Pemberian lllat Larangan HUKUM BIDAH HAKIKIYAH DAN IDHAFIYAH

jiwa, yaitu menyikapinya dengan lemah lembut —akan datang penjelasannya—. Namun jika ia tidak memenuhinya, maka seakan- akan ia telah menyalahi janji Allah, dan perjanjian itu berat. Jadi, seandainya ia tetap berada pada dasar keterbebasan memikul tanggung jawab akibat mewajibkan diri, maka tidak akan masuk pada sesuatu yang dihindari. Akan tetapi seseorang berkata: Larangan di sini terkait dengan sikap lemah lembut yang sesuai dengan perhitungan pelaku, sebagaimana perkataan Aisyah RA, Nabi SAW melarang puasa wishal karena sebagai rahmat bagi mereka. Jadi, seakan-akan beliau telah memperhitungkan hak jiwa dalam beribadah. Oleh karena itu, dikatakan kepadanya, Kerjakanlah dan tinggalkanlah. Artinya, janganlah kamu memikul sesuatu yang memberatkanmu, sebagaimana kamu tidak memikul amal-amal fardhu yang memberatkanmu, karena Allah SWT hanya meletakkan kewajiban-kewajiban kepada hamba-Nya dalam bentuk yang mudah, yang mampu dikerjakan oleh orang yang kuat dan yang lemah, anak kecil dan orang dewasa, orang merdeka dan budak, serta laki-laki dan perempuan, sehingga apabila sebagian kewajiban telah menyulitkan mukallaf, maka kewajiban itu akan jatuh darinya secara keseluruhan atau diganti dengan kewajiban yang tidak ada kesulitannya, seperti perbuatan-perbuatan sunah yang sedang dibicarakan. Apabila diperhatikan, maka bagian jiwa kembali kepada pelaku. la boleh tidak memberi bagiannya dan menggunakannya pada sesuatu yang dilaksanakan secara terus- menerus, namun itu justru akan menyulitkannya —atas dasar kaidah yang sudah ditetapkan, yang terdapat dalam kitab muwafaqat. Jadi, perkara itu tidak dilarang — atas dasar anggapan itu— sebagaimana wajib bagi manusia untuk memberikan hak orang selama —orang lain— menuntutnya, dan ia berhak memilih dalam meninggalkan tuntutan sehingga terangkat kewajibannya. Begitu pula tentang larangan untuk memelihara hak Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin jiwa, jika pemilik jiwa menjatuhkannya maka hilanglah larangan tersebut, dan amal perbuatan kembali ke hukum sunah. Jawaban atas hal tersebut adalah, hak-hak jiwa ditinjau dari segi tuntutannya, bisa dikatakan sebagai hak-hal Allah atas hamba, dan bisa dikatakan bahwa yang demikian itu bagian dari hak-hak hamba. Jadi, tidak benar apa yang telah Anda katakan, karena mukallaf tidak memiliki pilihan di dalamnya. Yang demikian itu ketika ia beribadah dengan cara lemah-lembut kepada orang lain, maka ia juga dibebani untuk berlemah lembut kepada dirinya sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah SAW, Sesungguhnya dirimu mempunyai hak atasmu... Nabi SAW mengiringi hak jiwa diri dengan hak orang lain dalam tuntutan, seperti dalam sabda beliau, Maka berikanlah hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Beliau lalu menjadikan hal itu sebagai bagian dari hak. Lafazh ini tidak diungkapkan kecuali untuk sesuatu yang lazim. Dalilnya adalah, tidak boleh bagi seorang manusia menghalalkan darah dirinya atau darah orang lain, dan juga tidak boleh memotong satu bagian dari bagian tubuhnya, serta tidak boleh menyakitinya dengan sesuatu. Jadi, orang yang telah berbuat demikian berarti telah berbuat dosa dan berhak mendapat hukuman. Jika kami katakan, maka hal itu termasuk hak hamba dan kembali kepada pilihannya, namun tidak secara mutlak, karena telah terbukti —dalam nilai dasar— bahwa hak-hak hamba pasti berkaitan dengan hak Allah. Seandainya hak itu hanya diserahkan kepada pilihan kita secara mutlak, maka pasti tidak ada larangan untuk kita, namun pada awalnya kita diberi pilihan. Dengan demikian ?, jika semua tergantung pada pilihan mukallaf secara murni, maka orang yang bernadzar dalam hal ibadah boleh meninggalkannya kapan pun dan boleh Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin mengerjakannya kapan pun. Para imam sepakat atas wajibnya memenuhi nadzar, maka yang berlaku adalah yang serupa dengannya. Kita juga telah memahami dari syariat bahwa Allah SWT telah menjadikan kita cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati kita. Adapun di antara kategori indah adalah memberi syariat dalam bentuk yang baik untuk dilakukan, dan tidak ada kesulitan dalam melaksanakannya. Apabila melaksanakan suatu amal menjadi urusannya, maka biasanya akan lahir kebosanan, kebencian, dan keterputusan dalam melakukannya —hal ini berlawanan dengan memberi kecintaan dengan iman dan menghiasinya di dalam hati— dan yang demikian itu hukumnya makruh, karena bertentangan dengan keberadaan syariat. Sebab, tidak selayaknya masuk ke dalamnya dalam bentuk yang demikian. 2. Kekhawatiran terjadinya pelalaian amal perbuatan yang lebih kuat penting, baik dalam menunaikan hak Allah maupun hak makhluk. Hak-hak yang berkaitan dengan mukallaf terbagi menjadi dengan beberapa bentuk, dan hukum-hukumnya berbeda-beda sesuai dasar- dasar dalil yang digunakan. Sudah dimaklumi bahwa apabila terjadi kontradiksi dua hak kepada mukallaf dan tidak mungkin dipadukan di antara keduanya, maka harus dikedepankan yang lebih kuat dalam substansi dalil. Seandainya terjadi kontradiksi pada mukallaf, antara yang wajib dengan yang sunah, maka yang wajib dikedepankan adalah yang sunah, sehingga yang sunah pada saat itu tidak lagi menjadi sunnah tapi menjadi sesuatu yang wajib ditinggalkan, baik secara akal maupun syariat, termasuk ke dalam kaidah Sesuatu tidak menjadi wajib kecuali dengan dengan sesuatu itu. Apabila yang sunah itu menjadi sesuatu yang wajib ditinggalkan, maka apakah orang yang mengerjakannya ketika itu dianggap sebagai orang yang beribadah kepada Allah? la pun beribadah dengan sesuatu yang dituntut dalam dasar-dasar dalil, karena dalil sunah itu ada. Tetapi, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin dilihat dari sisi peribadatan ini, ia adalah pencegah dari melakukan perbuatan itu, karena adanya yang wajib. Jika ia telah melaksanakan yang wajib, maka secara umum tidak ada dosa meninggalkan yang sunah, kecuali ia tidak terbebas dari sisi pelaziman yang telah lalu dan sesuatu yang ada telah berlalu di dalamnya. Jika ia mengerjakan yang sunah maka ia telah berbuat maksiat karena meninggalkan yang wajib. Pembahasan yang tersisa adalah peninjauan tentang sunah: Apakah ia menempati posisi sunah? Jika Anda berkata, Meninggalkan yang sunah di sini wajib menurut akal, maka mungkin yang sunah itu akan menjadi sebab Anda mendapat pahala, walaupun ia telah mencegah pelaksanaan sesuatu yang wajib. Jika Anda berkata, Meninggalkan yang sunah di sini wajib menurut syari, maka mungkin ia menjadi sebab adanya pahala kecuali dalam bentuk tertentu, dan di dalamnya terdapat apa yang sewajarnya ada. Anda melihat bahwa melazimkan amalan sunah akan menjadi wajib dalam bentuk bagaimanapun, dan hal itu akan menyebabkan kesulitan, mencegah dari pemenuhan kewajiban-kewajiban secara langsung, baik disengaja maupun tidak disengaja. Yang demikian itu seperti yang terkandung dalam hadits Salman dengan Abu Darda RA, bahwa bangun malam yang ia lazimkan telah mencegahnya untuk melaksanakan hak-hak istri yang berupa kewajiban bercumbu dengannya. Begitu pula dengan melazimkan puasa pada siang hari. Yang serupa dengan itu, seandainya pelaziman shalat Dhuha atau shalat-shalat sunah lainnya menyebabkan tercegahnya pelaksanaan kewajiban terhadap orang sakit yang mendekati ajalnya, dan kewajiban membantu keluarganya dengan makanan pokok atau yang lain yang serupa dengan itu, atau mengakibatkan lemah fisik, sehingga tidak mampu mencari kehidupan untuk keluarganya atau melaksanakan kewajiban sesuai dengan aturannya, atau jihad, atau menuntut ilmu. Hal tersebut diisyaratkan oleh hadits yang berbicara tentang Daud AS, bahwa beliau puasa sehari dan berbuka sehari dan tidak lari jika bertemu musuh. Dalam perjalanan, orang yang diwajibkan berpuasa diberikan pilihan, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin namun ketika tahun pembebasan kota Makkah Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya kamu telah mendekat dari musuhmu, dan berbuka itu lebih kuat bagi kamu . Abu Said Al Khudri RA berkata, Sehingga di antara kami pada pagi harinya ada yang puasa dan ada yang berbuka. Kemudian kami terus berjalan dan singgah di suatu rumah. Beliau lalu bersabda, Sesungguhnya besok pagi akan bertemu dengan musuh kalian, dan berbuka itu lebih kuat bagi kalian, maka berbukalah. Ini merupakan azimah dari Rasulullah SAW. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa puasa mungkin akan melemahkan diri dari bertemu melawan musuh dan jihad. Dengan ini puasa sunah lebih utama untuk diterapkan pada hukum ini. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA, bahwa Nabi SAW pernah mdihat seorang laki-laki yang dinaungi dan orang berkumpul padanya, maka beliau bersabda, Tidak termasuk kebajikan puasa dalam perjalanan. Yang beliau maksud adalah, walaupun puasa hukumnya wajib, tapi bukan suatu kebajikan bila dilakukan ketika dalam perjalanan. Ketika ada keringanan maka keringanan itu menuntut untuk dilakukan. Dalam hal ini, sesuatu yang tidak wajib pada asalnya lebih utama untuk dilakukan. Kesimpulannya, setiap orang yang melazimkan dirinya dengan sesuatu yang memberatkannya, maka ia tidak menjalani jalan kebajikan sesuai dengan batasannya. Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin

F. Melazimkan Perbuatan-Perbuatan Sunah yang Pelaksanaannya secara Terus-menerus telah

Memberatkan dan Tidak Sesuai dengan Dalil Beribadah dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil berarti telah beribadah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan, dan itu adalah bidah. Mungkin, hal itu selaras dengan dalil-dalil yang mencela bidah, dan jika selaras dengan dalil-dalil celaan, maka hal itu tidak benar, karena dua perkara berikut ini: 1. Rasulullah SAW ketika membenci perbuatan Abdullah bin Amru RA. la berkata kepada beliau, Sesungguhnya aku mampu mengerjakan yang lebih utama dari itu. Beliau lalu bersabda, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Tidak ada yang lebih utama dari itu. Sehingga ia meninggalkan sesuatu yang telah dilazimkan. Seandainya Abdullah tidak memahami sabda beliau setelah larangan yang sudah ditetapkan, maka ia tidak akan melazimkannya dan mengerjakannya terus-menerus, sehingga ia berkata, Seandainya dulu aku terima keringanan Rasulullah SAW. Seandainya kita mengatakan bahwa itu bidah —dan beliau telah mencela setiap bidah secara umum— berarti beliau menetapkannya dalam kesalahan. Hal itu tentu tidak diperbolehkan, sebagaimana tidak selayaknya diyakini bahwa ia telah menentang perintah Rasulullah SAW hanya karena bertujuan beribadah dengan sesuatu yang telah dilarangnya. Karena, para sahabat RA adalah orang-orang yang paling bertakwa kepada Allah dan paling jauh dari perbuatan itu. Begitu pula ketetapan lainnya seperti puasa wished. Apabila demikian, maka tidak mungkin dikatakan bahwa itu adalah bidah. 2. Orang yang selalu mengerjakannya dengan syarat akan memenuhinya. Jika ia melazimkan syarat dan ia telah melaksanakannya sebagaimana mestinya, maka tercapailah maksud pembuat syariat, sehingga hilanglah larangan, tidak ada penentangan terhadap dalil, dan tidak ada anggapan bidah, walaupun ia tidak melazimkan pelaksanaannya. Jika dengan pilihan, maka tidak ada problem dalam menentangan hal-hal tersebut, seperti orang yang bemadzar meninggalkan perbuatan sunah tanpa udzur. Walaupun demikian, meninggalkannya tidak dinamakan bidah, mengerjakannya pada waktu kerja juga tidak dinamakan bidah, dan mengerjakannya pada kesempatan apa pun tidak dinamakan bidah. Walaupun sebab adanya udzur adalah —misalnya— sakit. Jadi, kami tidak menerima bahwa itu bertentangan, sebagaimana ia tidak bertentangan dalam hal yang wajib, apabila dihalangi oleh udzur, seperti puasa bagi orang sakit dan haji bagi orang yang tidak mampu. Jika demikian maka tidak ada perbuatan bidah. Adapun jika tidak selaras dengan dalil-dalil yang mencelanya, maka telah ditetapkan bahwa dalam kategori bidah ada yang tidak terlarang, bahkan termasuk perbuatan ibadah, bukan termasuk kategori al mashaalih al mursalah, dan bukan pula yang lainnya dari hal-hal yang mempunyai dasar secara umum. Namun, pada saat-saat tertentu, dasar ini mencakup setiap pelaziman yang bersifat ibadah, baik yang mempunyai dasar maupun tidak. Tetapi ia mempunyai dasar secara umum dan tidak secara terperinci, seperti mengkhususkan malam kelahiran Nabi SAW dengan melakukan shalat malam dan pada siangnya dengan puasa atau shalat-shalat khusus, menghidupkan malam awal Jumat bulan Rajab, malam pertengahan Syaban, dan melazimkan doa dengan suara keras seusai shalat dengan mengangkat imam, untuk memimpin, dan hal-hal lainnya dari hal-hal yang mempunyai dasar yang jelas. Ketika itu sirnalah semua hal yang berdasarkan. Jawaban atas penyataan pertama adalah: Hal itu benar dan tidak terlarang berkumpulnya larangan dan pertimbangan untuk perkara yang diluar batasannya, karena larangan bukan karena adanya cela pada substansi ibadah itu sendiri, dan tidak juga pada salah satu dari rukun-rukunnya, akan tetapi karena adanya kekhawatiran Rasulullah terhadap perkara yang diharapkan terjadi, sebagaimana perkataan Aisyah RA, Sesungguhnya larangan dari Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin