Elite Birokrasi Pendidikan Hindia Belanda

Djojopoespito oleh 5. J. Noorduyn pada Indisch-Nederlande Literatuur dengan redaksi Reggie Baay dan Peter van Zonneveld, Utrecht, 1988, halaman 232-242, A life free from trammels : Soewarsih Djojopoespito and her novel Buiten het gareel pada Canadian Journal of Netherlandic Studies Vol. XII, no. ii Spring 1991, dan Bij de dood van een vriendin oleh Beb Vuyck pada NRC, 2 September 1977. Sepanjang hayatnya, Suwarsih Djojopuspito mendampingi suaminya, Sugondo Djojopuspito sebagai pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka dikaruniai tiga orang anak yang memiliki pendidikan dan kedudukan yang terhormat. Anak pertama, Sunartini Djanan Chudori, S.H. almarhum, 1935-1996 semasa hidupnya berprofesi sebagai aktivis LBH Yogyakarta. Anak kedua, Sunarindrati Tjahyono, S.H. 22 Februari 1937, tanggal kelahiran sama dengan tanggal kelahiran bapaknya pernah bekerja di Bank Indonesia dan menjadi Direktur Bank Mizuho Jakarta. Anak ketiga, Ir. Sunaryo Joyopuspito, M.Eng. yang lahir tahun 1939 merupakan pensiunan Departemen Perhubungan dan menjadi guru musik di Jakarta piano dan biola.

4.2.2.3.2 Elite Birokrasi Pendidikan Hindia Belanda

Elite birokrasi pendidikan Hindia Belanda terbagi atas dua kelompok, yakni elite birokrasi “sekolah liar” dan elite birokrasi sekolah Belanda. “Sekolah liar” didirikan oleh tokoh masyarakat dengan biaya sendiri dan tidak terdaftar di instansi pemerintah Hindia Belanda, sehingga Belanda mengelompokkan sekolah-sekolah Universitas Sumatera Utara seperti ini sebagai “sekolah liar” 32 Secara umum, “sekolah liar” memiliki tingkat kualitas kependidikan yang relatif sama dengan sekolah yang didirikan Belanda. Suwarsih Djojopuspito, misalnya, menjadi guru “sekolah liar” dengan bekal ijazah sebagai guru sekolah Belanda. Suaminya, Sugondo Djojopuspito sebagai pelopor Sumpah Pemuda 1928 dan berpendidikan tinggi sekolah hakim Belanda juga menjadi guru di “sekolah liar”. Sekolah-sekolah milik pribumi dengan murid pribumi yang dipelopori oleh elite pribumi berpendidikan tinggi ini dapat bertahan dan diterima oleh masyarakat karena dikembangkan elite birokrasi pendidikannya dengan kultur pribumi. Pada umumnya ”sekolah liar” Hindia Belanda berakar dalam tradisi Jawa yang tidak dikenal di sekolah Barat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Niel 2009:311 yang mengutip perkataan Suwardi Suryaningrat berikut ini. . Sebaliknya, sekolah Belanda didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan pengutamaan murid dari kalangan bangsa Belanda, Cina, dan keluarga bangsawanpangreh praja. Dengan demikian, elite birokrasi “sekolah liar” memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat tanpa membedakan agama, suku, dan golongan untuk memperoleh kesempatan belajar secara formal. “Di dalam kebingungan kultural ini,” kata Suwardi dalam mengemukakan prinsip sekolahnya, “jadikanlah sejarah kebudayaan kita suatu pangkal tolak untuk maju. Hanya berdasarkan kebudayaan kita sendiri, pekerjaan membangun dapat dijalankan dengan aman. Biarlah bangsa kita muncul di 32 Istilah “sekolah liar” ini berkedudukan setara dengan “bacaan liar”. Buku bacaan yang masuk kategori “liar” juga tidak diterbitkan oleh Balai Pustaka sebagai penerbit milik pemerintah dan tidak disetujui peredarannya oleh pemerintah Hindia Belanda. Universitas Sumatera Utara pentas hubungan internasional di dalam suatu bentuk nasional yang bukan tiruan.” Novel MB karya Suwarsih Djojopuspito memberikan informasi realitas fiksi yang berbaur dengan realitas historis “sekolah liar” di Jawa. Novel ini menampilkan pengalaman pengarangnya sebagai guru “sekolah liar” yang mendapat pengawasan dari pemerintah dan menjalani kehidupan dengan keperihatinan. Hal ini diakui oleh Dick Hartoko yang menulis ulang buku Nieuwenhuys 1978:265 sebagaimana kutipan berikut ini. Pada waktu itu puteri Sunda itu sedang menjabat guru pada salah satu sekolah “liar,” ialah sekolah yang tanpa subsidi pemerintah Belanda menampung anak-anak dan mendidik mereka dalam semangat nasionalis. Kehidupan para gurunya penuh jerih payah dan idealisme mereka sering diuji dengan cukup berat. Perjuangan kaum guru ini dapat kita saksikan dalam roman Buiten het gareel yang edisi Belandanya sudah terbit pada tahun 1940 dan pada tahun 1946 mengalami cetak ulang, sedangkan edisi bahasa Indonesia dengan judul Manusia Bebas hasil terjemahan Suwarsih sendiri baru dapat diterbitkan pada tahun 1975 dengan bantuan pemerintah Belanda. Di samping riwayat hidup Suwarsih yang terdapat dalam novel MB, terdapat juga riwayat Sugondo sebagai pejuang, guru, dan suaminya. Di dalam novel MB, tokoh Sudarmo memiliki kemiripan dengan riwayat hidup Sugondo. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan Sudarmo dalam realitas fiksi dan Sugondo dalam realitas historis di mana mereka berprofesi sebagai guru, pejuang, dan tokoh jurnalis. Sugondo dikenal sebagai pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia yang sukses menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta 1928, berteman dengan Soekarno yang merupakan teman satu kost di Surabaya, menjadi guru Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro yang merupakan tuan rumah selama Universitas Sumatera Utara dia sekolah di Yogyakarta, dan bersama Sunario Sastrowardoyo mendirikan Perguruan Rakyat di Jakarta 1928. Di samping itu, dia menjadi pelopor penerbitan pers yang mencapai puncak ketika pada 1937 dia ikut mendirikan dan dipercaya sebagai Direktur I, sedangkan Adam Malik menjadi Wakil Direktur Redaktur Kantor Berita Antara yang beralamat di Jalan Pos Utara No. 53, Pasar Baru, Jakarta. Sementara itu, tokoh Sudarmo dalam novel yang tidak suka bekerja di kantor pemerintah tetapi terpaksa bekerja di sana untuk memperoleh penghasilan memiliki kesamaan dengan riwayat Sugondo yang bekerja di kantor pemerintah. Sugondo pernah bekerja di Kantor Statistik yang beralamat di Jl. Sutomo, Pasar Baru 1935. Ia mondok di rumah pegawai pos bersama beberapa pegawai pos Pasar Baru lainnya di Gang Rijksman Rijswijk, sehingga ia bisa membaca majalah Indonesia Merdeka terbitan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang dilarang masuk ke Indonesia. Dengan demikian, elite birokrasi pendidikan Hindia Belanda yang fokus pada “sekolah liar” memiliki peran ganda, yakni berperan sebagai guru sekaligus jurnalis dan pejuang kemerdekaan Indonesia sebagaimana diperankan oleh Sulastri dan Sudarmo dalam realitas fiksi novel MB dan Suwarsih dengan Sugondo Djojopuspito dalam realitas historis.

4.2.2.3.3 Emansipasi Wanita Indonesia