Contoh yang Terjadi pada Akal

jika tidak mau bertobat maka penggallah leher mereka, sebab mereka telah berdusta atas nama Allah dan mensyariatkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah. Perhatikanlah, mereka menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah dengan takwil terhadap nash Al Qur an, kemudian Ali dan para sahabat melihat mereka telah mensyariatkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah. Seperti inilah yang namanya bidah. Ini satu sisi. Demikian juga yang dilakukan oleh sebagian filsuf Islam mereka menakwilkan dengan bentuk yang lain. Mereka berdalil bahwa meminum khamer tujuannya adalah mendapatkan manfaat, bukan untuk sesuatu yang melalaikan Al Quran. Bahkan mereka bersumpah kepada Allah atas itu, seakan-akan khamer bagi mereka adalah obat atau gizi yang bermanfaat bagi kesehatan mereka. Dikisahkan bahwa ini juga menjadi kebiasaan Ibnu Sina. Aku meneliti sebagian pendapat yang beredar di kalangan manusia, bahwa di antara orang yang dikenal menghabiskan waktu malamnya untuk ilmu, menulis, dan meneliti menggunakan bantuan khamer. Jika ia lihat dirinya mulai malas atau payah, maka ia minum secukupnya untuk membuatnya bersemangat. Bahkan mereka mengatakan bahwa khamer memiliki daya panas yang spesifik, yang bisa menghasilkan banyak hal, sehingga jiwa menjadi baik dan semakin mencintai hikmah. Selain itu, khamer —masih menurut mereka— bisa memperbagus gerak, pikiran, dan pengetahuan. Jika digunakan dalam takaran yang sedang, seseorang akan dibuat mengetahui banyak hal dan memahaminya dengan baik, bahkan mengembalikan ingatan ketika terlupa. Oleh karena itu, — wa allahu alam— Ibnu Sina tetap menggunakannya. Namun semua itu adalah kesesatan yang nyata. Kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian. Tidak bisa lata katakan bahwa masalah tersebut termasuk permasalahan berobat dengan menggunakan khamer. Adapun pengobatan dengan menggunakan khamer, ada perbedaan yang cukup masyhur. Yang terjadi pada diri Ibnu Sina, ia menggunakan khamer sebagai zat untuk merangsang dirinya terlepas dari kemalasan dan demi menjaga kesehatan, atau sebagai penguat untuk melakukan tugas-tugasnya dan berbagai hal yang serupa. la tidak menggunakannya untuk penyakit yang sudah mempengaruhi raga, sedangkan perbedaan pendapat yang terjadi adalah dalam masalah penggunaannya dalam penyakit, bukan untuk hal yang lain. Jadi, Ibnu Sina dan orang-orang yang menyepakatinya berdusta terhadap syariat Allah, mereka membuat bidah, dan telah kita terangkan pendapat ahli ibadah dalam masalah khamer dan yang lain. Wa laa taufiqa ilia billah.

E. Contoh dalam Masalah Harta

Contoh masalah bidah yang terjadi dalam pada harta adalah perkataan orang-orang kafir, Mereka berkata berpendapat, Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.... Qs. Al Baqarah [2]: 275 Ketika mereka menghalalkan perbuatan itu, mereka menggunakan qiyas yang keliru, mereka berkata, Jika membatalkan sepuluh barang yang dibeli selama satu bulan dengan lima belas barang jika dibeli dengan jangka waktu dua bulan, maka hal ini sama dengan menjual lima belas barang hingga dua bulan, maka Allah SWT membantahnya dengan menyatakan, padahal Allah telah menghaalkan jual beli dan mengharamkan riba.... {Qs. Al Baqarah [2]: 275 Maksudnya, jual beli tidak seperti riba, maka perkara baru yang mereka ada-adakan ini dilandaskan pada pendapat yang rusak, sehingga termasuk bagian dari berbagai perkara yang diada-adakan dalam masalah jual-beli yang berlaku di antara mereka, yang dibangun di atas marabahaya dan penipuan. Orang-orang jahiliyyah juga mensyariatkan perkara-perkara lain dalam masalah harta ini, seperti bagian-bagian dari harta rampasan perang yang mereka berikan kepada amir mereka, sampai penyair mereka melantunkan, Engkau berhak memiliki mirba dan shafaya Dan hukum-Mu ditambah lagi dengan nasyithah dan fudhul Mirba adalah seperempat harta rampasan perang yang menjadi bagian pimpinan. Shahya adalah bentuk jamak dari shafi, yaitu harta rampasan perang yang sengaja disisihkan sendiri oleh pimpinan yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Nasyithah adalah harta rampasan perang yang diperoleh pasukan perang di perjalanan sebelum mereka sampai di tempat yang dituju. Ini menjadi bagian khusus bagi pimpinan. Fudhuladalah kelebihan dari pembagian harta rampasan perang. Saat itu juga ada bidang-bidang tanah yang dilindungi; tidak boleh dimasuki oleh manusia dan tidak boleh diolah. Ketika Al Quran turun; menjelaskan pembagian ghanimah, Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang.... Qs. Al Anfaal [8]: 41 diangkatlah hukum bidah, kecuali orang yang tetap menjalankan hukum jahiliyyah setelah datangnya Islam. Tetap saja ada orang yang memakai hukum-hukum syetan. Disebutkan dalam sebuah hadits, Tidak ada larangan melainkan larangan dari Allah dan Rasul-Nya. Namun sebagian manusia yang lebih mementingkan dunia daripada ketaatan kepada Allah, tetap berada dalam jalan jahiliyyah. Allah berfirman, ... dan hukumsiapakah yang lebih daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?{Qs. Al MaaMdah [5]: 50 Walaupun demikian, ayat dan hadits tersebut serta makna keduanya, tetap menetapkan sebuah pokok umum dari syariat, tidak terbelah dan tidak dikhususkan, mutlak tanpa pengikat, yaitu bahwa setiap mukallaf kecil atau besar, mulia atau hina, tinggi atau rendah derajatnya kedudukannya sama dalam hukum syariat. Jadi, setiap perkara yang keluar dari pokok yang umum ini, berarti keluar dari Sunnah menuju bidah, dan dari jalan yang lurus ke jalan yang bengkok.

F. Jika Bidah Tidak Satu Tingkatan

Apabila telah ditetapkan bahwa bidah dalam ketercelaannya dan pelarangannya tidak satu derajat, berarti ada yang makruh dan ada yang haram. Namun sifatnya sebagai amalan yang sesat adalah lazim dan mencakup segala jenisnya, berdasarkan ketetapan sabda Nabi SAW yang telah kukuh, yaitu, Setiap bidah adalah sesat. Tetapi di sini masih ada problem, yaitu bahwa sesat adalah lawan dari petunjuk, sebagaimana firman Allah: Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.... Qs. AlBaqarah [2]:16 .. dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pun yang akan memberi petunjuk. Qs. Ghaafir [40]: 33 Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya.... Qs. Az-Zumar [39]: 37 Serta ayat-ayat lain yang serupa, yang mempertentangkan antara petunjuk dengan kesesatan. Ini mengharuskan bahwa kedua hal tersebut berlawanan dan tidak ada perantara di antara keduanya yang dianggap dalam syariat. Dengan demikian, bidah yang makruh juga diluar petunjuk. Di antara pelanggaran serupa yang bukan bidah yang makruh dalam bentuk perbuatan adalah menoleh sedikit dalam shalat tanpa ada keperluan, shalat dengan menahan dua hadats, dan hal lain yang serupa. Perkara serupa yang terdapat dalam hadits misalnya adalah,