Perlawanan Rakyat Novel Max Havelaar Karya Multatuli .1 Riwayat Hidup Eduard Douwes Dekker

Terhadap Keputusan Raja tersebut di atas, saya mengharap sudi kiranya Tuan melaksanakannya seperti adanya. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele, Regen Lebak Raden Adipati Karta Natanegara diberhentikan dari jabatannya pada 1865. Pemberhentian ini memakan waktu yang lama yang melibatkan tiga Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yakni Duymaer van Twist 1851- 1856, Charles Ferdinand Pahud 1856-1861, dan Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele 1861-1866. Padahal, dampak “Peristiwa Lebak” terhadap kelangsungan jabatan Raden Adipati Karta Natanegara sebagai Regen Lebak telah memunculkan kesombongan elite birokrasi pemerintahan dalam penyelesaian kasus KKN tanpa harus kehilangan jabatan.

4.2.2.1.3 Perlawanan Rakyat

Pada hakikatnya novel MH karya Multatuli mempersoalkan “Peristiwa Lebak” dalam konteks pemberantasan KKN. KKN yang dilakukan oleh Regen Lebak dan Demang Parangkujang mendapat perlindungan dari Residen Banten. Keterlibatan Residen Banten disebabkan Residen terjebak dalam skandal seks yang dilakukan oleh Regen. Hal ini mengakibatkan kesewenang-wenangan Regen dan Demang dalam mengeksploitasi sumber daya manusia dan sumber daya alam Lebak untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Universitas Sumatera Utara Di dalam menghadapi kasus KKN yang dilakukan oleh Regen Lebak, Demang Parangkujang, dan Residen Banten, maka rakyat Lebak memilih meninggalkan Lebak. Rakyat Lebak tidak mau terjebak dalam proses mimikri dan hibriditas yang berkepanjangan. Mereka bermigrasi ke daerah terdekat, terutama Lampung. Di Lampung, orang-orang Lebak melakukan pemberontakan melawan Belanda. Pemberontakan Lampung ini melahirkan legenda Saijah dan Adinda, pecinta dari Lebak yang tewas dalam Pemberontakan Lampung. Sikap reaktif orang Lebak terhadap Belanda di Lampung tidak terlihat di Lebak dalam menghadapi kasus KKN. Di Lampung mereka berperang melawan tentara Belanda sedangkan di Lebak mereka memilih bermigrasi, membiarkan Lebak kehabisan jumlah penduduknya. Hal ini memberi indikasi bahwa orang Lebak tidak mau berperang melawan bangsanya sendiri. Di Lebak, pelaku KKN dan penindasan terhadap rakyat adalah Regen Lebak dan Demang Parangkujang yang menjadi represensi kepemimpinan rakyat itu sendiri. Oleh karena itu, rakyat Lebak memilih tidak berperang melawan pemimpinnya sendiri, tetapi membiarkannya sadar dengan cara meninggalkan kampung halamannya. Perlawan orang Lebak terhadap Regen Lebak dengan cara meninggalkan Lebak sehingga Lebak menjadi miskin dan kekurangan penduduk. Hal ini sesuai dengan isi “Surat kepada Pensiunan Gubernur Jenderal” yang ditulis EDD pada bulan Januari 1958, dua tahun setelah Peristiwa Lebak dan lebih 1,5 tahun sebelum terbit novel MH. EDD menjelaskan berbagai hal tentang keadaan Lebak berikut ini. Universitas Sumatera Utara “....Sebelum saya menginjakkan kaki di daerah Lebak, saya sudah tahu apa yang terjadi di sana. Bahkan dalam tahun-tahun 1845 dan 1846, sewaktu saya berada di Keresidenan Krawang, saya sudah pernah mendengar tentang kemiskinan luar biasa yang merajalela di daerah Lebak, dan bagaimana penduduk pribumi secara teratur dan terus-menerus dihisap.... Saya tahu, bagaimana pemberontakan-pemberontakan yang kemudian timbul di Lampung direncanakan, dipupuk dan diperkuat oleh pelarian-pelarian dari daerah Banten. Dan saya pun tahu, apa yang menyebabkan penduduk sampai melarikan diri, meninggalkan kampung halamannya. Saya tahu, betapa beberapa ‘tuan besar’ di Batavia dan Bogor melihat dengan penuh rasa tidak senang pada pemerintahan yang jujur di daerah Banten. “...jika di Banten tidak dilakukan penindasan, kita terpaksa kekurangan tenaga kerja,” kata salah seorang di antara tuan-tuan besar di Bogor yang pernah saya dengar sendiri. Saya tahu antara lain, bahwa sebagian besar dari penduduk tanah partikelir Jasinga adalah pelarian-pelarian dari daerah Banten. Saya tahu, bahwa di Lebak sejak kira-kira 20 tahun yang lalu, jumlah penduduk dan ternak boleh dikata tidak pernah menunjukkan angka kenaikan. Dan akhirnya, bahwa di sana –di mana harga padi begitu rendah di masa panen, sehingga orang rela memberikan separo dari hasil panennya untuk upah memetik- namun di daerah itu secara terus-menerus setiap tahun rakyat menderita kelaparan” 15 Berdasarkan pemaparan di atas, perlawanan rakyat Lebak terhadap praktik KKN di Lebak tidak dilakukan dengan perang melawan Regen Lebak dan Belanda. Perang dilakukan oleh rakyat Lebak dengan cara hijrah dari Lebak ke Lampung sehingga penduduk Lebak berkurang populasinya. Dengan demikian, praktik KKN semakin mudah kelihatan dan pemerintah pun semakin mudah menentukan sikapnya. Sikap pemerintah terhadap pelaku KKN inilah yang mengecewakan Multatuli sehingga melahirkan novel MH sebagai representasi perlawanan pengarang terhadap kesenangan elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda. 15 Moechtar, ibid., pp. 27-28. Bandingkan dengan Paul W. Suleman, “Kontroversi Sekitar Pro dan Kontra Max Havelaar” dalam Majalah Kebudayaan Umum Basis, Yogyakarta, Februari-1988- XXXVII-2, p. 46.di mana Suleman menuliskan “...kemelaratan hebat yang ada di Keresidenan Kerawang....” sedangkan Moechtar menuliskan “...sewaktu saya berada di Keresidenan Krawang, saya sudah pernah mendengar tentang kemiskinan luar biasa yang merajalela di daerah Lebak....” Universitas Sumatera Utara 4.2.2.2 Novel Berpacu dengan Nasib di Kebun Karet Karya M.H. Székely-Lulofs 4.2.2.2.1 Riwayat Hidup M.H. Székely-Lulofs BNdKK adalah novel yang ditulis oleh M.H. Székely-Lulofs. Székely-Lulofs memiliki nama asli Madelon Hermine Lulofs. Dia lahir di Surabaya, 24 Juni 1899 dan meninggal dunia di Amsterdam, 22 Mei 1958. Hari kelahiran Székely-Lulofs ditandai oleh fenomena alam yang langka sebagaimana pengakuannya pada Nieuwenhuys 1978:349, “Ik werd te Surabaja geboren,’ vertelde ze, ‘in een nacht van maansverduistering, in een hotelkamer - voorteken van de tijdelijkheid die mijn leven heeft beheerst. 16 Székely-Lulofs adalah putri sulung Claas Lulofs dan Sarah Dijckmeester. Ayahnya seorang pegawai BB Binnenlandsch Bestuur, departemen dalam negeri pemerintah Hindia Belanda. Ayahnya secara teratur berkeliling Jawa dan Sumatera. Di dalam perjalanan keliling dua pulau tersebut, Székely-Lulofs dibawa ayahnya sehingga dia memperoleh gambaran awal yang konkret tentang kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Saya lahir di Surabaya, katanya, di malam gerhana bulan, di sebuah kamar hotel - untuk tanda sementara yang telah mendominasi kehidupan saya. Untuk memperoleh pendidikan yang baik, Székely-Lulofs dikirim oleh ayahnya ke Belanda untuk bersekolah di HBS, sekolah tinggi untuk perempuan pada tahun 1913. Akan tetapi, Székely-Lulofs hanya dua tahun bersekolah di Belanda dan 16 Penulisan biografi ini dipadukan dari berbagai informasi, seperti www.damescompartiment.nl dan www.geocities.ws. Universitas Sumatera Utara kembali ke Hindia Belanda akibat ancaman Perang Dunia I melanda Eropa. Tahun 1917, dalam usia menjelang 18 tahun, dia pun menikah dengan Hendrik Doffegnies, seorang asisten pemula perkebunan karet di Deli 17 Rumah tangga Székely-Lulofs dengan Doffegnies tidak harmonis karena Doffegnies menginginkan seorang istri sebagai ibu rumah tangga tradisional bagi seorang asisten perkebunan yang hanya memikirkan kebun dan kuli untuk pengembangan kariernya. Sedangkan Székely-Lulofs merindukan seorang pria yang tidak hanya sibuk mengurusi perkebunan dan kuli-kulinya saja, melainkan juga seorang pria tempat berbagi pengalaman tentang seni, khususnya sastra. Di tengah ketidakharmonisan itu, dia berkenalan dengan László Székely, seorang pemuda Hungaria yang merantau ke Deli. . Pernikahan ini diakui oleh Székely-Lulofs sebagai hal yang konyol, dan hampir tidak menyadari bakal menjalani kehidupan di Deli, tempat yang belum diketahuinya. Dari perkawinan itu, mereka dikaruniai dua orang putri, yakni Maud Maria Doffegnies dan Doffegnies Tineke. László Székely 1892-1946 berangkat dari Genoa, Italia pada 16 April 1914 menggunakan kapal Prinz Ludwig dan tiba Pantai Timur Sumatra, Belawan, pada tanggal 8 Mei 1914. László memulai karier sebagai seorang ‘tukang gambar’ yang hebat. Ia pernah menjadi ilustrator surat kabar The Sumatra Post 17 Istilah “Deli” dalam konteks perluasan perusahaan tembakau, kopi, dan karet pada masa Hindia Belanda tidak hanya mencakup wilayah Kesultanan Deli melainkan juga wilayah lain di