Tentang Tasawuf dan Anggapan Terhadapnya

serta keikhlasan beramal, dan inilah yang hak. Akan tetapi, pada beberapa kesempatan mereka memberikan penilaian yang baik terhadap sesuatu yang tidak terdapat di dalam Al Qur an dan Sunnah, serta tidak pernah diperbuat oleh salafush-shalih. Kemudian mereka mengerjakan semua kandungannya dan tetap mempertahankannya dengan sebaik-baiknya, serta menjadikannya sebagai aturan tarekat bagi mereka dan sebagai Sunnah yang tidak boleh dilanggar. Bahkan mereka telah mewajibkannya pada sebagian kondisi tertentu, walaupun perkara tersebut tidak termasuk suatu keringanan. Oleh karena itu, tidak dibenarkan apa yang telah mereka bangun itu. Di antara permisalannya yaitu: 1. Pada beberapa perkara bersandar pada penyingkapan tabir Mukasyaah dan kesaksian Muayanah serta atas sesuatu yang di luar dari kebiasaan, kemudian mereka menghukumkan yang halal dan yang haram serta menetapkan atas perkara tersebut sesuatu yang hams dikerjakan atau ditinggalkan. Sebagaimana telah diceritakan dari Al Muhasab bahwa bila dirinya hendak memakan makanan yang syubhat, maka urat-urat jemari tangannya bergerak-gerak, sehingga akhimya ia tidak mau memakannya. Asy-Syibli berkata, Pada suatu hari, saya berjanji untuk tidak makan kecuali dari yang halal. Setelah itu saya berkeliling di padang pasir dan melihat pohon tin, maka saya ulurkan tangan untuk mematikannya. Tiba-tiba pohon tersebut berseru, Jagalah janjimu, janganlah kamu memakan buahku, karena sesungguhnya aku ini adalah Yahudi. Ibrahim Al Khawwash rahimahullah berkata, Saya pernah masuk ke dalam bangunan yang runtuh saat dalam perjalanan menuju kota Makkah pada malam hari. Tiba-tiba di dalamnya terdapat tujuh buah tulang dan saya sangat takut, lalu terdengar suara yang berseru, Tetaplah di tempatmu, sesungguhnya kamu telah dijaga oleh tujuh puluh ribu malaikat di sekelilingmu. Jika pemisalan seperti ini dihadapkan pada hukum syariat, maka tidak terdapat hukum padanya, sebab penyingkapan tabir atau seruan Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin dari orang yang tidak terlihat, serta bergeraknya sebagian urat saraf tidak dapat dijadikan dalil atas penghalalan dan pengharaman, karena ada kemungkinan terjadi dengan sendirinya. Jika tidak demikian, maka seandainya seorang hakim menghadirkan perkara tersebut, niscaya wajib atas dirinya —atau diwakilkan baginya— untuk menyelesaikan perkara tersebut sehingga permasalahannya dapat dikeluarkan dari tangan pembuatnya kepada pemiliknya di hadapan mereka. Apabila suara seruan yang tidak terlihat penyerunya berseru bahwa si Fulan telah membunuh si Fulan, mengambil harta si Fulan, berbuat zina, atau mencuri, maka apakah perintah tersebut harus dilaksanakan? Apakah hal itu sesuai hukum syariat? Semua perkara ini termasuk perkara yang tidak ditentukan oleh syariat. Oleh sebab itu, ulama berkata, Jika seorang nabi di antara para Nabi mengaku telah diturunkan kepadanya risalah dan ia berkata, Sesungguhnya apabila aku memanggil pohon ini maka ia akan berbicara denganku. kemudian ia memanggilnya dan pohon tersebut datang serta berbicara dengannya, Sesungguhnya kamu pembohong. maka sesungguhnya jawaban tersebut merupakan dalil tentang kebenaran dari pengakuannya, bukan dalil atas kebohongan dirinya, sebab ia hanya menantang untuk membuktikan suatu perkara sesuai dengan ucapannya. Adapun perkara perkataan tersebut; sebagai pembenaran atau pendustaan, adalah perkara yang berada diluar maksud ucapannya, sehingga tidak ada hukum baginya. Begitu pula dalam perkara ini, kita berkata, Apabila kita menetapkan bahwa bergetarnya urat saraf adalah tanda suatu keharusan karena makanan tersebut haram, maka tidak berarti menjadi hukum bahwa makanan tersebut tidak boleh dimakan bila tidak