mencuri. Adapun yang pasti atau yang yakin terlaksana adalah yang besar dan yang menyeluruh kulliiyah, seperti nishab dalam pencurian, maka dalil-dalil itu tidak jelas cakupannya. Bukankah Anda lihat bahwa biasanya bidah-bidah khusus {khawwash tidak nampak pada ahli bidah untuk bidah-bidah juziyyah seperti bidah firqah, atau keluar dari jamaah? Ahli bidah Juziyyah biasanya bidahnya dalam masalah-masalah yang juziyyah, seperti ketergelinciran dan kekeliruan. Qleh karena itu, tidak ada hawa nafsu padanya, walaupun terjadi takwil pada salah satu cabangnya. Selain itu, kerusakan yang ditimbulkan oleh bidah juziyyah tidak sebesar yang ditimbulkan oleh bidah kulliyyah. Berdasarkan keterangan ini, jika dalam sebuah bidah terkumpul dua sifat: juziyyah dan yang disebabkan adanya takwil, maka benar jika dinyatakan bahwa bidah itu adalah bidah kecil. Wa allahua 1am. Contohnya: orang yang bernadzar untuk puasa, berdiri tanpa duduk, berjemur dan tidak bernaung, atau mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan, seperti tidur, kelezatan makanan, wanita, makan pada siang hari, dan perkara-perkara lain yang sejenis. Telah disebutkan dan akan dijelaskan nanti. Hanya saja, bidah kulliyyah dan bidah juziyyah terkadang nampak dan terkadang tersembunyi, sebagaimana takwil terkadang dekat dan terkadang jauh, sehingga terjadi masalah pada banyak contoh dalam bab ini; yang seharusnya kecil dianggap besar dan yang seharusnya besar dianggap kecil. Oleh karena itu, dalam memandangnya diserahkan pada ijtihad. Syarat Bidah Kecil Bila kita mengatakan bahwa ada bidah kecil, maka perlu dipahami syarat-syaratnya: 1. Tidak menjadikannya sebagai amalan yang terus-menerus dilakukan, sebab dosa atau kemaksiatan yang kecil, bila dilakukan terus-menerus, akan menjadi besar. Suatu amalan yang dilakukan terus-menerus akan menjadi besar, dan sebuah dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi dosa besar. Oleh karena itu, para ulama berkata, Bukan dosa kecil kalau dilakukan secara terus-menerus dan bukan dosa besar kalau selalu diiringi istighfar. Demikian juga dengan bidah, hanya saja kemaksiatan kadang dilakukan terus-menerus, terkadang tidak, dan ketika hal itu dipersaksian akan menimbulkan kebencian terhadap hal tersebut. Berbeda dengan bidah, ia biasanya dilakukan secara terus-menerus dengan penuh semangat, dan orang yang meninggalkannya seakan- akan merasa kiamat, dicela, dibodoh-bodohkan, dituduh bidah serta sesat, serta dianggap sangat bertentangan dengan ulama salaf dan para imam yang menjadi panutan. Buktinya adalah itibar dan naqJ, bahwa ahli bidah dari dulu mengingkari Ahlus-Sunnah jika mereka banyak pengikut, atau mendekati penguasa yang hukum-hukumnya diberlakukan di masyarakat dan titah-titahnya ditaati di pelosok negeri. Orang yang menelaah kisah para pendahulu kita pasti akan mendapatkan cerita-cerita semacam itu. Secara naq {sebagaimana disebutkan oleh salaf apabila sebuah bidah sudah dimunculkan, maka pasti akan selalu dilakukan. Berbeda dengan kemaksiatan, pelakunya mungkin bertobat dan kembali kepada Allah. Ini diperkuat oleh sebagian riwayat yang menceritakan kondisi firqah-firqah tersebut, Hawa nafsu-hawa nafsu itu akan menyertai mereka seperti seekor anjing yang menyertai tuannya. Dari sini orang-orang salaf menegaskan bahwa pelaku bidah tidak akan bertobat dari bidah. Tidak menyerukan bidah tersebut kepada orang lain. Sebab, jika sebuah bidah dibandingkan dengan bidah lainnya, mungkin termasuk kategori bidah kecil, tetapi jika kemudian pelakunya menyerukan bidahnya dan mengamalkan keharusan-keharusannya, maka semua dosa itu ditimpakan padanya, karena dialah yang mencuatkannya dan menyebabkan tersebarnya bidah tersebut di kalangan manusia. Dalam sebuah hadits shahih dinyatakan bahwa setiap yang membuat Sunnah yang buruk akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa orang-orang yang melaksanakannya. Besar dan kecil itu perbedaannya adalah ukuran banyak dan sedikitnya dosa, tetapi bisa jadi yang kecil itu akan menyamai yang besar atau berkembang menjadi besar dari sisi ini menyerukan atau mengajak orang untuk melakukannya-penerj. Seorang pelaku bidah, bila termakan sebuah bidah, mestinya hanya untuk dirinya, jangan sampai ia membawa dosanya sendiri dan dosa orang lain. Walaupun dari sisi ini terkadang sulit untuk keluar, namun jika orang melakukan kemaksiatan yang dilakukan antara seorang hamba terhadap Tuhannya, ia tetap bisa bertobat dan mendapatkan ampunan. Tidak demikian halnya dengan orang yang melakukan bidah meskipun kecil-penerj lalu ia mengajak-ajak orang lain, ia sendiri yang akan mengalami kesulitan. Telah dijelaskan dalam pembebasan tercelanya sebuah bidah. Kelanjutannya akan disebutkan nanti, insyaallah. 3. Tidak melakukannya di tempat berkumpulnya manusia, atau tempat-tempat yang ditegakkan Sunnah, atau tempat-tempat dimunculkannya bendera-bendera syariat. Jika bidah itu dimunculkan di lokasi-lokasi tersebut oleh orang yang dijadikan panutan, atau oleh orang yang mendapat kepercayaan dari sebagian masyarakat, maka saat itu bidah yang dilakukan menjadi sesuatu yang sangat membahayakan Islam. Hal itu tidak terlepas dari dua perkara: a. Pelakunya akan dijadikan panutan dalam masalah itu, sebab orang-orang awam akan mengikuti orang yang mengajaknya, apalagi bidah yang mendapat polesan dari syetan. b. Jiwa dan hawa nafsu tergoda oleh rupanya. Apabila pelaku bidah kecil sudah diikuti oleh orang lain, maka bagi pelakunya bidah tersebut menjadi bidah besar, sebab setiap orang yang menyerukan kesesatan akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengikutinya. Jadi, ia akan mendapatkan dosa sesuai dengan jumlah pengikutnya. Keadaan yang persis seperti ini juga berlaku untuk kemaksiatan —yang kecil—. Jika seorang yang alim menampakkan sebuah kemaksiatan —walaupun kecil—, maka akan membuat manusia mudah melakukannya, sebab orang yang jahil akan berkata, Jika perbuatan ini adalah dosa, seperti yang dikatakan orang, maka ia orang alim tersebut tentu tidak akan melakukannya karena ia mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui. Demikian juga dengan bidah, bila seorang alim yang menjadi panutan telah melakukannya, maka orang jahil akan menganggap hal tersebut sebagai bentuk taqarrub kepada Allah, sebab orang yang dianggap alim tadi melakukannya dalam bentuk taqarrub kepada Allah. Bahkan untuk kondisi ini, bidah lebih besar maknanya, karena terkadang perbuatan dosa kemaksiatan tidak akan diikuti, sedangkan perbuatan bidah secara tidak sadar akan diikuti. Hanya satu orang yang tidak dikhawatirkan untuk mengikutinya, yaitu orang yang tahu bahwa hal itu adalah bidah yang tercela. Oleh karena itu, pada saat-saat tertentu derajatnya sama dengan derajat dosa. Jika seperti itu kondisinya, maka dipastikan bidah itu menjadi dosa besar, dan jika pelakunya mengajak orang untuk melakukannya, maka dosanya akan menjadi lebih besar dari yang sebelumnya. Jika hanya dengan menampakkannya di depan umum sudah cukup untuk membuat orang-orang mengikutinya, maka apalagi mengajak? Diriwayatkan dari Al Hasan, bahwa seorang laki-laki bani brail telah membuat sebuah bidah. la lab mengajak manusia untuk melakukannya, dan orang-orang pun mengikutinya. Tatkala ia mengetahui dosanya, ia melubangi tulang selangkanya dan meletakkan sebuah besi pengait berbentuk lingkaran, kemudian meletakkan rantai di dalamnya dan mengikatnya pada sebuah pohon. Ia lalu menangis dan berteriak kepada Tuhannya. Allah kemudian memberikan wahyu kepada nabi umat itu bahwa tidak ada tobat baginya. Allah telah mengampuni dosa yang dikerjakan, lalu bagaimana dengan orang yang sesat dan menjadi penghuni neraka? Adapun mengambil atau melakukan bidah di tempat-tempat ditegakkannya Sunnah, kedudukannya sama seperti mengajak kepada bidah secara jelas. Sebab, beraktivitas untuk menampakkan syariat- syariat Islam, memberi pengertian bahwa seluruh amalan yang dikerjakan di tempat itu adalah bagian dari syiar Islam, seakan-akan orang yang menampakkannya di tempat itu berkata, Ini adalah Sunnah, ikutilah Abu Musab berkata: Ibnu Al Mahdi datang kepada kami, ia shalat dan meletakkan selendangnya di depan shafnya. Ketika imam telah salam, orang-orang memandanginya sekilas, kemudian mereka memandangi Malik —yang saat itu shalat di belakang imam—. Ketika Malik salam, ia berkata, Apakah ada penjaga di sini? Datanglah dua orang, lalu Malik berkata, Tangkap dan tahanlah pemilik pakaian ini. Ketika ditangkap, Malik diberi tahu bahwa ia adalah Ibnu Mahdi. Malik pun menemuinya dan berkata kepadanya, Apakah engkau tidak takut dan tidak bertakwa kepada Allah? Engkau taruh pakaianmu di depanmu shaf dan engkau membuat orang-orang yang shalat sibuk memandanginya. Apakah engkau ingin membuat sesuatu yang baru di masjid kita ini, atau sesuatu yang tidak pernah kita kenal sebelumnya? Padahal Nabi bersabda, Barangsiapa membuat sesuatu yang baru di masjid kita ini, maka ia akan mendapatkan laknat dari Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Ibnu Mahdi kemudian menangis dan ia merujuk dirinya sendiri untuk tidak melakukan hal itu lagi, tidak di masjid Rasulullah SAW dan tidak juga di masjid lain. Dalam riwayat lain dari Ibnu Mahdi, ia berkata: Aku lalu meminta kepada dua penjaga itu, Maukah kalian membawaku menemui Abu Abdullah? Penjaga berkata, Jika Anda mau. Mereka lalu menuju kepadanya. Abu Abdullah lalu berkata, Wahai Abdurrahman, apakah engkau shalat....? Aku katakan, Wahai Abu Abdullah Hari tadi panas sekali —seperti engkau tahu—, maka selendangku terasa berat, Abu Abdullah lalu berkata, Ya Allah, engkau bukan ingin mencela orang yang telah lalu atau menyelisihinya dengan perbuatanmu itu? Aku katakan, Tidak demi Allah. Abu Abdullah pun berkata, Lepaskanlah la. Ibnu Wadhah menceritakan, Muadzin Madinah pada masa Malik menggunakan lafazh tatswib, maka Malik menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Muadzin itu kemudian datang kepadanya. Malik kemudian beikata, Apa yang kamu lakukan? Aku ingin agar manusia tahu bahwa fajar akan terbit, sehingga mereka bangun, jawab muadzin tersebut. Malik lalu berkata, Jangan engkau lakukan itu. Jangan melakukan sesuatu yang baru di tempat kita ini, sesuatu yang dahulu tidak ada. Rasulullah SAW tinggal di negeri ini sepuluh tahun, kemudian Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka tidak melakukannya. Jadi, jangan melakukan sesuatu yang baru di tempat kita ini, sesuatu yang dahulu tidak ada. Muadzin pun berhenti dari tatswib-nya. Setelah berlalu beberapa lama, muadzin itu berdehem di menara masjid ketika terbit fajar. Malik lalu menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Setelah muadzin tersebut datang, Malik bertanya, Apa yang kamu lakukan? la menjawab, Aku ingin agar manusia tahu bahwa fajar akan terbit, sehingga mereka akan bangun. Malik menjawab, Bukankah aku telah melarangmu melakukan sesuatu yang baru, yang dahulu tidak ada? la menjawab, Engkau hanya melarangku dari melakukan tatswib. Malik berkata, Jangan kau lakukan. Muadzin itu pun tidak melakukannya lagi. Setelah berlalu beberapa lama, muadzin itu memukuli pintu ketika fajar akan terbit. Malik lalu menyuruh seseorang untuk memanggilnya, lalu ia berkata, Apa yang kamu lakukan? la menjawab, Aku ingin agar manusia tahu bahwa fajar akan terbit, sehingga mereka akan bangun. Malik menjawab, Jangan engkau lakukan, jangan membuat sesuatu yang baru di tempat lata ini, sesuatu yang dahulu tidak ada. Ibnu Wadhah berkata, Dahulu Malik tidak menyukai tastwib, ia berkata, Ini had baru yang diadakan di Irak. Ibnu Wadhah ditanya, Apakah ada yang melakukannya di Makkah, Madinah, Mesir, atau kota lainnya? Ia menjawab, Aku tidak mendengarnya kecuali dari sebagian orang Kuffah dan Ibadhi. Perhatikanlah, Malik melarang diadakannya perkara baru dalam tidak bagi Malik, ia memposisikannya sebagai perkara baru yang besar. Dalam masalah tatswib ini ia menyebutnya sebagai bidah, dan memang benar, sebab Nabi SAW bersabda, Setiap yang baru adalah bid ah, dan setiap bidah adalah sesat. Malik tidak mengizinkan muadzin, sekalipun dengan berdehem atau memukul menabuh pintu, karena perbuatan semacam itu sangat mungkin akan ditiru dan diikuti. Itulah yang membuat Imam Malik melarang perbuatan Abdurrahman bin Mahdi yang meletakkan selendangnya, dikhawatirkan akan menjadi sesuatu yang baru dalam agama, yang tidak ada contoh sebelumnya. Di Maroko, yaitu pada masa Al Mahdi, pernah dikumandangkan sesuatu yang baru ketika terbit fajar, mereka mengatakan, Ashbahta Alhamdulillah sudah pagi, alhamdulillah, sebagai pertanda bahwa pagi telah tiba, dengan tujuan sebuah ketaatan untuk menghadiri shalat jamaah, dan melakukan semua yang diperintahkan kepada mereka. Kemudian untuk orang-orang yang terlambat, mereka mengkhususkan tatswib untuk shalat, atau semacam adzan. Masih di Maroko, ada berita yang mengatakan bahwa negeri itu ada hizb baca Al Quran dengan cara bidah yang berasal dari Alexandria dan merupakan kebiasaan yang telah berlaku di masjid- masjid Jami Andalusia serta beberapa tempat lain. Hal ini kemudian menjadi kebiasaan pada banyak masjid hingga sekarang. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun. Masalah tatswib yang disyaratkan oleh Malik adalah apabila seorang muadzin mengumandangkan adzan, tetapi ternyata manusia lambat mendatangi masjid, maka ia berkata —di antara adzan dan iqamah—, Qad qaamatish-shalaah, hayya alalfalaah, hayya alal falaah. Apa yang saat itu terjadi adalah seperti saat ini, menurut kami bacaannya adalah, ashshalaah rahimallaah. Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa dirinya memasuki sebuah masjid untuk melakukan shalat, tiba-tiba ia mendapatkan muadzinnya mngumandangkan tatswib maka Abdullah bin IJmar Icoiluar Hari masjid dan berkata, Mari kita keluar menjawab dari orang yang melakukan bidah ini. Beliau lalu tidak jadi melakukan shalat di masjid tersebut. Ibnu Rusyd berkata: Hal ini seperti yang dilakukan di daerah kami di masjid Jami Cardova, yaitu ketika seorang muadzin telah menyelesaikan adzannya, sebelum fajar, ia menyendirikan panggilan ketika fajar, dengan berseru, Hayya alash-shalaah —kemudian ia berkata— ia memaksudkan hal itu untuk perkataan muadzin yang menyerukan Hayya ala khairil amal” marilah menuju amal kebaikan, sebab ini adalah kata-kata tambahan yang menyelisihi Sunnah, yang berasal dari golongan syiah. Disebutkan juga dalam majmuah itu, bahwa orang yang mendengar tatswib di masjid hendaknya keluar, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Umar RA. Dalam masalah ini, yang kita maksudkan adalah tatswib makruh, yang dikatakan oleh Malik sebagai kesesatan. Perkataannya ini menunjukkan sikap keras pada perkara-perkara bidah ketika dilakukan di tempat-tempat berkumpulnya manusia atau di tempat-tempat yang menjadi tempat ditegakkannya Sunnah dan terjaganya perkara-perkara yang disyariatkan. Sebab, jika bidah semacam ini dilakukan di tempat tersebut, maka manusia akan mengikutinya, sehingga dosanya kembali kepada orang yang melakukannya, dosanya bertambah banyak, dan bahaya bidahnya semakin besar. 4. Tidak menganggap enteng bidah tersebut dan tidak menganggapnya sebagai perkara yang remeh —kalau memang bidah kecil—, sebab sikap semacam itu adalah bentuk penghinaan. Padahal penghinaan terhadap dosa akan mengakibatkan dosa yang lebih besar daripada dosa itu sendiri, karena penghinaan adalah penyebab berubahnya dosa yang kecil menjadi besar. Sebab dosa dapat dilihat dari dua sisi: a. Dari sisi tingkatnya atau peringkatnya dalam syariat. Sebuah dosa tingkatannya kecil bila dalam pandangan syariat tingkatannya memang kecil, sebab kita menempatkannya sesuai dengan penempatan yang dikehendaki syariat. b. Dari sisi pelanggaran dalam bentuk menyelisihi Tuhan yang Maha Agung. Hal ini berpulang pada itikad atau keyakinan kita tatkala melakukannya. Saat kita tidak memperkenankan adanya pelanggaran di hadapan Allah, padahal kita seharusnya menganggapnya sangat besar, maka itu tidak ada bedanya —antara keduanya—, yang pertama berhadapan dengan yang besar, sedangkan yang kedua berhadapan dengan yang kecil sebab keduanya sama-sama melanggar Allah -penerj. Jika sebuah kemaksiatan dilihat dari sisi kemaksiatannya, maka tidak lepas sama sekali dari dua sisi itu, sebab gambarannya tetap pada kedua sisi tersebut. Merasa berat akan terjadinya kemaksiatan, meski diyakini dosanya kecil, bukanlah hal yang menafikan keduanya, sebab keduanya adalah itibar dari dua sisi; seorang pelaku maksiat, walaupun sengaja berbuat maksiat, namun kesengajaannya itu tidak dimaksudkan sebagai penghinaan terhadap Allah yang Maha Tinggi. la hanya bermaksud mengikuti syahwatnya. Misalnya pada perkara yang menurut syariat besar atau kecil, maka ia terjatuh sesuai dengan posisi kemaksiatan itu menurut syariat. Demikian juga dengan bidah, pelakunya tidak bermaksud menentang Allah sebagai penentu syariat, tidak juga menganggap remeh atau menghina syariat. Ia bermaksud tetap berjalan sesuai dengan yang disyariatkan, tetapi ia menggunakan takwil yang ia tambahkan dan ia anggap lebih kuat dari yang lain. Berbeda lagi jika ia meremehkan posisinya yang kecil menurut syariat, sebab pada hakikatnya ia sedang menganggap remeh Allah dengan pelanggarannya. Dikarenakan larangannya sudah ada, pelanggarannya juga terjadi, dan sikap yang menganggap remeh itu besar nilai keburukannya, maka dikatakan, Jangan melihat kecilnya dosa, tapi lihatlah keagungan Dzat yang engkau perlakukan dengan dosamu. Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam haji Wada, Hari apakah ini. Mereka menjawab, Hari haji akbar. Beliau bersabda, Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan adalah haram untuk sesama kalian, seperti keharaman hari dan negeri kalian ini. Tidaklah seseorang melakukan kejahatan melainkan untuk merugikan dirinya sendiri. Janganlah ia berbuat jahat kepada anaknya, atau anak kepada bapaknya. Ketahuilah, syetan telah putus asa, ia tidak akan disembah lagi di negeri kalian ini selamanya, dia tidak akan ditaati pada amalan-amalan yang kalian anggap remeh, dan kalau ditaati maka dia akan senang. Hadits shahih. Sabda Nabi SAW, Kalau ditaati maka dia akan senang, menunjukkan betapa besar urusan yang dianggap remeh ini. Syarat inilah yang juga menjadi pandangan Al Ghazali dalam masalah ini. Dalam buku Al Ihya ia menyebutkan bahwa di antara hal yang bisa merubah dosa kecil menjadi besar adalah sikap meremehkan dan mengganggapnya sebagai sesuatu yang enteng. Ia berkata, Sesungguhnya dosa, bila semakin dianggap besar oleh seorang hamba dalam jiwanya, maka akan semakin kecil di sisi Allah. Sedangkan jika semakin diremehkan, maka ia akan semakin besar di sisi Allah. Ia kemudian menjelaskannya secara panjang lebar. Jika keempat syarat ini terpenuhi, maka diharapkan yang kecil tetap menjadi kecil. Jika salah satu atau lebih dari syarat itu tidak terpenuhi, maka yang kecil akan berubah menjadi besar, atau dikhawatirkan akan berubah menjadi semakin besar. Demikian halnya dengan kemaksiatan. Wa allahu alam.

BAB VII BIDAH MASUK DALAM PERKARAADAT ATAU

HANYA PERKARA IBADAH? Dalam membahas penentuan batas bidah seperti yang dijelaskan, nampaknya akan membawa khilaf di sini; masuk ke dalam perkara adat atau hanya perkara ibadah? Adapun dalam perkara ibadah, tidak ada masalah untuk menyatakan bahwa bidah masuk dalam area ini, bahkan kebanyakan berada di pintu ini, sebab perkara-perkara ibadah meliputi amalan hati, keyakinan, dan fisik, baik perkataan maupun perbuatan, yang kedua-duanya bisa dirasuki bidah. Misalnya madzhab Qadariyyah, Murjiah, Khawarij, Mutazilah, dan Ibahiyyah, mereka telah membuat peribadatan yang tidak ada contoh sebelumnya dan tidak ada dalil yang menjadi rujukannya. Adapun dalam perkara adat kebiasaan, yang dimasukkan ke dalam syariat setelah dicermati, bisa dipastikan akan memunculkan khilaf dalam memandangnya. Contoh-contohnya telah dipaparkan dengan jelas pada bab pembagian bidah, seperti pajak, ketidakadilan yang banyak bermunculan, mengedepankan orang-orang yang jahil daripada ulama dalam hal memberikan kepercayaan berupa jabatan-jabatan yang berkaitan dengan ilmu dan posisi penting dalam pemerintahan, memberikan kepada orang yang bukan ahlinya dengan jalan warisan, memampang gambar para imam, pimpinan negara, dan para qadhi, memakai ayakan, mencuci tangan dengan tumbuhan usynan, memakai jenis pakaian luar yang panjang bagi kaum lelaki, melebarkan lengan baju, dan perbuatan lain yang belum pemah ada pada masa keemasan salafush-shalih. Perkara-perkara tersebut menjadi sesuatu yang lumrah berlaku di masyarakat, kemudian berkembang luas, sehingga dimasukkan ke dalam perkara bidah, layaknya ibadah-ibadah yang diada-adakan dan berlaku dalam tubuh umat. Ini termasuk dalil-dalil yang memperkuat perkara-perkara yang telah kami paparkan. Ini pula yang disimpulkan oleh Al Qarrafi bersama gurunya Ibnu Abdus-Salam dan sebagian ulama salaf. Diriwayatkan oleh Abu Nuaim Al Hafizh dari Muhammad bin Aslam, bahwa dirinya dikaruniai seorang anak —Muhammad bin Qasim Ath-Thusi berkata—, kemudian ia berkata, Tolong belikan untukku dua ekor kambing. la memberiku beberapa dirham, maka aku membelikan kambing yang ia pesan, lalu ia memberikanku sepuluh dirham lagi, kemudian berkata, Belilah tepung, jangan disaring dan buatlah menjadi roti. —Perawi berkata—, Tepung itu kemudian aku saring dan aku jadikan roti, lalu aku bawa kepadanya. Ia berkata kepadaku, Apakah engkau menyaringnya? Ia pun memberikanku sepuluh dirham lagi, kemudian berkata, Belilah tepung, jangan disaring dan buatlah menjadi roti. Setelah itu aku membawa pesanannya tersebut kepadanya. Ia kemudian bertutur kepadaku, Wahai Abu Abdullah, aqiqah adalah Sunnah, sedangkan menyaring tepung adalah bidah, dan tidak seharusnya ada bidah bersama Sunnah. Aku tidak ingin ada roti semacam itu di rumahku, setelah menjadi roti bidah. Muhammad bin Aslam adalah orang yang disebutkan Ishaq bin Rahawaih untuk menafsirkan hadits, tatkala ditanya tentang hadits As-Sawad Al Adzam, pada sabda Nabi SAW, Harusnya kalian bersama As-Sawad Al Adzam. Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah berkomentar, insyaallah akan dijelaskan nanti. Di samping itu, adanya gambaran dalam benak kita bahwa bidah terjadi dalam perkara-perkara ibadah, akan membuat kita meyakini bahwa bidah juga akan terjadi pada perkara-perkara adat kebiasaan, sebab tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hal-hal yang masyru terkadang berbentuk ibadah dan terkadang berbentuk adat kebiasaan. Kedua-duanya disyariatkan oleh Penentu syariat, sehingga pelanggaran bidah terjadi pada keduanya. Syariat telah menjanjikan dengan adanya beberapa perkara yang akan terjadi pada akhir zaman seperti yang diberitakan di dalam Sunnah Nabi- Nya, kemudian masuk dalam perkara akhir zaman adalah seperti yang telah dicontohkan, sebab semuanya adalah satu jenis. Diriwayatkan dari Abdullah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya sepeninggalku kalian akan menyaksikan pimpinan yang mementingkan kepentingannya sendiri, dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Para sahabat bertanya, Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah? Beliau bersabda, Tunaikanlah yang menjadi hak mereka dan mintalah kepada Allah yang menjadi hak kalian. Hadits shahih. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, Barang siapa tidak menyukai sesuatu dari amirnya hendaklah ia bersabar. Dalam riwayat lain, Barangsiapa tidak menyukai sesuatu dari amirnya, maka hendaklah ia bersabar, sebab orang yang keluar dan jamaah kemudian meninggal, maka ia meninggal ala jahiliyyah. Dalam hadits bin,