Sumatera Timur, seperti Serdang, Langkat, Asahan, Batubara, Simalungun, dan Labuhan Batu. 1924-1930. Beberapa gambar dan lukisan cat airnya menghiasi majalah tersebut. Namun, Universitas Sumatera Utara sebenarnya sebelum 1924, namanya sebagai ‘tukang gambar’ sudah beken. Ini terbukti dari sebuah artikel di Deli Courant edisi 30 Agustus 1923 mengenai pameran karya-karyanya di Jaarbeurs Perkenalan Székely-Lulofs dengan László yang semula sebagai teman untuk membicarakan dan menerbitkan karangannya meningkat menjadi hubungan asmara. Hal itu diketahui oleh suaminya sehingga Doffegnies berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan cara memisahkan Székely-Lulofs dari kehidupan Deli. Székely-Lulofs beserta anak-anaknya pun untuk sementara dititipkan kepada ibunya di Australia agar dia dapat melupakan László. Sekembalinya dari Australia pada 1925, dia masih tetap menjalin hubungan asmara dengan László sehingga Doffegnies menceraikannya pada 1926. Hak asuh anak diserahkan pada suami, Doffegnies, yang kemudian untuk kelangsungan pendidikan anak dititipkan kepada orang tua Doffegnies di Belanda. pameran tahunan Medan. László tinggal dan bekerja sebagai ilustrator surat kabar dan menjadi asisten perkebunan hingga enam belas tahun di Deli. Masih di tahun yang sama dengan tahun perceraiannya, yakni 1926, Székely- Lulofs menikah dengan László di Hongaria. Pada 1927, mereka kembali ke Sumatera Timur. László bekerja sebagai asisten perkebunan di tempat Doffenies juga bekerja sebagai asisten perkebunan. Pada Maret 1929 lahir anak ketiganya, Cornelia Malvina Szekely. Akan tetapi, kedatangan kembali Székely-Lulofs ke Deli bersama suami yang baru di tempat mantan suaminya bekerja tidak memberikan keberuntungan bagi keluarganya. Elite birokrasi perkebunan yang mengetahui skandal perselingkungan Universitas Sumatera Utara mereka mengucilkan Székely-Lulofs dalam pergaulan orang-orang kulit putih di Deli. Ketidakberterimaan masyarakat ditambah krisis ekonomi pasca Perang Dunia I membuat kehidupan mereka menjadi sulit sehingga mereka memutuskan kembali ke Eropa dan bertempat tinggal di Budapest sejak 1930. Di Budapest, Székely-Lulofs melanjutkan penulisan novel yang sudah ditulis sejak bertempat tinggal di Telok Dalam, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara. Novel yang berisi berbagai pengalaman pribadi selama tinggal di Deli tersebut diberi judul Rubber, Roman uit Deli Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: Berpacu Nasib di Kebun Karet yang ditulis sejak Desember 1929 di Telok Dalam dan selesai pada Juni 1931 di Budapest. Penerbitan novel ini memberikan kesuksesan bagi Székely-Lulofs karena novel tersebut tidak hanya diterjemahkan ke banyak bahasa, melainkan juga dipentaskan lebih dari seratus kali, bahkan dijadikan film. Karya-karya Székely-Lulofs yang lain masih berkaitan dengan kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Karya-karyanya sesudah penerbitan Rubber adalah: Koelie 1931, Emigranten 1933, De andere wereld 1934, De hongertocht 1936, Het laatste bedrijf 1937, De kleine strijd 1941, De andere wereld 1946, Onze bedienden in Indië 1948, Tjoet Nja Din 1948, dan Weerzien in Boedapest 1950. Di samping itu, Szekely-Lulofs menulis “Het schot” di De Gids 1935. Karya-karya Székely-Lulofs mendapat tanggapan luas dari para ahli sastra. Tanggapan yang penting antara lain yang ditulis oleh Annie Romein-Verschoor, “Hoofdstuk VI. De vernieuwing en zijn attributen” dalam Vrouwenspiegel 1935, Universitas Sumatera Utara Menno ter Braak,“ dalam Verzameld werk. Jilid 5 1949, Menno ter Braak, “Indische ‘toestanden’” dalam Verzameld werk. Jilid 6 1950, Rob Nieuwenhuys, “4. M.H. Székely-Lulofs” dalam Oost-Indische spiegel 1972, Maaike Meijer, “Witheid in de literaire verbeelding Rubber 1931 van Madelon Székely-Lulofs in het licht van Playing in the Dark 1992 van Toni Morrison. Maaike Meijer” dalam Forum der Letteren. Tahun 1995 1995, Peter van Zonneveld, “3 Indische literatuur van de twintigste eeuw Peter van Zonneveld” dalam Europa buitengaats 2 jilid 2002, Menno ter Braak, “Mevr. Székely-Lulofs aan het woord” dalam Vaderlandartikelen 1934 2009, dan Menno ter Braak, “Van de leestafel” dalam Vaderlandartikelen 1937 2009.

4.2.2.2.2 Elite Perkebunan Karet Deli