terdapat padanya dalil yang diakui dari syariat yang telah pasti. Begitu pula tentang perkara yang dialami oleh Al Khawwash, bahwa berhati-hati terhadap sesuatu yang dapat membuat celaka telah disyariatkan, dan menyelisihinya jelas sama dengan menyelisihi sesuatu Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin yang telah disyariatkan, dan itu adalah perkara yang biasa pada pengikut tarekat ini. Begitu juga tentang berbicaranya pohon dengan Asy-Syibli, yang merupakan bagian dari perkara yang berada diluar kebiasaan, maka menjadikannya sebagai hukum adalah tindakan yang tidak diperbolehkan. 2. Membangun ajaran tarekatnya dengan menjauhkan keringanan dalam masalah hukum secara menyduruh, sampai-sampai syaikh mereka yang telah membukakan jalan ajaran tarekat, Abu Al Qasim Al Qusyairi, dalam pembahasan tentang wasiat kepada para murid yang terdapat dalam risalahnya, berkata, Jika para murid berselisih pendapat tentang fatwa-fatwa ahli fikih, maka ia hendaknya mengambil yang lebih sdamat dan selalu berusaha menjauhi atau keluar dari perselisihan. Sesungguhnya keringanan hukum syariat hanya untuk orang-orang yang lemah, orang-orang yang sangat membutuhkan, serta orang yang mempunyai kesibukan. Sedangkan mereka —yakni— orang-orang sufi hanya menyibukkan diri dalam menjalankan hak Allah SWT. Oleh sebab itu, ia mengungkapkan, Jika seorang yang fakir terjatuh dari derajat hakikat kepada keringanan hukum-hukum syariat, berarti ia telah memutuskan perjanjiannya dan telah melanggar perjanjian antara dirinya dengan Allah. Ini merupakan perkataan yang sangat jelas, bahwa bukan dari kebiasaan mereka mengerjakan perkara yang mendapatkan keringanan yang telah ditentukan syariat, yaitu semua keringanan yang telah dijalankan oleh Nabi SAW dan para salafush-shalih dari sahabat dan tabiin. Bersungguh-sungguh mengerjakan kewajiban dengan adanya mudharat keringanan yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW tentang perkaranya, Sesungguhnya Allah senang jika kamu menjalankan keringanan- Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin keringanan sebagaimana Dia senang jika kalian manjalankan kewajiban-kewajiban-Nya. Begitulah ketentuannya. Pada kenyatannya, prihal tersebut adalah bidah yang dianggap baik, sebagai tekanan bagi jiwa —agar tidak terus- menerus cenderung beristirahat— dan sebagai perangsang untuk mengerjakan apa yang dibangunnya; ber-mujahadah usaha untuk mendekatkan diri dengan bersungguh-sungguh kepada Allah. Dari perkara tersebut Imam Al Qusyairi membuat beberapa ketentuan bagi orang yang ingin masuk ke dalam tarekatnya, Agar keluar atau meninggalkan harta, sebab hal tersebut yang menjadikan dirinya menyimpang dari kebenaran dan tidak ada orang yang masuk dalam perkara ini sedangkan ia masih berhubungan dengan dunia, melainkan hubungan tersebut akan menyeretnya kepada perkara yang membuatnya keluar dari tarekat.... Pernyataan ini sangat bertentangan dengan ajaran syariat yang tersurat jika kita menghadapkan perkaranya kepada kondisi ajaran syariat pertama, yaitu pada masa Rasulullah SAW dengan para sahabat beliau RA. Beliau tidak pernah memerintahkan para sahabat untuk meninggalkan hartanya atau memerintahkan seorang pemilik usaha untuk meninggalkan perusahaannya, dan tidak memerintahkan seorang pedagang untuk meninggalkan perdagangannya. Akan tetapi mereka semua benar-benar menjadi wali-wali Allah dan termasuk orang yang meniti jalan yang lurus dengan jujur. Apabila orang-orang setelah mereka menjalankannya selama seribu tahun maka tetap tidak akan mencapai keadaan mereka dan tidak akan mencapai petunjuk mereka. Jika harta dapat membuat kesibukan dalam menelusuri jalan untuk mencapai maksud tujuan, maka kosongnya tangan —secara prinsip— dari perkara tersebut juga dapat membuat kesibukan untuk mencapainya. Tidaklah ajaran terdahulu lebih utama diambil pelajarannya daripada yang lainnya. Kamu telah melihat bagaimana Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin bentuk ini —yang tidak ada perintahnya pada masa ulama salaf— dijadikan dasar dalam ajaran-ajaran tarekat, dan ia adalah perkara yang baru, hanya berdasarkan dari penilaian baik kaum sufi. Hal itu telah disebutkan dari pendapat kebanyakan mereka secara mufakat. 3. Perkataan mereka, Sesungguhnya tidak layak bagi seorang syaikh untuk jatuh ke dalam kesalahan yang pernah dialami oleh para murid, karena hal tersebut adalah pelecehan terhadap hak-hak Allah. Penolakan kesalahan atas seorang syaikh secara umum ini tidak dapat dibenarkan dalam hukum syariat. Bukankah beliau bersabda, Peringanlah olehmu kesalahan-kesalahan orang-orang yang terhormat, yaitu selama bukan termasuk hukum had dari had-had Allah. Apabila pemberian maaf tidak dibenarkan, maka pasti bertentangan dengan dalil ini dan bertentangan dengan ketentuan keutamaan memberi maaf, karena Allah SWT sangat menyukai kelembutan dan akan menolong perbuatan tersebut sebagaimana Dia tidak menolong perbuatan kasar. Di antara perbuatan lemah lembut yang disyariatkan adalah berbuat kesalahan dan kekeliruan, sebab seorang hamba pasti mempunyai kesalahan dan kekeliruan, dan tidak terjaga dari kesalahan kecuali mereka yang dijaga oleh Allah dari kesalahan. 4. Mereka memerintahkan kepada para murid untuk menyedikitkan makan dengan cara sedikit demi sedikit tidak secara langsung, untuk selalu berusaha lapar dan berpuasa, dan meninggalkan pernikahan selama ia masih pada jalannya. Semua itu dianggap sebagai perkara- perkara yang bermasalah dabm pembentukan syariat, bahkan seperti telah memutuskan hasrat diri. Padahal perkara-perkara tersebut pernah dilarang Rasulullah SAW atas sebagian sahabat beliau, hingga beliau bersabda, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Barangsiapa membenci Sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku. Jika diperhatikan, di dalam hadits Nabi tersebut tidak didapatkan bahwa meninggalkan makan sedikit demi sedikit pernah diperintahkan pada masa pertama dan pada masa keemasan Islam. 5. Mewajibkan sesuatu atas murid saat mendengarkan periwayatan dari pemyataan perkara yang diluar kebiasaan. Di antara kewajiban tersebut adalah tidak kembali sedikit pun kepada sesuatu yang telah ditinggalkannya, kecuali diperintahkan oleh syaikh untuk mengerjakannya kembali. Ia sebaiknya menerimanya dengan niat pengosongan dengan hatinya kemudian setelah itu keluar darinya atau meninggalkanya tanpa mengganggu perasaan hati syaikh. Masih banyak lagi perkara-perkara lainnya yang dibuat oleh mereka, yang tidak pernah disahkan dilakukan pada masa pertama, dan semua itu hasil dari majelis khusus mendengarkan periwayatan yang telah mereka jadikan sebagai pedoman. Mendengarkan periwayatan dalam ajaran tarekat tasawuf bukanlah bagian dari syariat, sebab hal itu bukan ajaran pokok dan bukan berdasarkan pengikutan, serta bukan pula sebagai cara yang telah dipakai oleh salah seorang salafush-shalih yang termasuk orang yang mengisyaratkan kepada jalan kebaikan, akan tetapi saya melihat bahwa hal tersebut telah dipergunakan dalam perkara tersebut dan yang lainnya menurut para para filsuf yang menggunakannya sebagai pembebanan-pembebanan yang bersifat syari. Apabila tema ini terus-menerus dibahas, maka perkara-perkaranya akan bertambah banyak dan menyebar luas. Pada dasarnya, ia hanyalah penilaian baik istihsan yang telah dibuat dari penilaian yang tidak ada sebelumnya. Sementara itu, bagi kaum yang berpegang teguh pada syariat, jika perkara-perkara ini tidak termasuk sesuatu yang disyariatkan, maka Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin mereka akan menjadi orang yang lebih dulu meninggalkannya, serta menjadi dalil bahwa sebagian dari bidah tidak termasuk perkara yang tercela, bahkan ada diantaranya yang terpuji, maka ini yang diharapkan. Jawaban kami untuk pemyataan yang dipertanyakan adalah; 1. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh pengikut ahli tasawuf yang diakui dalam perkara ini tidak terlepas dari dua kemungkinan; mempunyai dasar-dasar yang telah ditetapkan di dalam syariat atau tidak mempunyai dasar-dasar yang telah ditetapkan dalam syariat. Apabila ia mempunyai sumber asli dari syariat, maka mereka sebagai penerus berkewajiban untuk mengamalkannya, sebagaimana para salafush- shalih dari para sahabat dan tabiin sebagai penerus yang berkewajiban untuk mengamalkan. Apabila tidak mempunyai sumber asli dari syariat, maka tidak diperbolehkan untuk mengamalkannya, sebab Sunnah adalah hujjah atas semua umat dan bukan perbuatan seseorang dari umat yang menjadi hujjah atas Sunnah. Sunnah pasti terlindung dari kesalahan dan pemiliknya juga terlindung dari kesalahan, sedangkan perkara umat tidak diketahui keterpdiharaannya dari kesalahan kecuali khusus dengan adanya mufakat mereka, dan apabila mereka bermufakat maka telah dijamin hasil mufakat mereka dapat menjadi dalil syariat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Bagi orang-orang sufi seperti halnya yang lain, yang tidak memiliki dalil tentang keterpeliharaan dirinya dari kesalahan, bisa saja terjadi atas mereka kesalahan, sifat lupa, serta kemaksiatan, baik yang besar maupun yang kecil, maka amal perbuatan mereka tidak terlepas dari dua perkara tersebut. Oleh karena itu, para ulama berkata, Semua perkataan yang harus diambil atau ditinggalkan hanya perkataan Nabi SAW. Al Qusyairi telah menyatakan pendapatnya dengan sebaik-baiknya pendapat, Jika ditanyakan, Apakah para wali itu terpelihara dari kesalahan sehingga ia tidak melakukan dosa? maka dijawab, Apabila hal itu wajib sebagaimana para nabi, maka itu tidak mungkin, namun Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin bila terjaga sehingga tidak melakukan perbuatan dosa —jika terjadi pada diri mereka kesalahan atau kekhilafan— maka itu mungkin saja terjadi pada diri mereka. la berkata, Telah ditanyakan kepada Al Junaidi, Apakah orang yang dekat dengan Allah berbuat zina? la menundukkan kepalanya sedalam-dalamnya, lalu mengangkat wajahnya dan menjawab, Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. Qs. Al Ahzaab [33]:38 Ini adalah jawaban yang sangat bijaksana. Jadi, suatu kemaksiatan bisa terjadi pada diri selain mereka, sebagaimana perbuatan bidah yang dapat terjadi pada diri mereka, dan yang wajib atas diri kita adalah tawaqquf tidak memutuskan suatu hukum dengan mengikuti orang yang terjaga dari kesalahan. Tawaqquf dengan mengikuti orang yang tidak terjaga dari kesalahan dapat mengundang kekeliruan, maka kembalikanlah kepada pendapat para imam atas dasar Al Qur an dan hadits. Apa yang diterima dari keduanya harus kita terima dan jalankan, sedangkan yang tidak diterima dari keduanya harus kita tinggalkan. Telah jelas dalilnya bagi kita untuk mengikuti syariat dan tidak ada dalil bagi kita untuk mengikuti perkataan orang-orang sufi kecuali setelah dipaparkan dalil-dalilnya. Dengan perkara tersebut para syaikh mereka telah berwasiat, meski datang dari orang yang memiliki hati yang bersih dan perasaan yang dalam dari ahwal, keilmuan, serta pemahaman, maka sudah selayaknya untuk dipaparkan dihadapan Al Qur an dan Sunnah. Apabila keduanya menerima maka ia benar, namun jika tidak maka ia tidak benar. Begitu pula dengan perkara-perkara yang mereka gambarkan dari perbuatan, dari segi-segi hasil mujahadah, serta dari berbagai macam kewajiban yang dijalankan. 