Delik-delikTasawuf Manakala Kewajiban Tidak Sempurna kecuali Dengannya

Ada juga yang mengartikannya dengan pengertian lain, yaitu bahwa yang pertama adalah perkara-perkara taklif pembebanan yang berisi perintah dan larangan dan yang kedua adalah hasil dari pelaksanaan takif tersebut Jadi, pengertian yang pertama merupakan sifat-sifat zhahir dan pengertian yang kedua merupakan sifat-sifat batin, sedangkan penggabungan keduanya disebut tasawuf. Menurut pendapat yang ada, bila pengertian ini telah disepakati maka lafazh tasawuf dengan pengertian yang pertama bukan termasuk bidah, karena ia bersandar kepada pemahaman ilmu fikih yang berdasarkan pada perbuatan, pembahasan secara terperinci tentang kendala dan rintangan- rintangannya serta mencarikan solusi dari segi kerusakan yang terjadi dengan perbaikan. Ia adalah ilmu fikih yang benar, yang dasar-dasamya sangat jelas, ada di dalam Al Quran dan Sunnah. Dengan demikian, perkara tersebut tidak dapat disebut bidah, kecuali bila disebutkan atas cabang-cabang ilmu fikih yang belum digolongkan bidah oleh ulama-ulama salaf, seperti terdapat pada cabang-cabang pembahasan tentang salam, sewa menyewa, perawat, perkara-perkara lupa, menarik kesaksian, dan jual-beli dengan uang muka. Tidak ada wewenang bagi para ulama untuk menyebutkan lafazh bidah terhadap cabang-cabang ilmu fikih yang telah ditetapkan hukumnya dan tidak tercantum sebelumnya, meski perkara-perkaranya samar dan sulit dimengerti. Begitu pula akhlak yang zhahir dan batin, tidak lantas digolongkan sebagai bidah, sebab semua perkara tersebut kembali pada dasar-dasar yang telah disyariatkan. Sedangkan atas pengertian yang kedua terdapat beberapa pengertian: 1. Kembali pada rintangan-rintangan tambahan seseorang yang sedang meniti jalan tasawuf salik. Ketika cahaya keimanan merasuk ke dalam diri mereka, maka ia berbicara tentang perkara tersebut sesuai dengan waktu dan keadaan. Pada kondisi tertentu, ia membutuhkan bimbingan seorang syaikh yang bisa menuntun dan menjelaskan apa yang akan diberikan kepadanya agar bisa menemukan sumbernya dengan firasat yang benar sesuai dengan dirinya dan rintangan. Kemudian ia Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin mencarikan solusi dengan perkara-perkara yang sesuai dengan dirinya dari kewajiban-kewajiban dan dzikir-dzikir yang telah disyariatkan atau dengan memperbaiki tujuan jika di dalamnya ada hal-hal yang merintangi. Jarang sekali satu faktor datang secara tiba-tiba atau rintangan masuk ke dalam jiwa, kecuali saat meninggalkan sebagian dasar syariat yang menjadi dasar bangunan, sehingga mereka berkata, Sesungguhnya mereka menghalangi untuk sampai kepada Allah, sebab mereka meninggalkan dasar-dasar syariat. Jika permasalahannya demikian, maka tidak dapat disebut dengan bidah, sebab aturan-aturannya merujuk pada dasar-dasar syariat. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW telah didatangi oleh beberapa orang sahabat beliau, mereka berkata, Wahai Rasulullah Sesungguhnya kami merasakan di dalam jiwa kami sesuatu yang sangat agung untuk dibicarakan —atau membicarakannya— yang kami sendiri tidak ingin mendapatkannya atau membicarakannya. Beliau lalu bertanya, Apakah benar kamu telah merasakannya? Mereka menjawab, Ya. Beliau berkata, Hal itu adalah bukti nyata di dalam keimanan. Ha6its shahih. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata, Wahai Rasulullah Sesungguhnya salah seorang dari kami merasakan sesuatu di dalam dirinya yang bertentangan dengan sesuatu dan terbakar menjadi debu lebih ia cintai daripada membicarakan hal tersebut. Beliau bersabda, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah yang telah membalikkan tipu daya syetan kepada kebimbangan. Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin Dalam periwayatan hadits yang lain, Barangsiapa merasakan sesuatu dari perkara tersebut hendaknya mengucapkan, Aku percaya kepada Allah’.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dalam hadits yang serupa, Jika kamu merasakan sesuatu dari hal itu, maka ucapkanlah, Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Qs. Al Hadiid [57] : 3 dan juga yang semisalnya. 2. Berkenaan dengan pembahasan tentang karamah dan sesuatu di luar kebiasaan, serta hal-hal yang berkaitan dengannya dari sesuatu yang ada di luar atau di dalam hakikat maupun sesuatu yang ditimbulkan darinya kembali pada an-nafsi berkaitan dengan jiwa atau asysyaithani berkaitan dengan tipu daya syetan atau dari permasalahan- permasalahan hukum yang semisalnya. Jadi, pembahasan seperti ini tidak dapat dinamakan bidah. Sebagaimana meneliti hal-hal yang berkenaan dengan mukjizat. Syarat-syaratnya juga tidak dinamakan dengan bidah. Demikian halnya dengan melihat perbedaan antara Nabi dengan orang yang mengaku nabi, sebab hal ini termasuk ilmu ushul, dan hukumnya diambil dari hukum keilmuan tersebut. 3. Berkenaan dengan pembahasan tentang tingkatan kemampuan jiwa untuk menembus alam gaib, hukum-hukum pengosongan jiwa, ilmu- ilmu yang berkaitan dengan alam roh, dzat malaikat, syetan, kejiwaan manusia, unsur-unsur hewani, dan sebagainya. Jadi, pembahasan, praktek, dan menjadikannya sebagai objek pembahasan secara terperinci adalah perkara bidah yang tercela. Demikian pula jika itu dijadikan sebagai ilmu khusus yang dapat dicapai dengan cara belajar atau dengan praktek ibadah, maka dinamakan pula dengan bidah. Karena perkara tersebut tidak pernah dikerjakan oleh salafush-shalih pada masanya. Pada hakikatnya ia hanyalah pandangan filsafat, yang Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin dapat dicapai dengan mendatangkan unsur-unsur dari luar dan dengan praktek ibadah tertentu untuk memberikan keuntungan bagi para filsuf. Mereka adalah golongan yang telah keluar dari Sunnah dan terhimpun dalam kelompok-kelompok tertentu yang sesat. Jadi, pembahasan tentang hal-hal tersebut tidak dapat dihukumi mubah, apalagi sunah. Memang benar, terkadang muncul perasaan kejiwaan pada diri seorang salik dan ia membicarakan hal tersebut kepada syaikh pembimbing sehingga membuatnya keluar dari jalannya serta terpisah dari kelompoknya. Sebab, pembahasan perkara tersebut akan memberi dampak kepada seorang salik untuk menyembah Allah atas satu huruf tidak bersikap fleksibel, sebagai hasil dari penyimpangan terhadap jalan yang lurus dengan mengikuti dan menekuni tuntunan- tuntunannya. Sesungguhnya jalan yang benar hanya bisa dibangun di atas keikhlasan yang sempurna, dengan kepasrahan yang benar, serta menjauhkan tauhid dari penyimpangan-penyimpangan dan hal-hal yang mengarah kepada tipu daya. Jadi, membuka pintu pembahasan tentang perkara ini sangat bertentangan dengan nash dan kaidah secara menyeluruh. 4. Berkenaan dengan pembahasan tentang hakikat fana kehancuran dan ketiadaan makhluk dengan cara menggeluti dan merasukkannya ke dalam jiwa, bersifat dengan sifat-sifatnya, memutuskan ketamakan jiwa dari segala segi yang dapat mengantarkan kepada hal-hal yang tidak diharapkan meski semua itu terasa halus dan tidak terada. Sebab, nafsu kejiwaan bergerak dengan halus dan lembut serta beroperasi dengan sangat rahasia, namun bisa dirasakan oleh seorang salik pada setiap maqam tingkatan. Oleh karena itu, ia hendaknya tidak memutuskannya kecuali dengan membuang materinya serta memutuskan perkara yang membuatnya masuk ke dalam kebatilan. Perkara ini merupakan bagian dari ilmu fikih yang berkaitan dengan nafsu kejiwaan yang tidak dikategorikan sebagai bidah, karena ia termasuk Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin bagian dari pembahasan tentang fikih. Meskipun perkara tersebut samar, namun tetap harus dikembalikan kepada hukum fikih yang memiliki kejelasan. Kesamaran dan kejelasan yang dimiliki adalah dua perkara tambahan yang pada hakikatnya satu. Di samping itu, ada juga beberapa bagian lain yang semuanya mungkin kembali kepada perkara fikih yang tdah disyariatkan, dan hal itu baik menurut syariat. Namun mungkin pula kembali kepada hal-hal bidah yang bukan bagian dari syariat, dan hal itu buruk menurut syariat. Adapun masalah perdebatan ilmu kalam dan membuat tempat perkumpulan untuk membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengannya, telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan pemisalan dari al bidah al makruhah bidah yang dihukumi makruh yang dianggap termasuk darinya adalah: menghiasi masjid, memperindah mushaf, serta membaca Al Qur an dengan suara merdu yang menyebabkan adanya perubahan lafazh bahasa Arab. Jika yang dimaksudkan hanya sekadar tindakan, tanpa diikuti perkara yang lain, maka hal ini tidak dapat diterima. Namun jika yang dimaksudkan adalah dengan mengikutkan ushul syariat, maka benar apa yang telah diucapkan, Sesungguhnya bidah tidak disebut bidah kecuali diikuti dengan tujuan seperti ini. Namun jika tidak diikutkan, maka hal itu termasuk perkara yang dilarang untuk dikerjakan, bukan termasuk bidah. Adapun contoh dari al bidah al mubahah bidah yang dihukumi mubah yang dianggap termasuk bagian darinya adalah bersalam-salaman setelah shalat Ashar dan Subuh. Jika perkara tersebut dinamakan bidah maka dapat diterima, sedangkan jika dihukumi mubah maka tidak dapat diterima, sebab di dalam syariat tidak ada dalil yang menjelaskan tentang pengkhususan waktu-waktu tersebut untuk bersalam-salaman, bahkan hukumnya makruh, karena dikhawatirkan akan dikerjakan secara terus- menerus sehingga menjadi bagian dari shalat tersebut; sebagaimana Imam Malik RA mengkhawatirkan menyambung puasa enam hari pada bulan Syawwal dengan puasa bulan Ramadhan, sebab terdapat kemungkinan akan Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin dianggap sebagai bagian dari puasa bulan Ramadhan. Al Qarafi berkata, Syaikh Zakiyuddin Abdul Azhim —seorang ahli hadits— mengatakan bahwa yang dikhawatirkan Imam Malik RA terhadap perkara tersebut telah terjadi pada bangsa selain Arab, sehingga mereka meninggalkan makan sahur sebagaimana kebiasan mereka, dan pada hari- hari yang tersisa, serta syiar-syiar bulan Ramadhan hingga akhir dari enam hari tersebut. Pada saat itu mereka telah memperlihatkan syiar-syiar hari raya Idul Fitri —ia berkata— begitu pula telah menjadi kebiasaan bagi kebanyakan penduduk Mesir untuk shalat Subuh dua rakaat kecuali pada hari Jumat, mereka melakukannya sebanyak tiga rakaat lantaran Imam terbiasa membaca surah As-Sajdah pada hari Jumat —saat shalat Subuh dan sujud tilawah— sedangkan mereka menganggap rakaat tersebut sebagai rakaat tambahan yang wajib. Ia berkata maka ditutupnya perantara dan hal-hal yang mengarah pada keputusan yang salah adalah sebuah ketetapan dalam agama, dan Imam Malik RA adalah orang yang sangat memperhatikan perkara Saddudz-Dzara’i. Ibnu Abdus-Salam telah memperluas kategori hingga memasukkan hal- hal yang mengundang kenikmatan. Hal ini telah diterangkan sebelumnya. Kesimpulan dari semua yang telah disebutkan sebelumnya adalah bahwa bidah tidak terbagi-bagi seperti pembagian sebelumnya, akan tetapi ia termasuk perkara yang dilarang; baik hukumnya makruh maupun haram untuk dikerjakan, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

4. Tentang Tasawuf dan Anggapan Terhadapnya

Adapun hal-hal yang berkaitan dengan perkara tasawuf dari pendapat sebagian orang yang menyangka bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang dikenal mengikuti Sunnah dan orang-orang yang mengikuti salafush-shalih, serta termasuk orang-orang yang selalu mengikuti baik perkataan maupun perbuatan mereka secara sempurna dan selalu menjauhkan diri dari semua perkara yang menyelisihinya, maka demikian itu berarti mereka telah membangun tarekat atas dasar penyerapan yang halal, mengikuti Sunnah Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin serta keikhlasan beramal, dan inilah yang hak. Akan tetapi, pada beberapa kesempatan mereka memberikan penilaian yang baik terhadap sesuatu yang tidak terdapat di dalam Al Qur an dan Sunnah, serta tidak pernah diperbuat oleh salafush-shalih. Kemudian mereka mengerjakan semua kandungannya dan tetap mempertahankannya dengan sebaik-baiknya, serta menjadikannya sebagai aturan tarekat bagi mereka dan sebagai Sunnah yang tidak boleh dilanggar. Bahkan mereka telah mewajibkannya pada sebagian kondisi tertentu, walaupun perkara tersebut tidak termasuk suatu keringanan. Oleh karena itu, tidak dibenarkan apa yang telah mereka bangun itu. Di antara permisalannya yaitu: 1. Pada beberapa perkara bersandar pada penyingkapan tabir Mukasyaah dan kesaksian Muayanah serta atas sesuatu yang di luar dari kebiasaan, kemudian mereka menghukumkan yang halal dan yang haram serta menetapkan atas perkara tersebut sesuatu yang hams dikerjakan atau ditinggalkan. Sebagaimana telah diceritakan dari Al Muhasab bahwa bila dirinya hendak memakan makanan yang syubhat, maka urat-urat jemari tangannya bergerak-gerak, sehingga akhimya ia tidak mau memakannya. Asy-Syibli berkata, Pada suatu hari, saya berjanji untuk tidak makan kecuali dari yang halal. Setelah itu saya berkeliling di padang pasir dan melihat pohon tin, maka saya ulurkan tangan untuk mematikannya. Tiba-tiba pohon tersebut berseru, Jagalah janjimu, janganlah kamu memakan buahku, karena sesungguhnya aku ini adalah Yahudi. Ibrahim Al Khawwash rahimahullah berkata, Saya pernah masuk ke dalam bangunan yang runtuh saat dalam perjalanan menuju kota Makkah pada malam hari. Tiba-tiba di dalamnya terdapat tujuh buah tulang dan saya sangat takut, lalu terdengar suara yang berseru, Tetaplah di tempatmu, sesungguhnya kamu telah dijaga oleh tujuh puluh ribu malaikat di sekelilingmu. Jika pemisalan seperti ini dihadapkan pada hukum syariat, maka tidak terdapat hukum padanya, sebab penyingkapan tabir atau seruan Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin