telah menerima gelar doktor kehormatan dalam bidang sastra dari Universitas Utrecht Belanda 1988 dan Universitas Leuven Belgia 1995. Bahkan, pada 1987, Haasse
diangkat sebagai keanggotaan kehormatan dari Koninklijke Academie Belgische voor Nederlandse Taal-en Letterkunde yang berkedudukan di Gent.
Kepedulian Haasse kepada peradaban poskolonial, terutama Belanda dan Hindia Belanda, telah menempatkan Haasse sebagai sastrawan yang peduli budaya.
Dedikasi Haasse tersebut diakui oleh Departemen Pendidikan Chili yang memberikan penghargaan kepadanya atas kontribusi universal terhadap budaya pada 1996.
Kemudian, Pemerintah Kota Boston memberikan sertifikat pengakuan Sebagai penghargaan dan apresiasi terhadap kontribusi luar biasa untuk Kota Boston dan
penduduknya. 1989 Akhirnya, Haasse berkesempatan kembali ke Hindia Belanda pada 1992 untuk
menghadiri Pameran Buku Internasional IKAPI di Jakarta. Tahun kunjungannya ini bertepatan dengan penerbitan novelnya, Heren van de thee. Semasa hidupnya, Haasse
mengabdikan diri untuk kesusastraan dengan mengutamakan persahabatan bangsa Barat dengan bangsa Timur. Kemudian, Haasse membangun museum online digital
pertama Belanda yang didedikasikan untuk kehidupan dan karya penulis. Museum ini dibuka pada tahun 2008 pada hari ulang tahunnya yang ke-90.
4.2.2.4.2 Elite Birokrasi Perkebunan Teh Jawa
Novel Oe karya Hella S. Haasse memberikan informasi elite perkebunan Jawa dalam hubungannya dengan pekerja dan keluarganya. Elite perkebunan Jawa tersebut
Universitas Sumatera Utara
direpresentasikan dalam diri ayah tokoh “aku”. Mereka adalah keluarga elite perkebunan Jawa yang berasal dari Belanda dan memiliki seorang anak yang lahir di
perkebunan tersebut. Ayah tokoh “aku” bekerja sebagai administratur perkebunan teh Kebon Jati yang terletak di pedalaman Pegunungan Priangan, Jawa Barat.
Perkebunan teh yang berkembang di Priangan mulai mendapat perhatian yang luas dan mendalan sejak tahun 1902 ketika pemerintah Hindia Belanda mendirikan
Thee Proefstation Balai Penelitian Teh yang pertama di Bogor yang kemudian bernaung di bawah CPV Centrale Proefstationsvereniging. Pengusahaan tanaman
teh mendapat tekanan pada tahun 1918-1921, ketika depresi ekonomi melanda berbagai negara dunia. Bahkan, hanya pabrik-pabrik dekat Sukabumi yang disewa
pemerintah yang bertahan melakukan pengolahan teh rakyat. Meskipun demikian, para administratur perkebunan teh terus melakukan ekspansi secara bertahap untuk
melakukan perluasan perkebunan di Selatan Priangan 1910-1940. Hasil keuletan admistratur perkebunan membuah hasil menjelang PD II, karena perdagangan teh
memberikan keuntungan besar bagi kas pemerintah Kerajaan Belanda. Di Hindia Belanda, terdapat 324 perusahaan dengan 259 atau 78 perusahaan berada di Jawa
Barat. Keberhasilan Belanda mengembangkan teh di Jawa Barat mendapat dukungan
dari politik etik yang berkembang di Hindia Belanda. Oleh karena itu, mereka memberi peluang pada anak-anaknya untuk bersekolah di sekolah yang berkualitas.
Bahkan, mereka menyediakan diri untuk memberikan biaya pendidikan kepada anak- anak bumiputera yang berprestasi cemerlang. Dengan bersekolah atas tanggungan
Universitas Sumatera Utara
elite perkebunan Jawa maka anak-anak yang bukan keturunan priyayi dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan
sekolah untuk anak-anak bumiputera hanya sampai tingkat sekolah dasar sedangkan untuk tingkat lanjutan masih berlaku diskriminasi bagi anak-anak bumiputera.
Diskriminasi pendidikan bagi anak-anak bumiputera tidak berlaku bagi anak- anak priyayi. Anak-anak priyayi dipandang setara dengan anak-anak elite birokrasi,
baik birokrasi perkebunan maupun birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, Oeroeg yang dilahirkan sebagai anak mandor perkebunan teh tidak diperlakukan seperti anak
priyayi. Hal ini disadari oleh tokoh “aku” dan Oeroeg sebagaimana terlihat dalam kejadian berikut ini.
Selama sisa siang itu ayahku menyuruh kami ke kebun untuk bermain-main sendiri. Oeroeg bergabung dengan kami. Saat bermain bersama itulah, untuk
pertama kalinya aku sadar bahwa di mata orang lain, Oeroeg “inlander” –dan bukan inlander seperti harsono Koesoema Soedjana, yang sekelas dengan
kami dan ayahnya regent, namun anak desa, anak orang rendahan di perkebunan. Perbedaannya terasa pada sedikit memerintah ketika tamu-
tamuku mengatakan “Ayo” pada Oeroeg, menyuruhnya bergegas. Oe:63 Di samping perhatian elite perkebunan pada pendidikan anak-anaknya dan
anak-anak pekerja perkebunannya, elite perkebunan teh di Jawa juga menaruh perhatian pada moralitas keluarga. Hal ini didasarkan pada peraturan yang
mengizinkan elite perkebunan Hindia Belanda membawa istri dari Belanda sehingga dapat menghindarkan diri dari pemeliharaan nyai di rumahnya. Bahkan, elite
perkebunan tidak membenarkan perselingkungan terjadi dalam rumah tangganya. Oleh karena itu, ayah tokoh “aku” dalam novel Oe menceraikan istrinya setelah
mengetahui bahwa istrinya berselingkuh dengan guru yang memberi pelajaran kepada
Universitas Sumatera Utara
anaknya di rumah administratur perkebunan itu. Setelah menceraikan istrinya, administratur tersebut tidak memelihara nyai yang berprofesi ganda sebagai
pembantu dan sebagai istri tidak sah, melainkan pergi ke Belanda untuk mencari jodoh sebagai istri yang sah.
4.2.2.4.3 Perang Kemerdekaan Indonesia