2. Jika kita memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah mereka tetapkan dan amalan-amalan yang membuat mereka mempunyai kelebihan terhadap orang lain sesuai prasangka yang baik dan Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin menggunakan sebaik-baik komentar, kemudian kita tidak mengetahui sumber-sumber hukum baginya, maka kita wajib untuk tawaqqufdsham mengikuti dan berbuat, meskipun mereka termasuk orang-orang yang harus diikuti. Sikap yang kita ambil bukan sebagai bentuk penentangan atau penolakan, tetapi sebagai bentuk ketundukan kita terhadap syariat, karena kita tidak memahami segi kebenarannya menurut kaidah-kaidah syariat sebagaimana orang lain memahaminya. Bukankah kita diperintahkan untuk tawaqquf dalam mengamalkan hadits-hadits Nabi tentang tujuan hukum yang membuat kita bingung? Jadi, bila datang kepada kita dari sisi lain yang menjelaskannya sesuai dengan dalil tersebut, maka kita menerimanya, namun jika tidak maka kita tidak dituntut untuk menerimanya. Tidak ada dosa bagi kita untuk mengambil sikap tawaqquf, karena tujuannya adalah mencari petunjuk, bukan tawaqquf sebagai bentuk penentangan dan penolakan. Jadi, ber- tawaqquf dalam perkara ini untuk meninggalkan amal perbuatan itu lebih utama dan lebih baik. 3. Sesungguhnya perkara-perkara ini dan perkara-perkara yang semisalnya dengan syariat yang tersurat, bagaikan saling memperkuat. Contoh: pendapat dan perbuatan kaum sufi dinyatakan telah bersandar kepada dalil-dalil syariat, tetapi ia telah menyelisihinya dalam periwayatan dalil yang lebih jelas darinya menurut pemahaman para ahli fikih dan pandangan para mujtahid, serta telah berlaku perkara tersebut atas semua yang mempunyai sifat ulama, dan lebih terlihat dalam lafazh Pembuat syariat dari sesuatu yang kita anggap menjadi sandaran mereka. Apabila beberapa dalil saling bertentangan dan tidak terdapat —di antara dalil-dalil tersebut— dalil yang dapat dihapus hukumnya {naskh, maka kewajibannya adalah menentukan yang paling benar, yaitu dengan mufakat dari ulama usjuatau seperti ijma. Dalam aliran madzhab kaum sufi, mengerjakan suatu perbuatan dengan kehati- hatian merupakan kewajiban, sebagaimana aliran madzhab selain Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin mereka, serta telah menjadi kewajiban sesuai dengan kebiasaan yang berlaku menurut pendapat mereka dalam bertarekat untuk tidak menggunakan sesuatu yang telah mereka gariskan yang menyelisihi dalil-dalil syariat. Dalam masalah ini kita sepakat mengikuti perbuatan mereka dan mendapatkan petunjuk dari cahaya mereka yang menjadi pembeda terhadap seseorang yang memaparkan dalil dan berusaha mengikuti mereka dalam perkara-perkara yang tidak dibenarkan pengikutannya menurut madzhab mereka sendiri. Oleh karena itu, sesungguhnya dalil-dalil dan pandangan ilmu fikih serta ketentuan-ketentuan ilmu tasawuf menolaknya dan mencelanya, serta memuji seseorang yang berhati-hati dan ber-tawaqquf tatkala terjadi kesamaran, demi menjaga harga dirinya dan agamanya. Selanjutnya, yang tersisa adalah tentang hal-hal yang disebutkan di dalam pertanyaan; dari ucapan mereka dan kebajikan mereka serta semua yang dihasilkan darinya menurut pandangan dalil-dalil dan menurut cara diturunkannya. Tidak ada kebutuhan bagi kita terhadap perkara tersebut dalam pembahasan ini dan telah dijelaskan beberapa keterangan darinya di dalam kitab AI Muwafaqat Apabila Allah memberikan kami sedikit kesempatan dan pertolongan-Nya, maka kami akan menjelaskannya di dalam bab ini tentang kitab madzhab ahli tasawuf, serta menjelaskan unsur-unsur yang masuk padanya, yang bukan dari ajaran mereka. Hanya Allah yang menunjuki jalan yang benar. Telah terbukti bahwa tidak terdapat dalil atas semua perkara yang mereka yakini kebenarannya terhadap bidah yang mereka perbuat. Segala puji hanya bagi Allah. Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin

BAB IV SUMBER PENGAMBILAN AHLI BIDAH

DALAM BERDALIL Setiap orang yang keluar dari Sunnah —dari orang-orang yang mengaku mengikutinya dan yang mengaku sebagai ahlinya— pasti berlebih- lebihan dalam mengemukakan dalil-dalil yang digunakan untuk mendasari perkara-perkara yang khusus bagi mereka. Jika tidak maka pasti terdapat kedustaan pada pengakuan yang mereka lontarkan. Bahkan semua pelaku bidah dari umat ini mengaku bahwa dirinya adalah pengikut Sunnah yang bukan termasuk orang yang menyelisihinya dari kelompok lain, sehingga tidak mungkin baginya untuk menarik ucapannya agar dapat berpegang teguh pada perkara yang mirip dengan Sunnah. Jika ia berbalik kepadanya, maka wajib baginya untuk berdalil dengan sumber dalil orang yang berhak atasnya, yaitu orang-orang yang lebih mengetahui perkataan orang-orang Arab dan hukum-hukum syariat secara umum serta tujuan-tujuannya, seperti yang dijalankan oleh para ulama salaf terdahulu yang menjadikannya sebagai dalil. Akan tetapi, mereka — sebagaimana diketahui setelahnya— belum sampai pada derajat orang- orang yang pantas mengambil kesimpulan hukum secara mutlak dalam perkara tersebut. Mungkin karena mereka kurang dapat memahami percakapan orang Arab, atau mungkin kurang dapat memahami kaidah- kaidah ilmu ushul fikih yang dijadikan sebagai sumber pengambilan intisari hukum-hukum syariat, atau mungkin karena ketiadaan dua perkara tersebut secara bersamaan. Jika hal ini telah diketahui dengan jelas, maka sudah selayaknya untuk Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin memberikan peringatan atas pengambilan-pengambilan sumber dalil tersebut, agar dapat dihindari dan berhati-hati. Oleh karena itu, kami katakan: Allah SWT berfirman, Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari penakwilannya. Qs. Aali Imraan [3]: 7. Hal itu disebabkan ayat ini mencakup dua bagian yang keduanya menjadi sumber untuk berjalan di atas jalan yang benar atau berjalan di atas jalan yang salah. Bagian Pertama: Orang-orang yang mendalam ilmunya. Yaitu orang-orang yang tegak pendiriannya dalam ilmu syariat. Ketika perkara tersebut hanya bisa dapatkan oleh orang yang telah mencapai dua perkara yang telah disebutkan tadi dan tidak mungkin mengetahui kedua perkara tersebut secara bersamaan sesuai dengan kekuatan yang diberikan pada kemampuan manusia secara umum, maka pada saat itu dinisbatkan kepadanya sebutan orang-orang yang mendalam ilmunya. Kandungan ayat secara keseluruhan juga memenuhinya, maka ia memang orang yang berhak memberi petunjuk dan menentukan hukum. Ketika dikhususkan bagi orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kecondongan terhadap kesesatan dengan mengikuti perkara yang mutasyabihat, maka pengkhususan tersebut menjadi dalil bahwa orang- orang yang mendalam ilmunya tidak mengikutinya karena mereka hanya mengikuti ayat-ayat yang muhkam, yaitu ummul kitab dan kandungannya. Jadi, setiap dalil khusus atau dalil umum yang telah dipersaksikan baginya oleh sebagian besar hukum syariat, pasti dalil yang benar, dan selain dalil itu adalah dalil yang salah. Sebab antara dalil yang benar dengan dalil yang salah tidak terdapat perantara dalil lain yang dapat dijadikan sandaran, karena jika disana terdapat dalil yang ketiga maka pasti akan dijelaskan dengan nash ayat Al Qur’an. Tatkala orang-orang yang condong kepada kesesatan dikhususkan sebagai orang-orang yang selalu mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, maka dapat diketahui bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya tidak mungkin Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin