5.4.3 Local Genius Ambivalensi
Ambivalensi dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda merupakan hasil dari ketidakpastian penyesuaian etika dan kategori ideal. Bagi
bangsa terjajah, pemunculan ambivalensi yang terus-menerus akan memberi pelemahan identitas kebangsaan. Oleh karena itu, potensi local genius bangsa terjajah
dalam menghadapi ambivalensi merupakan kekuatan yang memerlukan ruang dan waktu pemunculan. Dengan demikian, terdapat sebuah keseimbangan dalam
memperlihatkan identitas kebangsaan bangsa terjajah di hadapan bangsa penjajah. Kecerdasan bangsa terjajah dalam proses penyesuaian etika dan kategori ideal
sesuai dengan realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda dapat dikategorikan dalam empat fase. Pertama, melakukan hijrah dalam menghadapi
perseteruan Regen Lebak dan Asisten Residen Lebak yang sama-sama memosisikan diri sebagai pusat kekuasaan. Pemindahan pusat kekuasaan ini dilakukan secara
tradisional oleh rakyat Lebak ke Lampung. Di Lampung, mereka berperang melawan Belanda tanpa memikirkan risiko keterancaman keluarga dan dengan sikap yang
pasti: hidup atau mati. Sikap seperti ini tidak diperoleh selama berada di Lebak karena rakyat terjebak dalam sikap ambivalen: di satu sisi berpihak pada pusat
kekuasaan Regen Lebak tetapi di sisi lain berpihak pula pada Asisten Residen Lebak. Dengan demikian, sikap rakyat Lebak bermigrasi ke Lampung merupakan local
genius dalam sistem pemerintahan yang berpihak pada keamanan dan kesejahteraan rakyat Hindia Belanda.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, kemandirian lokal sebagai bentuk local genius masyarakat perkebunan di Sumatera Timur. Kemandirian lokal ini terjadi dalam realitas fiksi dan realitas
historis “koeli kontrak” dalam novel BNdKK. Secara historis, para kuli yang tidak ingin kembali ke Jawa, Cina, dan India memilih sebagai kuli bebas. Artinya, mantan
“koeli kontrak” tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja di mana saja tanpa ikatan kontrak bekerja dengan tuan-tuan kebun. Misalnya, mantan
“koeli kontrak” dari Cina memilih berdagang dan bertani, mantan kuli kontrak India menjadi supir, dan mantan “koeli kontrak” dari Jawa menjadi penyedia jasa dan
pekerja di perusahaan lain. Di dalam local genius kemandirian lokal diperlukan kecermatan mantan kuli
kontrak. Kecermatan ini berhasil dilakoni oleh mantan “koeli kontrak” Cina yang cepat berhasil dengan berdagang. Sebaliknya, mantan “koeli kontrak” yang lain
memilih kemandirian lokal dengan berbagai macam usaha. Misalnya, perempuan Jawa memilih menjadi nyai atau pembantu rumah tangga dan laki-laki Jawa memilih
membuka usaha jasa kapal penyeberangan sungai sebagaimana terjadi dalam realitas fiksi novel BNdKK. Dengan kemandirian lokal, “koeli kontrak” tidak memiliki
ketergantungan pada tuan-tuan kebun dan, bahkan, berposisi sama dengan tuan kebun sebagai pemilik kekuasaan yang terbatas sesuai bidang usahanya.
Ketiga, memperkuat sistem kekerabatan untuk kemandirian lokal sebagaimana diterapkan pengarang yang direpresentasikan dalam diri tokoh cerita novel MB.
Penguatan sistem kekerabatan ini melibatkan setiap orang yang memiliki hubungan kekeluargaan dalam menghadapi setiap hal, baik kesulitan, kesusahan, maupun
Universitas Sumatera Utara
kemudahan dan kebahagiaan. Local genius seperti inilah yang diterapkan pengarang dalam kepribadian Sulastri sehingga pemenuhan keuangan keluarga dapat teratasi.
Bahkan, dapat biaya penopang penyelenggaraan sekolah yang didirikan suaminya sebagai wujud kemandirian lokalnya.
Kemandirian lokal yang diperkuat oleh sistem kekerabatan ini dalam realitas fiksi dipraktikkan oleh Sudarmo dan Sulastri. Kemandirian tersebut mampu
melepaskan mereka dari sikap ambivalen: di satu sisi ingin berjuang melawan dominasi Belanda tetapi di sisi lain ingin memanfaatkan kemudahan bekerja dari
Belanda. Oleh karena itu, local genius seperti ini memerlukan kesiapan mental untuk hidup sederhana dan kesabaran dalam penderitaan, sehingga tidak terpengaruh
sebagaimana terjadi dalam kehidupan Sudarmo dan Sulastri dalam realitas fiksi dan realitas historis novel BNdKK.
Keempat, perasaan senasib sepenanggungan sebagai local genius menghadapi sikap Oeroeg dalam realitas fiksi novel Oe. Oeroeg yang mengalami proses mimikri
berada dalam ketidakpastian: ingin pengakuan sebagai kaum terpelajar bergaya Indis tetapi tidak dapat melepaskan diri dari status sosial anak pegawai rendahan. Selama
berada di Batavia, Oeroeg termimikri dan terjebak dalam sikap ambivalen karena tidak ada perasaan senasib sepenanggungan yang berpihak kepadanya. Hal ini tidak
terjadi dalam fase kehidupannya di Kebon Jati dan Surabaya. Di Kebon Jati terdapat ibu dan kerabatnya yang senasib sepenanggungan menjaga identitas kulturalnya.
Sedangkan di Surabaya terdapat Abdullah yang membawa kembali Oeroeg pada komunitas kebangsaannya.
Universitas Sumatera Utara
Perasaan senasib sepenanggung inilah yang tidak ditemukan oleh ayah tokoh “aku” sehingga terambivalensi dalam menghadapi pemenuhan identitas kultural
anaknya. Bahkan, ayah tokoh “aku” terjebak dalam hedonisme karena memilih istri kedua yang tidak begitu disenangi oleh anaknya. Hal tersebut tidak terjadi pada diri
Oeroeg karena ibunya memilih tidak menikah lagi dan memilih mengabdikan diri pada komunitas desa sambil berharap Oeroeg memberikan kebanggan pengabdian
pada bangsanya. Oleh karena itu, kehadiran ibu dan teman senasib sepenanggungan dapat melepaskan seseorang dari sikap ambivalensi sebagai akibat dari proses
mimikri yang tidak menemukan kepastian dan kecocokan identitas kultural. Dengan demikian, bangsa terjajah dapat keluar dengan cepat dari sikap ambivalen karena
merasa senasib sepenanggungan dalam memperlihatkan kepribadian bangsa melawan penetrasi etika dan kategori ideal Barat di Hindia Belanda.
5.4.4 Pola Ambivalensi