Mengkhususkan yang Umum dan Membatasi yang Mutlak

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi —ia telah men-shahih-kannya— bahwa Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa menunjukkan kebaikan maka baginya pahala orang yang mengerjakannya. Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa membuat Sunnah yang baik, kemudian perbuatan itu diikuti, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Barangsiapa membuat Sunnah yang buruk, kemudian perbuatan itu diikuti, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka. Hadits hasan shahih. Hadits-hadits ini menjelaskan dengan tegas bahwa orang yang membuat Sunnah yang baik balasannya adalah kebaikan, dan juga menjadi dalil atas seseorang yang berbuat bidah. Kalimat man sanna barangsiapa membuat Sunnah dinisbatkan kepada seorang mukallaf, bukan kepada Pembuat syariat Allah. Apabila maksudnya adalah orang yang mengerjakan Sunnah yang telah ditetapkan dalam syariat, maka tidak akan dikatakan dengan kalimat man sanna dan dalil dari perkara tersebut adalah sabda Rasulullah SAW, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Tidaklah seseorang yang dibunuh dengan zhalim melainkan bagi anak Adam tanggung jawab atas darahnya karena ia adalah orang yang pertama membuat Sunnah perilaku pembunuhan. Jadi, kata sanna —dalam hadits tersebut— menunjukkan hakikat perbuatan Sunnah tersebut, karena ia telah dibuat menjadi sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak ada yang melakukannya di atas muka bumi sejak Adam AS. Oleh karena itu, sabda beliau SAW, Barangsiapa membuat Sunnah yang baik maksudnya adalah, Barangsiapa membuat Sunnah yang baik, maka baginya pahala seperti yang telah disebutkan. Maksudnya bukanlah, Barangsiapa mengerjakan Sunnah yang telah ditetapkan. Jika yang dimaksud demikian, maka susunan kalimat yang digunakan adalah Barangsiapa berbuat sesuai dengan Sunnahku atau salah satu di antara Sunnahku. dan kalimat lain yang sejenis dengan itu. Contoh pemyataan tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, bahwa Nabi SAW berkata kepada Bilal bin Al Hants, Ingatlah. Ia menjawab, Saya akan mengingatnya wahai Rasulullah. Beliau berkata, Ingatlah wahai Bilal. Ia menjawab, Saya akan mengingatnya wahai Rasulullah. Beliau bersabda, Sesungguhnya barangsiapa menghidupkan salah satu Sunnah dan Sunnah-Sunnahku Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin setelah aku meninggal dunia maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Sedangkan barangsiapa membuat bidah yang sesat yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka. Hadits hasan. Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, Wahai anakku, apabila kamu mampu pada pagi dan sore hari dengan tidak terdapat di dalam hatimu kebencian terhadap seseorang, maka lakukanlah —kemudian beliau berkata kepadaku— wahai anakku, itu adalah Sunnahku. Barangsiapa menghidupkan Sunnahku maka ia telah mencintaiku, dan barangsiapa mencintaiku maka ia akan bersamaku disurga. Sabda beliau SAW, Barangsiapa menghidupkan Sunnah dari Sunnah-Sunnahku setelah aku meninggal dunia. jelas menunjukkan amal perbuatan yang telah ditetapkan, bahwa ia adalah Sunnah. Sabda beliau SAW, Barangsiapa menghidupkan Sunnahku maka ia telah mencintaiku. jelas menunjukkan Sunnah-Sunnah yang telah ditetapkan. Berbeda dengan sabda beliau SAW, Barangsiapa membuat Sunnah seperti ini. jelas bahwa sabda beliau ini pada dasarnya menunjukkan pembuatan suatu perbuatan yang tidak ada sebelumnya dalam Sunnah yang telah ditetapkan. Adapun sabda beliau SAW kepada Bilal bin Al Hants, Barangsiapa membuat bidah yang sesat. jelas menunjukkan sifat bidah yang tidak tercela secara mutlak, sebab bidah mutlak adalah bidah yang di dalamnya terdapat kesesatan dan tidak diridhai oleh Allah serta Rasul- Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Nya. Dari keterangan semua ini dapat disimpulkan bahwa bidah yang tidak memiliki tanda-tanda tersebut dikategorikan sebagai bidah yang tidak tercela dan pelakunya tidak berdosa, dan nantinya akan berubah menjadi Sunnah hasanah serta masuk dalam janji tentang pemberian pahala. 2. Sesungguhnya ulama salafush-shalih RA —yang tertinggi adalah sahabat— telah mengerjakan perbuatan yang mereka anggap baik, yang tidak disebutkan di dalam Al Quran dan Sunnah, serta telah bermufakat atas perkara tersebut. Tidaklah umat Muhammad SAW bermufakat atas suatu perkara kecuali berdasarkan petunjuk dan atas perkara yang baik. Mereka telah bermufakat tentang pengumpulan Al Quran dan penulisannya dalam bentuk mushaf dan menyatukan manusia atas mushaf Utsmani dengan membuang cara bacaan-bacaan yang selainnya, yang sebelumnya dipakai pada zaman Nabi SAW yang tidak ada sebelumnya nash atau perintah tentang perkara tersebut. Kemudian orang-orang mengikuti mereka dalam perkara tersebut dengan mengambil pendapat akal yang baik, lalu mereka mengumpulkan ilmu- ilmu dan menulisnya serta membukukannya. Di antara orang yang termasuk pertama kali melakukannya adalah Malik bin Anas RA, orang yang berpegang teguh dengan Sunnah dan jauh dari perbuatan bidah. Begitulah keterangannya, walaupun terdapat periwayatan dari mereka tentang dibencinya penulisan ilmu dari hadits atau yang lain. Hal itu kebencian tersebut mungkin disebabkan oleh kekhawatiran atas ketergantungan terhadap buku-buku sehingga mengabaikan hafalan dan mempelajarinya. Mungkin juga disebabkan oleh kekhawatiran adanya pendapat akal yang bukan diriwayatkan dari Al Kitab dan As-Sunnah di dalam buku tersebut. Setelah itu orang-orang bermufakat untuk menulis semua keilmuan tatkala perkaranya sudah sangat dibutuhkan dan semakin sedikitnya para imam mujtahid dalam menelaahnya. Jadi, pada prinsipnya mereka khawatir Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin terhadap punahnya ajaran-ajaran agama. Al-Lakhmi, tatkala menyebutkan perkataan Imam Malik dan yang lain dalam masalah dibencinya penjualan kitab-kitab ilmu dan memberi upah para pengajar serta larangan memberi upah atas buku-buku yang dikarangnya, ia menjelaskan tentang perselisihan pada masalah tersebut, Pada saat ini saya tidak melihat diperbolehkannya perselisihan dalam penmasalahan tersebut, karena hafalan orang-orang dan pemahaman mereka telah berkurang dan kebanyakan orang-orang terdahulu tidak mempunyai kitab. Malik berkata, Al Qasim dan Said tidak memiliki kitab dan saya tidak pernah mempelajari dari seseorang dengan cara membaca dari tulisan ini? Saya berkata kepada Ibnu Syihab, Apakah kamu menulis ilmu? Ia menjawab, Tidak. Saya lalu bertanya, Apakah kamu suka apabila hadits dituliskan untukmu? Ia menjawab, Tidak. Begitulah keadaan orang-orang terdahulu, dan jika kita mengikuti mereka maka ilmu akan hilang dan tidak akan pernah ada di tengah-tengah kita bentuk tulisan atau namanya. Sekarang orang- orang membaca kitab-kitab mereka, sedangkan mereka melalaikan kewajiban mereka. Juga tidak ada perselisihan di antara kita dalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu fikih, bahwa ijtihad dan qiyas itu wajib pada pembahasan- pembahasannya. Jika demikian, maka mengabaikan kitab-kitab mereka dan penjualannya akan menimbulkan pengabaian terhadap ijtihad dan terjadi • peletakan ilmu yang tidak pada tempatnya, sebab mempelajari perkataan ulama-ulama terdahulu serta pembenaran atas pendapat mereka akan semakin mengukuhkan posisi ijtihad. Di dalam keterangannya terdapat pembolehan untuk melakukan perkara yang sebelumnya tidak ada, karena perkara tersebut mempunyai sisi positif. Oleh sebab itu, kami katakan, Semua hal baru yang mempunyai sisi positif tidaklah tercela, bahkan terpuji, dan orang yang membuatnya juga terpuji. Jika ada cela, maka di mana letak celaan tethadapnya secara mutlak atau secara keseluruhan? Umar bin Abdul Aziz RA berkata, Buatlah hukum baru yang sesuai Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin kejahatan yang mereka perbuat, yang belum ada sebelumnya. Jadi, dibolehkan —sebagaimana yang kamu lihat— membuat dan menentukan hukum sesuai dengan kejahatan yang diperbuat oleh seorang penjahat, meski hukum-hukum yang baru itu tidak mempunyai sumber asli dan tanggung jawab bersama-sama atas pembunuhan yang dilakukan salah seorang dari mereka, seperti yang diriwayatkan oleh Umar dan Ali serta Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syubah RA. Imam Malik beserta pengikutnya menerima persaksian dari orang yang hampir meninggal dunia, ia berkata, Darah saya pada si fulan. Dalam kitab Al Muwaththa’ ia tidak menjelaskan tentang riwayat pendengaran langsung. akan tetapi ia menjelaskan sebab-sebabnya hanya dengan istilah dan di idalam madzhabnya sangat banyak perkara yang seperti ini. Apabila perkara tersebut dibolehkan meski ia adalah sesuatu yang baru, maka bagaimana mungkin yang sepertinya tidak diperbolehkan —sedangkan sebab-sebabnya sama— karena secara keseluruhan keduanya adalah perkara yang diakui kebenarannya? Namun, jika salah satu dari perkaranya tidak diperbolehkan maka mengapa secara global mereka telah mufakat dan selain mereka telah membuat cabang-cabangnya? Jawabannya tidak lain hanya dengan berkata, Sesungguhnya mereka telah mengikuti perbuatan yang dikerjakan oleh para ulama salaf dan selain mereka, meski kedua perkaranya sama dan sebab- sebab hukumnya dapat ditentukan dengan qiyas, dan pada saat itu jalan pintas dijadikan sebagai hukum dan tidak dibenarkan pemberian kesaksian terhadap perkara yang sepertinya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bidah itu terbagi-bagi. Jawabannya insyaallah sebagai berikut; Jawaban dari sisi pertama: Sabda beliau SAW, Barangsiapa membuat Sunnah yang baik. Maksud hadits tersebut bukanlah menciptakan sesuatu yang tidak ada permisalan sebelumnya, karena jika maksudnya tidal demikian, maka pasti terjadi perselisihan antara dalil-dalil yang qathi jika menganggap bahwa sumber pertanyaan yang telah disebutkan berasal dari dalil-dalil yang qath’i. Namun jika menganggapnya dari dalil-dalil yang zhanni, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin maka dalil-dalil tentang tercelanya bidah yang terdahulu, yang telah disebutkan, juga berasal dari dalil-dalil qath’i Jadi, kondisi mengharuskan terjadinya pertentangan antara dalil qathi dengan dalil zhanni serta penyelesaiannya dari kesepakatan para Muhaqqiqin. Namun pada perkara ini terdapat pembahasan —atau pengkajian— dari dua sisi: 1. Dikatakan bahwa perkara tersebut dilihat dari dua sisi yang bertentangan, sebab pada awal telah dinyatakan bahwa keutamaan dalil-dalil tentang celaan telah disebutkan berulang-ulang di dalam banyak hadits, tanpa adanya pengkhususan. Apabila terjadi perselisihan antara dalil-dalil yang umum dengan dalil-dalil yang khusus, maka dalil- dalil yang khusus tidak dapat lagi diterima. 2. Mengambil hukum tazanul berhenti untuk menghilangkan perselisihan, karena maksud hadits tentang pembuatan Sunnah bukanlah menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada, tetapi pengamalan terhadap Sunnah Nabi yang telah ditetapkan. Perkara ini ditinjau dari dua segi, diantaranya adalah sebab yang ada merupakan sebuah hadits yaitu sedekah yang telah disyariatkan, dengan dalil dari hadits shahih yang telah diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA, ia berkata, Kami pernah bersama Rasulullah SAW pada pertengahan siang, kemudian datang satu kaum yang tidak beralaskan kaki dengan memakai kain untuk diselimutkan di badan —mantel— sambil menggantungkan pedang. Kebanyakan mereka dari Mudhar, bahkan semuanya berasal dari suku Mudhar. Lalu rona wajah Rasulullah SAW berubah karena melihat kefakiran yang mereka alami. Beliau kemudian masuk ke rumah dan setelah keluar rumah beliau memerintahkan Bilal untuk adzan dan iqamah. Setelah itu beliau shalat dan berkhutbah, kemudian membaca, Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu. Qs. An-Nisaa [4]: 1 dan Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok akhirat. Qs. Al Hasyr [59]: 18 Seseorang lalu bersedekah dari uang dinarnya, uang dirhamnya, dari bajunya, dari literan gandumnya, dan dari literan kurmanya, hingga beliau bersabda, Walau hanya dengan satu butir kurma. Perawi berkata, Seorang laki-laki Anshar datang dengan membawa bungkusan yang kedua telapak tangannya hampir-hampir tidak mampu membawanya, bahkan kedua telapak tangannya tidak mampu membawanya. Perawi menambahkan, Kemudian orang-orang mengikuti perbuatannya, hingga saya melihat dua tumpukan dari makanan dan pakaian. Saya melihat wajah Rasulullah SAW menjadi berseri-seri. Seakan-akan sedekah yang mereka lakukan tersebut menjadi penghapus kesedihan beliau. Beliau pun bersabda, Barangsiapa membuat Sunnah didalam Islam dengan Sunnah yang baik, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dari pahala mereka. Sedangkan barangsiapa membuat Sunnah di dalam Islam dengan Sunnah yang buruk, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka. Perhatikanlah sabda Rasulullah tersebut, dimana kalimat yang mengatakan tentang orang yang membuat Sunnah yang buruk? Kamu akan mendapatkannya pada seseorang yang berbuat sesuai kandungan hadits Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin yang telah disebutkan secara sempurna, meskipun hanya dengan kantong maka setelah itu pintu sedekah terbuka secara jelas dan sempurna. Itulah yang membuat Rasulullah SAW sangat senang, hingga beliau bersabda, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Barangsiapa membuat Sunnah di dalam Islam dengan Sunnah yang baik. Oleh karena itu, menjadi dalil bahwa Sunnah yang dimaksud di sini adalah perbuatan yang telah dilakukan oleh sahabat Anshar tersebut, yaitu perbuatan yang ditetapkan menjadi Sunnah. Hadits ini sangat serasi dengan sabda beliau dalam hadits lain, Barangsiapa menghidupkan Sunnah dari Sunnah-Sunnahku setelah aku meninggal dunia... barangsiapa berbuat bidah dengan bidah yang sesat dan menjadikan lawan dari Sunnah adalah bidah, maka nampak bahwa Sunnah yang baik bukanlah bidah. Begitu pula sabda beliau SAW, Dan barangsiapa menghidupkan Sunnahku maka ia telah mencintaiku. Apa yang menjadi dasar dalam hadits yang pertama sangat jelas, karena beliau SAW telah memerintahkan pertama kali untuk bersedekah, kemudian datang sahabat Anshar dengan bawaannya, maka setelah itu mengalir sedekah hingga mencukupi. Seakan-akan sedekah tersebut menjadi Sunnah yang telah dibangkitkan oleh sahabat tersebut dengan amal perbuatannya. Oleh karena itu, tidak dianggap sebagai orang yang menciptakan Sunnah atau membuat bidah. Hal yang sama dengan hadits ini telah dicantumkan dalam kitab Ar- Raqaiq karangan Ibnu Mubarak, yang menambah jelas pengertiannya, dari Khudzaifah RA, ia berkata, Pada masa Rasulullah, ada seorang peminta minta yang datang untuk meminta-minta, namun orang-orang bersikap diam Kemudian seorang laki-laki memberi peminta-minta tersebut sesuatu, dai temyata orang-orang ikut memberi. Rasulullah SAW pun bersabda, Barangsiapa membuat Sunnah yang baik dan diikuti, maka baginya pahalanya dan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Sedangkan barangsiapa membuat Sunnah yang buruk dan diikuti, maka baginya dosanya dan dosa seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka. Dengan demikian, sabda beliau, Barangsiapa membuat Sunnah. artinya adalah orang yang berbuat sesuai dengan Sunnah, bukan orang yang menciptakan Sunnah. Jawaban dari sisi kedua: Sabda beliau, Barangsiapa membuat sunah yang baik... dan barangsiapa membuat sunah yang buruk. Tidak mungkin dipahami sebagai penciptaan sesuatu yang baru dari sumber asli, sebab pada prinsipnya sunah perilaku yang baik dan sunah yang buruk hanya dapat diketahui dari segi syariat, karena penilaian yang baik dan penilaian yang buruk hanya dikhususkan bagi syariat dan tidak ada peran bagi akal dalam perkara tersebut. Pendapat tersebut adalah pendapat madzhab Ahlus-Sunnah dan pelaku bidah pun berpendapat demikian. Maksud saya, penilaian baik dan buruk Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin itu berasal dari pendapat akal, maka sudah selayaknya kata sunah dalam hadits tersebut mempunyai arti bahwa sesuatu itu dinilai baik hams menurut penilaian syariat, atau sesuatu itu dinilai buruk harus pula menurut syariat, serta tidak dapat dibenarkan kecuali berdasarkan contoh perkara sedekah yang telah disebutkan sebelumnya dan seperti pembenaran semisalnya dari sunah-sunah yang telah disyariatkan. Sementara itu, sunah yang buruk masuk dalam kategori perbuatan maksiat yang telah ditetapkan syariat, seperti perkara pembunuhan yang telah diterangkan di dalam hadits anak Adam tatkala Nabi SAW bersabda, Karena ia adalah orang pertama yang membuat sunah perilaku pembunuhan. Hal tersebut ditetapkan sebagai perbuatan bidah, karena telah ditetapkan bahwa perilaku buruk tersebut tercela dan dilarang menurut syariat. Adapun sabda beliau, Barangsiapa berbuat bidah yang sesat. dilihat dari zhahirnya makna yang tersurat, karena sebab-sebab dalam hadits tersebut tidak dikuatkan dengan sesuatu. Oleh karena itu sudah selayaknya diartikan menurut lafazhnya, seperti perkara-perkara umum yang pertama kali timbul dan belum ditetapkan sebab-sebabnya. Jadi, dibenarkan untuk mengartikan sabda beliau, Barangsiapa membuat kebiasaan buruk. seperti pengertian tersebut, maksudnya, Barangsiapa membuatnya dari yang tidak ada permisalan sebelumnya. Pengertian ini pada dasarnya adalah perkara bidah yang dibuat pertama kali dari kemaksiatan, seperti perkara pembunuhan oleh salah seorang anak Adam atau yang dibentuk sesuai keadaan, sebab kebiasaan buruk tersebut sebelumnya tidak menjadi suatu kebiasaan, tetapi kemudian sang pelaku memberikan permisalan hal tersebut. Namun masih tersisa hal-hal yang perlu dibahas dari sabda beliau, Barangsiapa berbuat bidah yang sesat. Bahwa pembatasan bidah dengan kesesatan memberikan pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud dari pengertian kalimat itu mahum, dan hal tersebut sangat dekat dengan Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin penjelasan haditsnya. Sebab, penggandengan kalimat bidah dengan kesesatan tidak memberikan pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya mahum dalam hadits tersebut. Jadi, apabila kita sepakat untuk mengatakan bahwa perkara tersebut dapat dimengerti hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya, sebagaimana menurut sebagian para ulama ushul, maka dalil pada pembahasan ini menolak kesepakatan tersebut, seperti hahnya dalil-dalil yang menyatakan pengharaman atas riba yang sedikit atau yang banyak yang merujuk pada penolakan terhadap pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya pada firman Allah, Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. Qs. Aali Imraan 3: 130 Juga karena kesesatan sudah selayaknya menjadi sifat bidah secara mutlak, dengan dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya yang tidak hanya bersandar pada pemahaman maksud dari pengertiannya.

F. Tambahan untuk Hal-Hal yang Dianggap Bermasalah

Adapun jawaban atas ketidakjelasan pada poin kedua adalah, semua yang telah disebutkan termasuk bagian dari al maslahah a mursalah, bukan bagian dari bidah yang dibuat-buat. Sedangkan perkara-perkara yang terdapat dalam al mashlahah al mursalah telah dijalankan oleh para salafush- shalih dari kalangan sahabat dan para ulama setelah mereka. Jadi, sesungguhnya almashalih almursalah adalah bagian dari dasar-dasar ilmu fikih yang telah ditetapkan kebenarannya menurut ulama ushul. Meskipun masih terdapat perbedaan di antara mereka dalam perkara al mashalih al mursalah, namun hal itu tidak menjadi penghalang dalam tema yang sedang kita bahas ini. Tentang pengumpulan mushaf Al Quran dan keengganan orang- orang dalam masalah tersebut, pada hikikatnya termasuk pada bab pembahasan ini, sebab Al Quran diturunkan dengan tujuh huruf yang semuanya sempurna dan cukup sebagai sarana untuk mempermudah orang Arab dalam membacanya karena orang Arab mempunyai bahasa yang berbeda-beda. Jadi, kepentingan yang terdapat pada penulisan Al Qur an Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin sangat jelas. Akan tetapi, hal tersebut diperbolehkan pada zaman setelah zaman Rasulullah SAW, ketika terbukanya pintu-pintu perselisihan di antara mereka dalam masalah bacaan Al Qur’an. Sebagaimana yang akan diterangkan selanjutnya, insyaallah. Oleh karena itu, para sahabat RA sangat mengkhawatirkan bercabang- cabangnya ajaran agama, sehingga mereka bersepakat untuk berpegang pada hal-hal yang telah ditetapkan dalam mushaf Utsman RA dan membuang selainnya, dengan alasan semua yang mereka buang termasuk dalam perkara yang telah mereka sepakati, sebab hal itu hanya dari segi bacaan, yang sama sekali tidak mempengaruhi isi Al Quran. Mereka kemudian menguatkan hal tersebut dengan periwayatan tatkala terjadi kesalahan dalam bacaannya dan tatkala orang-orang asing masuk ke dalam agama Islam, karena khawatir pintu-pintu kerusakan lain akan terbuka, yaitu para penganut ajaran atheis yang memasukkan sesuatu ke dalam Al Qur an atau ke dalam bacaannya yang bukan darinya, lalu mereka menjadikannya sebagai senjata untuk menyebarkan paham atheis mereka. Bukankah kamu melihat tatkala mereka tidak mampu memasukinya dari pembahasan ini, mereka masuk melalui penakwilan dan pendustaan pada arti-arti Al Quran, sebagaimana yang akan dijelaskan selanjutnya, insyaallah. Jadi, benar apa yang telah dijalankan oleh para sahabat Rasulullah SAW, karena perkara tersebut mempunyai dasar yang menjadi bukti secara global, yaitu perintah untuk menyampaikan syariat dan tidak terdapat perselisihan dalam perintah tersebut, dengan dalil firman Allah, HaiRasul Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-Mu. Qs. Al Maa’dah [5]: 67 Umatnya pun seperti beliau. Sedangkan dalam hadits disebutkan, Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Hendaknya orang yang datang menyaksikan memberitahu mereka yang tidak datang.