Mengkhususkan yang Umum dan Membatasi yang Mutlak
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi —ia telah men-shahih-kannya— bahwa Rasulullah SAW bersabda,
Barangsiapa menunjukkan kebaikan maka baginya pahala orang yang mengerjakannya.
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
Barangsiapa membuat Sunnah yang baik, kemudian perbuatan itu diikuti, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya,
tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Barangsiapa membuat Sunnah yang buruk, kemudian perbuatan itu diikuti, maka baginya
dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka. Hadits hasan shahih.
Hadits-hadits ini menjelaskan dengan tegas bahwa orang yang membuat Sunnah yang baik balasannya adalah kebaikan, dan juga
menjadi dalil atas seseorang yang berbuat bidah. Kalimat man sanna barangsiapa membuat Sunnah dinisbatkan kepada seorang mukallaf,
bukan kepada Pembuat syariat Allah. Apabila maksudnya adalah orang yang mengerjakan Sunnah yang telah ditetapkan dalam syariat,
maka tidak akan dikatakan dengan kalimat man sanna dan dalil dari perkara tersebut adalah sabda Rasulullah SAW,
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Tidaklah seseorang yang dibunuh dengan zhalim melainkan bagi anak Adam tanggung jawab atas darahnya karena ia adalah orang
yang pertama membuat Sunnah perilaku pembunuhan. Jadi, kata sanna —dalam hadits tersebut— menunjukkan hakikat
perbuatan Sunnah tersebut, karena ia telah dibuat menjadi sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak ada yang melakukannya di atas muka
bumi sejak Adam AS. Oleh karena itu, sabda beliau SAW, Barangsiapa membuat Sunnah
yang baik maksudnya adalah, Barangsiapa membuat Sunnah yang baik, maka baginya pahala seperti yang telah disebutkan. Maksudnya
bukanlah, Barangsiapa mengerjakan Sunnah yang telah ditetapkan. Jika yang dimaksud demikian, maka susunan kalimat yang digunakan
adalah Barangsiapa berbuat sesuai dengan Sunnahku atau salah satu di antara Sunnahku. dan kalimat lain yang sejenis dengan itu.
Contoh pemyataan tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, bahwa Nabi SAW berkata kepada Bilal bin Al Hants,
Ingatlah. Ia menjawab, Saya akan mengingatnya wahai Rasulullah. Beliau berkata, Ingatlah wahai Bilal. Ia menjawab, Saya akan
mengingatnya wahai Rasulullah. Beliau bersabda, Sesungguhnya barangsiapa menghidupkan salah satu Sunnah dan Sunnah-Sunnahku
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
setelah aku meninggal dunia maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi pahala
mereka. Sedangkan barangsiapa membuat bidah yang sesat yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka baginya dosa seperti dosa
orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka. Hadits hasan.
Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
Wahai anakku, apabila kamu mampu pada pagi dan sore hari dengan tidak terdapat di dalam hatimu kebencian terhadap
seseorang, maka lakukanlah —kemudian beliau berkata kepadaku— wahai anakku, itu adalah Sunnahku. Barangsiapa menghidupkan
Sunnahku maka ia telah mencintaiku, dan barangsiapa mencintaiku maka ia akan bersamaku disurga.
Sabda beliau SAW, Barangsiapa menghidupkan Sunnah dari Sunnah-Sunnahku setelah aku meninggal dunia. jelas menunjukkan
amal perbuatan yang telah ditetapkan, bahwa ia adalah Sunnah. Sabda beliau SAW, Barangsiapa menghidupkan Sunnahku maka ia telah
mencintaiku. jelas menunjukkan Sunnah-Sunnah yang telah ditetapkan. Berbeda dengan sabda beliau SAW, Barangsiapa membuat
Sunnah seperti ini. jelas bahwa sabda beliau ini pada dasarnya menunjukkan pembuatan suatu perbuatan yang tidak ada sebelumnya
dalam Sunnah yang telah ditetapkan. Adapun sabda beliau SAW kepada Bilal bin Al Hants, Barangsiapa
membuat bidah yang sesat. jelas menunjukkan sifat bidah yang tidak tercela secara mutlak, sebab bidah mutlak adalah bidah yang di
dalamnya terdapat kesesatan dan tidak diridhai oleh Allah serta Rasul-
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Nya. Dari keterangan semua ini dapat disimpulkan bahwa bidah yang tidak memiliki tanda-tanda tersebut dikategorikan sebagai bidah yang
tidak tercela dan pelakunya tidak berdosa, dan nantinya akan berubah menjadi Sunnah hasanah serta masuk dalam janji tentang pemberian
pahala. 2.
Sesungguhnya ulama salafush-shalih RA —yang tertinggi adalah sahabat— telah mengerjakan perbuatan yang mereka anggap baik,
yang tidak disebutkan di dalam Al Quran dan Sunnah, serta telah bermufakat atas perkara tersebut. Tidaklah umat Muhammad SAW
bermufakat atas suatu perkara kecuali berdasarkan petunjuk dan atas perkara yang baik.
Mereka telah bermufakat tentang pengumpulan Al Quran dan penulisannya dalam bentuk mushaf dan menyatukan manusia atas
mushaf Utsmani dengan membuang cara bacaan-bacaan yang selainnya, yang sebelumnya dipakai pada zaman Nabi SAW yang tidak
ada sebelumnya nash atau perintah tentang perkara tersebut. Kemudian orang-orang mengikuti mereka dalam perkara tersebut dengan
mengambil pendapat akal yang baik, lalu mereka mengumpulkan ilmu- ilmu dan menulisnya serta membukukannya. Di antara orang yang
termasuk pertama kali melakukannya adalah Malik bin Anas RA, orang yang berpegang teguh dengan Sunnah dan jauh dari perbuatan
bidah. Begitulah keterangannya, walaupun terdapat periwayatan dari mereka
tentang dibencinya penulisan ilmu dari hadits atau yang lain. Hal itu kebencian tersebut mungkin disebabkan oleh kekhawatiran atas ketergantungan
terhadap buku-buku sehingga mengabaikan hafalan dan mempelajarinya. Mungkin juga disebabkan oleh kekhawatiran adanya pendapat akal yang
bukan diriwayatkan dari Al Kitab dan As-Sunnah di dalam buku tersebut. Setelah itu orang-orang bermufakat untuk menulis semua keilmuan
tatkala perkaranya sudah sangat dibutuhkan dan semakin sedikitnya para imam mujtahid dalam menelaahnya. Jadi, pada prinsipnya mereka khawatir
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
terhadap punahnya ajaran-ajaran agama. Al-Lakhmi, tatkala menyebutkan perkataan Imam Malik dan yang lain
dalam masalah dibencinya penjualan kitab-kitab ilmu dan memberi upah para pengajar serta larangan memberi upah atas buku-buku yang dikarangnya,
ia menjelaskan tentang perselisihan pada masalah tersebut, Pada saat ini saya tidak melihat diperbolehkannya perselisihan dalam penmasalahan
tersebut, karena hafalan orang-orang dan pemahaman mereka telah berkurang dan kebanyakan orang-orang terdahulu tidak mempunyai kitab.
Malik berkata, Al Qasim dan Said tidak memiliki kitab dan saya tidak pernah mempelajari dari seseorang dengan cara membaca dari tulisan ini? Saya
berkata kepada Ibnu Syihab, Apakah kamu menulis ilmu? Ia menjawab, Tidak. Saya lalu bertanya, Apakah kamu suka apabila hadits dituliskan
untukmu? Ia menjawab, Tidak. Begitulah keadaan orang-orang terdahulu, dan jika kita mengikuti mereka maka ilmu akan hilang dan tidak akan pernah
ada di tengah-tengah kita bentuk tulisan atau namanya. Sekarang orang- orang membaca kitab-kitab mereka, sedangkan mereka melalaikan kewajiban
mereka. Juga tidak ada perselisihan di antara kita dalam hal-hal yang berkaitan
dengan ilmu fikih, bahwa ijtihad dan qiyas itu wajib pada pembahasan- pembahasannya. Jika demikian, maka mengabaikan kitab-kitab mereka dan
penjualannya akan menimbulkan pengabaian terhadap ijtihad dan terjadi • peletakan ilmu yang tidak pada tempatnya, sebab mempelajari perkataan
ulama-ulama terdahulu serta pembenaran atas pendapat mereka akan semakin mengukuhkan posisi ijtihad.
Di dalam keterangannya terdapat pembolehan untuk melakukan perkara yang sebelumnya tidak ada, karena perkara tersebut mempunyai sisi
positif. Oleh sebab itu, kami katakan, Semua hal baru yang mempunyai sisi positif tidaklah tercela, bahkan terpuji, dan orang yang membuatnya juga
terpuji. Jika ada cela, maka di mana letak celaan tethadapnya secara mutlak atau secara keseluruhan?
Umar bin Abdul Aziz RA berkata, Buatlah hukum baru yang sesuai
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
kejahatan yang mereka perbuat, yang belum ada sebelumnya. Jadi, dibolehkan —sebagaimana yang kamu lihat— membuat dan
menentukan hukum sesuai dengan kejahatan yang diperbuat oleh seorang penjahat, meski hukum-hukum yang baru itu tidak mempunyai sumber asli
dan tanggung jawab bersama-sama atas pembunuhan yang dilakukan salah seorang dari mereka, seperti yang diriwayatkan oleh Umar dan Ali serta
Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syubah RA. Imam Malik beserta pengikutnya menerima persaksian dari orang yang
hampir meninggal dunia, ia berkata, Darah saya pada si fulan. Dalam kitab Al Muwaththa’ ia tidak menjelaskan tentang riwayat pendengaran langsung. akan
tetapi ia menjelaskan sebab-sebabnya hanya dengan istilah dan di idalam madzhabnya sangat banyak perkara yang seperti ini. Apabila perkara tersebut
dibolehkan meski ia adalah sesuatu yang baru, maka bagaimana mungkin yang sepertinya tidak diperbolehkan —sedangkan sebab-sebabnya sama—
karena secara keseluruhan keduanya adalah perkara yang diakui kebenarannya? Namun, jika salah satu dari perkaranya tidak diperbolehkan
maka mengapa secara global mereka telah mufakat dan selain mereka telah membuat cabang-cabangnya? Jawabannya tidak lain hanya dengan berkata,
Sesungguhnya mereka telah mengikuti perbuatan yang dikerjakan oleh para ulama salaf dan selain mereka, meski kedua perkaranya sama dan sebab-
sebab hukumnya dapat ditentukan dengan qiyas, dan pada saat itu jalan pintas dijadikan sebagai hukum dan tidak dibenarkan pemberian kesaksian
terhadap perkara yang sepertinya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bidah itu terbagi-bagi.
Jawabannya insyaallah sebagai berikut; Jawaban dari sisi pertama: Sabda beliau SAW, Barangsiapa
membuat Sunnah yang baik. Maksud hadits tersebut bukanlah menciptakan sesuatu yang tidak ada permisalan sebelumnya, karena jika maksudnya tidal
demikian, maka pasti terjadi perselisihan antara dalil-dalil yang qathi jika menganggap bahwa sumber pertanyaan yang telah disebutkan berasal dari
dalil-dalil yang qath’i. Namun jika menganggapnya dari dalil-dalil yang zhanni,
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
maka dalil-dalil tentang tercelanya bidah yang terdahulu, yang telah disebutkan, juga berasal dari dalil-dalil qath’i
Jadi, kondisi mengharuskan terjadinya pertentangan antara dalil qathi dengan dalil zhanni serta penyelesaiannya dari kesepakatan para Muhaqqiqin.
Namun pada perkara ini terdapat pembahasan —atau pengkajian— dari dua sisi:
1. Dikatakan bahwa perkara tersebut dilihat dari dua sisi yang
bertentangan, sebab pada awal telah dinyatakan bahwa keutamaan dalil-dalil tentang celaan telah disebutkan berulang-ulang di dalam
banyak hadits, tanpa adanya pengkhususan. Apabila terjadi perselisihan antara dalil-dalil yang umum dengan dalil-dalil yang khusus, maka dalil-
dalil yang khusus tidak dapat lagi diterima. 2.
Mengambil hukum tazanul berhenti untuk menghilangkan perselisihan, karena maksud hadits tentang pembuatan Sunnah bukanlah
menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada, tetapi pengamalan terhadap Sunnah Nabi yang telah ditetapkan. Perkara ini ditinjau dari
dua segi, diantaranya adalah sebab yang ada merupakan sebuah hadits yaitu sedekah yang telah disyariatkan, dengan dalil dari hadits shahih
yang telah diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA, ia berkata, Kami pernah bersama Rasulullah SAW pada pertengahan siang, kemudian
datang satu kaum yang tidak beralaskan kaki dengan memakai kain untuk diselimutkan di badan —mantel— sambil menggantungkan
pedang. Kebanyakan mereka dari Mudhar, bahkan semuanya berasal dari suku Mudhar. Lalu rona wajah Rasulullah SAW berubah karena
melihat kefakiran yang mereka alami. Beliau kemudian masuk ke rumah dan setelah keluar rumah beliau memerintahkan Bilal untuk adzan
dan iqamah. Setelah itu beliau shalat dan berkhutbah, kemudian membaca, Hai
sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu. Qs. An-Nisaa [4]: 1 dan Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok akhirat. Qs. Al Hasyr [59]: 18 Seseorang lalu bersedekah dari uang dinarnya, uang
dirhamnya, dari bajunya, dari literan gandumnya, dan dari literan kurmanya, hingga beliau bersabda,
Walau hanya dengan satu butir kurma. Perawi berkata, Seorang laki-laki Anshar datang dengan membawa
bungkusan yang kedua telapak tangannya hampir-hampir tidak mampu membawanya, bahkan kedua telapak tangannya tidak mampu membawanya.
Perawi menambahkan, Kemudian orang-orang mengikuti perbuatannya, hingga saya melihat dua tumpukan dari makanan dan pakaian.
Saya melihat wajah Rasulullah SAW menjadi berseri-seri. Seakan-akan sedekah yang mereka lakukan tersebut menjadi penghapus kesedihan beliau.
Beliau pun bersabda,
Barangsiapa membuat Sunnah didalam Islam dengan Sunnah yang baik, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dari pahala mereka. Sedangkan barangsiapa membuat Sunnah di dalam Islam dengan
Sunnah yang buruk, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka.
Perhatikanlah sabda Rasulullah tersebut, dimana kalimat yang mengatakan tentang orang yang membuat Sunnah yang buruk? Kamu akan
mendapatkannya pada seseorang yang berbuat sesuai kandungan hadits
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
yang telah disebutkan secara sempurna, meskipun hanya dengan kantong maka setelah itu pintu sedekah terbuka secara jelas dan sempurna. Itulah
yang membuat Rasulullah SAW sangat senang, hingga beliau bersabda,
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Barangsiapa membuat Sunnah di dalam Islam dengan Sunnah yang baik.
Oleh karena itu, menjadi dalil bahwa Sunnah yang dimaksud di sini adalah perbuatan yang telah dilakukan oleh sahabat Anshar tersebut, yaitu
perbuatan yang ditetapkan menjadi Sunnah. Hadits ini sangat serasi dengan sabda beliau dalam hadits lain,
Barangsiapa menghidupkan Sunnah dari Sunnah-Sunnahku setelah aku meninggal dunia... barangsiapa berbuat bidah dengan bidah yang
sesat dan menjadikan lawan dari Sunnah adalah bidah, maka nampak bahwa Sunnah yang baik bukanlah bidah. Begitu pula sabda beliau
SAW,
Dan barangsiapa menghidupkan Sunnahku maka ia telah mencintaiku.
Apa yang menjadi dasar dalam hadits yang pertama sangat jelas, karena beliau SAW telah memerintahkan pertama kali untuk bersedekah, kemudian
datang sahabat Anshar dengan bawaannya, maka setelah itu mengalir sedekah hingga mencukupi. Seakan-akan sedekah tersebut menjadi Sunnah yang
telah dibangkitkan oleh sahabat tersebut dengan amal perbuatannya. Oleh karena itu, tidak dianggap sebagai orang yang menciptakan Sunnah atau
membuat bidah. Hal yang sama dengan hadits ini telah dicantumkan dalam kitab Ar-
Raqaiq karangan Ibnu Mubarak, yang menambah jelas pengertiannya, dari
Khudzaifah RA, ia berkata, Pada masa Rasulullah, ada seorang peminta minta yang datang untuk meminta-minta, namun orang-orang bersikap diam
Kemudian seorang laki-laki memberi peminta-minta tersebut sesuatu, dai temyata orang-orang ikut memberi. Rasulullah SAW pun bersabda,
Barangsiapa membuat Sunnah yang baik dan diikuti, maka baginya pahalanya dan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa
sedikit pun mengurangi pahala mereka. Sedangkan barangsiapa membuat Sunnah yang buruk dan diikuti, maka baginya dosanya dan
dosa seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka.
Dengan demikian, sabda beliau, Barangsiapa membuat Sunnah. artinya adalah orang yang berbuat sesuai dengan Sunnah, bukan orang
yang menciptakan Sunnah.
Jawaban dari sisi kedua: Sabda beliau,
Barangsiapa membuat sunah yang baik... dan barangsiapa membuat sunah yang buruk.
Tidak mungkin dipahami sebagai penciptaan sesuatu yang baru dari sumber asli, sebab pada prinsipnya sunah perilaku yang baik dan sunah
yang buruk hanya dapat diketahui dari segi syariat, karena penilaian yang baik dan penilaian yang buruk hanya dikhususkan bagi syariat dan tidak ada
peran bagi akal dalam perkara tersebut. Pendapat tersebut adalah pendapat madzhab Ahlus-Sunnah dan pelaku
bidah pun berpendapat demikian. Maksud saya, penilaian baik dan buruk
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
itu berasal dari pendapat akal, maka sudah selayaknya kata sunah dalam hadits tersebut mempunyai arti bahwa sesuatu itu dinilai baik hams menurut
penilaian syariat, atau sesuatu itu dinilai buruk harus pula menurut syariat, serta tidak dapat dibenarkan kecuali berdasarkan contoh perkara sedekah
yang telah disebutkan sebelumnya dan seperti pembenaran semisalnya dari sunah-sunah yang telah disyariatkan.
Sementara itu, sunah yang buruk masuk dalam kategori perbuatan maksiat yang telah ditetapkan syariat, seperti perkara pembunuhan yang
telah diterangkan di dalam hadits anak Adam tatkala Nabi SAW bersabda,
Karena ia adalah orang pertama yang membuat sunah perilaku pembunuhan.
Hal tersebut ditetapkan sebagai perbuatan bidah, karena telah ditetapkan bahwa perilaku buruk tersebut tercela dan dilarang menurut syariat.
Adapun sabda beliau, Barangsiapa berbuat bidah yang sesat. dilihat dari zhahirnya makna yang tersurat, karena sebab-sebab dalam hadits
tersebut tidak dikuatkan dengan sesuatu. Oleh karena itu sudah selayaknya diartikan menurut lafazhnya, seperti perkara-perkara umum yang pertama
kali timbul dan belum ditetapkan sebab-sebabnya. Jadi, dibenarkan untuk mengartikan sabda beliau, Barangsiapa membuat kebiasaan buruk.
seperti pengertian tersebut, maksudnya, Barangsiapa membuatnya dari yang tidak ada permisalan sebelumnya. Pengertian ini pada dasarnya
adalah perkara bidah yang dibuat pertama kali dari kemaksiatan, seperti perkara pembunuhan oleh salah seorang anak Adam atau yang
dibentuk sesuai keadaan, sebab kebiasaan buruk tersebut sebelumnya tidak menjadi suatu kebiasaan, tetapi kemudian sang pelaku memberikan
permisalan hal tersebut. Namun masih tersisa hal-hal yang perlu dibahas dari sabda beliau,
Barangsiapa berbuat bidah yang sesat. Bahwa pembatasan bidah dengan kesesatan memberikan pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud
dari pengertian kalimat itu mahum, dan hal tersebut sangat dekat dengan
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
penjelasan haditsnya. Sebab, penggandengan kalimat bidah dengan kesesatan tidak memberikan pengertian yang hanya berdasarkan pada
maksud dari pengertiannya mahum dalam hadits tersebut. Jadi, apabila kita sepakat untuk mengatakan bahwa perkara tersebut dapat dimengerti
hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya, sebagaimana menurut sebagian para ulama ushul, maka dalil pada pembahasan ini menolak
kesepakatan tersebut, seperti hahnya dalil-dalil yang menyatakan pengharaman atas riba yang sedikit atau yang banyak yang merujuk pada penolakan
terhadap pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya pada firman Allah, Janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda. Qs. Aali Imraan 3: 130 Juga karena kesesatan sudah selayaknya menjadi sifat bidah secara mutlak, dengan dalil-dalil yang telah
disebutkan sebelumnya yang tidak hanya bersandar pada pemahaman maksud dari pengertiannya.