karena itu, ia berdalih untuk meletakkan orang lain pada posisi yang berbeda yang dengannya hukum dapat terpelihara.
Tatkala beliau datang ke negeri Syam dan mendapatkan Muawiyah bin Abu Sufyan telah membentuk para pengawal, membuat benteng yang
kokoh, memakai pakaian kebesaran, dan berjalan seperti aturan para raja, beliau bertanya kepadanya tentang hal itu. Muaawiyah menjawab,
Sesungguhnya kami di negeri ini membutuhkan hal ini. Beliau berkata, Saya tidak memerintahkanmu dan tidak melarangmu. Artinya, Kamu
lebih mengetahui keadaanmu; benar-benar membutuhkannya atau tidak. Itulah dasar yang diletakkan oleh Umar, sebab kondisi para penguasa dan
pemimpin berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi negeri, zaman serta keadaannya. Demikian halnya dengan hukum dan siasat, membutuhkan
pembaharuan lembaran-lembarannya bahkan yang demikian itu menjadi wajib pada suatu keadaan.
4. Hukum Syariat Keempat: Makruh
Semua yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dimakruhkan dari syariat dan kaidah-kaidahnya, seperti pengkhususan hari-hari yang mempunyai
keutamaan untuk dipakai beribadah. Yang demikian ini telah dijelaskan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah SAW melarang pengkhususan hari Jumat
sebagai hari berpuasa, atau malam harinya dengan shalat malam. Dalam pembahasan ini terdapat penambahan pada perkara mandub
yang telah ditentukan, seperti mengucapkan tasbih sebanyak 33 kali setelah shalat fardhu dan menambahkannya menjadi seratus, dan mengeluarkan
satu sha sebagai zakat fitrah dan menjadikannya sepuluh sha melampaui batas yang telah ditentukan, karena penambahan pada perkara tersebut adalah
keangkuhan terhadap Pembuat syariat dan ketidaksopanan terhadap-Nya. Bahkan itu adalah kebiasaan para penguasa; jika menentukan sesuatu maka
harus ditaati, dan jika tidak menaatinya maka dianggap tidak beradab. Sedangkan penambahan atau pengurangan pada perkara yang wajib
lebih dilarang, karena akan mengakibatkan adanya anggapan bahwa sesuatu
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
yang wajib sebagai sumber dan begitu pula penambahan atasnya, oleh sebab itu, Malik RA melarang untuk menyambung puasa sunah enam hari pada
bulan Syawwal, agar tidak dianggap bagian dari puasa Ramadhan. Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Musnad-rya
15
bahwa seorang laki-laki masuk ke dalam masjid Rasulullah SAW, kemudian shalat fardu dan
langsung berdiri untuk mengerjakan shalat dua rakaat, maka Umar bin Khaththab RA berkata kepadanya, Duduklah hingga kamu dapat
memisahkan antara shalat fardhu dengan shalat sunahmu, dan beginilah celakanya orang-orang sebelum kita. Rasulullah SAW lalu bersabda, Allah
telah memberikan kepadamu kebenaran wahai lbnu Khaththab. Maksud Umar, orang-orang sebelum kita telah menyambung shalat
sunah dengan shalat fardhu, sehingga mereka berkeyakinan bahwa semua shalat tersebut hukumnya wajib, padahal merubah syariat secara mufakat
hukumnya haram.
5. Hukum Syariat Kelima: Mubah
Semua yang berkaitan dengan dalil-dalil yang mubah dan kaidah- kaidahnya dari syariat, seperti membuat alat pengayak untuk tepung, dalam
perkataan ulama, Sesuatu yang baru yang pertama kali diciptakan setelah wafatnya Rasulullah SAW yaitu membuat alat pengayak tepung. Sebab
membuat gandum menjadi lunak merupakan perkara yang mubah, sehingga sarananya pun mubah.
Bidah jika dipaparkan, pasti bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat dan dalil-dalilnya, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan dalil-
dalil dan kaidah-kaidah hukum pasti berhubungan dengan hal yang diwajibkan atau diharamkan, atau selain keduanya. Kita tidak boleh melihat perkara
tersebut dari sisi bidah dengan mengabaikan sesuatu yang berkenaan dengan hukumnya, sebab semua kebaikan hanya dengan mengikuti Sunnah dan
15
Yang dimaksud adalah Abu Daud Ath-Thayalisi, karena dialah pemilik Musnad, namun para ulama lebih banyak menggunakan nama tersebut. Jika disebutkan nama Abu Daud, maka
yang diinginkan ada pemilik Sunan.
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin