Penyimpang Orang-Orang yang Condong kepada Kesesatan terhadap Dasar-Dasar Hukum yang Jelas
suatu amal perbuatan, maka ia dalam kondisi tawaqquf, dan jika memutuskan suatu amal perbuatan, maka dikembalikan terlebih dahulu kepada dasar-dasar
hukumnya, dan ini adalah jalan yang lurus, yaitu mencakup perkara-perkara yang terperinci hingga perkara-perkara yang global. Orang yang membalikkan
perkaranya dan berusaha membelokkannya pasti masuk dalam hukum celaan, karena mengikuti sesuatu yang syubhat adalah tercela. Bagaimana mungkin
perkara yang mutasyabihat dianqgap sebagai dalil? Atau dibangun di atasnya hukum dari hukum-hukum syariat? Jika pada posisi tidak dapat dijadikan
dalil, maka menjadikannya sebagai bidah yang dibuat-buat lebih tepat dan benar.
Contohnya dalam ajaran agama Islam yaitu aliran Zhahiriyyah yang menisbatkan panca indra bagi Tuhan —Yang Maha Suci dari kekurangan—
dari mata, tangan, kaki, wajah sesuatu yang dapat dirasakan dengan panca indra dan sebagainya yang telah ditetapkan sebagai sesuatu yang baru.
Contoh lainnya adalah kelompok yang menyangka bahwa Al Qur an adalah makhhik, lantaran keterkaitannya dengan perkara yang mutasyabihat,
dan mutasyabihat yang mereka lontarkan ada dua perkara, yaitu menurut akal aqliy —menurut tuduhan mereka— dan menurut
pendengaran sam ty. Adapun menurut akal, sifat kalam pembicaraan adalah bagian dari
sifat-sifat lainnya secara keseluruhan, dan menurut mereka Dzat Allah terbebas dari bentuk, sedangkan menentukan sifat dzat adalah pendapat yang
menyatakan dzat mempunyai bentuk, sehingga hal ini mustahil, karena pendapat tersebut pada dasamya satu. Jadi, tidak mungkin Allah bersifat
Maha Berbicara dengan pembicaraan yang berdiri di atas pendapat tersebut, sebagaimana Allah Maha Kuasa dengan kekuasaan yang berdiri di atas
pendapat tersebut atau bersifat Maha Mengetahui dengan keilmuan yang berdiri di atas pendapat tersebut, dan begitulah semua sifat yang lain.
Demikian pula kalam perkataan, ia dapat dipahami hanya jika ada suara dan huruf, sedangkan semua itu merupakan sifat-sifat benda, dan
Allah Maha Suci dari itu semua. Setelah menyebutkan dasar-dasar tersebut mereka menyandarkannya
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
kepada penakwilan firman Allah, Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. Qs. An-Nisaa [4]: 164 dan yang semisalnya.
Adapun yang berhubungan dengan dalil sami yang hanya bisa didengar yang tidak akan pernah kita lihat, namun menuntut kita untuk percaya yaitu
firman Allah, Allah adaah Pencipta segala sesuatu. Qs. Ar-Rad [13]: 16, sementara Al Qur
x
an mungkin menjadi sesuatu, atau bukan sesuatu dan memang bukan sesuatu, atau tidak ada dan Al Qur an tetap tidak berubah,
tentu yang demikian ini tidak mungkin. Jika Al Qur an adalah sesuatu maka ia mencakup ayat, maka ia adalah makhluk. Dengan pendapat ini Al Murisi
lain terhadap Abdul Aziz Al Makki rahimahullah. Dua perkara syi6ja keraguan ini ditimbulkan dari keterkaitannya
dengan perkara yang mutasyabihat, mereka membandingkan Allah dengan makhluk dan mereka tidak memikirkan perkara yang lain dibalik semua itu,
dan akhirnya mereka mengabaikan maksud-maksud ayat-ayat Al Quran dan kaidah-kaidah akal.
Mereka telah meninggalkan kaidah-kaidah akal, sehingga mereka tidak melihat kandungan firman Allah, Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia. Qs. Asy-Syuuraa [42]: 11 Ayat ini mencakup dalil naqlidan aqli, sebab sesuatu yang menyerupai makhluk pada sisi tertentu, maka ia juga makhluk
sepertinya, karena yang menjadi keharusan bagi sesuatu menjadi keharusan bagi yang sepertinya. Oleh karena itu, sebagaimana ayat ini menjadi dalil
atas penolakan terhadap persamaan, ia juga menjadi dalil untuk mereka, sebab mereka telah memperlakukan Allah sebagaimana memperlakukan
makhluk, lantaran mereka menyangka bahwa bersifatnya dzat Allah dengan sifat-sifat tertentu mengharuskan adanya bentuk.
Mereka telah meninggalkan tujuan-tujuan ayat Al Quran, bahwa orang-orang Arab tidak memahami dari firman-Nya, YangMaha Mendengar
lagi Maha Melihat\ Yang Maha Mendengar lagiMaha Mengetahui atau Yang Maha Kuasa dan ayat yang semisalnya, kecuali bagi seseorang
yang memilki pendengaran, penglihatan, ilmu, dan kekuasaan, yang dengannya ia menyifati. Mengeluarkannya dari arti-artinya yang hakiki
yang telah
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
diturunkan Al Quran berarti telah keluar dari pokok-pokok Al Quran kepada pengikutan terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat.
Mereka juga mengembalikan sifat-sifat ini kepada keadaan-keadaan; yang dimaksud adalah alamiyah dan qadiriyah, maka yang diwajibkan pada
ilmu dan qudrah kekuasaan diwajibkan pula di dalam alamiyah dan qadiriyah, karena bila sifat-sifat tersebut ada maka membutuhkan susunan bentuk,
dan jika tidak ada maka kata tidak ada artinya kosong. Adapun perkataan itu terdiri dari suara dan huruf, maka itu atas dasar
tidak pernah memperhatikan tentang suara jiwa, dan perkara tersebut telah dijelaskan di dalam usjudasar-dasar agama.
Sedangkan samamya dalil-dalil sam maka seakan-akan dalil tersebut hanya mengikuti, sebab bagi mereka akal adalah sumber yang diakui dan
menjadi patokan. Namun mereka tetap membutuhkan dalil yang seperti ini, sebagaimana dijelaskan terdahulu demi Allah ? karena firman-Nya, Allah
adalah Pencipta segala sesuatu. Qs. Ar-Rad [13]: 16 Baik dengan pengertian secara umum yang tidak bertentangan dengan sesuatu maupun
tidak secara umum. Apabila diartikan secara umum, maka pengkhususannya baik tanpa daBl —yaitu penentuan hukum— maupun dengan dalil hendaknya
dijelaskan oleh mereka, sehingga kita dapat menelitinya. Lazim saja jika dalam masalah sifat aliradah mereka mengembalikan pembicaraan kepadanya,
begitu pula sifat-sifat Allah yang lainnya jika mereka telah menentukannya, atau al ahwaljika mereka mengingkarinya. Akan dibahas permasalahan
mereka ini nanti. Permasalahan yang paling penting adalah bentuk-bentuk lain dari
dalil-dalil yang menunjukkan bahwa madzhab ini adalah bidah yang tidak sejalan dengan kaidah-kaidah syariat.
Sesuatu yang paling mengherankan yang dituliskan disini yaitu yang diriwayatkan oleh Al Masudi dan disebutkan oleh Al Ajiri —dalam kitab Asy-
Syariah— lebih ringkas dari yang disebutkan oleh Al Masudi. Sementara lafazhnya adalah lafazh Al Masudi dengan perbaikan sebagian dari lafazhnya,
ia berkata: Shalih bin Ali Al Hasyimi meriwayatkan, ia berkata: Suatu hari
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
saya menghadiri majelis Al Muhtadi yang mendapat petunjuk untuk urusan yang berkaitan dengan orang-orang yang berbuat kejahatan. Saya melihat
sungguh ia sangat mudah menyingkap catatan-catatan yang berkaitan dengan kesalahan yang telah saya anggap baik pada dirinya. Kemudian saya
memandanginya secara saksama, khawatir ia meneliti kembali kisah-kisah tersebut, maka jika ia mengangkat kepalanya untuk memandang saya, saya
akan menundukkan kepala. Seakan-akan ia mengetahui apa yang terdapat di dalam diri saya.
Kemudian ia berkata kepada saya, Wahai Shalih Saya merasa ada sesuatu dalam dirimu yang ingin kamu bicarakan, —Perawi berkata— Saya
menjawab, Betul, wahai Amirul Mukminin. Kemudian ia diam. Setelah selesai dari majelisnya ia memerintahkan agar saya tidak pergi, sedangkan ia
berdiri. Saya duduk menunggu dalam waktu yang lama, maka saya berdiri untuk menghampirinya yang sedang duduk di atas tikar shalat. Ia lalu berkata
kepada saya, Wahai Shalih, apakah kamu mau membicarakan sesuatu yang ada di dalam hatimu? Atau saya yang membicarakannya kepadamu? Saya
menjawab, Bila engkau yang memulainya maka itu lebih baik wahai Amirul Mukminin.
la berkata, Seakan-akan saya setuju denganmu dan saya membenarkan keputusan yang ditetapkan dari majelis kita. Saya berkata,
Ah, khalifah tetap khalifah kami Kalaulah bukan berpendapat seperti pendapat bapaknya, bahwa Al Qur an adalah makhluk. Ia berkata, Saya
memang berpendapat seperti itu untuk beberapa tahun, hingga Al Watsiq mendatangkan seorang syaikh yang ahli fikih dan hadits dari daerah Adznah,
tapal batas negeri dataran Syam. Terikat sepanjang masa, dengan rambut beruban yang teratur rapi dan mengucapkan salam tanpa merasa gentar,
lalu berdoa dengan ringkas dan saya melihat rasa malu pada dirinya di tengah- tengah pandangan rasa kasihan pada kedua mata Al Watsiq dan penuh rasa
prihatin terhadapnya. Al Watsiq berkata, Wahai Syaikh, jawablah pertanyaan Abu Abdullah
Ahmad bin Abu Duad atas perkara yang ditanyakannya kepadamu. Ia
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
menjawab, Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Ahmad terlalu kecil dan lemah serta tidak mampu untuk berdiskusi. Saya melihat Al Watskq berubah
menjadi marah setelah sebelumnya ia kasihan kepadanya dan berkata, Abu Abdullah terlalu kecil dan lemah serta tidak mampu berdiskusi denganmu?
ia menjawab, Tenangkan dirimu wahai Amirul Mukminin Apakah engkau mengizinkanku untuk berbicara dengannya? Al Watsiq berkata, Aku telah
mengizinkanmu. Syaikh tersebut lalu menghadap Ahmad dan bertanya, Wahai Ahmad
Terhadap perkara apa kamu menyeru manusia? Ahmad berkata, Kepada pendapat tentang Al Quran adalah makhluk. Syaikh itu berkata,
Pendapatmu ini, yang kamu serukan kepada manusia untuk mengikutinya, tentang pendapat bahwa Al Quran adalah makhluk, apakah ia sebagai
tambahan dalam ajaran agama dan tidak sempurna agama kecuali dengan berpendapat dengannya? Ia menjawab, Ya. Syaikh berkata, Lalu apakah
Rasulullah SAW menyerukan manusia kepada perkara tersebut? Ia berkata, Tidak. Syaikh itu berkata kepadanya, Apakah beliau mengetahuinya? Ia
menjawab, Ya. Syaikh berkata, Mengapa kamu mengajak orang-orang kepada perkara yang tidak pernah diserukan Rasulullah kepada mereka dan
membiarkan mereka terhadap perkara tersebut? Ia terdiam. Syaikh pun meneruskan perkataannya, Wahai Amirul Mukminin Ini salah satunya.
Syaikh itu berkata, Beritahukanlah kepadaku wahai Ahmad, tentang firman Allah,Pada hari iniKusempurnakan untuk kamu agamamu. Qs.
Al Maa idah [5]: 3 sedangkan kamu telah mengatakan bahwa agama tidak sempurna kecuali dengan meyakini pendapatmu bahwa Al Qur
x
an adalah makhluk, sedangkan Allah jujur secara kesempurnaan dan lengkap tidak
ada yang kurang. Sementara itu, apakah kamu dalam kekurangan? Ia terdiam. Syaikh itu berkata, Wahai Amirul Mukminin Ini yang kedua.
