Struktur Plot Data IV: Novel Oeroeg Karya Hella S. Haasse

Antara narator dan penarasi dalam novel MB memiliki kesamaan sudut pandang, yakni menggunakan sudut pandang orang ketiga: dia atau ia atau menyebut nama diri. Berikut ini pemunculan narator utama yang menggunakan monolog dengan bantuan penarasi dalam satu jenis sudut pandang, “Sulastri, bagaikan ia hendak mengatakan: ‘Jangan mencampuri urusanku.’ Sulastri menyilangkan jeriji kedua tangannya, menumpangkan dagunya di atasnya, mengamati suaminya dan berpikir: ‘Moga-moga ia mau ngomong Mengapa kita harus mencari kesukaran lagi dalam hidup kita?’” MB:74

4.2.1.4 Data IV: Novel Oeroeg Karya Hella S. Haasse

10

4.2.1.4.1 Struktur Plot

Plot yang digunakan novel Oe karya Hella S. Haasse adalah beralur mundur. Cerita dimulai ketika tokoh “aku” mengenang masa kecil dan masa remajanya sewaktu hidup bersama seorang sahabat yang bernama Oeroeg. Begitu pun saat tokoh “aku” mengenang masa lalunya, maka gambaran tentang Oeroeg sahabatnya selalu muncul. Kenangan masa lalu mereka selalu muncul menyelingi perjalanan hidup kedua sahabat tersebut, sehingga menimbulkan flashback dalam struktur plot novel. Kehidupan yang selalu dikenang oleh tokoh “aku” dan Oeroeg terjadi di Kebon Jati, Sukabumi, Batavia, sampai ke Surabaya. Kemudian, mulai dari masa 10 Kajian poskolonial terhadap novel Oeroeg karya Hella S. Haasse telah peneliti lakukan dengan fokus pada struktur naratif dan ambivalensi kepribadian bangsa Indonesia dalam Seminar Internasional di Thumrin Thana Hotel, Trang, Thailand, 3-5 Juni 2010. Lihat, “Kajian Poskolonialisme Novel Oeroeg Karya Hella S. Haasse.” Makalah International Seminar: Language, Literature, and Culture in Southeast Asia, Thumrin Thana Hotel, Trang, Thailand, 3-5 Juni 2010, pp. 594-606. Universitas Sumatera Utara kecil di mana usia mereka hanya terpaut beberapa minggu sampai perjalanan pendidikan dan perkembangan usia diceritakan dalam kenangan tokoh “aku”. Hal ini terlihat dari pembukaan novel berikut ini. “Oeroeg kawanku. Bila kukenang lagi masa kecil dan tahun-tahun remajaku, sosok Oeroeg langsung muncul dalam benakku sebagai salah satu gambar ajaib yang biasa kami beli, tiga lembar seharga sepuluh sen: lembar-lembar kekuningan mengilap berlapis kertas yang harus digosok keras dengan pensil agar gambar tersembunyinya muncul. Begitulah juga cara Oeroeg muncul kembali dalam ingatanku saat aku mengenang masa lalu. Oe:5. Klausa pertama kalimat kedua dan klausa terakhir kutipan di atas mengisyaratkan pengenangan terjadi pada masa setelah masa remaja. Namun, dalam alur mundur ini, gaya penceritaan peristiwa tetap berurutan, mulai masa kecil mereka saat usia 6, usia 15 dan usia 17 tahun hingga pertemuan mereka terakhir kali di Telaga Hideung sebagai akhir kisah mereka. Masa kecil mereka ditandai oleh penggunaan celana kodok, model celana pendek tempo doeloe. Kutipan berikut ini memperlihatkan hal itu, “Oeroeg dan aku, memakai celana kodok garis-garis, merangkak di antara pot-pot pakis yang mengapit tangga teras serambi belakang” Oe:8. Kemudian, penceritaan bergerak maju dengan ditandai oleh pergerakan usia, seperti kutipan berikut, “Waktu itu usia kami berdua sekitar enam tahun” Oe:10. “Ketika Oeroeg berusia lima belas tahun-saat itu ia duduk di kelas dua MULO. Oe:99. Masa kanak-kanak berlanjut ke masa remaja dengan penanda usia yang terukur, seperti kutipan berikut, “Ketika itu aku berusia tujuh belas tahun, hampir delapan belas tahun, dan bertubuh tinggi untuk usiaku.” Oe:112. Universitas Sumatera Utara Penceritaan novel Oe baru memasuki masa kekinian pada periode Agresi Militer. Hal ini teridentifikasi dalam flashback di mana dijelaskan tokoh “aku” kembali ke Batavia sebagaimana terlihat dalam kutipan, “Kedatanganku ke Batavia kurang-lebih bertepatan dengan pecahnya apa yang kesederhanakan dengan sebutan Agresi Militer.” Oe:122 Masa kini itu sendiri dapat diidentifikasi dari keinginan tokoh “aku” untuk menuliskan masa lalunya. Keinginan ini relevan dengan pembukaan cerita yang juga berisi pengenangan masa lalu. Berikut ini kutipan yang memberi pertanda kejadian masa kini. Tak ada hal yang ingin kulakukan selain menuangkan dalam kata-kata tentang masa remaja yang kami habiskan bersama. Aku ingin mengabadikan tahun- tahun yang kini telah berlalu tanpa jejak itu, bagai asap tertiup angin. Kebon Jati adalah kenangan. Juga asrama, dan Lida. Abdullah dan aku berselisih jalan tanpa bicara, dan Oeroeg –aku takkan lagi menjumpainya. Tak perlu kukaakan lagi bahwa aku tidak memahami Oeroeg. Aku mengenalnya sama seperti mengenal Telaga Hideung –permukaan berkilau kawah gunung berapi. Tapi aku tidak pernah bisa menduga kedalamannya. Apakah sudah terlambat? Apakah aku selamanya akan jadi orang asing di tanah kelahiranku, di bumi yang tak pernah ingin kutinggalkan? Waktu yang akan menjawabnya. Oe:130-131 Berdasarkan penjelasan di atas, tindakan Oeroeg dan “aku” dalam berbagai kejadian di Hindia Belanda menjadi penggerak plot. Tindakan tersebut didasarkan pada persahabatan antara dua anak laki-laki di Hindia Belanda yang berasal dari ras yang berbeda sehingga tercipta proses mimikri dan hibriditas yang terus-menerus dalam kehidupannya. Tokoh “aku” yang bertindak sebagai narator adalah anak laki- laki seorang pengusaha Belanda, sedangkan anak laki-laki yang lain bernama Oeroeg, seorang pribumi. Oeroeg memiliki ayah seorang mandor yang bekerja di perusahaan ayah tokoh “aku” dan ibu seorang pembantu yang bekerja di rumah ayah tokoh “aku” Universitas Sumatera Utara sehingga Oeroeg bersama ayah dan ibunya bertempat tinggal di lingkungan rumah ayah tokoh “aku”. Tokoh “aku” menjadikan Oeroeg sebagai sahabat sebagaimana terlihat dalam alam permainan mereka: di mana ada tokoh “aku” di sana ada Oeroeg. Perbedaan ras dan status sosial seperti tidak berpengaruh pada persahabat kedua anak kecil tersebut. Akan tetapi, ayah tokoh “aku” tidak menyukai persahabatan ini karena dapat mengacaukan kelancaran berbahasa Belanda dan mengubah moralitas kebelandaan yang didambakan seorang ayah kepada anaknya. Ayahnya percaya bahwa anak laki- laki Belanda tidak boleh bermain dengan anak laki-laki pribumi dari desa tersebut sehingga ingin anaknya bersekolah di Belanda. Tokoh “aku” mulai merasa mendapat larangan bersahabat lebih dekat dengan Oeroeg sewaktu mereka sekeluarga pergi berwisata ke Telaga Hideung. Telaga Hideung menjadi materi penceritaan mereka sehingga memunculkan sinkretisme dalam kepribadiannya. Di telaga tersebut, dalam sebuah perahu yang dipenumpangi tokoh “aku”, ayah, ibu, gurunya, dan ayah Oeroeg, terjadi sebuah kecelakaan di mana ayah Oeroeg meninggal ketika mencoba menyelamatkan tokoh “aku” yang tenggelam. Hal ini menyebabkan perubahan besar bagi Oeroeg. Sesuai peraturan perkebunan, Oeroeg dan ibunya harus meninggalkan rumah tokoh “aku” karena pengganti ayah Oeroeg akan menempati rumah tersebut. Keluarga Oeroeg adalah keluarga miskin yang hidup di rumah kumuh. Akan tetapi, ibu Oeroeg tidak tinggal diam membiarkan anaknya tidak bersekolah. Oleh karena itu, ibunya kemudian menitipkan Oeroeg pada pembantu dan mandor yang Universitas Sumatera Utara menggantikan mereka di rumah ayah tokoh “aku” atas persetujuan ayah tokoh “aku”. Tindakan ibu Oeroeg tersebut memberi perubahan besar dalam diri Oeroeg karena dia dapat bersekolah dan mengenal peradaban orang-orang berpendidikan tinggi. Orang tua tokoh “aku” sendiri mengalami keretakan rumah tangga. Ibu tokoh “aku” berselingkuh dengan guru yang mengajar tokoh “aku”. Ayah tokoh “aku” bercerai. Tokoh “aku” yang melanjutkan sekolah ke Sukabumi meminta ayahnya menyertakan Oeroeg. Ayahnya yang semula menolak keinginan anaknya akhirnya atas bantuan Lida menyetujui agar Oeroeg sekolah atas tanggungan ayah tokoh “aku. Di kemudian hari, biaya pendidikan Oeroeg justru ditanggung oleh Lida. Tokoh “aku” dan Oeroeg mulai memasuki proses hibridisasi struktural dan kultural dalam gaya hidup Indis di perkotaan. Setelah sekolah tokoh “aku” dan Oeroeg selesai, ayah tokoh “aku” pergi dalam waktu yang lama dalam perjalanan bisnisnya. Tokoh “aku” melanjutkan pendidikannya ke sekolah asrama dan kemudian akan menjadi insinyur. Oeroeg tinggal bersama Lida, seorang perawat Belanda yang telah pensiun di Hindia Belanda. Dia pergi ke sekolah untuk pribumi, ingin menjadi dokter dan kemudian pindah ke Amerika. Semakin hari perbedaan antara Oeroeg dan tokoh “aku” menjadi jelas. Meskipun Oeroeg mencoba untuk berperilaku seperti layaknya orang Eropa, dia sering dikecualikan dan dicemooh oleh teman sekelas tokoh “aku”. Oeroeg kemudian pindah ke sekolah asrama di mana dia kemudian berkembang menjadi seorang nasionalis. Ketika ia ingin pergi ke Belanda untuk belajar di sana, terjadi perselisihan Universitas Sumatera Utara sengit antara tokoh “aku”, Oeroeg, dan Abdoellah, teman Oeroeg sehubungan dengan diskriminasi. Tokoh “aku” akhirnya belajar di Belanda. Banyak perubahan pada diri tokoh “aku” dan Oeroeg, terutama setelah Perang Dunia II dan invasi Jepang di Indonesia. Apalagi, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak diakui oleh Belanda sehingga terjadi perang antara Belanda dan kaum nasionalis Indonesia. Dalam situasi seperti itu, tokoh “aku” mendengar kabar kematian ayahnya. Dia pun berniat ke Hindia Belanda meskipun menyadari akan bahaya kembali ke Jawa. Tokoh “aku” dengan didampingi tentara Belanda mendatangi rumah lamanya yang telah hancur. Tokoh “aku” menemukan kenyataan bahwa Oeroeg berada di antara tentara-tentara pejuang di Jawa melawan dirinya sebagai tentara Belanda. Akhirnya, meskipun mereka tetap mengedepankan persahabatan masa kecil yang tidak terlupakan dengan tidak saling menembak sebagaimana dua musuh bertemu, tokoh “aku” menyadari bahwa ada perbedaan antara dirinya sebagai bangsa Belanda dengan Oeroeg sebagai bangsa Indonesia dalam menegakkan nasionalisme. Pertemuan antara bangsa penjajah dengan bangsa terjajah tersebut berakhir dengan tokoh “aku” yang menjadi representasi bangsa penjajah meninggalkan Oeroeg sebagai representasi bangsa terjajah di Telaga Hideung yang beraura sinkretisme.

4.2.1.4.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender