BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK
2.1 Pengantar Teoretik
Kajian pustaka dan kerangka teoretik ini merupakan bagian disertasi yang menjelaskan dasar filosofis penelitian. Bab ini terdiri dari tiga aspek, yaitu i kajian
pustaka, ii kerangka teoretik, dan, iii penelitian terdahulu. Pertama, kajian pustaka berkaitan dengan konsep-konsep dasar penamaan Sastra Hindia Belanda, kedudukan
novel dalam penelitian yang menggunakan teori poskolonial, dan kedudukan bahasa dalam masyarakat poskolonial. Masyarakat poskolonial dalam penelitian ini adalah
masyarakat yang berlatar belakang bangsa terjajah dan bangsa penjajah. Kedua, kerangka teoretik berkaitan dengan konsep dan pengembangan teori
yang digunakan dalam penelitian ini. Teori tersebut dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu i teori poskolonial ii teori struktur naratif. Teori poskolonial
dijelaskan secara terpisah dalam tiga aspek, yaitu i keberadaan teori poskolonial, ii mimikri dan hibriditas yang masing-masing dipecah menjadi dua bagian: mimikri dan
ambivalensi serta hibriditas dan sinkretisme, dan iii model kajian poskolonial. Sebaliknya, teori struktur naratif dijelaskan dalam satu aspek yang berkaitan
dengan struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, struktur ruang dan waktu, serta struktur transmisi narasi. Struktur naratif ini berfungsi menjelaskan pola hidup
masyarakat dalam realitas fiksi dan kontekstualitasnya dengan realitas historis. Konstruksi kehidupan masyarakat dalam realitas fiksi dan realitas historis tersebut
menjadi dasar pengembangan identitifikasi mimikri dan hibriditas dalam penelitian 21
Universitas Sumatera Utara
poskolonial. Ketiga, penelitian terdahulu diposisikan sebagai hasil pelacakan jejak hasil penelitian yang didasarkan pada teori poskolonial dan struktur naratif. Dengan
demikian, bab ini berisi penjelasan filosofis dan aplikatif terhadap teori poskolonial dan teori struktur naratif yang relevan dengan penelitian mimikri dan ambivalensi
dalam novel Hindia Belanda.
2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Sastra Hindia Belanda
Penguasaan Belanda terhadap Hindia Belanda ternyata menyimpan karya sastra Hindia Belanda. Hindia Belanda merupakan penamaan wilayah Indonesia pada
masa penjajajah Belanda. Hindia Belanda yang dikenal sebagai Nederlandsch-Indië ini diakui secara hukum de jure dan de facto. Kepala negara Hindia Belanda adalah
RatuRaja Belanda dengan perwakilannya yang berkuasa penuh, yakni seorang Gubernur Jenderal. Sebagai wilayah jajahan, Hindia Belanda memiliki batas-batas
geografis dengan negara tetangga. Perbatasan Hindia Belanda dengan negara tetangganya tersebut ditentukan dengan perjanjian-perjanjian legal antara Kerajaan
Belanda dengan Kerajaan Sarawak protektorat Inggris di bawah dinasti Brooke, The White Rajah, Borneo Utara Britania Sabah, Kerajaan Portugis Timor Portugis,
Kekaisaran Jerman Papua Nugini Utara, dan Kerajaan Inggris Papua Nugini Selatan.
Hindia Belanda merupakan wilayah jajahan Belanda yang tertulis dalam UU Kerajaan Belanda tahun 1814 dan diamandemen pada 1848, 1872, dan 1922 sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan perkembangan wilayah jajahan Belanda di Hindia Belanda.
2
Secara umum, jajahan Belanda ini bermula dari penguasaan Perkembangan
wilayah ini disesuaikan oleh perluasan wilayah, baik sebagai akibat penaklukan, peperangan, maupun penyerahan pengawasan dan kedaulatan kerajaan oleh
pemimpin atau raja-raja di Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, wilayah geografis Hindia Belanda sebagai wilayah hukum Kerajaan Belanda mengalami perkembangan
hingga proklamasi kemerdekaan RI. Vereenigde
Oostindische Compagnie VOC yang antara lain memiliki Jawa dan Maluku serta beberapa daerah lain semenjak abad ke-17. Setelah VOC dibubarkan pada tahun
1798, semua wilayah VOC menjadi milik Kerajaan Belanda. Dengan demikian, VOC menguasai Hindia Belanda pada 1610-1799 yang kemudian diserahkan pada Kerajaan
Belanda yang justru dalam penguasaan Perancis 1800-1811. Setelah Hindia Belanda berada dalam kekuasaan Inggris 1811-1816, barulah Hindia Belanda kembali dalam
kekuasaan Belanda 1816-1949. Penguasaan terakhir ini berimplikasi pada pendudukan Jepang 1942-1945, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945, dan penyerahan kedaulatan Hindia Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Penguasaan Belanda terhadap Hindia Belanda ternyata menyimpan karya sastra yang ditulis oleh sastrawan dari berbagai bangsa, seperti Belanda, Inggris, dan
2
Di dalam Wikipedia dinyatakan bahwa “Hindia-Belanda juga merupakan wilayah yang tertulis dalam UU Kerajaan Belanda tahun 1814 sebagai wilayah berdaulat Kerajaan Belanda, diamandemen tahun
1848, 1872, dan 1922 menurut perkembangan wilayah Hindia-Belanda.” Dengan demikian, frase “wilayah berdaulat” mengindikasikan bahwa Hindia Belanda berkedudukan setara dengan provinsi
atau negara bagian dalam sistem pemerintahan Kerajaan Belanda.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. Karya sastra yang muncul pada masa pemerintahan Hindia Belanda ini pada umumnya berbahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda. Karya-karya tersebut
menceritakan keadaan Hindia Belanda dalam hubungannya dengan peradaban Barat yang dibawa oleh Belanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Sastrowardoyo 1990:11
berikut ini. Yang dimaksudkan dengan sastra Hindia Belanda di sini adalah rumpun
kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Belanda terutama dan
oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangssa Eropah lainnya. Ada juga barang dua-tiga penulis Indonesia yang
karangannya dapat dimasukkan ke dalam sastra Hindia Belanda, seperti Soewarsih Djojopuspito dan Noto Soeroto, tetapi karya-karya mereka tidak
berada di tengah arus pokok perkembangan sastra itu, sehingga bisa diabaikan dalam hubungan karangan ini.
Pendapat Sastrowardoyo di atas bertolak belakang dengan pendapat Hellwig
dan Nieuwenhuys. Hal ini dapat dipahami oleh karena Sastrowardojo berfokus pada analisis karya sastra Hindia Belanda yang ditulis oleh sastrawan berkebangsaan
Belanda. Padahal, realitas historis menunjukkan bahwa, ketertarikan sastrawan mancanegara untuk menuliskan keadaan Indonesia dalam karya sastra berbahasa
Belanda menjadikan sastra Hindia Belanda sebagai bagian yang menyatu dengan sastra Belanda. Dengan demikian, karya sastra yang ditulis oleh sastrawan
berkebangsaan Indonesia harus ditempatkan setara dengan karya sastra yang ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda.
Kondisi di atas sesuai dengan pengakuan resmi Kerajaan Belanda terhadap legalitas pemerintahan Hindia Belanda sebagai bagian dari pemerintahan Kerajaan
Belanda. Legalitas pemerintahan tersebut memberi konsekuensi atas pengakuan
Universitas Sumatera Utara
seluruh aktivitas dan kreativitas warga negara dalam bersastra sebagai hasil karya sastra Kerajaan Belanda. Hal ini diakui oleh Hellwig 2007:49 dalam pernyataannya,
bahwa, “Karya sastra Hindia Belanda tak pelak lagi merupakan bagian dari tradisi sastra Belanda dan dari perkembangannya.” Bahkan, Nieuwenhuys yang menyusun
sejarah sastra Belanda tetap menempatkan sastrawan berkebangsaan Belanda sejajar dengan sastrawan berkebangsaan Indonesia yang menulis karya sastra dalam bahasa
Belanda sebagai bagian yang menyatu dalam sastra Belanda. Bahkan, Nieuwenhuys 1978:49 menyatakan bahwa sastra Hindia Belanda memiliki tempat tersendiri yang
tidak terpisahkan dari sastra Belanda meskipun tidak mempunyai tradisi dan iklim kesusastraan.
Pemunculan karya sastra Hindia Belanda dalam khasanah sastra Belanda tidak terbatas pada karya sastra berbahasa Belanda. Hal ini disebabkan oleh kehadiran
Balai Pustaka dan penerbit independen yang memberikan ruang pada sastrawan berkebangsaan Indonesia untuk mempublikasikan karya sastranya. Merari Siregar
dengan novel Azab dan Sengsara dan Marah Rusli dengan novel Sitti Nurbaya merupakan sastrawan yang menerbitkan novel-novelnya melalui Balai Pustaka.
Bahkan, terdapat karya-karya yang ditulis oleh sastrawan Tionghoa berbahasa Melayu dan sastrawan Jawa berbahasa Melayu yang diterbitkan oleh penerbit
independen atau yang diistilahkan Belanda sebagai “penerbit liar”. Secara historis, Lombard 2008a:45-50 membagi perkembangan sastra
Hindia Belanda dalam tiga siklus. Siklus pertama adalah siklus “perompak Melayu” yang ditulis terutama oleh pengarang bukan Eropa, yaitu Emilio Salgari Italia dan
Universitas Sumatera Utara
Joseph Conrad Inggris kelahiran Polandia. Salgari yang ingin menjadi pelaut dan bertualang mengarungi lautan luas tertarik pada buku The Malay Archipelago karya
Wallace dan buku-buku tentang kehidupan Oceania. Salgari menulis roman dengan latar Kalimantan Utara, yaitu Le Tigri di Mompracem yang terbit sebagai cerita
bersambung tahun 1883-1884 dan I Pirati della Malesia 1894. Sebaliknya, Conrad yang berprofesi sebagai perwira kapal dagang berkesempatan mengunjungi Muntok-
Pulau Bangka 1883 dan antara 1887-1888 kembali melakukan perjalanan di Nusantara antara Jawa dan Sumatera serta Sulawesi dan Kalimantan. Pengalaman dan
pembacaannya terhadap karya Wallace serta penulis yang menggambarkan eksotisme Nusantara melahirkan roman Almayer’s Folly 1895 dengan latar Pulau Kalimantan
dan Lord Jim 1899 yang diduga berlatar pedalaman Nangroe Aceh Darussalam. Siklus kedua, dapat dinamakan sebagai “siklus Jawa” yang berpusat di Batavia
dan perkebunan-perkebunan di pedalaman. Karya sastra Hindia Belanda dalam “siklus Jawa” tampil dengan sumber inspirasi yang beragam dengan kebanyakan
mencerminkan ketegangan bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Pada siklus ini terdapat roman berbahasa Perancis Le planteur de Java karya Henri Guénot 1860
dan Felix Batel ou La Hollande à Java karya Jules Bubat 1869 serta roman berbahasa Belanda MH karya Multatuli 1860, Goena-goena karya P.A. Daum
1889 dan De Stille Kracht karya Louis Couperus 1900. Siklus ketiga, bersamaan dengan semakin menguatnya pemerintahan Batavia
di luar Pulau Jawa, sehingga siklus ini dinamakan “siklus pulau-pulau luar”. Pada siklus ini, M.H. Székely-Lulofs menulis novel Rubber 1931 dan Koeli 1932 yang
Universitas Sumatera Utara
mengisahkan perkembangan perkebunan karet di Sumatera Timur. Pengarang lain yang mengenalkan eksotisme Hindia Belanda, antara lain, Maria Dermoût 1888-
1962 menulis cerita pendek berdasarkan kehidupannya di Maluku dan menerbitkan dalam kumpulan cerita pendek De tieduizen dingen 1955 dan Vicki Baum 1888-
1960 menulis novel Liebe und Tod auf Bali 1937 dengan latar mitos Bali. Pemunculan karya sastra berbahasa Belanda menimbulkan heboh sastra di
Negeri Belanda, khususnya dengan pemunculan novel MH karya Multatuli. Pemunculan novel ini disusul oleh novel-novel lain yang kemudian muncul novel-
novel BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs. Pemunculan novel karya Székely-Lulofs memberikan gelar “Multatuli Wanita” pada pengarang ini. Hal ini disebabkan
keberaniannya mengungkapkan penderitaan kuli di perkebunan yang justru sebagai lokasi pengabdiannya sebagai istri pemimpin kebun di Sumatera Utara.
Kekacauan manajemen dan penderitaan rakyat Hindia Belanda yang diungkapkan oleh para sastrawan Hindia Belanda memberi kekuatan moral para
politisi Kerajaan Belanda. Mereka menuntut perbaikan yang “nyata” dalam sistem kolonialisasi Belanda di Hindia Belanda. Hal ini mendorong Ratu Belanda untuk
menyetujui “politik etis” di Hindia Belanda. Politik etis ini dijelaskan oleh End dan J. Weitjens 2008:7 sebagai-berikut:
Belanda wajib membayar kembali “hutang” itu. Garis kebijakan itu biasa disebut “Ethische Politiek” “Ethisch” = moral, susila. Penganut-penganur
garis ini menghendaki juga, supaya orang-orang Indonesia “dibimbing” oleh “kakaknya”, orang Belanda, ke tingkat yang lebih tinggi di segala bidang
hidup, sehingga pada akhirnya secara politis dan ekonomis golongan Indonesia bisa berdiri di samping golongan Belanda, masing-masing dengan
mempertahankan ciri kebudayaan dan wataknya sendiri politik asosiasi.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, tujuan kaum pengajar “Ethische Politiek” bukanlah kemerdekaan Indonesia, melainkan kerja sama antara dua golongan yang setaraf dalam
rangka suatu Hindia Belanda yang tetap bergabung dengan negara Belanda di Eropa. Hanya sedikit sekali orang Belanda yang berpoikir lebih jauh, yaitu
yang mencita-citakan suatu Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka. Berdasarkan penjelasan di atas, sastra Hindia Belanda memiliki peranan
penting dalam melaporkan keadaan yang sebenarnya dari kondisi masyarakat Indonesia. Kondisi masyarakat Indonesia tersebut dituliskan oleh para sastrawan
dalam bahasa Belanda yang diterbitkan di Kerajaan Belanda dan berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Indonesia. Para sastrawan Hindia Belanda tersebut terdiri atas
beragam bangsa, seperti Belanda, Inggris, dan Indonesia.
2.2.2 Novel dalam Penelitian Poskolonial
Kajian poskolonialisme memiliki hubungan erat dengan novel sebagai karya sastra, kehidupan masyarakat, dan dampak kultural kolonialisasi. Bahkan, Alfonso
2001:55 mengatakan, “This is why Said proposes to regard the literary text as another instance of cultural colonization.” Inilah sebabnya mengapa Said
mengemukakan agar menganggap teks sastra sebagai contoh lain dari kolonisasi budaya. Hal ini disebabkan kehidupan dalam sastra dan kehidupan dalam masyarakat
memiliki hubungan yang dapat saja sama, mirip, dan bahkan mustahil. Fakta dan fiksi senantiasa saling pengaruh-memengaruhi sehingga pembaca karya sastra mau tidak
mau harus menempatkan kehidupan dalam sastra dalam persinggungan dengan kehidupan dalam masyarakat yang realistik. Oleh karena itu, kajian sastra sebagai
institusi sosial yang memakai medium bahasa tidak dapat dilepaskan dari frase De
Universitas Sumatera Utara
Bonald. Menurut Wellek dan Austin Warren 1989:110, frase tersebut menyatakan bahwa, “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.”
Sejalan dengan pernyataan De Bonald, karya sastra mendapatkan tempatnya sebagai dokumen sosial dan pemodelan masyarakat. Genre sastra yang berpotensi
besar sebagai dokumen sosial dan pemodelan itu adalah novel. Menurut Jonathan Culler sebagaimana dikutip oleh Teeuw 2003:187-188, “...the novel serves as the
model by which society conceives of itself, the discourse in and through which it articulates the world....”
3
...novel bertindak sebagai model lewat mana masyarakat membayangkan diri sendiri, penuturan dalam dan lewat mana disendikannya
dunia.....” Lebih lanjut dijelaskannya, “Our identity depens on the novel, what others thinks of us, what we think of ourselves .... How do others see us if not as a character
from a novel?”
4
3
Prof. A. Teeuw menerjemahkan ‘novel’ dengan ‘roman’. Lihat juga, Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: dari strukturalisme genetik sampai post-modernisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, p.
47. Faruk menerjemahkan pendapat Culler yang dikutip Teeuw dari kutipan Philippe Sollers dengan kalimat, “...novel berfungsi sebagai model yang dengannya masyarakat memahami dirinya. Novel
merupakan wacana yang di dalam dan lewatnya masyarakat mengartikulasikan dunia.”
Identitas kita tergantung pada novel, apa yang orang lain pikirkan tentang kita, apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Bagaimana orang lain
memandang kita kalau bukan sebagai tokoh dalam sebuah novel?. Dengan demikian, novel sebagai ungkapan perasaan masyarakat berfungsi sebagai model kehidupan,
baik sebagai model pemahaman kehidupan maupun model aplikasi kehidupan masyarakat.
4
Lebih lanjut dijelaskan oleh Faruk, “Di dalam novel kata-kata disusun sedemikian rupa agar melalui pembacaan akan muncul suatu model mengenai suatu dunia sosial, model-model personalitas
individuali, model hubungan antara individu dengan masyarakat, dan, lebih penting lagi, model signifikansi dari aspek-aspek dunia tersebut.”
Universitas Sumatera Utara
Di samping fungsi novel sebagai model kehidupan masyarakat, pemilihan novel untuk kajian poskolonial ini didasarkan pada kelengkapan cerita dalam novel
dibandingkan genre sastra yang lain. Menurut Ratna 2004:336-337, “Novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling
luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas.” Dengan demikian, novel memenuhi karakteristik sastra yang baik sebagaimana diungkapkan
oleh Richard Hoggart Teeuw, 2003:195, “Sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Menciptakan kembali keseluruhan hidup
yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial dunia yang sarat objek.”
Secara lebih spesifik, novel memiliki kedudukan penting dalam mengungkapkan realitas kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Menurut Ratna
2004:136, “Novel jelas merupakan objek karya sastra terpenting. Pertama, pertimbangan dari segi medium yang cukup luas dan kaya, apabila dibandingkan
dengan genre lain. Kedua, dalam novel terkandung isi, pesan, dan amanat, bahkan juga konsep-konsep yang beraneka ragam.” Dengan demikian, novel memiliki
potensi besar untuk mengungkapkan realitas historis sehingga memberi konstruksi kehidupan sesuai dengan peradaban manusia yang melatarbelakangi pemunculan
novel tersebut. Bahkan, Edward W. Said menguji teori poskolonialnya dengan menempatkan
novel sebagai sumber data penelitian untuk mengonstruksikan realitas historis Timur dan Barat. Di dalam penelitiannya, Said menemukan kenyataan bahwa realitas fiksi
Universitas Sumatera Utara
novel dalam konteks poskolonial berkaitan erat dengan realitas historis imperialisme sebagai bagian yang menyatu dengan kolonialisme Barat. Hal ini sesuai pernyataan
Said 1994:84 berikut ini. I am not trying to say that the novel –or the culture in the broad sense-
‘caused’ imperialism, but that the novel, as a cultural artifact of bourgeois society, and imperialism are unthinkable without each other. Of all the major
literary forms, the novel is the most recent, its emergence the most datable, its occurrence the most Western, its normative pattern of social authority the
most structures; imperialism and the novel fortified each other to such a degree that it is impossible, I would argue, to read one without in some way
dealing with the other. Saya tidak berusaha untuk mengatakan bahwa novel –atau budaya dalam arti
luas- disebabkan imperialisme, tetapi novel, sebagai artefak budaya masyarakat borjuis, dan imperialisme yang tanpa terpikirkan satu sama
lain. Dari semua bentuk tulisan utama, novel adalah yang paling baru, yang datanya yang paling Barat, yang paling normatif pola otoritas struktur
sosialnya; imperialisme dan novel mungkin saling memperkaya, saya berpendapat, untuk membaca karya sastra sudah barang tentu berhubungan
dengan karya yang lain. Berdasarkan pendapat di atas, pengarang tidak dapat memisahkan diri secara
totalitas dari persoalan hidup masyarakatnya. Novel dan penulis tidak berada dalam kekosongan. Menurut Varadarajan 2010:382, Edward Said memperlakukan teks
seperti novel dan karya sastra lainnya sekadar sebagai objek tak berdaya, sastra sebagai sesuatu yang terpisah dari dunia tempat yang diciptakannya, atau penulis
yang cuma sebagai penulis buku tertentu, berarti melewatkan fakta penting bahwa produksi teks oleh penulis merupakan sebuah produksi budaya yang berhubungan
dengan kekuasaan dan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, peran yang dimainkan penulis sangat menentukan dalam merepresentasikan realitas historis pada realitas
fiksi.
Universitas Sumatera Utara
Realitas historis dalam realitas fiksi sastra poskolonial sarat dengan masalah mimikri dan hibriditas. Bahkan, masalah mimikri dan hibriditas dalam kajian
poskolonial memunculkan masalah lain yang tidak kalah penting, yakni ambivalensi, dan sinkretisme. Oleh karena itu, sastra poskolonial menjadi media pengungkapan
relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang signifikan. Menurut Ratna 2008:134, pemilihan karya sastra sebagai media yang paling tepat untuk melukiskan
masalah tersebut didasarkan atas tiga pertimbangan. Pertama, karya sastra adalah sistem bahasa, tanda, sehingga sangat tepat untuk melukiskan perasaan. Kedua, karya
sastra bukan objektivitas itu sendiri. Masalah yang diungkapkan dalam karya sastra bukan kolonialisme melainkan apa yang dibuat oleh kolonialisme. Ketiga, sastra
adalah refleksi sekaligus refraksi, inovasi sekaligus negasi dan afirmasi. Hubungan karya sastra dengan poskolonialisme menjadikan sebuah novel
tidak otonom. Sebuah novel memiliki struktur naratif tersendiri sekaligus memiliki sesuatu yang-Lain. Di dalam hal ini, karya sastra yang muncul atau mengisahkan
kehidupan masa kolonial memiliki sisi-sisi ideologis, terutama dalam kaitan untuk mendukung dan mengembangkan kepentingan imperialisme Barat dan mengabaikan
identitas Timur. Di dalam hal ini, Said 1994:49 menegaskan, “There is no way of dodging the truth that the present ideological and political moment is a difficult one
for the alternative norms for intellectual work that I propose in this book.” Tidak ada cara menghindar dari kebenaran bahwa ideologi sekarang dan gerakan politik
sekarang adalah sesuatu yang sulit untuk norma-norma alternatif bagi kegiatan intelektual yang saya usulkan dalam buku ini. Edward W. Said memperkuat teori
Universitas Sumatera Utara
poskolonial dengan memunculkan buku Orientalism 1978 dan Culture and Imperialism 1993. Di dalam kedua buku tersebut, Said mengungkapkan dikotomi
Barat dan Timur dari berbagai aspek, baik secara politis, budaya, maupun agama. Di samping Edward W. Said, terdapat Gayatri Chakravorty Spivak yang
menjadi juru bicara poskolonial. Apabila Edward W. Said berasal dari Yerusalem Barat Timur Tengah maka Gayatri Chakravorty Spivak berasal dari Calcutta Asia
Selatan. Esai-esai Spivak seperti Three Women’s Txts and a Critique of Imperialism 1985 dan Can the Subaltern Speak? 1988 telah diantologikan secara luas dan
dikutip sebagai contoh teks teori poskolonial. Akan tetapi, Spivak sebagaimana dijelaskan oleh Morton 2008:2-3 mengejutkan poskolonialis karena menolak label
‘poskolonial’ dalam tulisan teoretis terbarunya. Bagi Spivak, teori poskolonial terlalu terfokus pada bentuk masa lalu dominasi kolonial. Oleh karena itu, tidak sesuai untuk
mengkritik pengaruh dominasi ekonomi global dan kebijakan struktural IMF serta perekonomian dan masyarakat Selatan.
Fokus kajian Spivak yang menjadi ciri khas analisisnya adalah pada sudut pandang Kaum Subaltern dalam kolonialisasi. Spivak yang mempresentasikan teori
postrukturalis dari Jacques Derrida menekankan pentingnya mendekonstruksi secara terus-menerus mempersoalkan program politis seperti sosialisme, feminisme,
nasionalisme antikolonial, dan identitas politis kaum ploretar, perempuan, dan penduduk koloni. Menurut Morton 2008:19, terhadap perempuan subaltern, Spivak
menempatkan perjuangan kebebasan perempuan dan kaum perempuan di dunia
Universitas Sumatera Utara
Selatan secara bertahap mentransformasi ruang nonrelasional keistimewaan etis ke dalam ruang keputusan dan tanggung jawab politik.
Di samping Edward W. Said dan Gayatri Chakravorty Spivak terdapat Homi K. Bhabha yang lahir dalam lingkungan masyarakat Parsi Bombay, Asia Selatan.
Kajian poskolonialisme Bhabha dipengaruhi oleh Jacques Derrida, Jacques Lacan, dan Michel Foucault. Bhabha menggagas teori liminalitas dalam wacana
kolonialisme. Menurut Sutrisno dan Hendar Putranto 2004:140-145, Bhabha mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan ruang persinggungan antara teori
dan praktik kolonisasi untuk melahirkan hibriditas. Hal ini disebabkan pencarian identitas itu idealnya tidak pernah berhenti. Di antara penjajah dan terjajah terdapat
ruang ketiga tempat persilangan budaya atau hibriditas memunculkan diri dalam budaya, ras, bahasa, dan lain sebagainya. Hal ini terungkap dalam karya sastra
sebagaimana diakui oleh Bhabha dalam Huddart, 2006:39 berikut ini. Why does Bhabha refer to the literary? An initial answer emphasizes that
literariness is often associated with the non-objective, the non-serious, and the non-real. Literature is like all those other apparently dismissible
phenomena like jokes and myths: we know they have effects, but we act as if they are not that important. Often, then, we disavow our knowledge of the
importance of these marginal things
.
Mengapa Bhabha merujuk pada sastra? Jawaban awal menekankan bahwa sastra sering dikaitkan dengan nonobjektif, tidak serius, dan nonreal. Sastra
seperti semua fenomena tampaknya lain seperti lelucon dan mitos: kita tahu mereka memiliki efek, tapi kita beranggapan seolah-olah sastra tidak begitu
penting. Sering kali kita mengingkari pengetahuan kita tentang pentingnya hal-hal yang marjinal.
Homi K. Bhabha sebagaimana pernyataan Sikana 2009:456 mengatakan
sastra poskolonial dapat dikaji dalam konteks budaya bangsa yang dijajah harus
Universitas Sumatera Utara
mengalami pengalaman dan trauma sejarah yang berbeda, seperti penghambaan, revolusi, peperangan yang mengakibatkan pembunuhan massal, penentangan rejim
tentara, kehilangan identitas bangsa, kemelut budaya, atau pelarian akibat konflik politik. Di sinilah novel Hindia Belanda memperoleh tempat dalam kajian
poskolonial karena novel-novel tersebut menceritakan penghambaan, peperangan, dan kemelut budaya Timur dan Barat dalam kehidupan tokoh-tokoh ceritanya, baik
dalam konteks mimikri dan ambivalensi kepribadian maupun hibriditas dan sinkretisme. Bahkan, novel MH karya Multatuli, BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs,
MB karya Suwarsih Djojopuspito, dan Oe karya Hella S. Haasse yang dijadikan fokus penelitian ini ditulis oleh sastrawan yang terlibat dalam kolonialisasi Belanda
di Hindia Belanda, baik sastrawan berkebangsaan Belanda maupun sastrawan berkebangsaan Indonesia.
2.2.3 Bahasa Masyarakat Poskolonial
Berkaitan dengan linguistik, pada hakikatnya para orientalis memulai karier sebagai seorang filolog sehingga memunculkan revolusi filologi yang melahirkan
sains perbandingan yang berlandaskan premis bahwa bahasa-bahasa mempunyai rumpun-rumpun yang berbeda dengan rumpun Indo-Eropa dan Semitis sebagai
rumpun besarnya. Oleh karena itu, menurut Said 1994:129, sejak itu semua orientalisme membawa dua sifat dalam bidang linguistik, Pertama, kesadaran diri
ilmiah yang baru ditemukan yang berlandaskan kepentingan linguistik Timur bagi Eropa. Kedua, kecenderungan untuk membagi, membagi lagi dan membagi kembali
Universitas Sumatera Utara
ke pokok permasalahan tanpa pernah mengubah pemikirannya mengenai Timur sebagai sesuatu yang selalu sama, tidak berubah-ubah, seragam, dan objek yang
benar-benar khas. Ernest Renan dalam Said, 1994:183 berpendapat, “Ada suatu periode, yang
hanya bisa kita duga-duga saja, ketika manusia secara harfiah diangkat dari kebisuan ke kata-kata. Setelah itu adalah bahasa, dan bagi saintis sejati tugasnya adalah
menguji bagaimana sebenarnya bahasa itu, bukannya bagaimana timbulnya.” Di dalam proses pengujian bahasa, Renan menciptakan kolonisasi linguistik pada Timur
dengan perangkat laboratoriumnya. Timur dalam konteks ini adalah bahasa Semit yang dipandang Renan terhambat perkembangannya dibandingkan bahasa dan
budaya Eropa. Meskipun Renan memberi dorongan untuk memandang bahasa Semit sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ‘makhluk-makhluk hidup di alam’.
Menurut Said 1994:191-192, hal ini disebabkan Renan lewat laboratoriumnya membuktikan bahwa, “Bahasa-bahasa Timurnya, bahasa Semit, sifatnya anorganik,
terhambat, sama sekali beku, tidak mampu melakukan regenerasi diri; dengan kata lain, ia membuktikan bahwa bahasa Semit bukanlah bahasa yang hidup dan oleh
karenanya kaum Semit juga bukan makhluk yang hidup.” Secara poskolonial, Ashcroft, dkk. 2003:43 setelah meneliti bahasa dalam
koloni Inggris mengelompokkan bahasa dalam wacana poskolonial atas tiga kelompok, yaitu monoglossic, diglossic, dan polyglossic. Kelompok monoglossic
terdiri dari masyarakat berbahasa tunggal sebagai bahasa ibu mereka. Mereka biasa tinggal di koloni-koloni hunian dan pengucapan mereka sama sekali tidak sama atau
Universitas Sumatera Utara
seragam. Sementara itu, masyarakat diglossic adalah mereka yang dengan bilinguisme telah lama menjadi bagian tidak terpisahkan dari tatanan
kemasyarakatannya sehingga dapat mengadopsi suatu bahasa sebagai bahasa pemerintahan dan perdagangan. Kemudian, masyarakat polyglossic atau polydialectic
di mana beragam dialek saling terjalin dan secara umum membentuk rangkaian linguistik.
Bahasa dalam novel bahan penelitian ini adalah bahasa Indonesia. Meskipun menggunakan bahasa Indonesia tetapi tetap memberikan suatu rangkaian linguistik
yang terdiri dari bahasa Indonesia dan bahasa Belanda, baik dalam deskripsi maupun dialog antartokoh. Oleh karena itu, di dalam konteks kajian poskolonialisme ini,
penelitian difokuskan untuk mengidentifikasi dan mengkaji rangkaian linguistik tersebut pada dialog tokoh cerita dan narasi pengarangnya. Dengan demikian,
penggunaan bahasa hasil penerjemahan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia dalam keseluruhan bahasa novel dapat ditempatkan pada kelompok masyarakat
monoglossic, diglossic, atau polyglossic secara valid dan representatif.
2.3 Kerangka Teoretik
Penelitian ini dilakukan dengan dasar teori poskolonial dan teori struktur naratif. Kedua teori ini digunakan untuk hal-hal sebagai-berikut:
1 Teori struktur naratif digunakan sebagai teori untuk menjawab rumusan masalah
pertama, sehingga ditemukan struktur penceritaan realitas fiksi novel Hindia Belanda. Realitas fiksi yang dideskripsikan adalah struktur plot; struktur fisik, ras,
Universitas Sumatera Utara
dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; serta struktur transmisi narasi. Teori struktur naratif yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Seymour
Chatman. 2
Teori poskolonialisme digunakan sebagai teori untuk menjawab rumusan masalah kedua hingga kelima. Oleh karena itu, teori ini mendasari deskripsi dan analisis
data realitas fiksi dan realitas historis yang relevan dengan bentuk dan substansi novel Hindia Belanda. Realitas fiksi berkaitan dengan struktur naratif sedangkan
realitas historis berkaitan dengan peristiwa, waktu, tempat, dan pelaku yang kontekstual dengan realitas fiksi. Berdasarkan realitas tersebut dianalisis mimikri,
ambivalensi, hibriditas, dan sinkretisme dalam relasi bangsa yang terjajah dan bangsa yang menjajah. Teori poskolonialisme yang digunakan adalah teori yang
dikemukakan oleh Edward W. Said dan Homi K. Babbha.
2.3.1 Teori Struktur Naratif
Teori struktur naratif merupakan teori sastra dalam kelompok teori postrukturalisme naratologi. Ratna 2004:252-290 mengelompokkan Seymour
Chatman bersama Genette, Prince, Culler, Barthes, Bakhtin, Hayden, Pratt, Lacan, Foucault, Lyotard, dan Baudrilard sebagai tokoh-tokoh postrukturalisme naratologi.
Secara konseptual, kelompok teori ini masih berkaitan dengan teori strukturalisme yang berkembang sejak Aristoteles mengenalkan analisis struktur tragedi sebagai satu
kesatuan yang utuh. Kemudian, mulai memisahkan bentuk dan substansi serta teks dan wacana. Menurut Ratna 2004:244-245 wacana sebagai cara berkata atau ucapan
Universitas Sumatera Utara
dimanifestasikan dalam keberagaman aktivitas sosial dan berfungsi menyampaikan berbagai informasi dalam suatu teks. Oleh karena itu, teori struktur naratif tidak
hanya memusatkan perhatian pada struktur bentuk narasi saja, melainkan juga pada substansi narasi tersebut dalam kehidupan manusia.
Seymour Chatman pada dasarnya membedakan teorinya sebagain teori postrukturalisme naratologi dengan strukturalisme naratologi pada suara narator
dalam struktur transmisi narasi sebagai model komunikasi pengarang dengan pembacanya. Di dalam hal ini, Chatman 1986:140 menyatakan bahwa gagasan
tentang pesan narasi mengandaikan konsep pengirim: “‘Sender’ is logically implicated by ‘message;’ a sender is by definition built-in: inscribed or immanent in
every message.” Pengirim secara logis terlibat dengan pesan; pengirim tertulis atau imanen dalam setiap pesan. Oleh karena itu, Stam, dkk. 2005:115, menegaskan
bahwa pesan narasi, bagaimanapun, tidak perlu kata, tidak perlu disajikan dalam bentuk verbal. Tidak ada alasan untuk menolak konsep narator sinematik, dalam
pandangannya, hanya karena tidak ada yang mirip dengan suara atau agen yang menyerupai manusia yang memancarkan kalimat kepada pembaca atau pemirsa dan
penonton. Di samping itu, di dalam aplikasi teori struktur naratif terdapat konsep hakikat
teknik flashback dalam kajian strukturalisme dengan menghubungkannya pada siklus kehidupan manusia. Chatman 2009:31 mengutip pendapat Søren Kierkegaard yang
menyatakan bahwa, “Life can only be understood backwards; but must be lived forwards.” Hidup hanya dapat dipahami mundur, tetapi harus dijalani forwards. dan
Universitas Sumatera Utara
pendapat Carlos Fuentes yang menyatakan, “What was yet to come would also be a memory.” Apa yang belum datang akan menjadi kenangan. Dengan demikian, plot
setiap cerita bergerak mundur karena kehidupan manusia yang ditampilkan dalam realitas fiksi didasarkan pada realitas historis kehidupan manusia yang sebenarnya.
Gambar 2.1: Diagram Teori Struktur Naratif
Sejalan dengan perkembangan teori struktur naratif, Ratna 2004:251 menempatkan teori ini sebagai teori postrukturalisme, “Postrukturalisme memandang
betapa pentingnya sejarah dan waktu dalam mempermasalahkan bahasa dalam Tindakan
Kejadian Karakter
Latar Bentuk
= dari Isi
Kejadian Keadaan
Cerita Isi
Substansi = dari
Isi Orang, benda, dsb.,
sebagai praproses oleh kode budaya penulis
Narasi
Substansi = dari
Ungkapan Struktur transmisi narasi
Wacana Ungkapan
Verbal Sinamatis
Balletis Pantomimik
dsb. Subtansi
= dari Ungkapan
Manifestasi
Universitas Sumatera Utara
penggunaannya.” Di sinilah Seymour Chatman, profesor retorika di University of California, Berkeley merumuskan teori struktur naratif dalam kajian fiksi dan film..
Menurut Ratna 2004:241, teori Chatman memandang karya sastra dengan ciri-ciri adanya rangkaian peristiwa, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur lain, seperti
tokoh-tokoh, latar, sudut pandang, dan sebagainya. Menurut Chatman 1980:19, struktur tradisional karya sastra ini diformulasikan secara postruktural dengan sebuah
pertanyaan, “What are the necessary components –and only those- of a narrative?” Diagram teori struktur naratif Seymour Chatman menempatkan narasi sebagai
cerita story dan wacana discourse. Berdasarkan diagram 2.1 di atas, baik cerita sebagai isi content narasi maupun wacana sebagai ungkapan expression narasi
memiliki bentuk form dan substansi substance. Menurut Chatman 1980:24, hubungan isi dan ungkapan dengan bentuk dari substansi ditampilkan dalam bentuk
kuardipartiti berikut ini. Expression Content
Media insofar as they can communicate stories. Some
media are semiotic systems in their own right.
Representations of objects actions in real imagined
worlds that can be imitated in anarrative medium, as
filtered through the codes of the author’s society.
Narrative discourse the structure of narrative
transmission consisting of elements shared by narratives
in any medium whatsoever. Narrative story components:
events, existents, and their connections.
Gambar 2.2: Kuardipartiti Bentuk-Subtansi dengan Ungkapan-Isi dalam Teori Struktur Naratif
Substansce
Form
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan gambar 2.2, bentuk form dari isi content narasi adalah komponen cerita narasi, yakni kejadian, keberadaan, dan hubungannya. Hal ini sesuai
dengan diagram 2.1, dinyatakan bahwa kejadian meliputi tindakan dan kejadian sedangkan keadaan meliputi karakter dan latar. Unsur-unsur narasi ini memiliki
hubungan satu sama lain dengan faktor penggerak orang, benda, atau masalah sebagai praproses oleh kode budaya penulis. Faktor penggerak isi cerita inilah yang dalam
teori struktur naratif Chatman disebut substansi dari isi cerita. Hal ini sesuai dengan gambar 2.2 yang menjelaskan bahwa substansi dari isi cerita merupakan representasi
dari objek dan tindakan yang nyata dan dunia yang dapat dibayangkan yang dapat ditiru dalam suatu medium narasi setelah disaring melalui tanda dari masyarakat
penulis. Di dalam konteks kajian poskolonial ini, bentuk dari isi content dan
substansi dari isi cerita dalam konteks analisis novel berposisi sebagai unsur intrinsik dengan tiga unsur pembentuk, yakni plot yang ditentukan oleh tindakan dan kejadian,
karakter yang dapat ditentukan oleh struktur fisik, ras, dan relasi gender, dan latar yang ditentukan oleh struktur ruang-cerita dan waktu-cerita. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Chatman 1980:24-25 berikut ini. The question is not “What does any given story mean?” but rather ”What
does narrative itself or narrativizing, a text mean?” The signifiés or signifieds are exactly three –event, character, and detail of setting; the
signifiants or signifiers are those elements in the narrative statement whatever the medium that can stand for one of these three, thus any kind of
physical or mental action for the first, any person or, indeed, any entity that can be personalized for the second, and any evocation of place for the third.
Pertanyaannya bukan “Apa arti dari cerita tersebut?” melainkan “Apa arti dari narasi itu sendiri atau penarasian suatu teks?” Penanda atau yang
Universitas Sumatera Utara
ditandai terdiri dari tiga –kejadian, sifat, dan gambaran pelataran; penanda merupakan elemen-elemen dalam pernyataan narasi apa pun mediumnya
yang dapat menjadi wakil salah satu dari ketiganya, meskipun itu jenis tindakan fisik atau mental, orang atau, tentu saja, suatu entitas yang dapat
dipersonalkan, yang kedua, dan setiap pembentukan tempat untuk yang ketiga.
Di samping bentuk dari isi dan substansi dari isi sebagai komponen cerita dari
narasi, teori struktur naratif Chatman menempatkan bentuk dari ungkapan dan substansi dari ungkapan sebagai komponen wacana narasi. Gambar 2.2 menjelaskan
bahwa bentuk dari ungkapan merupakan wacana narasi berbentuk struktur transmisi yang terdiri dari elemen-elemen yang dibagi dalam narasi-narasi dalam medium apa
pun. Sebaliknya, substansi dari ungkapan merupakan media yang dapat mengkomunikasikan cerita. Substansi ini pada gambar 2.1 dimanifestasikan dalam
bentuk verbal atau bentuk lain yang relevan dengan narasinya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Chatman 1980:22 berikut ini.
Narrative discourse, tha “how”, in turn divides into two subcomponents, the narrative form itself –the structure of narrative transmission- and its
manifestation- its appearance in a specific materializing medium, verbal, cinematic, balletic, musical, pantomimic, or whatever. Narrative transmission
concerns the relation of time of story to recounting of story, the source or authority for the story: narrative voice, “poin of voew,” and the like.
Naturally, the medium influences the transmission, but it is important for theory to distinguish the two.
Wacana narasi, “bagaimana” membaginya ke dalam dua subkomponen, bentuk narasi itu sendiri –struktur transmisi narasi- dan manifestasinya –
penampilannya dalam suatu medium materialisasi khusus, verbal, sinematis, balletis, musikal, pantomim, atau apa pun itu. Transmisi narasi
memperhatikan hubungan waktu cerita dengan waktu penceritaan, sumber atau otoritas dari cerita: suara narasi, “sudut pandang,” dan kemiripannya.
Pada hakikatnya, medium mempengaruhi transmisi, tetapi hal ini penting bagi teori untuk membedakan keduanya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjelasan di atas, struktur naratif novel yang akan dideskripsikan dan dianalisis dalam kajian poskolonial ini terdiri dari empat
komponen.
5
1 Struktur plot, yakni struktur narasi novel yang didasarkan pada tindakan dan
kejadian yang muncul dari orang, benda, dan berbagai substansi isi cerita. Struktur plot sebagai sebuah penceritaan pada hakikatnya terbagi atas tiga bagian,
yaitu bagian permulaan, pertengahan, dan bagian akhir suatu cerita. Struktur plot ini akan menentukan apakah cerita beralur maju atau beralur mundur. Oleh karena
itu, sinopsis yang menggambarkan pergerakan tokoh harus dideskripsikan dengan cermat, sehingga dapat diidentifikasi perubahan arah berkaitan dengan karakter
protagonis dalam menjalani kehidupannya. Menurut Chatman 1980:85, ”Aristotle distinguished between fortunate and fatal plots, according to whether
the protagonist’s situation improved or declined.” Aristoteles membedakan antara alur yang fatal dan keberuntungan menurut apakah situasi protagonis
meningkat atau menurun. Dengan demikian, pendeskripsian struktur plot tersebut dapat memperlihatkan protagonis yang sangat baik, tidak begitu jahat, atau luar
biasa baiknya. Keempat komponen tersebut adalah:
2 Struktur fisik, ras, dan relasi gender, yakni struktur narasi novel yang
mengungkapkan karakter pelaku cerita. Struktur relasi gender merupakan istilah
5
Komponen teori struktur naratif ini telah diaplikasikan pada Rosliani, “Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis,” Tesis pada Program Studi Linguistik Konsentrasi
Analisis Wacana Kesusastraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009, p. 21 dan pp. 37-100. Lihat juga, Faruk, Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra
Indonesia Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, pp. 222-249 dan 276-360.
Universitas Sumatera Utara
yang mengacu kepada analisis penokohan dan karakteristik. Analisis ini lebih menekankan kepada hubungan antartokoh laki-laki dengan perempuan. Hubungan
tersebut ditentukan oleh tindakan nyata tokoh cerita, baik dalam pemunculan maupun peniruannya. Menurut Chatman 1980:108, “In the Greek, the emphasis
is on action, not on the men performing the action […] Action comes first; it is the object of imitation.” Dalam bahasa Yunani, penekanan terdapat pada
tindakan […] Tindakan muncul dahulu; yang merupakan objek peniruan. Dengan demikian, relasi gender itu ditentukan oleh tindakan nyata tokoh cerita dalam
menghadapi persoalan kehidupan, baik bersifat individual maupun kolektif. 3
Struktur ruang dan waktu, yakni struktur narasi novel yang didasarkan pada latar tempat dan waktu tindakan serta kejadian berlangsung. Struktur ruang dan waktu
pada analisis setting ditempatkan pada latar tempat dan latar waktu. Chatman 1980:152 memberi perbedaan ruang dan waktu sebagai berikut, “As the
dimension of story-evens is time, that of story-existence is space.” Seperti dimensi kejadian-cerita adalah waktu, maka dimensi eksistensi-cerita adalah
ruang. Dengan kata lain, struktur ruang ditentukan oleh tempat berpijak cerita sedangkan struktur waktu ditentukan oleh pemunculan kejadian dalam cerita yang
bersangkutan. 4
Struktur transmisi narasi, yakni struktur pengiriman narasi yang akan mengungkapkan sudut pandang narator dalam menyampaikan isi cerita. Di dalam
struktur transmisi narasi, penanda atau yang ditandai terdiri dari tiga hal, pertama, kejadian, sifat, dan gambaran pelataran. Kedudukan penanda atau yang ditandai
Universitas Sumatera Utara
diungkapkan Chatman 1980:25 Penanda merupakan elemen-elemen dalam pernyataan narasi apa pun mediumnya yang dapat menjadi wakil salah satu dari
ketiganya, meskipun itu jenis tindakan fisik atau mental, orang atau, tentu saja, suatu entitas yang dapat dipersonalisasikan, yang kedua, dan setiap pembentukan
tempat untuk yang ketiga. Ketiga, penanda atau yang ditandai ini diungkapkan dalam bentuk sudut pandang orang pertama atau sudut pandang orang ketiga.
Struktur naratif ini menjadi medium pengarang untuk menampakkan kekuasaan diri atau menyamarkan kehadiran dirinya.
Keempat komponen bentuk struktur narasi di atas pada hakikatnya terdiri dari dua komponen utama, yaitu komponen cerita dan komponen wacana. Ratna
2004:257 menyimpulkan cara paling mudah mengenali dan membedakan cerita dengan wacana adalah dengan pertanyaan ‘apa’ untuk memahami cerita dan
‘bagaimana’ untuk memahami wacana. Komponen cerita tersebut terdiri dari struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, serta struktur ruang dan waktu digerakkan
oleh orang, benda, dan berbagai substansi isi cerita. Sebaliknya, komponen wacana terdiri dari struktur transmisi narasi dan manifestasinya, penampilannya dalam suatu
medium materialisasi khusus, verbal, sibematis, balletis, musikal, pantomim, atau apa pun itu yang mampu memanifestasikan sesuatu. Dengan demikian, struktur narasi
sebagai bagian integral teori postrukturalisme naratologi berfungsi menyediakan data cerita dan wacana bagi teori poskolonial.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Teori Poskolonialisme 2.3.2.1 Keberadaan Teori Poskolonialisme
Teori poskolonialisme merupakan kelompok teori postrukturalisme yang menolak oposisi biner. Menurut Ratna 2007:233, “Oposisi biner yang ditolak dalam
poskolonialisme adalah perbedaan secara diametral antara Barat dan Timur, penjajah dan terjajah, nonpribumi dan pribumi, kolonialis dan koloni.” Oleh karena itu,
poskolonialisme merupakan akibat, sebuah era sesudah kolonialisme sehingga berbagai bentuk kolonial dengan berbagai variannya, bahkan dengan berbagai akibat
yang ditinggalkan harus dihilangkan. Di sinilah teori poskolonial menempatkan diri sebagai teori kritis yang mencoba mengungkapkan akibat-akibat negatif yang
ditimbulkan oleh kolonialisme. Menurut Ratna 2007:235, “Akibat-akibat yang dimaksudkan lebih bersifat sebagai degradasi mentalitas dibandingkan dengan
kerusakan material.” Edward W. Said, Homi K. Babbha, dan Gayatri Spivak sebagai tokoh penting
dalam ranah kajian poskolonialisme bertitik tolak dari pemunculan buku Black Skin, White Masks karya Frantz Fanon edisi de Seuil, Perancis [1952] dan edisi Grove
Press Inc., Inggris [1967]. Menurut Ratna 2008:84, “Fanon menyimpulkan bahwa melalui dikotomi kolonial, yaitu kelompok penjajah dan terjajah, wacana orientalisme
telah melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat.” Ratna 2007:242 mendeskripsikan pendapat Frantz Fanon dengan cara berikut ini.
Fanon berangkat dari disiplin psikologi dengan cara menganalisis dampak sosiopsikologis masyarakat terjajah. Kesimpulannya, melalui dikotomi
wacana Barat dan Timur, orientalisme telah melahirkan alienasi dan
Universitas Sumatera Utara
marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat, Barat dan Timur tidak akan bersatu, sebaliknya di antara keduanya akan melahirkan jurang pemisah yang
semakin lebar. Secara poskolonial, Frantz Fanon sendiri melihat bangsa terjajah yang terkena
dampak sosiopsikologis ternyata menikmati status mereka sebagai bangsa terjajah. Hal ini memunculkan ambivalensi kepribadian bangsa terjajah, antara keinginan
untuk mempertahankan identitas kultural bangsa sendiri dengan mengadopsi identitas kultural bangsa penjajah. Kenyataan ini terungkap dalam pendapat Fanon 2008:2-3
berikut ini. All colonized people –in other words, people in whom an inferiority complex
has taken root, whose local cultural originality has been committed to the grave- position themselves in relation to the civilizing language: i.e., the
metropolitan culture. The more the colonized has assimilated the cultural value of the metropolis, the more he will have escaped the bush. The more he
rejects his blackness and the bush, the whiter he will become. Semua orang-orang terjajah –dengan kata lain, orang-orang yang berada pada
tarap rendah diri yang telah berakar, yang budaya setempatnya orisinil telah berkomitmen untuk menempatkan diri mereka dalam kaitannya dengan
bahasa peradaban, yaitu budaya metropolitan. Semakin yang terjajah telah berasimilasi dengan nilai budaya metropolis, semakin ia akan lolos dari
ketidakberaturan. Semakin ia menolak kegelapan dan ketidakberaturan, ia akan menjadi lebih Barat.
Sejalan dengan pendapat di atas, yang menjadi masalah, khususnya
sebagaimana ditunjukkan oleh teori poskolonialisme adalah implikasi yang ditimbulkan oleh narasi besar para penjajah. Menurut Ratna 2007:238 setidaknya
terdapat dua narasi besar poskolonialisme Indonesia. Kedua narasi besar tersebut berkaitan dengan karakter Barat dan Timur. Barat, misalnya, telah berhasil untuk
menanamkan pemahaman bahwa bangsa Timur, kita ‘memang’ lemah, inferior, lebih menaruh perhatian pada masalah-masalah spritual, percaya pada takhyul, lebih
Universitas Sumatera Utara
mengutamakan perasaan, dan sebagainya, dengan konsekuensi logis mengakui superioritas Barat. Sebaliknya, Timur dengan sifat malas dan berbagai implikasinya,
seperti: korup, kurang kreatif, tidak tanggap, apatis, lebih mementingkan diri sendiri dan golongan dibandingkan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas, dan
sebagainya, sebagian atau seluruhnya merupakan sifat-sifat yang diterima melalui sikap menyerah, pasrah.
Poskolonialisme mendapat perhatian lebih luas sejak Vintage Books New York menerbitkan buku Orientalism yang ditulis oleh Edward W. Said 1978. Said
menganalisis masalah pokok ketidakseimbangan Barat dalam melihat Timur, terutama dalam peradaban kolonial. Di dalam hal ini, Said memberi bukti bahwa
budaya Eropa menyandarkan dirinya kepada dunia Timur sehingga Timur tidak dapat dipandang “sebelah mata” oleh Barat sebagaimana dinyatakan oleh Said 1994:7
berikut ini. Ide-ide, budaya-budaya dan sejarah-sejarah tak dapat dipahami atau dipelajari
dengan serius tanpa mempelajari juga kekuatan, atau lebih tepatnya, konfigurasi-konfigurasi kekuatannya. Meyakini bahwa “Timur” adalah
dicitakan –atau istilah saya “ditimurkan”- dan meyakini bahwa hal-hal seperti itu terjadi semata-mata karena kebutuhan imajinasi, adalah sikap yang tidak
jujur. Hubungan antara Barat dan Timur adalah hubungan kekuatan, dominasi, hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks.
Pada dasarnya, orientalisme yang dikembangkan oleh Edward W. Said sejak
1978 menganalisis masalah pokok ketidakseimbangan Barat dalam melihat Timur. Orientalis yang semula mengenal Timur di mana Islam dianggap sebagai Timur yang
esensial yang kemudian dikenal sebagai Timur Dekat mengalami perubahan, terutama dalam pemahaman non-Eropa dan non-Kristen-Yahudi. Di dalam hal ini,
Universitas Sumatera Utara
Said 1994:154-157, setelah mengkaji novel Bouvard et Pecuchet karya Gustave Flaubert menyoroti pemunculan orientalis modern dengan mendasarkan diri pada
empat unsur yang menjadi tempat bergantungnya struktur-struktur kepranataan dan intelektual orientalis modern. Keempat unsur itu adalah i dunia Timur disibak
hingga jauh keluar dari batas-batas tanah Islam; ii suatu sikap yang lebih cerdas terhadap hal-hal yang asing dan eksotik telah ditunjang tidak hanya oleh para
pelancong dan penjelajah saja melainkan juga oleh para sejarawan bagi siapa saja pengalaman Eropa dapat dibandingkan secara bermanfaat dengan peradaban-
peradaban yang lebih tua; iii ada kecenderungan di kalangan sebagian pemikir untuk melampaui batas kajian perbandingan dan survai-survai bijaksananya terhadap
umat manusia dari “Cina hingga Peru” dengan identifikasi yang simpatik; dan, iv dorongan untuk menggolongkan alam dan manusia ke dalam jenis-jenis yang
berbeda. Perkembangan orientalis dari Timur Dekat ke Timur Jauh memberi
kebanggaan orientalis sebagai penyelamat Timur dari kesuraman, alineasi, dan keterasingan sebagai ciri khas Timur. Orientalis tetap menempatkan Barat sebagai
superioritas dan Timur sebagai inferioritas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Said 1994:161 berikut ini.
Tesis saya adalah bahwa aspek-aspek esensial dari teori dan praksis Orientalis modern dari mana Orientalis masa kini berasal dapat dipahami, bukan
sebagai suatu jangkauan yang tiba-tiba dari pengetahuan objektif mengenai Timur, melainkan sebagai seperangkat struktur yang diwarisi dari masa lalu,
yang disekulerisasikan, diatur kembali dan dibentuk kembali oleh disiplin- disiplin seperti filologi, yang pada gilirannya merupakan pengganti-pengganti
atau versi yang telah dinaturalisasikan, dimodernisasikan dan
Universitas Sumatera Utara
disederhanakan bagi supernaturalisme Kristen. Timur diakomodasikan ke dalam struktur ini dalam bentuk teks dan gagasan-gagasan baru.
Tesis Said tentang orientalis modern memperkuat pandangan bahwa Timur
diciptakan untuk Barat. Persepsi ini memiliki dasar sejarah peradaban Islam dan Kristen yang menguasai dunia, terutama Eropa. Oleh karena itu, Said 1994:266
mengingatkan Barat dan para orientalis bahwa, “Selama kejayaan politik dan militernya sejak abad kedelapan hingga abad keenam belas, Islam mendominasi baik
Timur maupun Barat. Kemudian proses kekuasaan bergeser ke Barat, dan kini di akhir abad kedua puluh ini tampaknya poros kekuasaan ini tengah mengarah kembali
ke Timur.” Peringatan Said terhadap pergeseran peradaban mendapat antisipasi dari Barat
melalui kekuatan militer dan politik Amerika Serikat dan Eropa Barat. Kekuatan publisitas negara adidaya ini telah menciptakan opini terorisme dengan semangat
perang melawan teroris dan negara yang diduga melindunginya. Opini terorisme ini merugikan Timur yang dalam doktrin orientalis mengenal bangsa Semit dan Islam
sebagai Timur yang pernah menguasai Barat karena terorisme mengarah pada kekuatan dan potensi kekuatan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Konflik
yang menimbulkan peperangan di Bosnia, Irak, Iran, Palestina, Afganistan, dan secara terbatas di Indonesia merupakan perwujudan perang melawan terorisme yang
menjadi komoditas Barat dalam menciptakan perdamaian dunia, khususnya perdamaian Timur. Fenemona ini sejalan dengan pandangan Said terhadap
orientalisme. Bagi Said 1994:332, “Orientalisme merupakan doktrin politis yang
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan terhadap Timur, karena Timur lebih lemah daripada Barat, yang menyatukan perbedaan Timur dengan kelemahannya.” Bahkan, Said 1994:265
membuat pernyataan kontroversial, “Orientalisme modern telah membawa kesan ketakutan besar Eropa terhadap Islam, dan hal ini lebih diperparah lagi oleh
tantangan-tantangan politis antara dua Perang Dunia.” Pandangan Said tentang orang bukan-Eropa terdapat dalam esai Freud,
Zionisme, dan Wina. Menurut Said 2005:8, karya besar Frued yang menakjubkan dengan teori psikoanalisa menyimpan dikotomi Barat dan Timur. Hal ini bermula dari
kesadaran akan apa yang ada di luar batas-batas nalar sebagai sang-Lain dalam karya klasik Yunani-Romawi dan Ibrani. Frued mengakui ada budaya-budaya lain selain
Eropa tetapi budaya-budaya itu –Pasifik, Australia, dan Afrika- dianggap begitu jauh tertinggal atau terlupa dalam arak-arakan peradaban. Budaya-budaya itu, kecuali
budaya Mesir, dalam kesadaran Frued, diubah dan dibentuk oleh pendidikan dalam tradisi Yudea-Kristen, terutama asumsi humanis dan saintifik yang memberinya
stempel khas “Barat”. Kesadaran superioritas Barat dengan tradisi Yudea-Kristen memberi Frued
pandangan bahwa Musa merupakan orang dalam sekaligus orang luar dalam konteks kebudayaan Eurosentris. Akibatnya, sesuatu yang dikatakan “bukan-Eropa” adalah
kebudayaan yang tumbuh secara historis pada periode pasca-Perang Dunia II. Artinya, sesudah runtuhnya imperium klasik dan bangkitnya banyak masyarakat serta
negara baru-merdeka di Afrika, Asia, dan Amerika. Bahkan, Said 2005:13 sependapat dengan Frantz Fanon yang menyatakan bahwa, “Bagi orang Eropa, jagat
Universitas Sumatera Utara
non-Eropa hanya berisi penduduk pribumi serta ‘wanita-wanita berkerudung, pohon- pohon palem, dan unta-unta yang mengisi lanskap, latar belakang alamiah bagi
kehadiran manusiawi orang Perancis.” Gugatan terhadap tradisi ilmiah Orientalis dan sikap politik Barat mengakar
kuat dalam diri Frantz Fanon. Frued dan pencapaian ilmiah sains Eropa berkaitan erat dengan praktik kolonialisme Barat terhadap Timur. Karena itu, Frantz Fanon
sebagaimana terungkap dalam pernyataan Said 2005:15 memproklamirkan: Tinggalkan Eropa ini yang tak pernah rampung membicarakan Manusia,
namun membunuhi manusia di mana pun mereka menemukannya, di pojok setiap jalannya sendiri, di seluruh pelosok muka bumi. [...] Eropa mengemban
kepemiminan dunia dengan penuh hasrat, sinisme, dan kekerasan. Lihatlah betapa bayang-bayang istananya membentang makin menjauh Setiap gerak-
geriknya mendobrak batas-batas ruang dan pemikiran. Eropa telah menampik segala kesahajaan dan kesederhanaan; namun ia juga telah memacak muka
menentang segala kecemasan dan kelembutan. [...] Ketika saya mencari Manusia dalam teknik dan gaya Eropa, saya cuma melihat negasi silih-
berganti atas manusia, serta bertubi-tubinya para pembunuh. Berdasarkan penjelasan di atas, Ratna 2004:206 menyatakan bahwa teori
postkolonialisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan sebagainya, yang terjadi di
negara-negara bekas koloni Eropa modern. Gejala kultural tersebut terkandung dalam berbagai teks tentang dunia Timur yang ditulis oleh para orientalis dan intelektual
pribumi yang terkonstruksi oleh pemikiran Barat. Teks dunia Timur dapat ditulis dan ditafsirkan oleh siapa saja. Bahkan, Said 1994:424 memberikan ilustrasi, “Secara
pasti, saya tidak mempercayai proposisi yang terbatas bahwa hanya orang kulit
Universitas Sumatera Utara
hitamlah yang dapat menulis tentang orang-orang hitam, hanya orang-orang Islamlah yang bisa menulis tentang kaum muslimin, dan seterusnya.”
Di dalam kaitannya dengan poskolonialisme, Said menolak sejarah yang linear, sebaliknya, intelektual Orien harus membangun kesadaran sejarah pinggiran,
model sejarah baru bagi kelompok tertindas. Di dalam hubungan ini, Said mendasarkan teorinya atas paradigma Gramscian dan Foucauldian mengenai strategi
kekuasaan. Di dalam hal strategi kekuasaan tersebut, menurut Ratna 2007:179 terdapat perbedaan antara Foucault dan Gramsci sebagaimana kutipan berikut ini.
Pusat perhatian Foucault adalah pemerintahan birokrasi, sedangkan pusat perhatian Gramsci adalah ideologi. Bagi Foucault kekuasaan tidak memiliki
asal-usul dan tidak bersifat tunggal, sedangkan bagi Gramsci kekuasaan hegemoni mengalir ke bawah mengarah pada perjuangan kaum tertindas
untuk menentang sumber kekuasaan tunggal. Berdasarkan pandangan Gramscian di atas, Said mengadopsi teori hegemoni
yang didominasi oleh praktik otoritatif. Keotoriteran ini menempatkan ideologi harus dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu.
Sebaliknya, dari Foulcauldian, Said mengadopsi pandangan bahwa pengetahuan ternyata difungsikan sebagai alat kolonialisme untuk mempertahankan kekuasaan
yang dipenuhi kepentingan politik ideologis serta prinsip pemahaman sejarah yang bergerak mundur untuk kembali ke masa kini dalam rangka mempertahankan
kontinuitas. Teori poskolonialisme yang dikembangkan oleh Edward W. Said memiliki
objek kajian yang relevan dengan karya sastra Hindia Belanda. Hal ini disebabkan sastra Hindia Belanda menyediakan peristiwa kehidupan yang membenturkan
Universitas Sumatera Utara
peradaban Barat dan Timur dalam wacana poskolonial: mimikri, ambivalensi, hibriditas, dan sinkresitas. Hal lain yang representatif adalah novel-novel tersebut
ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda sebagai perwujudan Barat di Nusantara yang pernah bertempat tinggal dan bekerja di Indonesia, serta sastrawan
berkebangsaan Indonesia yang berpendidikan Barat dan fasih berbahasa Belanda sebagai produk pendidikan kolonial Belanda. Mereka memiliki kesamaan dalam
mengungkapkan dampak sosiopsikologis bangsa Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Karya sastra Hindia Belanda yang menjadi bahan kajian poskolonial ini
ditulis oleh pengarangnya dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh penerjemah berkebangsaan Indonesia dalam bahasa Indonesia. Novel yang telah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia inilah yang menjadi fokus penelitian poskolonial ini.
2.3.2.2 Mimikri dan Hibriditas 2.3.2.2.1 Mimikri
Konsep mimikri pertama kali digagas oleh Frantz Fanon 1952 dengan pengertian bahwa orang-orang yang dijajah pada awalnya dipaksa untuk
meninggalkan anggapan tradisional jatidiri etnik dan identitas nasionalnya. Mereka kemudian mulai belajar mengadaptasi identitas mereka dengan identitas bangsa asing
yang berposisi sebagai tuan mereka kaum penjajah. Pandangan ini mendapat orientasi kritis dari Homi K. Bhabha yang menyatakan bahwa peniruan dapat
memunculkan ambivalensi dan ironi identitas kebangsaan.
Universitas Sumatera Utara
Mimikri merupakan istilah poskolonial untuk mendekonstruksi peniruan etika dan kategori ideal di mana si terjajah menulis kembali wacana kolonial pada saat si
terjajah mengubah wacana tersebut sehingga dapat memunculkan suatu ejekan, ironi. Hal ini diingatkan oleh Bhabha dalam Huddart, 2006:39 berikut ini.
Importantly, this mimicry is not slavish imitation, and the colonized is not being assimilated into the supposedly dominant or even superior culture. In
fact, mimicry as Bhabha understands it is an exaggerated copying of language, culture, manners, and ideas. This exaggeration means that mimicry
is repetition with difference, and so it is not evidence of the colonized’s servitude. In fact, this mimicry is also a form of mockery [...] because it
mocks and undermines the on going pretensions of colonialism and empire. Yang penting, mimikri bukan budak imitasi, dan yang dijajah tidak sedang
berasimilasi, sehingga seharusnya mendominasi atau bahkan lebih unggul budayanya. Mimikri dalam pemahaman Bhabha adalah peniruan bahasa,
budaya, perilaku, dan ide yang berlebihan. Ini berarti, mimikri adalah pengulangan dengan perbedaan, sehingga tidak terdapat penghambaan bagi
bangsa terjajah. Bahkan, mimikri juga merupakan bentuk ejekan [...] karena mengolok-olok dan melemahkan pretensi kolonialisme dan kerajaan yang
sedang berlangsung.
Mimikri tidak hanya memunculkan kesan ejekan dalam peniruannya. Bahkan,
mimikri dapat memunculkan sikap ambivalensi dalam kepribadian suatu bangsa. Hal ini disebabkan oleh pemunculan keinginan yang tidak terbendung untuk bersikap
sebanyak sikap yang berterima pada semua orang. Robert C. Young sebagaimana dikutip oleh Ashcroft, dkk. 2007:10 mengatakan bahwa, “A term first developed in
psychoanalysis to describe a continual fluctuation between wanting one thing and wanting its opposite. It also refers to a simultaneous attraction toward and repulsion
from an object, person or action” Sebuah istilah yang pertama kali dikembangkan dalam psikoanalisis untuk menggambarkan fluktuasi yang terus-menerus antara ingin
Universitas Sumatera Utara
satu hal dan ingin kebalikannya. Hal itu mengacu pada daya tarik simultan menuju dan menolak dari benda, orang atau tindakan.
Gejala psikoanalisis mimikri diadopsi Homi K. Bhabha dalam teori poskolonial sebagaimana diungkapkan oleh Ashcroft, dkk. 2007:10, “Adapted into
colonial discourse theory by Homi Bhabha, it describes the complex mix of attraction and repulsion that characterizes the relationship between colonizer and colonized.”
Diadaptasi ke teori wacana kolonial oleh Homi K. Bhabha, teori itu menggambarkan campuran kompleksitas dari tarikan dan tolakan yang mencirikan hubungan antara
penjajah dan terjajah. Tarikan dan tolakan dalam teori Bhabha melahirkan aplikasi teoretik mimikri yang mengarah pada dua masalah, yaitu masalah mimikri dan
masalah ambivalensi. Baik mimikri yang hadir sebagai mimikri maupun mimikri yang
memunculkan ambivalensi menjadi bagian penting dalam sistem kolonial Barat di Timur. Bhabha 1984:126 memberi penjelasan keterkaitan mimikri dan ambivalensi
di mana ambivalensi akan muncul apabila proses mimikri dilanda oleh ketidakpastian pilihan identitas. Oleh karena itu, di dalam proses penyesuai etika dan kategori ideal
bangsa-bangsa di Timur, Quaritch Wales sebagaimana diungkapkan Poespowardojo 1986:31 melihat adanya kekuatan local genius untuk mengantisipasi extreme
acculturation, yakni proses akulturasi yang semata-mata memperlihatkan bentuk- bentuk tiruan tanpa adanya evolusi budaya dan akhirnya memusnahkan bentuk-
bentuk budaya tradisional. Padahal, proses mimikri tersebut pada hakikatnya menjadi praproses pemunculan hibriditas sebagaimana dikatakan Bhabha 1984 berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Which is to say, that the discourse of mimicry is constructed around an ambivalence; in order to be effective, mimicry must continually produce its
slippage, its excess, its difference. The authority of that mode of colonial discourse that I have called mimicry is therefore stricken by an
indeterminacy: mimicry emerges as the representation of a difference that is itself a process of disavowal. Mimicry is, thus, the sign of a double
articulation; a complex strategy of reform, regulation, and discipline, which appropriates the Other as it visualizes power.
Yang mengatakan, bahwa wacana mimikri dibangun di sekitar sebuah ambivalensi, agar efektif, mimikri harus terus memproduksi kemungkinan
peniruannya, kelebihannya, dan perbedaannya. Kewenangan dalam modus wacana kolonial ini saya sebut mimikri. Oleh karena itu, apabila dilanda
ketidakpastian suatu mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan itu sendiri merupakan proses pengingkaran. Dengan demikian, mimikri adalah
tanda dari artikulasi ganda, strategi yang kompleks dalam reformasi, peraturan disiplin, dan, yang merampas sesuatu yang lain, seperti visualisasi
kekuasaan.
Berdasarkan konsep teori poskolonial yang dikemukakan oleh Bhabha maka masalah ambivalensi menjadi persoalan tersendiri dalam kajian poskolonial. Posisi
ambivalensi dalam relasi terjajah dan menjajah dikemukakan oleh Ashcroft, dkk. 2007:10 sebagai, “The relationship is ambivalent because the colonized subject is
never simply and completely opposed to the colonizer Hubungan itu ambivalen karena subjek tidak pernah dijajah secara sederhana dan benar-benar bertentangan
dengan penjajah. Oleh karena itu, hubungan bangsa terjajah dan bangsa menjajah bersifat ambivalen dan berfluktuasi terus-menerus karena bangsa terjajah memiliki
local genius dalam pelibatan dan perlawanannya. Berdasarkan penjelasan di atas, persoalan mimikri berkaitan erat dengan
ambivalensi yang menemukan status quonya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, kajian poskolonial novel Hindia Belanda ini menempatkan mimikri dan ambivalensi dalam
satu terma yang terpisah satu sama lain. Misalnya, elite birokrasi perkebunan secara
Universitas Sumatera Utara
sporadis mengucapkan “besok” dan “syukurlah” sebagai cara ungkap pribumi dalam proses mimikri bangsa penjajah terhadap bangsa terjajah. Gaya hidup seperti ini
menjadi bagian kajian mimikri. Sebaliknya, pandangan elite birokrasi perkebunan terhadap ‘koeli kontrak’ sebagai orang yang malas, lamban, bahkan menjadikan sifat
tersebut sebagai ciri Timur. Akan tetapi, pada saat yang sama, ‘koeli kontrak’ menampilkan sikap yang cekatan, cermat, bahkan berlomba mengikuti kecepatan dan
ketepatan tuan-tuan kebun yang memberi kepercayaan bekerja pada mereka. Gaya hidup seperti ini menjadi bagian kajian ambivalensi.
2.3.2.2.2 Hibriditas
Istilah hibriditas dipopulerkan Homi K. Bhabha dalam kajian poskolonial. Menurut Bhabha sebagaimana diungkapkan oleh Sutrisno dan Hendar Putranto
2004, hibriditas merupakan produk konstruksi kultural kolonial yang mau tetap membagi identitas murni asli penjajah kepada bangsa terjajah dengan ketinggian
kulturnya sebagai identitas budaya yang baru. Dengan demikian, pertemuan peradaban Barat dan Timur menghasilkan superioritas dan imperioritas di mana
peradaban yang mendapat dukungan politik dan kultural menjadi peradaban yang mampu bertahan dalam arus globalisasi.
Sejalan dengan pendapat di atas, Homi K. Bhabha pun menjelaskan bahwa hibriditas bukan hanya masalah identitas budaya saja melainkan masalah representasi
kolonial dan individu yang kompleks. Hal ini diungkapkan oleh Huddart 2006:84 dalam kutipan berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Kolonial hybridity is not a problem of genealogy or identity between two different cultures which can then be resolved as an issue of cultural
relativism. Hybridity is a problematic of colonial representation and individuation that reverses the effects of the colonialist disavowal, so that
other ‘denied’ knowledges enter upon the dominant discourse and estrange the basis of its authority—its rules of recognition.
Hibriditas kolonial bukan masalah silsilah atau identitas antara dua budaya yang berbeda yang kemudian dapat diselesaikan sebagai masalah relativitas
budaya. Hibriditas adalah masalah representasi kolonial dan individuasi yang membalikkan efek dari penyangkalan kolonial, sehingga pengetahuan yang
lain ditolak masuk pada wacana dominan dan menjauhkan aturan pengakuan basis otoritasnya.
Secara ideal, hibriditas memunculkan budaya baru yang berterima sehingga memberi kenyamanan bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Menurut Sardar dan
Borin Van Loon 2001:120, “Proses hibtiditas budaya memunculkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dan tak dapat dikenali, suatu wilayah baru negosiasi
makna dan representasi.” Di dalam relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah, hibriditas merupakan suatu situs perlawanan atau pembalikan strategi dari proses
dominasi yang mengembalikan yang terdiskriminasi –terjajah- menjadi mata kekuasaan yang selama ini didominasi oleh bangsa penjajah.
Sejalan dengan pemikiran di atas, hibriditas dapat terjadi melalui pendirian berbagai organisasi dan pertemuan antarperadaban. Menurut Pieterse dalam Barker,
2011:212, hibriditas dapat dibedakan atas dua tipe hibridisasi, yaitu hibridisasi struktural dan kultural. Hibridisasi struktural mengacu kepada berbagai arena sosial
dan institusional hibriditas. Hibridisasi ini memperluas cakupan pilihan organisasional bagi masyarakat. Sebaliknya, hibridisasi kultural membedakan
Universitas Sumatera Utara
berbagai respon kultural, yang merentang mulai dari asimilasi sampai dengan hibrida yang mendestabilkan dan mengaburkan sekat-sekat kultural.
Hibridisasi kultural meliputi pembukaan ‘komunitas terbayang’ sebagai tanda- tanda semakin meningkatnya persilangan sekat tetapi tidak menunjukkan terhapusnya
sekat, sehingga memerlukan kepekaan terhadap perbedaan kultural. Menurut Anderson dalam Barker, 2011:208-209, bangsa adalah suatu komunitas terbayang
dengan dasar, “Ia terbayang karena bahkan anggota dari suatu bangsa terkecil sekalipun tidak akan pernah mengenal sebagian besar anggota yang lain, bertemu
dengan mereka, atau bahkan mendengar kabar mereka, sehingga pikiran masing- masing menghidupkan berbagai citra tentang komuni mereka.”
Persoalan hibriditas tidak hanya melihat keunggulan persilangan budaya melainkan juga kehadiran sinkretisme. Oleh karena itu, kajian poskolonial ini
memisahkan hibriditas dengan sinkretisme. Hibriditas berurusan dengan pembentukan organisasi atau lembaga sehingga memunculkan identitas kultur dan
kebangsaan, sedangkan sinkretisme berurusan dengan penggabungan beberapa paham dalam usaha menciptakan keseimbangan hidup. Pemisahan ini sesuai dengan apa
diungkapkan oleh Aschroft, dkk. 2007:109 berikut ini, “The idea of hybridity also underlies other attempts to stress the mutuality of cultures in the colonial and post-
colonial process in expressions of syncreticity, cultural synergy and transculturation.” Ide hibriditas juga mendasari upaya lain untuk menekankan
mutualitas budaya dalam proses kolonial dan poskolonial dalam ekspresi dari sinkretisitas, sinergi budaya dan transkulturasi.
Universitas Sumatera Utara
Penekanan proses hibridisasi pada mutualitas budaya telah menempatkan local genius sebagai kekuatan identitas kultur dalam relasi bangsa penjajah dan
bangsa terjajah. Local genius merupakan istilah yang berasal dari H.G. Quaritch Wales 1951 sebagaimana diungkapkan oleh Atmodjo 1986:46, “the sum of the
cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experience in early life.” keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang
dimiliki bersama oleh suatu masyarakatbangsa sebagai hasil pengalaman di masa lampau. Istilah ini dikembangkan dari konsep basic personality yang dikemukakan
oleh antropolog Ralph Linton dan psikolog Abraham Kardiner pada 1930-an. Berdasarkan gagasan mereka, menurut Friedl sebagaimana diungkapkan oleh
Haryono 1986:208, yang dimaksud dengan basic personality dalam model cultural studies seperti ini adalah: “konfigurasi kepribadian yang secara bersama-sama
dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat sebagai hasil pengalamannya sejak kecil.” Berdasarkan pendapat di atas, Quaritch Wales menempatkan local genius
sebagai a less extreme acculturation. Menurut Poespowardojo 1986:31, “A less extreme acculturation merupakan proses akulturasi yang masih memperlihatkan local
genius, yakni adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar
serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli.” Oleh karena itu, local genius memiliki posisi strategis membertahankan identitas kultural suatu bangsa. Sejalan
dengan hal itu, Poespowardojo 1986:33 mengatakan sebagai-berikut:
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan local genius ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula
berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilang atau musnahnya local genius berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan
kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian nasyarakat itu.
Berdasarkan penjelasan di atas, hibriditas dalam kajian poskolonial ini tidak hanya mendeskripsikan dan menganalisis keunggulan persilangan budaya, melainkan
juga peranan sinkretisme dalam keunggulan persilangan budaya. Misalnya, elite birokrasi pendidikan dalam novel MB karya Suwarsih Djojopuspito memperjuangkan
identitas kultural dengan prinsip-prinsip modernisme yang tidak menempatkan tradisi sinkretisme masyarakat Hindia Belanda. Di sini terjadi pertarungan terus-menerus
untuk mengadopsi atau menolak tradisi sinkretisme budaya Jawa dengan budaya Barat. Penolakan tradisi sinkretisme terbukti tidak menjadikan perjuangan Sulastri
dan Sudarmo berterima dalam elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda dan masyarakatnya sendiri. Sebaliknya, pengadopsian tradisi sinkretisme yang dilakukan
oleh keluarga mereka terbukti menjadikan hidup sederhana tetapi menemukan kedamaian dalam hidupnya. Tegangan Timur dan Barat dalam menciptakan hibriditas
dengan mempertimbangkan sinkretisme inilah yang muncul dalam novel Hindia Belanda.
2.3.2.3 Model Kajian Poskolonialisme
Penelitian ini akan menggunakan model keempat penelitian poskolonial yang dikemukakan oleh Bill Aschroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin dalam The
Universitas Sumatera Utara
Empire Writes Back: Theory and Practical in Post-Colonial Literature 1989. Aschroff, dkk. 2003:1 merumuskan empat model kajian untuk menjelaskan karya-
karya poskolonial berikut ini. Pertama, model ‘nasional’ atau regional yang menekankan pada pelbagai gambaran yang berbeda tentang kebudayaan nasional atau
regional. Kedua, model berbasis ras yang mengidentifikasi karakteristik tertentu yang secara bersama-sama terdapat pada pelbagai kesusastraan nasional. Ketiga, model
perbandingan yang berusaha menjelaskan karakteristik linguistik, historis, dan kebudayaan tertentu yang melintasi dua atau lebih kesusastraan poskolonial dengan
cara membandingkan beragam kompleksitas yang ada. Keempat, model perbandingan yang lebih luas yang menonjolkan hal-hal semacam hibriditas dan sinkresitas sebagai
elemen pembentuk utama kesusastraan poskolonial. Model keempat yang menjadi dasar penelitian ini adalah model perbandingan
yang lebih luas, dengan menonjolkan hibriditas dan sinkresitas. Menurut Ratna 2008:118, “Model keempat berkaitan dengan hibriditas dan sinkresitas, yaitu
persenyawaan kategori linguistik dan kebudayaan yang berbeda untuk menciptakan identitas dan makna baru.” Hal itu didasarkan oleh pengalaman bersama bangsa
terjajah dalam menyerap sikap hidup bangsa terjajah. Penyerapan sikap hidup ini memunculkan potensi local genius dalam membentuk hibriditas dan sinkretisme.
Oleh karena itu, Sikana 2009:466 berpendapat, ”Model ini berpegang pada pandangan bahawa negara-negara yang pernah dijajah tidak terlepas dari dipengaruhi
oleh unsur-unsur yang hadir sama dengan penjajahan itu. Pengalaman dijajah dibawa bersama di dalam proses melakukan dekolonisasi.” Bahkan, pengalaman bersama
Universitas Sumatera Utara
tersebut memunculkan sikap patriotik untuk memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing.
Model perbandingan yang diperkenalkan oleh Ashcroft, dkk. 2003:14-32 terdapat lima unsur yang memerlukan kajian perbandingan. Kelima unsur berikut ini
akan menjadi model identifikasi dan kajian terhadap novel bahan penelitian ini. 1
Pencarian nama. Model pencarian nama yang tepat secara geografis dan politis merupakan masalah dalam kajian poskolonialisme. Keterbatasan geografi dan
politik telah mengakibatkan penolakan terhadap istilah “Kesusastraan Persemakmuran”, “Kesusastraan Inggris Baru”, “Kesusastraan Kolonial”, dan
bahkan “Kesusastraan Dunia Ketiga”. Kontroversi batasan nama kesastraan novel-novel yang terbit masa penjajahan Belanda di Indonesia menjadi inti kajian
model pencarian nama. 2
Bahasa dan ruang. Model yang dikembangkan oleh D.E.S. Maxwell 1965 ini memusatkan perhatian pada disfungsi tempat dan bahasa. Dengan kata lain,
mempertanyakan ‘ketepatan’ bahasa impor dalam melukiskan pengalaman tempat pada masyarakat poskolonial karena adanya kesamaan tertentu dalam
penggunaan bahasa non-pribumi pada masyarakat tersebut. Di dalam konteks ini, masyarakat dibagi dua kelompok, yaitu koloni-koloni hunian dan koloni-koloni
taklukan. Menurut Ashcroft, dkk. 2003:17-18, dalam kasus koloni-koloni hunian, tanah yang dikuasai oleh penjajah dari Eropa yang datang merampas hak
milik penduduk pribumi sekaligus membanjiri populasi mereka. Di tanah tersebut mereka membangun peradaban cangkokan yang akhirnya mendapat kemerdekaan
Universitas Sumatera Utara
politiknya dengan tetap menguasai bahasa non-pribumi. Konflik bahasa dan ruang dalam novel bahan penelitian ini akan diidentifikasi dan dikaji dalam
struktur naratif pada konteks poskolonialisme di Indonesia. 3
Kesejajaran tema. Tema dalam kajian poskolonialisme merupakan manifestasi dari kesamaan kondisi psikis dan historis yang mengatasi perbedaan-perbedaan
antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Kesejajaran tema novel bahan penelitian ini akan diidentifikasi dan dikaji dalam struktur naratif
pada konteks poskolonialisme di Indonesia. 4
Penjajah dan yang dijajah. Model ini didasarkan pada teks-teks ataupun dalam daerah-daerah poskolonial selalu mempersoalkan kontrol politik, imajinatif, dan
sosial yang ada dalam hubungan antara pihak penjajah dan yang dijajah. Di dalam konteks penjajah dan yang dijajah muncul dekolonisasi kebudayaan,
dampak psikososio kolonisasi, dan strategi feminis dalam masyarakat kolonial. Kondisi penjajah dan yang dijajah ini merupakan aspek kajian yang dapat
memunculkan ambivalensi, mimikri, hibriditas, dan sinkresitas dalam realitas fiksi novel yang menjadi bahan penelitian postkolonial ini.
5 Yang didominasi dan yang mendominasi. Model ini mengedepankan hegemoni
kecenderungan ke arah subversi. Akibatnya, muncul polarisasi antara pusat dan pinggiran, dan bahkan penegasan nasionalis yang memproklamirkan dirinya
sebagai pusat dan berhak menentukan nasib sendiri. Realitas fiksi hegemoni ini menjadi kajian strktur naratif terhadap novel bahan penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
Model perbandingan yang lebih luas dalam penjelasan Ashcroft, dkk. 2003:32-38 dinamakan model-model hibriditas dan sinkretisitas. Model ini
menitikberatkan pada relasi penjajah dan terjajah dalam realitas fiksi dan realitas historis. Realitas fiksi mengacu kehidupan yang terjadi dalam novel sedangkan
realitas historis mengacu pada kehidupan sehari-hari masyarakat yang terjadi dalam sejarah peradaban manusia. Oleh karena itu, kajian poskolonial ini akan
menggunakan metode hermeneutik dengan teknik analisis dokumen untuk menguji kesejajaran realitas fiksi dengan realitas historis.
Di dalam konteks kajian ini, model perbandingan yang lebih luas akan mengidentifikasi dan menganalisis persoalan mimikri dan hibriditas secara konstrual.
Artinya, mimikri dan hibriditas tidak dapat berdiri sendiri sehingga antara satu dengan yang lain memiliki keterkaitan, baik secara politik, kultural, maupun agama.
Oleh karena itu, kajian ini akan mengklasifikasi aspek yang membedakan kedua unsur dalam perbandingan yang lebih luas ini dengan mengidentifikasi persoalan
ambivalensi dalam pola mimikri dan persoalan sinkretisme dalam pola hibriditas bangsa penjajah dan bangsa terjajah.
2.4 Penelitian Terdahulu
Teori poskolonialisme pada hakikatnya dapat diterapkan pada berbagai bidang keilmuan. Meskipun teori poskolonialisme digunakan oleh Edward W. Said dalam
bidang kesusastraan tetapi tetap relevan untuk diterapkan pada bidang lain. Penelitian poskolonial yang dilakukan oleh para ahli sastra pada umumnya mempertentangkan
Universitas Sumatera Utara
bangsa penjajah dan bangsa terjajah, baik secara tekstual maupun kontekstual. Di dalam hal ini, hasil penelitian karya Rob Nieuwenhuys berjudul Oost-Indische
spiegel. Wat Nederlandse schrijvers en dichters over Indonesië hebben geschreven vanaf de eerste jaren der Compagnie tot op heden 1978 memaparkan relasi bangsa
penjajah dan bangsa terjajah dalam karya sastra yang terbit pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Penelitian poskolonial terhadap novel Hindia Belanda tidak berhenti hanya karena telah muncul penelitian yang sama pada masa lalu. Penelitian tersebut tetap
dilakukan dari berbagai sudut pandang teori. Penelitian yang didasarkan pada teori poskolonial dan teori struktur naratif telah dilakukan oleh Faruk 2003, Murwani
2007, Sudibyo 2008, Watson 2009, dan Helsloot 2007. Penelitian tersebut difokuskan pada relevansi novel Hindia Belanda –seperti novel MH karya Multatuli,
BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs, MB karya Suwarsih Djojopuspito, dan Oe karya Hella S. Haasse.
Pertama, Faruk yang memperoleh sumber finansial dari The Toyota Foundation 2003 melakukan penelitian terhadap bahasa dan struktur naratif novel
yang terbit pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Faruk yang semula menggagas model nasional atau regional dengan peneliti Filipina mengalami
kegagalan akibat penyakit yang tiba-tiba menyerang peneliti Filipina. Faruk meneliti novel terjemahan Pangeran Monte Cristo karya Alexander Dumas, Gembala Domba
karya J.F. Oltmans, Robinson Crusoe karya Daniel Defoe, dan MH karya Multatuli
Universitas Sumatera Utara
serta novel asli Indonesia Melawat ke Barat karya Adinegoro, Hikayat Kadiron karya Semaoen, dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli.
Hasil kajian poskolonial yang dilakukan oleh Faruk terhadap tujuh novel Hindia Belanda tersebut memperlihatkan kekuatan pengaruh yang sama antara
penjajahan Belanda di Indonesia dengan penjajahan bangsa-bangsa Eropa lainnya di seluruh dunia. Penjajahan tidak hanya didominasi oleh politik melainkan juga suatu
hegemoni yang bersifat kultural. Karya-karya sastra Hindia Belanda tersebut, meskipun dalam batas-batas tertentu mengalami perubahan sesuai konstelasi
kekuatan diskursif, ekonomi, dan militer yang ada, sastra tersebut terus-menerus memproduksi dan mereproduksi citra mengenai superioritas orang-orang Belanda
sebagai perwujudan Barat yang dihadapkan dengan citra imperioritas masyarakat setempat yang kemudian digeneralisasikan menjadi Timur.
Novel MH sebagai novel Hindia Belanda yang ditulis oleh Multatuli, nama samaran EDD, telah diteliti oleh berbagai ahli sastra, di antaranya Charistina Dewi
Tri Murwani dengan judul, “Max Havelaar dan Citra Antikolonial: Sebuah Tinjauan Poskolonial.” Menurut Murwani 2007, novel yang menggunakan tiga pencerita ini
disebut-sebut sebagai novel dengan citra antikolonial. Pada sisi lain novel ini tidak pernah menyarankan penghentian kolonialisme Belanda di Hindia Belanda. Penelitian
bertujuan mengungkapkan hubungan antara pandangan-pandangan MH tentang kolonialisme dengan inovasinya di dalam teknik naratif.
Penelitian Murwani 2007 menerapkan analisis fokalisasi dari novel MH dengan teori struktur naratif . Cara ini dipilih karena MH menampilkan debat tentang
Universitas Sumatera Utara
kolonialisme di Hindia Belanda melalui opini dan pandangan fokalisatornya. MH menggunakan tiga fokalisator secara unik. Keunikan novel ini diperlihatkan oleh
munculnya tokoh cerita Stern yang menduduki peran narrator-fokalizer dalam episode peristiwa Lebak meski ia adalah tokoh cerita. Cara ini seolah-olah
menempatkan Stern dalam posisi netral, posisi di tengah antara character-fokalizer yang satu dengan character-fokalizer yang lain, antara kepentingan Droogstoppel dan
Multatuli. Namun karena Stern adalah juga tokoh cerita dalam novel ini, fokalisasi Stern menjadi tidak netral. Dengan kondisi ini efek berat sebelah yang muncul
mendorong pembaca untuk mengikuti narasi Stern yang condong ke arah sikap tokoh Multatuli. Pembaca akhirnya dihadapkan pada perang kepentingan: kolonial dan
antikolonial, bahkan secara pribadi, mendukung Droogstoppel atau Multatuli. Novel MH menggunakan tokoh Multatuli dan Stern sebagai pihak yang
menentang tanam paksa dan kerja rodi serta tokoh Droogstoppel yang mendukung tanam paksa dan dagang kopi. Sifat antikolonial MH ditunjukkan dengan menolak
penindasan, perampasan, penganiayaan, antidiskriminasi meskipun berimbas pada kerugian dagang kopi. Meskipun demikian, MH juga tergolong novel prokolonial
karena juga ikut mendukung kekuasaan pemerintah Belanda atas wilayah Indonesia. Novel ini terpengaruh oleh hegemoni kolonial atas kompetisi produk-produk industri
dari negara jajahan Eropa pada abad ke -19. Karenanya, pembebasaan dalam novel ini terbatas pada pembebasan kelas pekerja buruh tanam paksa dan kelas bawah
rakyat atas pengusaha dan penguasa. Novel ini belum berbicara pada pembebasan secara politis. Terlepas dari sifat mendua tersebut, MH adalah novel yang
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa karya sastra dapat menyatakan pandangan ideologi dengan cara khas, implisit dan imajinatif. Menurut Helsloot 2007:69, novel ini mendapat suara
bulat sebagai novel Belanda nomor satu paling berpengaruh pilihan sarjana sastra Belanda hasil survei Digitale Bibliotheek der Nederlandse Letteren 2002.
Kedua, novel BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs diteliti oleh Sudibyo sebagaimana dipublikasikannya dalam artikel, “Mereka yang Dilumpuhkan: Citra
Kuli di Deli dalam Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet, Kuli, dan Doekoen Karya Madelon Székely-Lulofs.” Sudibyo 2008 menyoroti gaya hidup asisten perkebunan
di Sumatera Timur. Gaya hidup itu berkaitan dengan motif penguasaan dan eksploitasi yang menjadikan para tuan kebun dan asisten-asisten mereka
mengabaikan ikatan emosional yang mungkin ada antara mereka dengan negeri baru tempat perusahaan perkebunan mereka berada. Akibatnya, mereka hanya
mengeluhkan ketidakbahagiaan mereka karena negeri ini berbeda dengan apa yang menjadi obsesinya.
Berbagai keluhan, seperti sress karena ketiadaan aktivitas, emosi yang mudah dipicu oleh iklim tropis, cuaca panas yang mematikan saraf, kesunyian yang
menjenuhkan, kuman yang mematikan, dan kemurungan tropis yang menyesakkan merupakan keluhan yang sering terlontar dari perbicaran elite birokrasi perkebunan
tersebut. Akan tetapi, keluhan tentang negeri tropis yang tidak bersahabat bagi bangsa kulit putih di Deli dinafikan dengan segala kemewahan yang direguknya: mobil
mewah termahal, makanan lezat termahal, busana mutakhir termahal, berbagai pesta mewah, kenyamanan hidup ditopang beberapa orang pembantu, dan tantieme yang
Universitas Sumatera Utara
terus menumpuk. Hal itu sebagai berkah negeri tropis yang mereka nikmati melalui kucuran keringat dan penderitaan para kuli kontrak.
Berdasarkan uraian-uraian di atas tampak bahwa novel karya Székely-Lulofs merepresentasikan kecenderungan praktik eksploitasi Kerajaan Belanda pada awal
abad ke-20 di perkebunan-perkebunan karet di Deli. Melalui analisis fokalisasi, fokalisator narator dapat dianggap memiliki kecenderungan terhadap apa yang
disampaikan melalui narasinya. Narator pengarang dapat dianggap tidak keberatan terhadap praktik-praktik pemarjinalan, pembinatangan, dan rasialisme yang menjadi
dasar dari ideologi penguasaan dan eksploitasi. Ketiga, novel MB karya Suwarsih Djojopuspito mendapat perhatian dari C.W.
Watson. Watson 2009 menulis hasil penelitiannya, “Feminism and the Indonesian Nationalist Movement: A Reading of Soewarsih Djojopoespito’s Novel Buiten het
Gareel.” Hasil penelitian ini menyatakan bahwa novel MB yang bersifat autobiografi dalam bahasa Belanda ini mendeskripsikan kesukaran yang dihadapi orang Indonesia
yang terdidik dalam bahasa Belanda dan yang terlibat dalam gerakan nasionalis menentang Belanda pada akhir tahun 1930-an. Ia menceritakan peranan yang
dimainkan wanita dalam gerakan itu dan bagaimana teman lelaki mereka mengambil sikap ambivalen terhadap mereka.
Dari segi isi, novel MB mencerminkan perasaan krisis generasi pertama bangsa Indonesia yang termimikri budaya BelandaEropah yang mereka kenali tetapi
mereka tolak pada waktu yang sama. Peristiwa kehidupan dalam novel ini menunjukkan bagaimana Soewarsih dengan sengaja menggunakan novel untuk
Universitas Sumatera Utara
menyuarakan rasa kecewa dirinya sebagai wanita dan juga mempersembahkan testimoni dirinya tentang suasana dan peristiwa pada masa itu. Ia juga mengingatkan
bahwa dalam semua pembacaan poskolonial kita mesti berhati-hati ketika menggunakan sumber yang bersifat autobiografi dan juga novel semasa untuk
membina semula persepsi kita tentang masa lampau. Bahkan, perlu memastikan bahwa, bila membaca teks seumpama itu, digunakan kebolehan penguasaan
antardisiplin ilmu seperti kritik sastra, antropologi, dan sejarah. Keempat, novel Oe karya Hella S. Haasse diteliti oleh Alina Helsloot.
Helsloot 2007 menulis tesis berjudul “Reflection in a Postcolonial Mirror: A Comparative Analysis of Hella Haasse’s Oeroeg 1948 and Sleuteloog 2002.”
Kedua novel ini menginformasikan memori kolektif Belanda terhadap “sejarah yang dilupakan” dalam kehidupan masa lalu kolonial di Hindia Belanda. Dua karya Haasse
yang dianalisis dalam tesis ini adalah produk dari fase yang berbeda dalam sejarah Belanda: satu diterbitkan pada 1948, ketika perjuangan untuk Bahasa Indonesia
kemerdekaan mencapai puncaknya, yang lain diterbitkan setengah dekade kemudian pada 2002. Akan tetapi, novel-novel tersebut menempatkan diri dari lebih sekadar
potret sebuah era. Mereka adalah kesaksian fiksi, pengalaman traumatis dari seorang penulis yang sebagian besar hidupnya tinggal dalam di antara ruang antara dua
budaya: Barat dan Timur dalam posisi bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Novel ini hanya mewakili suara narator: satu suara yang terus-menerus
berbicara tentang Oeroeg. Sudut pandang tidak pernah bergeser ke salah satu karakter yang lain. Oe hanya menggambarkan satu suara tunggal yang menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
banyak kesamaan dengan pandangan kolonial sebagai salah satu fitur sastra kolonial. Meskipun demikian, gagasan tentang hibriditas sebagai wacana poskolonial
hadir dalam Oe sebagai sesuatu yang sangat terbelakang. Hibriditas dalam Oe tetap terbatas pada pengalaman narator. Hal ini tidak diperpanjang oleh salah satu karakter
lain, termasuk Oeroeg. Dengan demikian, pandangan poskolonial Oe hanya bertumpu pada perspektif tokoh “aku” sebagai representasi pengarang yang berkebangsaan
Belanda.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma dan Metode Penelitian
Penelitian terhadap novel Hindia Belanda ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Guba dan Yvonna S. Lincoln 2009:135-137, paradigma
konstruktivisme dibangun oleh dasar ontologi yang relativis sehingga realitas dikonstruksikan secara lokal dan spesifik. Sebaliknya, dasar epistemologi
konstruktivisme adalah transaksionalsubjektivitas di mana peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung secara timbal-balik sehingga temuan penelitian
tercipta secara literal seiring berjalannya proses penelitian. Dengan demikian, paradigma konstruktivisme menganggap penting semua data dan setiap data
berhubungan dengan sesuatu di dunia nyata. Paradigma konstruktivisme ini dijelaskan oleh Schwandt 2009:157 berikut ini.
Apa yang dipertaruhkan oleh kalangan konstruksionis adalah sistem-sistem representasi, praktik-praktik sosial dan material, aturan-aturan diskursus, dan
efek-efek ideologis. Singkatnya, yang paling utama, kalangan konstruksionis menekuni produksi dan pengorganisasian perbedaan-perbedaan, dan oleh
karena itu mereka menolak pandangan bahwa segala jenis yang esensial atau natural mendahului proses determinasi sosial.
Untuk mengonstruksikan realitas dalam novel, penelitian ini menggunakan
metode hermeunetika historis dan metode deskripsi. Metode hermeneutika mengutamakan ketepatan memahami bahasa teks dalam koteks penafsir dan konteks
historis pemakai bahasa tersebut. Di dalam hal ini, novel sebagai genre sastra yang menggunakan bahasa menjadi sumber data penafsiran kehidupan dengan medium
75
Universitas Sumatera Utara