Setelah itu tak beberapa lama syaikh itu ia berkata, Beritahukanlah kepadaku wahai Ahmad, tentang firman, Hai Rasul Sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan apa yang diperintankan itu, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Qs. Al Maidaah [5]: 67. Jadi, pendapatmu yang kamu serukan kepada manusia, apakah termasuk perkara yang telah disampaikan Rasulullah? la
pun terdiam, maka syaikh berkata, Wahai Amirul Mukminin Ini yang ketiga. Syaikh tersebut bertanya lagi, Beritahukanlah kepada saya wahai
Ahmad Jika Rasulullah SAW mengetahui pendapat yang kamu serukan kepada manusia agar mengikutinya, maka apakah baginya keluasan untuk
tidak menyampaikannya kepada mereka? Ahmad menjawab, Ya, baginya keluasan atas perkara tersebut. Syaikh pun berkata, Begitu pub terhadap
Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali RA? la menjawab, Ya. Syaikh itu lalu memalingkan wajahnya menghadap Al Watsiq dan berkata, Wahai Amirul
Mukminin Tidak ada keluasan bagi kita atas apa yang diberikan keluasan kepada Rasulullah SAW dan kepada para sahabatnya, niscaya Allah tidak
memberikan keluasan kepada kita. Al Watsiq berkata, Ya, jika kita tidak diberi keluasan seperti yang
RasulaLah dan para sahabatnya tidak memberikan kepada kita keluasan, niscaya Allah juga tidak memberikannya kepada kita. Al Watsiq lalu berkata,
Lepaskan tali belenggunya. Tatkala dilepaskan ikatannya, ia mengambil tali pengikatnya. Al Watsiq berkata, Biarkan ia. Kemudian berkata, Wahai
Syaikh Kenapa kamu mengambil tali pengikatnya? Ia menjawab, Sesungguhnya saya telah mengikat di dalam niatku agar menggenggamnya
dan jika aku telah menggenggamnya maka saya bermaksud meletakkannya di tangan saya dan selesai sudah. Lalu saya berdoa, Wahai Tuhanku
Tanyakanlah hamba-Mu, kenapa Engkau mengikatku tanpa kesalahan dan Engkau sia-siakan keluargaku?.
Al Watsiq pun menangis, begitu juga syaikh dan semua orang yang hadir. Al Watsiq lalu berkata kepadanya, Wahai syaikh, jadikanlah saya
termasuk orang-orang yang terbebas dari kesalahan ini. Ia menjawab, Wahai Amirul Mukminin Tidaklah aku keluar dari rumahku melainkan aku telah
menjadikanmu terbebas darinya sebagai penghormatan terhadap Rasulullah dan seluruh kerabatmu. Wajah Al Watsiq pun berseri gembira dan berkata
kepadanya, Tinggallah bersamaku, maka aku pasti akan berbuat baik
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
kepadamu. la lalu berkata kepadanya, Tempatku di tapal batas tersebut lebih baik dan aku adalah seorang kakek yang sudah tua renta,. Selain itu
aku juga mempunyai kebutuhan. Al Watsiq berkata, Mintalah yang kamu inginkan. la berkata, Biarkanlah Amirul Mukminin memulangkanku ke
tempatku yang dahulu dikeluarkan oleh orang yang zhalim ini. Al Watsiq berkata, Saya telah mengizinkanmu. la kemudian memerintahkan untuk
memberikan hadiah kepada syaikh, namun ia menolaknya. Mulai saat itu saya tinggalkan perkara tersebut dan saya mengira Al Watsiq juga
meninggalkannya. Perhatikanlah cerita tersebut, sebab di dalamnya terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang berakal. Lihatlah bagaimana seorang musuh mengambil sumber dalil untuk mengalahkan musuhnya agar dapat menentang
pendapatnya dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Kesalahan pada pembahasan ini hanya pada satu huruf, yaitu
ketidakpahaman terhadap maqashidusy-syar dan tidak menyatukan antara ujung yang satu dengan ujung yang lain. Sesungguhnya sumber
pengambilan dalil menurut orang-orang yang mendalam ilmunya ialah menjadikan syariat seperti satu bentuk, sesuai aturan yang telah ditetapkan;
antara yang kulliyat dengan yang jusiyat, antara yang amm dengan yang khash, antara yang mutiak dengan yang muqayyad, antara yang mujmal
denqan yang al mufassar, dan sebagainya dari seluruh aspek yang berkenaan dengannya.
Apabila seorang peneliti telah mencapai salah satu hukum yang sesuai dengan salah satu ketentuan tersebut, maka itulah aturan yang diatur untuknya
tatkala diambil intisari hukum. Contohnya adalah manusia yang sempurna. Manusia tidak dinamakan
manusia kecuali disebutkan secara keseluruhan, bukan hanya tangan, kaki, kepala, atau lidah, tetapi semua komponen yang membuatnya dinamakan
manusia. Begitu juga syariat, tidak dapat ditentukan hanya dengan satu hukum atas dasar pengambilan intisari yang sebenar-benarnya, namun harus dengan
melihat semua aspek, bukan hanya berdasarkan sebagian dalil, bagaimanapun status dalil tersebut, meski yang mengeluarkan dalil itu adalah orang yang
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
pandai. Akan tetapi dalil itu hanya prasangka dan bukan yang sebenarnya. Seperti halnya tangan, jika disebutkan maka penyebutannya hanya sebagai
perkiraan dan bukan yang sebenamya, sebab hanya diketahui bahwa ia adalah tangan manusia dan bukan manusia seutuhnya, karena perkara tersebut
mustahil ada. Oleh sebab itu, tatkala orang-orang yang mendalam ilmunya
menggambarkan syariat, mereka menggambarkannya dengan satu gambaran yang saling berhubungan, seperti halnya anggota tubuh manusia yang
digambarkan secara benar. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mutasyabihat akan mengambil
dalil yang terbatas dan seenaknya, meskipun ada dalil yang menentangnya, baik dari dalil-dalil yang global maupun yang terperinci, sehingga satu bagian
tidak dapat memberikan pemahaman terhadap hukum-hukum syariat yang sebenamya. Mereka hanya menghendaki dan mengikuti yang mutasyabihat,
dan orang yang mengikutinya hanyalah orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, sebagaimana yang telah dipersaksikan Allah, Dan
siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah. Qs. An-Nisaa 4: 122
Termasuk pengikutan terhadap perkara yang mutasyabihat yaitu mengambil dalil-dalil yang mutlak sebelum melihat perkara yang mengikatnya
atau membatasinya dan mengambil dalil-dalil yang amm tanpa melihat statusnya, mempunyai pengkhususan atau tidak? Begitu pula sebaliknya, yaitu
menjadikan dalil nash yang muqayyad kemudian menjadikannya dalil yang mutlak, atau yang khash kemudian dijadikan dalil yang amm dengan pendapat
akal tanpa menggunakan dalil yang lain. Sesungguhnya tindakan tersebut menyimpang dan sebagai bentuk
pengikutan terhadap hawa nafsu dalam berdalil, sebab mengambil dalil yang mutlak padahal ada nash yang muqayyad, hanya akan menyebabkan hukum
menjadi samar, sedangkan jika dalil yang mugayyad diterapkan, maka hukum akan menjadi jelas. Sebagaimana mutlak-nya dalil yang muqayyad, maka
pendapat akal dalam hal-hal yang muqayyad bersebrangan dengan nash
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
tanpa ada dalil. Contoh pertama seperti inilah naskah aslinya: Syariat menuntut
pelaksanaan yang mutlak dan umum kepada mereka yang mukallaf, dan hal itu tidak dapat dibatalkan dengan udzur kecuali udzur yang ditentukan dapat
mengangkat perintah tersebut, yaitu hilangnya akal. Walaupun seorang mukallaf telah mencapai tingkat keutamaan, setinggi apa pun itu, perintah
tersebut tetap diwajibkan atas dirinya hingga ia meninggal dunia. Tidak ada seorang pun yang dapat mencapai derajat seperti derajat Rasulullah SAW
dalam hal agama, kemudian derajat para sahabatnya yang mulia. Tidak ada dari mereka yang terbebas dari kewajiban, meski sebesar
biji sawi, kecuali terhadap perintah yang tidak sanggup dijalankan, seperti orang yang sakit bertahun-tahun tidak diwajibkan berperang dan orang yang
tidak mampu berdiri tidak diharuskan shalat dengan berdiri, dan perempuan yang haid tidak diwajibkan shalat sebagaimana diperintahkan kepadanya
ketika tidak sedang haid. Orang yang menganggap pembebanan syariat dapat diangkat pada
tingkatan tertentu dari tingkatan-tingkatan ajaran agama, seperti pengikut aliran {Ibahiyah, maka pendapat tersebut adalah bidah yang menyesatkan.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh pelaku bidah antara lain: 1.
Pemyataan-pernyataan mereka tentang hadits-hadits shahih, bahwa hadits-hadits tersebut menyelisihi Al Qur an, atau antara
satu hadits dengan hadits lainnya saling bertentangan dan rusak artinya, atau bertentangan dengan akal, sebagaimana yang mereka
hukumkan dalam sabda Rasulullah bagi orang-orang yang minta
diputuskan hukum di antara mereka,
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku akan menentukan hukum antara kamu dengan kitab Allah: seratus kambing dan pembantu
dikembalikan kepadamu, sedangkan anakmu harus dirajam seratus kali serta diasingkan, dan perempuan ini harus dirajam juga.
Wahai Unais, bawalah perempuan ini dan jika ia mengakuinya maka rajamlah ia.
Ia lalu membawanya. Perempuan itu pun mengakuinya, maka Unais merajamnya.
Mereka berkata, Hadits ini bertentangan dengan Al Qur’ an, karena beliau menghukumnya dengan hukuman rajam dan pengasingan,
sedangkan hukuman rajam dan pengasingan dalam kitab Allah Al Qur an tidak disebutkan. Jika hadits ini batil maka itulah yang kami
maksudkan, sedangkan jika hadits ini benar maka ia telah menyelisihi kitab Allah dengan menambahkan hukuman rajam dan pengasingan.
Hal ini adalah pengikutan terhadap perkara yang mutasyabih, karena kalimat Al Kitab dalam perkataan orang-orang Arab dan dalam syariat
dapat diartikan dari beberapa segi, diantaranya adalah hukum dan kewajiban, seperti dalam firman Allah,
Kitab Allah yang ada pada kamu. Diwajibkan atas kamu berpuasa. Qs. Al Baqarah [2]: 183.
Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami?{Qs. An-Nisaa [4J: 77.
Pengertian yang sesungguhnya yaitu, Saya pasti akan menentukan hukum di antara kamu dengan kitab Allah, yaitu dengan syariat-syariat
Allah yang telah disyariatkannya kepada kita. Kata Al Kitab juga disebutkan untuk Al Quran, maka
pengkhususannya dengan salah satu arti yang menjadi cakupannya tanpa dalil adalah pengikutan terhadap dalil yang mutasyabih.
Dalam hadits disebutkan,
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Perumpamaan umatku adalah bagaikan hujan, tidak dapat diketahui apakah yang pertama yang terdapat kebaikan atau yang terakhir?
Mereka berkata, Ini menandakan bahwa tidak ditetapkan keutamaan bagi orang-orang yang terdahulu dari umat ini. Kemudian
diriwayatkan,
Sesungguhnya Islam dimulai dengan —dianggap— aneh dan akai kembali menjadi aneh sebagaimana pertama kali diturunkannya,
maka beruntunglah orang-orang yang —dianggap— aneh. Hadits ini menerangkan keutamaan orang-orang yang terdahuh
dan yang terakhir dari mereka yang dipertengahan. Kemudiai diriwayatkan,
Sebaik-baiknya zaman adalah zamanku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.
1
Hadits ini menerangkan keutamaan orang-orang pertama secara mutlak.
Mereka berkata, Jadi — lihatlah bahwa— perkara ini saling bertentangan.
Mereka telah berbohong, karena sesungguhnya di sana tidak terdapat perselisihan dan pertentangan.
Jika pertentangan tersebut diperhatikan oleh orang yang berakal dalam hukum-hukum syariat, maka ada dua kemungkinan, tidak dapat
digabungkan sama sekali dari asalnya, atau dapat digabungkan. Sedangkan yang tidak dapat digabungkan yaitu pertentangan antara
dalil qath i pasti hukumnya dan dalil zhanni yang masih mengandung
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
kemungkinan, atau antara dua dalil yang zhanni. Adapun antara dua dalil yang qath’i maka hal itu tidak pernah terjadi di dalam syariat dan
tidak pernah ada, sebab pertentangan antara dua dalil yang qath i itu mustahil. Jika terjadi pertentangan antara dalil qath dan zanni, maka
dalil zhanni menjadi batil. Namun jika terjadi pertentangan antara dua dalil yang zhanni, maka ulama harus menentukan yang lebih benar
dan memakai dalil yang lebih benar yang telah ditetapkan. Apabila dapat digabungkan antara keduanya maka para peneliti bersepakat
untuk memakai dalil yang telah digabungkan, meskipun tujuannya lemah, sebab menurut mereka penggabungan antara keduanya lebih
utama dan mengamalkan dalil lebih baik daripada membuang salah satu dalil. Sementara itu, para ahli bidah sama sekali tidak melihat
dasar-dasar ini, baik karena ketidaktahuan mereka maupun karena pembangkangan.
Jika telah ditetapkan perkara ini, maka sabda beliau SAW, Sebaik-baiknya masa adalah masa saya. adalah perkara yang
mendasar dalam pembahasan ini, maka tidak ada seorang pun di antara kita yang sampai pada derajat para sahabat RA, sedangkan selainnya
mengharuskan penakwilan terhadap keadaan atau zaman atau dari sebagian sisinya.
Adapun sabda beliau SAW, Maka beruntunglah orang-orang yang aneh. bukan ditetapkan atas keutamaan seperti yang dimaksud, akan
tetapi hal itu sebagai dalil atas pahala yang baik. Yang tersisa dari masalah tersebut adalah keterangan tentang kemungkinan pahala
mereka yang akan seperti pahala para sahabat, atau di bawah pahala mereka, atau bahkan di atas mereka. Namun argumentasi itu memang
tidak terdapat di dalam hadits tersebut. Oleh karena itu, dalil tersebut selayaknya dipakai pada hukum dasar terlebih dahulu, agar tidak
terdapat permasalahan. 2. Perkataan mereka yang menyatkan adanya pertentangan dalam sabda
beliau SAW, berikut ini:
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Janganlah kamu mengutamakanku dari Yunus bin Matta dan janganlah kamu membeda-bedakan antara para nabi dengan diriku
dalam kebaikan. Sabda beliau SAW,
Saya adalah pemimpin anak Adam dan tidak ada kesombongan. Sisi penggabungan antara keduanya sangat jelas. Diantaranya juga
bahwa mereka berkata tentang sabda beliau SAW,
Jika salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka ia hendaknya tidak memasukkan tangannya ke dalam tempat air sampai
ia mencucinya tiga kali, karena sesungguhnya salah seorang di antara kamu tidak tahu dimana tangannya berada.
Sesungguhnya akhir hadits tersebut merusak yang pertamanya, sebab yang pertama benar jika tidak ada sabda beliau, Sesungguhnya
salah seorang di antara kamu tidak tahu begini. Jadi, sebenamya tidak ada seorang pun di antara kita yang tahu
letak tangannya saat tertidur. Perkara yang paling berbahaya adalah jika tangannya menyentuh kemaluannya, dan jika seseorang
mengerjakannya saat terjaga ia pasti diperintahkan untuk mencuci tangannya. Lalu, bagaimana mungkin diperintahkan untuk mencuci
tangan sedangkan ia tidak tahu letak tangannya saat tidur, menyentuh kemaluan atau tidak?
Sanggahan kami ini sama seperti pokok sanggahan yang sebelumnya: Sesungguhnya orang yang tidur terkadang memegang
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
kemaluannya, maka ia terkena najis pada tempat yang tidak dibersihkan karena tidak cebok sebelum tidur, atau terkena najis yang ada di atas
batu yang dipakai untuk beristinja. Seandainya ia menyentuhnya saat tidak tidur, maka ia pasti mengetahui adanya najis yang menempel di
tangannya sehingga ia akan mencucinya sebelum memasukkannya ke dalam air, agar tidak merusak air tersebut. Jika mungkin dapat
menghindari hal itu, maka tidak terdapat sanggahan.
Semua perkara yang disebutkan dalam pembahasan ini berkenaan dengan pengelabuan terhadap hadits-hadits dengan pendapat akal yang
tercela yang sebelumnya telah dipersaksikan bahwa hal itu termasuk perkara bidah yang menyesatkan.