itu, perkara seperti ini tidak selayaknya dijadikan perselisihan tentang kewajibannya.
2. Hukum Syariat Kedua: Haram
Semua bentuk bidah yang berkaitan dengan kaidah-kaidah pengharaman dan dalil-dalilnya berasal dari syariat, seperti bea cukai dan
perkara-perkara baru, semuanya adalah bagian dari kezhaliman. Demikian halnya perkara-perkara baru yang bersebrangan dengan kaidah-kaidah
syariah, seperti: mengutamakan orang-orang bodoh atas para ulama, mengangkat pemimpin yang mengatur syariat dari orang yang bukan ahlinya,
namun dengan jalan warisan, dan menjadikan seseorang menjadi direktur lantaran bapaknya orang terpandang.
3. Hukum Syariat Ketiga: Afendu6Sunah
Di antara hal-hal bidah terdapat perkara yang mandub, yaitu semua yang berkaitan dengan kaidah-kaidah mandub dan dalil-dalilnya, seperti shalat
tarawih, merapikan penampilan para imam dan hakim serta para pemimpin yang berseberangan dengan apa-apa yang telah diperbuat oleh para sahabat
RA, dengan alasan bahwa kemaslahatan dan tujuan syariat tidak dapat terealisasikan kecuali mengagungkan para pemimpin dalam jiwa manusia.
Sedangkan masyarakat pada masa sahabat RA kebanyakan mengagungkan mereka atas dasar agama dan yang dahulu berhijrah.
Kemudian hukum tersebut berganti dan telah selesai masanya serta datang masa yang baru, dan mereka tidak mengagungkan para pemimpin
kecuali dengan penampilan, maka ditekankan penggunaan penampilan sampai akhimya menjadi al mashalih.
Umar bin Khaththab RA hanya makan roti gandum yang kasar dan garam, tetapi beliau mengharuskan para pegawainya untuk makan setengah
daging kambing, karena beliau tahu bahwa jika keadaan yang dijalankannya dikerjakan oleh orang lain, maka akan berbuah penghinaan di dalam jiwa
manusia dan mereka tidak akan menghormatinya dan menentangnya. Oleh
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
karena itu, ia berdalih untuk meletakkan orang lain pada posisi yang berbeda yang dengannya hukum dapat terpelihara.
Tatkala beliau datang ke negeri Syam dan mendapatkan Muawiyah bin Abu Sufyan telah membentuk para pengawal, membuat benteng yang
kokoh, memakai pakaian kebesaran, dan berjalan seperti aturan para raja, beliau bertanya kepadanya tentang hal itu. Muaawiyah menjawab,
Sesungguhnya kami di negeri ini membutuhkan hal ini. Beliau berkata, Saya tidak memerintahkanmu dan tidak melarangmu. Artinya, Kamu
lebih mengetahui keadaanmu; benar-benar membutuhkannya atau tidak. Itulah dasar yang diletakkan oleh Umar, sebab kondisi para penguasa dan
pemimpin berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi negeri, zaman serta keadaannya. Demikian halnya dengan hukum dan siasat, membutuhkan
pembaharuan lembaran-lembarannya bahkan yang demikian itu menjadi wajib pada suatu keadaan.
4. Hukum Syariat Keempat: Makruh
Semua yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dimakruhkan dari syariat dan kaidah-kaidahnya, seperti pengkhususan hari-hari yang mempunyai
keutamaan untuk dipakai beribadah. Yang demikian ini telah dijelaskan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah SAW melarang pengkhususan hari Jumat
sebagai hari berpuasa, atau malam harinya dengan shalat malam. Dalam pembahasan ini terdapat penambahan pada perkara mandub
yang telah ditentukan, seperti mengucapkan tasbih sebanyak 33 kali setelah shalat fardhu dan menambahkannya menjadi seratus, dan mengeluarkan
satu sha sebagai zakat fitrah dan menjadikannya sepuluh sha melampaui batas yang telah ditentukan, karena penambahan pada perkara tersebut adalah
keangkuhan terhadap Pembuat syariat dan ketidaksopanan terhadap-Nya. Bahkan itu adalah kebiasaan para penguasa; jika menentukan sesuatu maka
harus ditaati, dan jika tidak menaatinya maka dianggap tidak beradab. Sedangkan penambahan atau pengurangan pada perkara yang wajib
lebih dilarang, karena akan mengakibatkan adanya anggapan bahwa sesuatu
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin