Penjelasan Tambahan tentang AhluI Ahwa dan Ahlul Bidah
bercerai-berai dan berselisih. Qs. Aali Imraan [3]: 105 dan Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat. Qs. Aali Imraan [3]: 7 Di sini, mengikuti ayat-ayat mutasyabih hanya untuk mereka yang
menduduki posisi mujtahid. Begitu pula sabda Nabi SAW,
Hingga apabila tidak ada lagi orang yang alim dalam agama, maka ketika itu orang-orang akan memilih orang bodoh sebagai
pemimpin mereka, mereka ditanya lalu mereka mengeluarkan fatwa tanpa ilmu.
Yang demikian itu karena mereka memposisikan diri mereka dalam posisi pengambil kesimpulan dalam masalah hukum syariat yang patut diikuti.
Berbeda halnya dengan orang awam, mereka hanya mengikuti semua hal yang telah ditetapkan oleh bapak-bapak mereka dan pendahulu-pendahulu
mereka, karena keputusan itu adalah kewajiban mereka pendahulu-pendahulu mereka. Oleh karena itu, mereka bukan orang yang mengikuti ayat-ayat
yang mutasyabih secara benar-benar, dan mereka tidak mengikuti hawa nafsu mereka, akan tetapi mereka mengikuti semua yang dikatakan kepada mereka
dari para pendahulu. Oleh karena itu, ahlul ahwa tidak ditujukan kepada mereka orang awam, sehingga mereka memahami hal tersebut dengan
pengamatan mereka sendiri, hingga mereka bisa membedakan; apakah ini baik atau buruk, ketika itu baru bisa ditetapkan lafazh ahlul ahwa dan ahlul
bidah ditujukan kepada orang yang memposisikan dirinya kepada pelaku bidah dan membenarkan pendapatnya. Namun bagi orang yang tidak sadar
atau tidak menyadari posisi dirinya dan orang-orang yang mengikuti jejak pemimpin-pemimpinnya hanya dengan ikut-ikutan dan tanpa pengkajian
ulang, maka tidak disebut demikian. Hakikat permasalahan sebenamya terbagi atas dua bagian; Al Mubtadi
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
pelaku bidah dan Al Muqtadi bih yang menirunya. Para peniru bidah seakan tidak masuk dalam hitungan ahlul bidah jika hanya ikut-ikutan,
karena ia termasuk golongan orang yang ikut-ikutan saja. Sedangkan pelaku bidah adalah orang yang menemukan atau membuat hal-hal baru dalam hal
agama atau ia juga yang dimintai dalil atas kebenaran penemuan tersebut. Bagi kita sama saja, baik dalil-dalil tersebut muncul dari orang-orang
khusus yang mengerti tentang penelitian dalam suatu keilmuan maupun dari orang-orang awam. Sesungguhnya Allah SWT mencela suatu kaum
yang berkata, Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.
Qs. Az-Zukhruf [43]: 23 seakan-akan mereka berlindung pada dalil global, yaitu bapak-bapak mereka, karena di antara mereka bapak-bapak
mereka terdapat orang-orang yang pandai dan mereka tetap berada pada agama ini, dan bukan hanya karena agama ini benar, karena
seandainya agama ini salah maka mereka pasti akan pergi meninggalkannya.
Ini adalah pandangan orang yang berdalil atas benarnya bidah yang didasarkan pada pekerjaan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang
yang mereka tunjuk sebagai orang yang shalih dan patut diikuti, tanpa melihat kondisi orang tersebut; termasuk orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad
dalam suatu perkara syariat, atau termasuk orang yang mengikuti, atau termasuk orang yang berbuat sesuatu atas dasar ilmu, atau termasuk orang
yang berbuat sesuatu berdasarkan kebodohannya? Akan tetapi, hal seperti ini dianggap juga sebagai pengambilan dalil secara global, karena dengan
sengaja mengikuti hawa nafsu dan menolak selainnya. Jadi, orang yang menjalaninya berarti telah menjalani bidah dengan dalil yang serupa, sehingga
ia termasuk dalam kategori ahlul bidah. Dengan demikian, sudah menjadi hak orang yang menjadikan hal ini
sebagai jalannya untuk melihat dan mengkaji suatu yang hak apabila datang bukti nyata kepadanya. Ia hendaknya mencari tahu dan bertanya hingga
kebenaran itu tampak olehnya, kemudian mengikutinya, atau jika —dari proses tersebut— terbukti kesalahannya, maka ia harus menghindar darinya.
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Oleh karena itu, Allah SWT berfirman sebagai jawaban dari orang- orang yang beralasan, sebagaimana yang telah disebutkan:
Rasul itu berkata, Apakah kamu akan mengikuti jugasekalipun aku membawa untukmu agama yang lebih nyata memberi petunjuk
daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?. Qs. Az- Zukhruf [43]: 24
Dan apabila dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab, Tidak, tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. Qs. Al Baqarah [2]: 170
Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat
petunjuk? Qs.Al Baqarah [2]: 170. Dan apakah mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka walaupun
syetan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala neraka? Qs. Luqmaan [31]: 21
Tanda-tanda kelompok ini adalah menolak selain madzhabnya dengan dalil yang tidak kuat, baik dalil itu secara global maupun terperinci, dan ia
sangat fanatik terhadap sesuatu yang ia jalankan tanpa menoleh sedikit pun kepada yang lain. Itulah pangkal dari mengikuti hawa nafsu. Hal ini sangat
dicela dan yang melakukannya berdosa. Adapun orang yang mendapat petunjuk, pasti akan condong pada kebenaran, dan apabila menemukannya
ia tidak akan menolaknya. Itulah kebiasaan orang yang mencari kebenaran. Oleh karena itu, kita melihat para Muhaqqkj orang yang mencari kebenaran
selalu segera mengikuti Rasulullah SAW apabila nampak suatu kebenaran di matanya.
Bagaimana seandainya ia tidak menemukan kecuali bidah seperti yang telah lalu dan ia tidak termasuk orang yang fanatik, namun ia juga
mengerjakannya? Apabila kita berkata, Sesungguhnya AhlulFatrah akan diadzab secara mutlak jika mengikuti orang yang melakukan suatu yang baru
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
di antara mereka. maka orang-orang yang mengikuti orang yang memulai suatu perbuatan yang baru, padahal ia tidak menemukan kebenaran, pasti
akan diadzab juga. Jika kita katakan, Mereka tidak diadzab hingga seorang rasul diutus kepada mereka, walaupun mereka telah berbuat suatu kekafiran,
maka mereka tidak akan dihukum selama tidak ada bukti kebenaran yang datang kepada mereka. Namun, dalam posisi seperti itu mereka akan dihukum
karena dua perkara: 1.
Mengikuti seorang rasul dalam kebenaran, tetapi mereka lalu meninggalkannya.
2. Tidak mengikutinya karena adanya sikap pembangkangan dan
kefanatikan. Bila demikian maka mereka termasuk dalam ibarat Ahlul Ahwa,
yang menyebabkan mereka mendapatkan dosa. Setiap orang yang mengikuti keterangan yang didengarnya dalam hal
bidah yang telah dikenal dikalangan para ulama dan ber-gdengan sikap rela serta menolak hal-hal yang lain, maka ia dan orang yang diikuti telah
berdosa. Ia berpendapat bahwa orang yang disembahnya berbentuk seorang manusia dan ia akan membinasakan segalanya kecuali dirinya, kemudian ia
berpendapat bahwa Ruh Allah masuk ke jasad Ali, kemudian kepada seseorang, kemudian menjelma dalam dirinya.
Demikian halnya dengan pengikut Al Mughirah bin Saad Al Ajili yang mengaku dirinya sebagai nabi dan dapat menghidupkan kembali orang yang
telah mati dengan menggunakan nama-nama Allah Yang Agung, dan Tuhannya memiliki anggota badan dalam bentuk huruf Hijaiyah, dalam bentuk
penggambaran yang menjijikkan bagi setiap hati orang mukmin. Juga bagi pengikut Al Mahdi Al Maghribi, banyak bidah di Maghrib
yang dinisbatkan kepadanya. Ia berdosa, begitu juga orang yang mengikutinya apabila ia menjadi pembela dan pembawa hujjah bagi alirannya.
Semoga Allah SWT menjaga kita dari kejahatan fanatisme buta dengan
rahmat dan karunia-Nya.
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin