kekinian digunakan pengarang sebagai latar penceritaan proses penulisan novel yang dipesan oleh Pria Berselendang kepada Droogstoppel sedangkan struktur waktu masa
lalu digunakan oleh pengarang sebagai latar penjelas hubungan Pria Berselendang dengan Droogstoppel. Sebaliknya, struktur ruang Hindia Belanda digunakan oleh
pengarang sebagai bagian dari pengalaman estetisnya sebagai elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda. Pengalaman pengarang inilah yang menjadi realitas
historis penciptaan novel MH sehingga menjadikan novel ini sebagai realitas fiksi dan realitas historis.
4.2.1.1.4 Struktur Transmisi Narasi
Struktur transmisi narasi novel MH karya Multatuli dimulai oleh pengenalan narator Droogstoppel dengan klausa, “Saya adalah makelar kopi, dan tinggal di
Lauriergracht No. 37, Amsterdam.” Klausa ini dihadirkan oleh pengarang sebagai penegasan bahwa Droogstoppel adalah seorang makelar kopi di Belanda. Hal ini
diperlihatkan oleh pengarang dengan pemunculan klausa yang sama dan klausa yang sejenis yang bersubstansi sama: Droogstoppel adalah makelar kopi di Amsterdam,
Belanda. Pemunculan klausa yang secara eksplisit menginformasikan status Droogstoppel sebagai makelar kopi berjumlah 17 kali pada halaman 11 2 kali, 17,
19, 23, 36, 44, 61, 62, 63, 65, 66, 159, 171, 177, dn 349 2 kali. Pemunculan identitas Droogstoppel sebagai makelar kopi secara berulang
memberi penegasan bahwa Droogstoppel bekerja sebagai makelar kopi profesional. Dengan kata lain, Droogstoppel tidak memiliki kapasitas untuk menuliskan isi parsel
Universitas Sumatera Utara
Pria Berselendang. Oleh karena itu, Droogstoppel membuat MoU dengan Stern dan anak-anaknya agar dapat menuliskan isi parsel Pria Berselendang menjadi sebuah
buku atas nama Droogstoppel. Pembuatan MoU ini pun memunculkan Stern sebagai narator yang menceritakan isi parsel Pria Berselendang. Isi parsel itu berkaitan
dengan kehidupan masyarakat dan pemerintah Hindia Belanda. Kehidupan di Hindia Belanda itu dialami sendiri oleh Multatuli yang dikenal oleh Droogstoppel dengan
penamaan Pria Berselendang. Multatuli inilah yang menampilkan diri sebagai narator yang menutup cerita dalam novel MH.
Pemunculan Droogstoppel, Stern, dan diakhiri oleh Multatuli sebagai narator dalam novel MH berisiko pada kehadiran dua hal, yaitu sudut pandangan penceritaan
dan strategi pengalihan narator. Sudut pandang penceritaan dimunculkan oleh orang pertama tunggal, “saya” untuk ketiga narator. Narator pertama dan narator ketiga
menggunakan “saya” sebagai sudut pandang orang pertama pelaku utama. Akan tetapi, pendampingan identitas ini tidak terjadi pada pemunculan terakhir di mana
Droogstoppel menyembunyikan diri dalam klausa, “Pria Berselendang itu dan istrinya....” MH:386
Di samping itu, sudut pandang orang pertama juga digunakan oleh pengarang sebagai sudut pandang pengarang serba tahu. Kata “saya” digunakan oleh pengarang
untuk penanda Stern dalam penilaian namun tidak digunakan oleh pengarang ketika Stern menceritakan keadaan Hindia Belanda. Pada saat menceritakan Hindia Belanda,
pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan kata “dia” atau nama diri tokoh utamanya, “Havelaar”.
Universitas Sumatera Utara
Secara skematis, pemunculan narator dalam novel MH dapat disistematiskan pada gambar 4.1. Skema struktur transmisi narasi novel tersebut menghadirkan tiga
orang narator, yaitu Droogstoppel yang berprofesi sebagai makelar kopi, Stern yang berprofesi sebagai pegawai usaha dagang Droogstoppel, dan Multatuli yang
berprofesi sebagai penulis freelance dan baru kembali dari Hindia Belanda. Dari ketiga narator tersebut, Droogstoppel berfungsi sebagai penguasa suara narator dalam
proses penulisan novel sehingga dia selalu muncul di sembarang tempat dalam penarasian Stern. Stern sendiri berfungsi sebagai narator yang menceritakan realitas
historis Hindia Belanda. Peran Stern tidak dapat dihentikan oleh Droogstoppel tetapi dapat dihentikan oleh Multatuli. Hal ini disebabkan Muktatuli bertindak sebagai
pemesan novel sehingga dapat menghentikan penarasian Stern dan Droogstoppel. Secara skematik, kehadiran ketiga narator dalam novel MH dapat
diidentifikasi pada gambar berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
11-19 I
20-30 II
31-42 III
43-66 IV
V 67-86
VI 87-107
VII 108-131
VIII 132-155
159-170 156-158
171-177 X
XI 178-200
XII 201-214
XIII 215-231
XIV 232-267
XV 268-286
297-307 287-297
XVII 308-339
349-356 340-348
357-369 IX
357-369
370-386 386
386-389
Gambar 4.1: Skema Struktur Transmisi Narasi Novel Max Havelaar Karya Multatuli
Narator I: DROOGSTOPPEL
Narator II: STERN
Narator III: MULTATULI
XVI
IX
XVIII
XX
Universitas Sumatera Utara
Keterangan Gambar:
Garis pengalihan dan penguasaan narator
Garis pengalihan narator
Garis penghubung antarbab atau antarkelompok bab novel
Garis penanda kewenangan terbatas narator atau
Garis penanda kewenangan penuh narator
Angka Arab Penanda penomoran halaman
Angka Rumawi Penanda penomoran narator dan bab
Berdasarkan uraian di atas, struktur transmisi narasi novel MH karya Multatuli dapat dibagi atas tiga narator. Ketiga narator itu adalah:
1 Narator pertama adalah Droogstoppel. Narator ini ditampilkan secara penuh pada
bab I, II, III, dan IV. Kemudian, narator ini ditampilkan secara tidak penuh pada bab XIX, XVI, XVIII, dan XX. Droogstoppel adalah narator pertama yang
berprofesi sebagai makelar kopi dan mendapat hak sebagai pemegang MoU penulisan buku. Sebagai pemegang MoU, Droogstoppel memiliki keleluasaan
tampil menyelingi pemunculan narator kedua. Bahkan, Droogstoppel tidak hanya tampil sebagai narator yang menceritakan keadaan negeri dan masyarakat
Belanda, keadaan keluarga dan tetangganya, serta Pria Berselendang, melainkan
Universitas Sumatera Utara
juga melakukan kritik dan saran terhadap cara narator kedua menceritakan problematika Keresidenan Lebak. Pemeranan Droogstoppel sebagai narator
pertama baru berhenti ketika Multatuli tampil sebagai narator ketiga pada akhir cerita. Dengan demikian, pengarang menempatkan Droogstoppel sebagai seorang
makelar, baik dalam perdagangan kopi maupun penulisan novel. 2
Narator kedua adalah Stern. Narator ini ditampilkan secara penuh pada bab V, VI, VIII, VIII, XI, XI, XI, XIII, XIV, XV, dan XVII. Sebaliknya, pada bab IX,
XVI, XVIII, dan XX narator kedua tampil berbagi ruang penceritaan dengan narator pertama dan pada bab XX berbagi dengan narator kedua dan narator
ketiga. Pemunculan narator kedua dimulai oleh pengarang secara bertahap. Tahap pertama, Stern muncul dalam narasi narator pertama. Stern berposisi
sebagai tokoh antagonis sedangkan Droogstoppel sebagai narator pertama berposisi sebagai tokoh protagonis. Tahap kedua, Stern muncul dalam narasi
narator kedua, yakni dirinya sendiri. Di sini, Stern muncul menggunakan kata ganti “saya” untuk memberi penilaian atas penceritaannya dan mensugesti
pembaca atas bacaan hasil karyanya. Pada tahap kedua ini, penceritaan Hindia Belanda belum berdiri sendiri secara utuh karena begitu muncul langsung diberi
penilaian oleh naratornya, Stern. Tahap ketiga, Stern menghilangkan diri dari penceritaan narator kedua sehingga Havelaar dapat memunculkan diri secara
penuh dalam penceritaan. Di sini, pengarang menggunakan sudut pandang pengarang serba tahu dalam penceritaannya.
Universitas Sumatera Utara
3 Narator ketiga adalah Multatuli. Pemunculan narator ketiga ini sudah diberi
penanda oleh pengarang sejak fase narator pertama. Pada fase narator pertama, Multatuli dihadirkan dengan penanda nama Pria Berselendang yang diberikan
oleh Droogstoppel. Pemunculan Multatuli berlanjut pada fase narator kedua di mana Pria Berselendang belum membuka identitas diri sebagai Multatuli. Pada
fase narator kedua, Multatuli yang dikenal sebagai Pria Berselendang bertemu dengan Stern. Pertemuan ini berimplikasi pada keteguhan Stern untuk menulis
buku atas nama Droogstoppel. Penulisan buku baru berhenti pada fase narator ketiga di mana Multatuli sebagai pengarang menjadi narator ketiga yang
menghentikan Stern menulis buku tentang Multatuli dan Hindia Belanda. Penghentian ini dapat diidentifikasi dari kutipan berikut ini.
Cukup, Stern yang baik Saya, Multatuli, mengangkat pena. Kau tidak perlu menulis kisah hidup Havelaar. Saya telah memanggilmu dalam kehidupan...
saya membawamu dari Hamburg... saya telah mengajarkanmu menulis tulisan indah Belanda dalam waktu singkat... saya biarkan kau mencium Louise
Rosemeyer, yang berkecimpung di gula... Cukup, Stern, kau boleh pergi MH:386
Berdasarkan penjelasan di atas, novel NH karya Multatuli dibangun oleh
sudut pandang orang pertama, “saya” dan “kami”. Sudut pandang orang pertama digunakan oleh tiga narator, yakni Droogstoppel, Stern, dan Multatuli. Dari tiga
narator ini, Droogstoppel bertindak sebagai narator utama yang menerima pesanan dari narator ketiga dan memberi kuasa pesanan kepada narator kedua. Oleh karena
itu, Multatuli sebagai narator pemesan cerita menemui Droogstoppel untuk menjadi narator utama. Akan tetapi, Droogstoppel bertahan pada status quonya sebagai
Universitas Sumatera Utara
makelar kopi sehingga meminta rekanan dagangnya, Stern, untuk menjadi pelaksana pemesanan cerita dengan mengikat peran pelaksana pemesanan cerita dengan sebuah
MoU. Berdasarkan MoU, narator kedua menjalankan fungsi pencerita untuk
menuliskan isi parsel Pria Berselendang. Meskipun bekerja di bawah aturan MoU, tetapi narator kedua tidak memperoleh kebebasan dalam mengerjakan pesanan novel
tersebut. Hal ini disebabkan narator pertama selalu merasa tidak puas dengan pekerjaan narator kedua dan narator ketiga pun dipandang perlu untuk hadir
menjelaskan maksudnya memberikan parsel kepada narator pertama. Dengan demikian, ketiga narator dalam novel MH memiliki ketergantungan satu sama lain
dalam mengungkapkan persekongkolan elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda di Keresidenan Lebak.
4.2.1.2 Data II: Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet Karya M.H. Székely-Lulofs 4.2.1.2.1 Struktur Plot
Novel BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs diceritakan dalam lima bagian. Setiap bagian menampilkan tindakan dan kejadian yang berkaitan satu sama lain.
Tindakan dan kejadian dalam novel ini berkaitan dengan kehidupan elite birokrasi perkebunan, baik dalam hubungan antarsesama elite birokrasi perkebunan maupun
dalam hubungan elite dengan kuli kontrak perkebunan.
Universitas Sumatera Utara
Novel BNdKK dimulai oleh deskripsi keadaan alam pedalaman Sumatera Timur pada masa pembukaan perkebunan karet. Székely-Lulofs mendeskripsikan
dengan cara terperinci seperti contoh berikut ini. Tiga puluh kilometer lewat Ranjah, sebuah kota kecil di pedalaman Sumatera
Timur, sebuah jalan berbatu-batu membelok dari jalan raya gubernuran. Jalan itu mula-mula berliku-liku menyusur beberapa kebun karet pribumi yang
terbengkalai. Pohon-pohon karet yang kurus dan merana agaknya dengan susah payah mempertahankan hidup terhadap belukar yang terus tumbuh
dengan liar. Bermacam-macam tumbuhan panjang silang-siur membenalu, berusaha mencekik pohon-pohon dan buah-buahan yang dengan buruk
melingkari beberapa kampung miskin orang Melayu, sampai ke sungai. Jalan itu terputus di situ, dipotong sungai yang tenang, lebar, dan berwarna cokelat.
Di seberang sungai jalan itu merangkai tepi yang curam dan kemudian menembus rimba. BNdKK:1
Kehidupan dari Ranjah menuju perkebunan karet Sumatra Hevea Coy SHC
yang berada di Tumbuk Tinggi baru kelihatan setelah sampai di tempat penyeberangan sungai. Seorang mantan “koeli kontrak” dari Jawa berprofesi sebagai
pemilik rakit penyeberangan mulai menunjukkan karakteristik pedalaman Sumatera Timur yang keras dan kasar. Bahkan, John van Laer yang berprofesi sebagai asisten
dengan lantang membentak dan memaki dalam menghadapi gaya hidup penduduk yang dianggapnya lamban dan tidak sesuai karakter orang Eropa.
Asisten dan Tuan Kebun di Tumbuk Tinggi adalah orang-orang Belanda. Pada umumnya mereka belum menikah tetapi memiliki perempuan yang berperan
sebagai istri. Perempuan tersebut disebut “gundik” yang berasal dari berbagai suku bangsa, seperti Jawa, Sunda, dan bahkan berasal dari Jepang. Oleh karena itu, isi
telepon yang memberitahukan kedatangan singkeh penyebutan untuk asisten baru yang membawa istri berkebangsaan Belanda sangat merisaukan dan membangkitkan
Universitas Sumatera Utara
memori elite birokrasi perkebunan tersebut. Van der Meulen sebagai Tuan Kebun Tumbuk Tinggi sudah terbiasa dilayani dan melayani gundik, istri tanpa ikatan
pernikahan; John pun demikian, sudah lama menjadikan wanita Jepang sebagai gundiknya. Mereka tidak memiliki pengalaman atau pernah mendengar, melihat, dan
membaca pengalaman perempuan Belanda mendampingi suaminya bekerja di pedalaman Hindia Belanda. Bahkan, John yang berencana memperistri Renée
menghadapi keraguan, sebagai terungkap dalam kalimat, “Apakah dia akan menjadi istri yang baik untuk John?” kemudian diulangi lagi dengan menambah kata ‘dapat’
yang makin menunjukkan keraguannya, “Apakah dia akan dapat menjadi istri yang baik untuknya, di rimba sini?” BNdKK:18 Mereka tidak tahu harus bertindak
bagaimana, kecuali melaksanakan perintah dari kantor besar perkebunan untuk menjemput singkeh baru di Stasiun Kereta Api Ranjah.
Asisten baru yang ditempatkan di Tumbuk Tinggi adalah pengantin baru, Frank dan Marian Versteegh. Frank adalah pengangguran yang mencoba
keberuntungan di Hindia Belanda. Sebelum menghadapi gaya hidup sebenarnya di pedalaman Sumatera Timur, mereka diperkenalkan dengan gaya hidup Eropa di
Medan. Misalnya, mereka menginap di Hotel De Boer dan menikmati kehidupan masyarakat multikultur di Tanah Deli. Dari Medan, mereka naik kereta api menuju
Ranjah dengan melewati hutan dan kebun-kebun yang tidak terawat dengan baik. Dari Ranjah, mereka masih harus menempuh perjalanan melewati jalan bebatuan
yang tidak beraspal dengan hutan dan kebun karet di sisi jalan menuju Tumbuk Tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Kehidupan di Tumbuk Tinggi berlangsung dalam hibridisasi struktural dan kultural antara tuan kebun dengan buruh dan pedagang. Tuan kebun menerapkan
aturan ketat terhadap kehidupan buruh yang terdiri dari “koeli kontrak” dari Jawa, India, dan Cina. Hal ini disebabkan mereka harus membuka lahan baru dengan
menebang pohon dan menanam karet di lahan yang telah dibersihkan terus-menerus sepanjang hari. Untuk menghilangkan kepenatan dalam bekerja, kantor besar
perkebunan di Ranjah membawa elite birokrasi perkebunan yang berkebangsaan Belanda atau Eropa lainnya dan Amerika untuk menampilkan hibridisasi kultural
gaya hidup Barat di sebuah klub tempat mereka bercengkrama, makan, minum, dan berdansa di Kota Ranjah. Sebaliknya, para buruh diberikan kesempatan menikmati
gajinya dalam kegiatan “pasar malam” yang berfungsi sebagai tempat buruh berbelanja, berjudi, berkenalan, dan bergembira.
Selama bekerja di Tumbuk Tinggi, Frank memperoleh pembantu dan tukang kebun yang digaji oleh perkebunan. Pembantu dan tukang kebunnya adalah orang
Jawa yang sudah terbiasa mengerjakan semua pekerjaan rumah tuan kebun. Mereka menjadi orang paling dekat dengan Marian pada saat Frank bekerja dari pagi sampai
sore. Bahkan, tidak jarang pulang malam dan tidak sempat berlama-lama istirahat makan siang. Selama itulah Mariam secara alamiah melakukan mimikri dengan cara
belajar bertindak benar sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat dari apa yang dikatakan oleh suami dan pembantunya.
Perkebunan Tumbuk Tinggi mengalami perkembangan yang berarti. Rel kereta api sudah dibangun sampai di dekat rumah Asisten Bagian Tiga. Pada waktu
Universitas Sumatera Utara
itulah Mariam melahirkan seorang bayi laki-laki yang mereka beri nama: Bobbie. Kegembiraan memperoleh anak semakin bertambah karena karier Frank meningkat.
Frank “naik pangkat” menjadi Asisten Bagian Dua sedangkan posisinya semula sebagai pembantu Meesters di Bagian Tiga diisi oleh singkeh, asisten baru yang
ditangkan dari Belanda. Setelah melakukan mimikri dan hibridisasi kultural terhadap gaya hidup Barat
dan Timur, Frank dan keluarga menghadapi suasana baru. Mereka sudah dapat lebih berencana berlibur ke Brastagi dan membaca koran Medan dengan lebih santai.
Mereka pun mulai mengenal karakter dan persoalan hidup yang sebenarnya dari para asisten kebun. Ternyata, setelah lima bulan memimpin Bagian Dua, Frank tidak
pernah mengajak istrinya keluar Tumbuk Tinggi, mereka menghadapi perubahan yang cepat. Para asisten sekarang sudah membawa istri dari Eropa meskipun masih
ada yang tetap mempertahankan gundik sebagai istrinya. Pada saat itulah mereka pergi ke klub di Ranjah dan mendapat berita akan terjadi pergantian Administratur
Kepala Kantor Besar SHC di Ranjah. Di tengah booming karet dan tambahan gaji asisten yang besar terjadi
pembunuhan asisten oleh buruh, “koeli kontrak”. Joohansen 23 tahun, asisten yang belum beristri, mati dibunuh oleh buruhnya sendiri pagi hari di Bukit Panjang. Frank
dengan dibantu seorang singkeh baru mendapat tugas menggantikan asisten yang terbunuh itu. Marian tetap setia mendampingi suami berkarier di tengah suasana yang
mengancam keselamatan nyawa tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Kehidupan baru di tengah peningkatan harga karet dan perluasan perkebunan yang telah memberi hasil membuat perubahan gaya hidup elite perkebunan. Para
asisten berebut perhatian atasan untuk meningkatkan karier sehingga bersedia melakukan penyesuaian gaya hidup atasannya. Bahkan, mereka tidak segan-segan
menggunakan cara yang tidak bermartabat, seperti menjilat dan menggunakan wanita untuk menarik simpati atasannya.
Perubahan gaya hidup elite birokrasi perkebunan beserta istrinya dapat disaksikan dalam perilaku mereka di klub Ranjah. Suasana klub tempat elite birokrasi
perkebunan berkumpul di Ranjah telah menampilkan gaya hidup baru. Pemilik klub pun mendatangkan orkes dari Medan. Sebuah gaya hidup yang semakin menjadi-jadi
karena melambungnya harga karet dunia. Elite birokrasi perkebunan berlomba-lomba membeli mobil, perabotan mewah, pakaian, dan minum-minuman keras sampai
mabuk. Akibatnya, suasana klub menjadi kotor dan tidak beradab, bahkan, memberi keleluasaan setiap orang untuk berselingkuh di depan mata suami atau istrinya. Di
tengah suasana yang berubah itulah John membawa istrinya yang muda dan cantik dari Belanda.
Frank tetap giat bekerja untuk meningkatkan penghasilan sehingga dapat hidup lebih baik di negerinya. Marian sebagai istri tetap setia mendampingi suami
dan terus terlibat dalam masalah keluarga para asisten. Misalnya, istri asisten mulai menyanjung-nyanjung atasan dengan maksud agar suaminya mendapat promosi
jabatan yang lebih tinggi; John dan Renée terlibat pertengkaran karena perbedaan gaya hidup: John yang konservatif sedangkan Renée progresif sehingga Renée mudah
Universitas Sumatera Utara
bergaul dan terlibat skandal percintaan dengan Ravinsky, asisten baru; Annette yang mengkhawatirkan suaminya: Joop, yang ternyata mati ditikam oleh buruh yang
mogok kerja karena kalah judi. Berbagai masalah yang muncul bersamaan dengan berita gembira kenaikan harga karet membuat Frank dan Marian berencana berlibur
ke Eropa. Masalah perburuhan di perkebunan karet menjadi komoditas berita koran
Medan, seperti Deli Courant dan The Sumatra Post. John mengamati berita-berita dan menganalisis kehidupan di perkebunan karet tersebut. Buruh berada dalam siklus
kerja-gajian-judi-habis uang-kerja lagi sedangkan asisten berada dalam konflik jabatan dan eforia kenaikan harga karet: berpoya-poya, baik beli perabotan, mabuk-
mabukan, dan selingkuh. Klub Ranjah sudah tidak memperlihatkan ketinggian peradaban karena telah membebaskan batas-batas status sosial dan kesusilaan,
misalnya berciuman bukan dengan muhrimnya. Bahkan, John menemukan fakta bahwa istrinya selingkuh di Klub Ranjah dan Brastagi sehingga memutuskan bercerai
dan memberikan ongkos perjalanan pulang ke Belanda kepada istrinya. Tindakan John menceraikan Renée menjadi sesuatu yang tragis dalam berumah tangga karena
John harus kembali menerima gundiknya pada saat mendapat promosi menjadi Administratur Tumbuk Tinggi.
Di bawah kepemimpinan John, Frank bersama keluarganya berlibur ke Eropa. Di Belanda, mereka bertemu dengan orang-orang yang pernah bekerja di Hindia
Belanda, termasuk mereka yang pensiun dari perkebunan karet di Deli. Ternyata orang-orang yang pernah bekerja di Hindia Belanda termimikri gaya hidup Timur
Universitas Sumatera Utara
dengan menghadirkan suasana khas Hindia Belanda di lingkungan tempat tinggalnya, Belanda.
Begitu pulang dari Belanda, mereka menghadapi krisis ekonomi dunia akibat penurunan harga karet. Mereka menghadapi perubahan drastis dalam gaya hidup dan
pemberhentian asisten untuk menghemat anggaran perusahaan. Frank termasuk asisten yang diberhentikan oleh perusahaan. Mereka kembali pulang ke Belanda
dengan uang pesangon yang cukup untuk hidup baru. John pun menjadi saksi hidup bangunnya perkebunan dengan mengantarkan mereka ke pelabuhan Belawan.
4.2.1.2.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender