Novel dalam Penelitian Poskolonial

Jadi, tujuan kaum pengajar “Ethische Politiek” bukanlah kemerdekaan Indonesia, melainkan kerja sama antara dua golongan yang setaraf dalam rangka suatu Hindia Belanda yang tetap bergabung dengan negara Belanda di Eropa. Hanya sedikit sekali orang Belanda yang berpoikir lebih jauh, yaitu yang mencita-citakan suatu Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka. Berdasarkan penjelasan di atas, sastra Hindia Belanda memiliki peranan penting dalam melaporkan keadaan yang sebenarnya dari kondisi masyarakat Indonesia. Kondisi masyarakat Indonesia tersebut dituliskan oleh para sastrawan dalam bahasa Belanda yang diterbitkan di Kerajaan Belanda dan berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Indonesia. Para sastrawan Hindia Belanda tersebut terdiri atas beragam bangsa, seperti Belanda, Inggris, dan Indonesia.

2.2.2 Novel dalam Penelitian Poskolonial

Kajian poskolonialisme memiliki hubungan erat dengan novel sebagai karya sastra, kehidupan masyarakat, dan dampak kultural kolonialisasi. Bahkan, Alfonso 2001:55 mengatakan, “This is why Said proposes to regard the literary text as another instance of cultural colonization.” Inilah sebabnya mengapa Said mengemukakan agar menganggap teks sastra sebagai contoh lain dari kolonisasi budaya. Hal ini disebabkan kehidupan dalam sastra dan kehidupan dalam masyarakat memiliki hubungan yang dapat saja sama, mirip, dan bahkan mustahil. Fakta dan fiksi senantiasa saling pengaruh-memengaruhi sehingga pembaca karya sastra mau tidak mau harus menempatkan kehidupan dalam sastra dalam persinggungan dengan kehidupan dalam masyarakat yang realistik. Oleh karena itu, kajian sastra sebagai institusi sosial yang memakai medium bahasa tidak dapat dilepaskan dari frase De Universitas Sumatera Utara Bonald. Menurut Wellek dan Austin Warren 1989:110, frase tersebut menyatakan bahwa, “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.” Sejalan dengan pernyataan De Bonald, karya sastra mendapatkan tempatnya sebagai dokumen sosial dan pemodelan masyarakat. Genre sastra yang berpotensi besar sebagai dokumen sosial dan pemodelan itu adalah novel. Menurut Jonathan Culler sebagaimana dikutip oleh Teeuw 2003:187-188, “...the novel serves as the model by which society conceives of itself, the discourse in and through which it articulates the world....” 3 ...novel bertindak sebagai model lewat mana masyarakat membayangkan diri sendiri, penuturan dalam dan lewat mana disendikannya dunia.....” Lebih lanjut dijelaskannya, “Our identity depens on the novel, what others thinks of us, what we think of ourselves .... How do others see us if not as a character from a novel?” 4 3 Prof. A. Teeuw menerjemahkan ‘novel’ dengan ‘roman’. Lihat juga, Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: dari strukturalisme genetik sampai post-modernisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, p. 47. Faruk menerjemahkan pendapat Culler yang dikutip Teeuw dari kutipan Philippe Sollers dengan kalimat, “...novel berfungsi sebagai model yang dengannya masyarakat memahami dirinya. Novel merupakan wacana yang di dalam dan lewatnya masyarakat mengartikulasikan dunia.” Identitas kita tergantung pada novel, apa yang orang lain pikirkan tentang kita, apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Bagaimana orang lain memandang kita kalau bukan sebagai tokoh dalam sebuah novel?. Dengan demikian, novel sebagai ungkapan perasaan masyarakat berfungsi sebagai model kehidupan, baik sebagai model pemahaman kehidupan maupun model aplikasi kehidupan masyarakat. 4 Lebih lanjut dijelaskan oleh Faruk, “Di dalam novel kata-kata disusun sedemikian rupa agar melalui pembacaan akan muncul suatu model mengenai suatu dunia sosial, model-model personalitas individuali, model hubungan antara individu dengan masyarakat, dan, lebih penting lagi, model signifikansi dari aspek-aspek dunia tersebut.” Universitas Sumatera Utara Di samping fungsi novel sebagai model kehidupan masyarakat, pemilihan novel untuk kajian poskolonial ini didasarkan pada kelengkapan cerita dalam novel dibandingkan genre sastra yang lain. Menurut Ratna 2004:336-337, “Novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas.” Dengan demikian, novel memenuhi karakteristik sastra yang baik sebagaimana diungkapkan oleh Richard Hoggart Teeuw, 2003:195, “Sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial dunia yang sarat objek.” Secara lebih spesifik, novel memiliki kedudukan penting dalam mengungkapkan realitas kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Menurut Ratna 2004:136, “Novel jelas merupakan objek karya sastra terpenting. Pertama, pertimbangan dari segi medium yang cukup luas dan kaya, apabila dibandingkan dengan genre lain. Kedua, dalam novel terkandung isi, pesan, dan amanat, bahkan juga konsep-konsep yang beraneka ragam.” Dengan demikian, novel memiliki potensi besar untuk mengungkapkan realitas historis sehingga memberi konstruksi kehidupan sesuai dengan peradaban manusia yang melatarbelakangi pemunculan novel tersebut. Bahkan, Edward W. Said menguji teori poskolonialnya dengan menempatkan novel sebagai sumber data penelitian untuk mengonstruksikan realitas historis Timur dan Barat. Di dalam penelitiannya, Said menemukan kenyataan bahwa realitas fiksi Universitas Sumatera Utara novel dalam konteks poskolonial berkaitan erat dengan realitas historis imperialisme sebagai bagian yang menyatu dengan kolonialisme Barat. Hal ini sesuai pernyataan Said 1994:84 berikut ini. I am not trying to say that the novel –or the culture in the broad sense- ‘caused’ imperialism, but that the novel, as a cultural artifact of bourgeois society, and imperialism are unthinkable without each other. Of all the major literary forms, the novel is the most recent, its emergence the most datable, its occurrence the most Western, its normative pattern of social authority the most structures; imperialism and the novel fortified each other to such a degree that it is impossible, I would argue, to read one without in some way dealing with the other. Saya tidak berusaha untuk mengatakan bahwa novel –atau budaya dalam arti luas- disebabkan imperialisme, tetapi novel, sebagai artefak budaya masyarakat borjuis, dan imperialisme yang tanpa terpikirkan satu sama lain. Dari semua bentuk tulisan utama, novel adalah yang paling baru, yang datanya yang paling Barat, yang paling normatif pola otoritas struktur sosialnya; imperialisme dan novel mungkin saling memperkaya, saya berpendapat, untuk membaca karya sastra sudah barang tentu berhubungan dengan karya yang lain. Berdasarkan pendapat di atas, pengarang tidak dapat memisahkan diri secara totalitas dari persoalan hidup masyarakatnya. Novel dan penulis tidak berada dalam kekosongan. Menurut Varadarajan 2010:382, Edward Said memperlakukan teks seperti novel dan karya sastra lainnya sekadar sebagai objek tak berdaya, sastra sebagai sesuatu yang terpisah dari dunia tempat yang diciptakannya, atau penulis yang cuma sebagai penulis buku tertentu, berarti melewatkan fakta penting bahwa produksi teks oleh penulis merupakan sebuah produksi budaya yang berhubungan dengan kekuasaan dan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, peran yang dimainkan penulis sangat menentukan dalam merepresentasikan realitas historis pada realitas fiksi. Universitas Sumatera Utara Realitas historis dalam realitas fiksi sastra poskolonial sarat dengan masalah mimikri dan hibriditas. Bahkan, masalah mimikri dan hibriditas dalam kajian poskolonial memunculkan masalah lain yang tidak kalah penting, yakni ambivalensi, dan sinkretisme. Oleh karena itu, sastra poskolonial menjadi media pengungkapan relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang signifikan. Menurut Ratna 2008:134, pemilihan karya sastra sebagai media yang paling tepat untuk melukiskan masalah tersebut didasarkan atas tiga pertimbangan. Pertama, karya sastra adalah sistem bahasa, tanda, sehingga sangat tepat untuk melukiskan perasaan. Kedua, karya sastra bukan objektivitas itu sendiri. Masalah yang diungkapkan dalam karya sastra bukan kolonialisme melainkan apa yang dibuat oleh kolonialisme. Ketiga, sastra adalah refleksi sekaligus refraksi, inovasi sekaligus negasi dan afirmasi. Hubungan karya sastra dengan poskolonialisme menjadikan sebuah novel tidak otonom. Sebuah novel memiliki struktur naratif tersendiri sekaligus memiliki sesuatu yang-Lain. Di dalam hal ini, karya sastra yang muncul atau mengisahkan kehidupan masa kolonial memiliki sisi-sisi ideologis, terutama dalam kaitan untuk mendukung dan mengembangkan kepentingan imperialisme Barat dan mengabaikan identitas Timur. Di dalam hal ini, Said 1994:49 menegaskan, “There is no way of dodging the truth that the present ideological and political moment is a difficult one for the alternative norms for intellectual work that I propose in this book.” Tidak ada cara menghindar dari kebenaran bahwa ideologi sekarang dan gerakan politik sekarang adalah sesuatu yang sulit untuk norma-norma alternatif bagi kegiatan intelektual yang saya usulkan dalam buku ini. Edward W. Said memperkuat teori Universitas Sumatera Utara poskolonial dengan memunculkan buku Orientalism 1978 dan Culture and Imperialism 1993. Di dalam kedua buku tersebut, Said mengungkapkan dikotomi Barat dan Timur dari berbagai aspek, baik secara politis, budaya, maupun agama. Di samping Edward W. Said, terdapat Gayatri Chakravorty Spivak yang menjadi juru bicara poskolonial. Apabila Edward W. Said berasal dari Yerusalem Barat Timur Tengah maka Gayatri Chakravorty Spivak berasal dari Calcutta Asia Selatan. Esai-esai Spivak seperti Three Women’s Txts and a Critique of Imperialism 1985 dan Can the Subaltern Speak? 1988 telah diantologikan secara luas dan dikutip sebagai contoh teks teori poskolonial. Akan tetapi, Spivak sebagaimana dijelaskan oleh Morton 2008:2-3 mengejutkan poskolonialis karena menolak label ‘poskolonial’ dalam tulisan teoretis terbarunya. Bagi Spivak, teori poskolonial terlalu terfokus pada bentuk masa lalu dominasi kolonial. Oleh karena itu, tidak sesuai untuk mengkritik pengaruh dominasi ekonomi global dan kebijakan struktural IMF serta perekonomian dan masyarakat Selatan. Fokus kajian Spivak yang menjadi ciri khas analisisnya adalah pada sudut pandang Kaum Subaltern dalam kolonialisasi. Spivak yang mempresentasikan teori postrukturalis dari Jacques Derrida menekankan pentingnya mendekonstruksi secara terus-menerus mempersoalkan program politis seperti sosialisme, feminisme, nasionalisme antikolonial, dan identitas politis kaum ploretar, perempuan, dan penduduk koloni. Menurut Morton 2008:19, terhadap perempuan subaltern, Spivak menempatkan perjuangan kebebasan perempuan dan kaum perempuan di dunia Universitas Sumatera Utara Selatan secara bertahap mentransformasi ruang nonrelasional keistimewaan etis ke dalam ruang keputusan dan tanggung jawab politik. Di samping Edward W. Said dan Gayatri Chakravorty Spivak terdapat Homi K. Bhabha yang lahir dalam lingkungan masyarakat Parsi Bombay, Asia Selatan. Kajian poskolonialisme Bhabha dipengaruhi oleh Jacques Derrida, Jacques Lacan, dan Michel Foucault. Bhabha menggagas teori liminalitas dalam wacana kolonialisme. Menurut Sutrisno dan Hendar Putranto 2004:140-145, Bhabha mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktik kolonisasi untuk melahirkan hibriditas. Hal ini disebabkan pencarian identitas itu idealnya tidak pernah berhenti. Di antara penjajah dan terjajah terdapat ruang ketiga tempat persilangan budaya atau hibriditas memunculkan diri dalam budaya, ras, bahasa, dan lain sebagainya. Hal ini terungkap dalam karya sastra sebagaimana diakui oleh Bhabha dalam Huddart, 2006:39 berikut ini. Why does Bhabha refer to the literary? An initial answer emphasizes that literariness is often associated with the non-objective, the non-serious, and the non-real. Literature is like all those other apparently dismissible phenomena like jokes and myths: we know they have effects, but we act as if they are not that important. Often, then, we disavow our knowledge of the importance of these marginal things . Mengapa Bhabha merujuk pada sastra? Jawaban awal menekankan bahwa sastra sering dikaitkan dengan nonobjektif, tidak serius, dan nonreal. Sastra seperti semua fenomena tampaknya lain seperti lelucon dan mitos: kita tahu mereka memiliki efek, tapi kita beranggapan seolah-olah sastra tidak begitu penting. Sering kali kita mengingkari pengetahuan kita tentang pentingnya hal-hal yang marjinal. Homi K. Bhabha sebagaimana pernyataan Sikana 2009:456 mengatakan sastra poskolonial dapat dikaji dalam konteks budaya bangsa yang dijajah harus Universitas Sumatera Utara mengalami pengalaman dan trauma sejarah yang berbeda, seperti penghambaan, revolusi, peperangan yang mengakibatkan pembunuhan massal, penentangan rejim tentara, kehilangan identitas bangsa, kemelut budaya, atau pelarian akibat konflik politik. Di sinilah novel Hindia Belanda memperoleh tempat dalam kajian poskolonial karena novel-novel tersebut menceritakan penghambaan, peperangan, dan kemelut budaya Timur dan Barat dalam kehidupan tokoh-tokoh ceritanya, baik dalam konteks mimikri dan ambivalensi kepribadian maupun hibriditas dan sinkretisme. Bahkan, novel MH karya Multatuli, BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs, MB karya Suwarsih Djojopuspito, dan Oe karya Hella S. Haasse yang dijadikan fokus penelitian ini ditulis oleh sastrawan yang terlibat dalam kolonialisasi Belanda di Hindia Belanda, baik sastrawan berkebangsaan Belanda maupun sastrawan berkebangsaan Indonesia.

2.2.3 Bahasa Masyarakat Poskolonial