Pengharaman terhadap Hal-Hal yang Dihalalkan oleh Allah

haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal Jagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Qs. Al Maa idah [5]: 87-88. Banyak khabar yang diriwayatkan berbicara tentang sebab turunnya ayat tersebut, yang semuanya berkisar pada satu makna, yaitu pengharaman terhadap apa-apa yang baik, yang telah dihalalkan oleh Allah SWT; baik sebagai pedoman maupun yang menyerupai pedoman. Allah SWT melarang hal tersebut dan menyifatinya sebagai perbuatan yang melampaui batas, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Kemudian Dia menetapkan pembolehan sebagai ketetapan tambahan atas apa yang telah ditetapkan-Nya melalui firman-Nya, Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dart apa telah yang Allah rezekikan kepadamu. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk bertakwa. Hal itu mengisyaratkan bahwa mengharamkan hal yang dihalalkan oleh Allah SWT merupakan perbuatan yang keluar dari derajat takwa. Ismail Al Qadhi meriwayatkan dari hadits Abu Qalabah RA, ia berkata, Beberapa orang sahabat Rasulullah SAW ingin menolak dunia, meninggalkan wanita, serta menjalani kehidupan rahbaniyyah. Namun Rasulullah SAW berdiri dan mengduarkan perkataan keras tentang niat mereka dengan sabda beliau, Orang-orang sebelum kamu binasa hanya karena bersikap keras. Mereka bersikap keras terhadap diri mereka, maka Allah berlaku keras terhadap mereka. Mereka inilah sisa-sisa mereka di rumah-rumah dan biara- biara. Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan- Nya, lakukanlah ibadah haji dan umrah serta istiqamahlah, maka Dia akan beristiqamah karenamu. Ia berkata, Dan turunlah ayat tentang mereka, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagikamu. Dalam Shahih At-Timvdzidi sebutkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW seraya berkata, Ya Rasulullah Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Sesungguhnya bila aku makan daging maka aku akan bangkit untuk mencari wanita dan syahwatku menggiringku, maka aku mengharamkan daging bagi diriku, lalu turunlah ayat ini. Hadits hasan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Ayat ini turun pada suatu kelompok dari sahabat Rasulullah SAW —diantaranya adalah Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Masud, Usman bin Madzun, Miqdad bin Aswad Al Kindi, serta Salim bekas budak Abu Huzaifah RA yang berkumpul di rumah Usman bin Madzun Al Jamhi, maka mereka sepakat untuk menjawab diri mereka dengan cara menjauhkan wanita, tidak makan daging dan lemak, memakai pakaian lusuh, tidak memakan makanan kecuali makanan pokok, serta berjalan di muka bumi seperti rahib. Kabar tentang mereka itu pun sampai kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau mendatangi Usman bin Madzun di rumahnya, tetapi beliau tidak mendapatkannya di rumah, dan juga tidak mendapatkan mereka, maka beliau bertanya kepada istri Usman Ummu Hakim, putri Abu Umayyah bin Haritsah As-Silmi, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Apakah benar berita yang sampai kepadaku tentang suamimu dan sahabat-sahabatnya? Ia menjawab, Tentang masalah apa, ya Rasulullah? Rasulullah SAW lalu memberitahunya tetapi ia enggan berbicara kepada Rasulullah SAW dan enggan membicarakan kejelekan suaminya, maka ia berkata, Jika Ustman mengatakan demikian telah mengabarkan kepadamu, maka ia telah berkata benar. Rasulullah SAW lalu bersabda kepadanya, Katakan kepada suamimu dan sahabat- sahabatnya apabila mereka kembali, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadamu, l Sesungguhnya aku makan dan minum, makan daging dan lemak, serta tidur dan mendatangi wanita. Jadi, barangsiapa tidak suka dengan Sunnahku, maka ia bukan golonganku. Ketika Ustman dan sahabat-sahabatnya kembali, istri Utsman memberitahu apa yang diperintahkan Rasulullah SAW tersebut. Mereka menjawab, Perkara kita telah sampai kepada Rasulullah SAW, dan perkara itu tidak disukainya, maka tinggalkanlah apa yang dibenci oleh Rasulullah SAW. Kemudian turunlah ayat tentang perkara itu, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu Ia berkata, Yang dihalalkan Allah antara lain: makan, minum, dan bersetubuh dengan istri. Dan janganlah kamu melampaui batas, m berkata, Dalam memotong kemaluan laki. Sesungguhnya Al- lah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas, ia berkata, Yang halal ke yang haram. Diriwayatkan dari Abdullah dalam hadits shahih, ia berkata, Kami berperang bersama Rasulullah SAW dalam suatu peperangan yang tidak ada wanita bersama kami. Maka kami bertanya, Bolehkan kami mengebiri? Beliau melarang kami melakukan hal itu dan memberi keringanan kepada kami setelah itu untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai waktu tertentu yang dimaksud adalah nikah mutah yang telah di-nasakh hukumnya Ibnu Masud lalu membaca, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagikamu. Ismail menyebutkan riwayat dari Yahya bin Yamar, bahwa Usman bin Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Madzun RA ingin berjalan di bumi untuk beribadah siyahah -istilah sufi; ia berpuasa pada siang hari dan menghidupkan malam dengan shalat serta ibadah, dan istrinya suka berdandan memakai minyak wangi, lalu ia meninggalkan untuk memakai sifat mata dan semir rambut, maka seorang istri dari istri-istri Rasulullah SAW bertanya kepadanya, Apakah kamu orang yang ada suaminya atau orang yang suaminya gaib? Ia menjawab, Ada, tapi Ustman tidak menginginkan wanita. Ia lalu menceritakan hal itu kepada Nabi SAW, maka Rasulullah SAW menemuinya dan bersabda kepadanya, Apakah kamu beriman dengan apa yang kami imani?” Ia menjawab, Ya. Beliau bersabda, Maka kerjakanlah apa yang kami kenakan, Janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu’. Said bin Manshur meriwayatkan dari Khudhair, dari Abu Malik, ia berkata, Diturunkan ayat ini kepada Usman bin Madzun dan sahabat- sahabatnya, yang saat itu mereka mengharamkan banyak makanan dan wanita, bahkan sebagian ada yang ingin memotong kemaluannya. Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan... Diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata, Ayat ini diturunkan kepada sebagian sahabat Rasulullah SAW yang ingin melepaskan diri dari hal-hal yang berbau dunia, meninggalkan wanita dan hidup dengan cara rahbaniyyah. Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib dan Usman bin Madzun. Ibnu Mubarak meriwayatkan bahwa Usman bin Madzun datang kepada Nabi SAW, seraya berkata, Izinkanlah aku mengebiri kemaluanku. Beliau lalu bersabda, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Bukan dari gohngan kami orang yang mengebiri atau dikebiri, karena pengebirian umatku adalah —dengan melakukan—puasa. Ia kemudian berkata, Ya Rasulullah izinkanlah aku berjalan untuk ibadah siyahah. Beliau menjawab, Sesungguhnya perjalanan ibadah umatku adalah jihad di jalan Allah. la lalu berkata, Ya Rasulullah Izinkanlah aku hidup dengan cara rahbaniyyah. Beliau menjawab, Sesungguhnya rahbaniyyah umatku adalah duduk di masjid-masjid untuk menunggu shalat Dalam hadits shahih dikatakan bahwa Rasulullah SAW menolak kehidupan lajang tidak beristri terhadap Usman bin Madzun. Seandainya Nabi SAW mengizinkan, maka ia pasti mengebiri kemaluannya. Ini semua menjelaskan bahwa seluruh hal tersebut adalah sikap mengharamkan sesuatu yang dihalalkan di dalam syariat dan mengeyampingkan perintah Allah SWT untuk dikerjakan —walaupun dimaksudkan menjalani kehidupan akhirat— karena itu semacam rahbaniyyah dalam Islam. Sahabat, tabiin, serta orang-orang setelah mereka melarang pengharaman yang halal. Bila pengharamannya itu tidak dengan sumpah, maka tidak membayar kafarat, sedangkan jika dengan sumpah maka harus membayar kafarat, dan orang yang telah bersumpah mengerjakan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah. Termasuk dalam kategori tersebut adalah yang disebutkan oleh Ismail Al Qadhi dari Maqal, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Masud RA, seraya berkata, Sesungguhnya aku bersumpah untuk tidak tidur di atas tempat Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin tidurku selama satu tahun. Abdullah bin Masud lalu membaca, Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan .... Abdullah bin Masud berkata, Mendekatlah, makanlah, serta bayarlah kafarat sumpahmu, kemudian tidurlah di atas tempat tidurmu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Maqal adalah orang yang memperbanyak puasa dan shalat, maka ia bersumpah untuk tidak tidur di atas tempat tidumya. Ia lalu mendatangi Ibnu Masud RA untuk menanyakan hal tersebut. Ibnu Masud kemudian membacakan ayat itu kepadanya. Diriwayatkan dan Mughirah, ia berkata, Aku bertanya kepada Ibrahim tentang ayat ini, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik dari yang dihalalkan Allah untukmu. Apakah itu adalah seorang laki-laki yang mengharamkan sesuatu dari hal-hal yang dihalalkan oleh Allah kepadanya? Ibrahim menjawab, Ya. Diriwayatkan dari Masruq, ia berkata: Abdullah dibawakan susu binatang, lalu ia berkata kepada kaum, Mendekatlah Ia lalu mengambilnya dan meminumnya. Seorang laki-laki kemudian berkata, Sesungguhnya aku mengharamkan susu binatang. Abdullah pun berkata, Ini termasuk langkah- langkah syetan. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik dari yang dihalalkan Allah untukmu.... Oleh karena itu, mendekatlah dan makanlah serta bayarlah kafarat sumpahmu. Atas dasar inilah fatwa-fatwa Islam berlaku: Sesungguhnya setiap orang yang mengharamkan atas dirinya sesuatu yang dihalalkan oleh Allah kepadanya, maka itu sama sekali bukan pengharaman. Jadi, makanlah jika yang diharamkannya itu sesuatu yang dimakan minumlah jika yang diharamkannya itu adalah sesuatu yang diminum, pakailah jika yang diharamkannya itu adalah sesuatu yang dipakai, serta milikilah jika yang diharamkannya itu adalah sesuatu yang dimiliki. Seakan-akan itu adalah ijma dari mereka yang dinukil dari Imam Malik, Abu Hanifah, Syafii, dan yang lain. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang istri. Madzhab Maliki berpendapat bahwa pengharaman adalah thalak Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin seperti thalak tiga, dan selain dari itu batil, karena Al Qur’an bersaksi bahwa ha itu adalah perbuatan yang melampaui batas, sehingga jika ia mengharamkan atas dirinya maka ia menyetubuhi budak perempuan orang lain dengan tujuan memerdekakannya, sehingga hal itu adalah halal. Begitu pula dalam hal-hal lainnya, seperti pakaian, tempat tinggal, diam tidak mau bicara, berteduh, dan melakukan shalat Dhuha. Pada waktu yang lalu telah diutarakan hadits tentang orang yang bernadzar puasa dalam keadaan berdiri di terik matahari dan diam tidak mau bicara, maka itu adalah pengharaman untuk duduk, berbicara, dan berteduh, namun Nabi SAW justru memerintahkannya duduk, berbicara, dan berteduh. Malik berkata, Nabi SAW memerintahkannya untuk menyempurnakan ketaatan yang telah dikerjakan dan meninggalkan kemaksiatan yang ada padanya. Perhatikanlah bagaimana Imam Malik berpendapat bahwa meninggalkan yang halal sebagai perbuatan maksiat Itu merupakan substansi ayat, Dan janganlah kamu melampaui batas dan juga substansi perkataan Ibnu Masud RA kepada pemilik susu tetek binatang, Ini termasuk langkah- langkah syetan. Ibnu Rusyd Al Hafid men-dhaif-kan pengambilan dalil dari Malikiyah dengan hadits dan penafsiran Imam Malik terhadap hadits itu. Ia menyebutkan bahwa perkataannya tentang hadits tersebut, Dan meninggalkan kemaksiatan yang ada padanya bukanlah suatu yang jelas bahwa tidak bicara merupakan perbuatan maksiat, sedangkan Allah SWT telah mengabarkan di dalam Al Qur an bahwa perbuatan itu adalah nadzar Maryam. la menyamakan berdiri di terik matahari juga bukan perbuatan maksiat kecuali dari sisi menyusahkan tubuh dan jiwa; sedangkan terkadang dianjurkan bagi orang yang melaksanakan haji untuk tidak berteduh. Jika dikatakan bahwa di dalamnya terdapat maksiat, maka pengambilan dalilnya dengan qiyas atas hal-hal yang dilarang karena membuat susah, bukan dengan nash, karena hal mendasar dalam perbuatan itu adalah bahwa ia termasuk perbuatan yang dibolehkan. Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Perkataan Ibnu Rusyd juga tidak jelas, karena perkataan Imam Malik tentang hadits itu bukanlah kesimpulan darinya, tetapi yang nampak adalah bahwa ia berdalil dengan ayat yang berbicara tentang permasalahan itu, dan membawa makna hadits itu kepadanya ayat dengan meninggalkan bicara. Walaupun pada syariat-syariat pertama sebelum syariat Nabi Muhammad merupakan suatu yang disyariatkan, tapi ia telah di-nasakh dengan syariat ini Nabi Muhammad. Jadi, itu adalah pekerjaan yang disyariatkan dengan cara yang tidak disyariatkan. Begitu pula berdiri di terik matahari, merupakan tambahan dari permasalahan pengharaman yang halal, walaupun dianjurkan dalam suatu kondisi, tapi tidak mesti dianjurkan pada kondisi lainnya.

H. Masalah-Masalah Seputar Pengharaman terhadap Hal-Hal yang Dihalalkan oleh Allah

Ada beberapa masalah yang terkait dengan kondisi ini:

l. Masalah Pertama

Pengharaman yang halal dan yang serupa dapat digambarkan dalam bentuk berikut ini: a. Pengharaman hakiki. Itulah yang terjadi dari orang-orang kafir, seperti bahirah unta betina yang sudah beranak lima kali, sa ibah unta yang dibiarkan pergi kemana saja, washilah domba jantan yang terlahir kembar dengan betina, dan ham unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali; dan semua yang Allah SWT sebutkan pengharamannya dari orang- orang kafir berdasarkan pendapat semata. Diantaranya adalah firman- Nya, Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta... Qs. An-Nahl [16]: 116 Serta yang serupa dari bentuk pengharaman yang terjadi dalam Islam karena hanya berdasarkan pendapat. b. Hanya meninggalkan mengharamkan tanpa tujuan dan sasaran. Tetapi, secara tabiat, jiwa akan membenci atau tidak membenci hingga Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin ia menggunakannya, atau tidak mendapatkan harganya, atau sibuk dengan hal-hal yang lebih penting lebih kuat, atau yang serupa dengan hal tersebut. Diantaranya pula adalah sikap Nabi SAW yang tidak mau makan daging biawak, berdasarkan sabdanya tentang hal itu, Sesungguhnya ia biawak tidak ada di tanah kaumku, maka aku mendapatkan diriku merasa jijik dengannya. Hal semacam ini tidak dinamakan pengharaman, karena pengharaman mengharuskan adanya tujuan, dan yang seperti ini tidaklah demikian. c. Hukum haram mencegah diri melakukan nadzamya, atau yang sepadan dengan nadzar, seperti keinginan kuat yang gagal terlaksana karena adanya udzur, misalnya: haramnya tidur di atas tempat tidur selama satu tahun, pengharaman ambing, pengharaman menyimpan makanan hingga hari esok, pengharaman bersenang-senang dengan makanan dan pakaian, serta pengharaman jima dan bersenang-senang dengan wanita secara umum. d. Bersumpah atas sebagian yang halal untuk tidak mengerjakannya, dan yang seperti ini terkadang disebut pengharaman. Ismail Al Qadhi berkata, Apabila seorang laki-laki berkata kepada budak perempuannya, Demi Allah, aku tidak akan mendekatinya, maka ia telah mengharamkan dirinya dengan sumpah, sehingga bila ia menyetubuhinya, ia wajib membayar kafarat yamin sumpah. Ia Ismail Al Qadhi mengutarakan pertanyaan Ibnu Muqrin kepada Ibnu Masud RA, ketika ia berkata, Aku bersumpah untuk tidak tidur di atas tempat tidurku selama satu tahun —Ia berkata— maka Ibnu Masud membaca ayat, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik dan yang dihalalkan Allah untukmu.... Lalu berkata kepadanya, Bayarlah kafarat sumpahmu dan tidurlah di atas tempat tidurmu. Ibnu Masud memerintahkannya agar tidak mengharamkan hal-hal yang telah dihalalkan oleh Allah SWT dan membayar kafarat atas sumpahnya. Ungkapan ini menghukumi bahwa hal tersebut termasuk bagian dari pengharaman dan ia mempunyai sisi yang jelas; Ismail telah mengisyaratkan Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin