anaknya di rumah administratur perkebunan itu. Setelah menceraikan istrinya, administratur tersebut tidak memelihara nyai yang berprofesi ganda sebagai
pembantu dan sebagai istri tidak sah, melainkan pergi ke Belanda untuk mencari jodoh sebagai istri yang sah.
4.2.2.4.3 Perang Kemerdekaan Indonesia
Pendidikan barat yang diterima oleh Oeroeg memberi perubahan dalam kepribadiannya. Oeroeg yang memperoleh pendidikan barat, bergaul dengan orang
barat, pada akhirnya mengalami benturan peradaban dengan lingkungan barunya. Lingkungan terakhir yang menjadi tempat Oeroeg bergabung adalah lingkungan
pejuang kemerdekaan Indonesia. Hal ini ditandai oleh Oeroeg yang bersahabat dengan Abdullah telah memasuki kehidupan kaum terpelajar Indonesia. Abdullah
yang Islam ternyata memiliki jaringan perjuangan kebangsaan yang bergerak secara rahasia sehingga tidak diketahui oleh Belanda. Lingkungan baru ini, secara
psikososial, membuat Oeroeg mengalami apresiasi harga diri keindonesiaannya menghadapi kebelandaan yang selama ini menjadi tempat perlindungan hidupnya.
Harga diri yang positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan, kesepian, dan penolakan sosial. Bahkan, ia merasa semakin diterima dan menyatu dengan
orang-orang di sekitarnya. Hal seperti ini tidak diperoleh Oeroeg selama mengikuti orang tuanya menjadi jongos orang tua tokoh “aku” dan saat menjalani pendidikan di
Batavia. Bahkan, selama berada di Surabaya, Oeroeg berhasil mengubah pola pikir kebelandaan Lida sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
”Cara berpikir Lida sama dengan kami,” kata Oeroeg bangga. Hal yang satu menyusul hal lainnya, lalu terjadilah debat di mana aku harus bersikap
defensif karena seluruh masalah ini terasa aneh bagiku. Aku tahun sedikit atau tidak sama sekali tentang aliran-aliran nasionalisme, tentang sekolah-sekolah
liar, tentang proses munculnya keresahan yang terjadi di lapisan masyarakat pribumi. Tanpa sepatah katapun aku menerima hujan tuduhan dan celaan yang
sekarang ditujukan Oeroeg dan Abdullah dengan berapi-api. Terhadap pemerintah, terhadap orang Belanda, terhadap orang kulit putih pada
umumnya” Oe:118.
Pertemanan atau persahabatan mungkin masih ada dengan tidak ditembaknya tokoh “aku”. Pertemuan terakhir antara dua orang yang bersahabat sejak kecil ini
menjadi antiklimaks kesetaraan ras. Mereka berada pada fokus perjuangan yang berbeda. Tokoh “aku” yang ingin mempertahankan persahabatan antarbangsa tersebut
harus berhadapan dengan statusnya sebagai tentara Belanda dalam Agresi Militer Belanda di Indonesia. Sebaliknya, tokoh “aku” berposisi sebagai pemuda Indonesia
yang mempertahankan kemerdekaannya. ”Pergi, katanya dalam bahasa Sunda, ”Pergi, kalau tidak kutembak. Kau tak
punya urusan di sini.... Apa yang dapat kuketahui terlihat jelas. Secarik kain kotor terikat di lengan kananya, lambang Palang Merah masih tampak di kain
itu. Keris di sabuknya, kain yang diikat dengan cara Sunda di kepalanya- celana pendeknya yang berwarna khaki, bergaya Amerika, dan revolvernya,
mungkin warisan tentara Jepang- apalagi yang dibutuhkan untuk mengetahui tahap-tahap yang telah ditempuhnya” Oe:128-129.
Peristiwa di atas menjadi jalan tengah persahabatan dalam konflik bangsa penjajah dengan bangsa terjajah. Kedatangan tokoh “aku” dengan cara menjadi
anggota tentara Belanda dalam pasukan Sekutu menjadi titik nadir persahabatannya dengan Oeroeg. Tokoh “aku” yang berseragam tentara mengingatkan superioritas
Belanda sebagai bangsa penjajah di Indonesia. Simbolisasi ini sudah merasuki pikiran dan perasaan rakyat Indonesia, setidaknya sejak 1912. Menurut Riyanto 2003:20-
Universitas Sumatera Utara
21, pemerintah kolonial Belanda, pada 1912, ketika berada di puncak hegemoni kekuasaan militernya memasang iklan lowongan pekerjaan menjadi serdadu Hindia
Belanda dalam bentuk papan reklame luar ruangan enamel atau outdoor billboard yang dimuat pada Jurnal Boeatan Asli Indonesia. Iklan ini menawarkan gaji yang
sangat besar melebihi gaji pekerjaan kaum priyayi profesional. Warga pribumi yang lolos tes diterima sebagai Vrijwilligers akan digaji 250 gulden per bulan dan diberi
tunjangan pensiun 14 gulden per bulannya. Hal yang menjadi persoalan adalah tampilan iklan yang memperlihatkan ikon
zaman penjajahan di mana penindasan terhadap bumiputera dilakukan lewat kekuatan senjata warga yang dapat dikooptasi dan dibeli oleh pemerintahan kolonial. Secara
deskriptif, Riyanto 2003:21 menggambarkan hegemoni pemerintahan Hindia Belanda dengan ikon militerismenya sebagai-berikut:
Buju rayu itu dikemas dalam suatu tampilan visual yang sangat elok dan memikat seiring dengan era semangat ”Mooi Indie” Hindia Molek acuan
kaum seniman terutama elukis zaman itu. Dalam komposisi penuh warna full colour digambarkan dalam poster itu seorang komandan tentara Hindia
Belanda Indische Leger dengan kumis melintang dan secercah senyum dari wajah indonya mengendarai sepeda berseragam warna biru tua lengkap
dengan atribut kepangkatan, bintang jasa, topi kebesaran, sabuk amunisi, sepatu lars, dan senapan laras panjang yang menyilang di dadanya. Mengikuti
di belakangnya barisan pasukan bersepeda dengan atribut yang lebih kurang sama berderet memenuhi ruas jalan raya sampai menghilang pada batas garis
cakrawala. Kepongahan pasukan Indische Leger sebagai bintang utama ruang imajiner iklan itu didampingi figuran-figuran masa rakyat jelata kaum pribumi
yang sengaja ”dihadirkan” sebagai pengukuh kekuasaan kaum bersenjata sebagai kelas penguasa. Kerumunan kaun jelata pribumi itu digambarkan
dalam raut ekspresi wajah yang menatap kosong, begong, putus asa, getir, seakan tanpa harapan.
Universitas Sumatera Utara
Simbolisasi Hindia Molek yang berada dalam penampilan fisik tokoh “aku” menjadikan mereka berada dalam dua kutub yang berbeda. Tokoh “aku” berada
dalam posisi bangsa penjajah yang ingin mengembalikan kejayaan Hindia Belanda di Republik Indonesia yang baru merdeka. Sebaliknya, Oeroeg berada dalam simbolisasi
pemuda pejuang yang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari serangan militer Belanda yang berada dalam pasukan Sekutu.
Peristiwa Agresi Militer Belanda ke Republik Indonesia menjadi akhir dari pertemuan dan persahabatan tokoh “aku” dengan Oeroeg. Peristiwa tersebut
memberikan sebuah pertanda bahwa peradaban Barat yang terepresentasi dalam diri bangsa penjajah berbeda dengan peradaban Timur yang terepresentasi dalam diri
bangsa terjajah. Pemaksaan kehendak untuk menjadikan orang Timur berkarakter Barat telah gagal dalam pembetukan identitas diri Oeroeg. Bahkan, tokoh “aku”
menjadi cermin kepribadian Barat yang bersimpati terhadap kepribadian Timur dan tokoh Lida menjadi cermin kepribadian Barat yang akhirnya menyatu dengan
kepribadian Timur.
4.3 Temuan Penelitian 4.3.1 Struktur Penceritaan Novel Hindia Belanda
Struktur penceritaan novel Hindia didasarkan pada pengalaman pengarang novel itu sendiri. Pengarang menjadikan pengalamannya di Hindia Belanda sebagai
kerangka cerita novelnya. Bahkan, EDD yang menggunakan nama samaran Multatuli menjadikan riwayat hidupnya sebagai dasar tindakan dan kejadian dalam penceritaan
Universitas Sumatera Utara