mengalami pengalaman dan trauma sejarah yang berbeda, seperti penghambaan, revolusi, peperangan yang mengakibatkan pembunuhan massal, penentangan rejim
tentara, kehilangan identitas bangsa, kemelut budaya, atau pelarian akibat konflik politik. Di sinilah novel Hindia Belanda memperoleh tempat dalam kajian
poskolonial karena novel-novel tersebut menceritakan penghambaan, peperangan, dan kemelut budaya Timur dan Barat dalam kehidupan tokoh-tokoh ceritanya, baik
dalam konteks mimikri dan ambivalensi kepribadian maupun hibriditas dan sinkretisme. Bahkan, novel MH karya Multatuli, BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs,
MB karya Suwarsih Djojopuspito, dan Oe karya Hella S. Haasse yang dijadikan fokus penelitian ini ditulis oleh sastrawan yang terlibat dalam kolonialisasi Belanda
di Hindia Belanda, baik sastrawan berkebangsaan Belanda maupun sastrawan berkebangsaan Indonesia.
2.2.3 Bahasa Masyarakat Poskolonial
Berkaitan dengan linguistik, pada hakikatnya para orientalis memulai karier sebagai seorang filolog sehingga memunculkan revolusi filologi yang melahirkan
sains perbandingan yang berlandaskan premis bahwa bahasa-bahasa mempunyai rumpun-rumpun yang berbeda dengan rumpun Indo-Eropa dan Semitis sebagai
rumpun besarnya. Oleh karena itu, menurut Said 1994:129, sejak itu semua orientalisme membawa dua sifat dalam bidang linguistik, Pertama, kesadaran diri
ilmiah yang baru ditemukan yang berlandaskan kepentingan linguistik Timur bagi Eropa. Kedua, kecenderungan untuk membagi, membagi lagi dan membagi kembali
Universitas Sumatera Utara
ke pokok permasalahan tanpa pernah mengubah pemikirannya mengenai Timur sebagai sesuatu yang selalu sama, tidak berubah-ubah, seragam, dan objek yang
benar-benar khas. Ernest Renan dalam Said, 1994:183 berpendapat, “Ada suatu periode, yang
hanya bisa kita duga-duga saja, ketika manusia secara harfiah diangkat dari kebisuan ke kata-kata. Setelah itu adalah bahasa, dan bagi saintis sejati tugasnya adalah
menguji bagaimana sebenarnya bahasa itu, bukannya bagaimana timbulnya.” Di dalam proses pengujian bahasa, Renan menciptakan kolonisasi linguistik pada Timur
dengan perangkat laboratoriumnya. Timur dalam konteks ini adalah bahasa Semit yang dipandang Renan terhambat perkembangannya dibandingkan bahasa dan
budaya Eropa. Meskipun Renan memberi dorongan untuk memandang bahasa Semit sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ‘makhluk-makhluk hidup di alam’.
Menurut Said 1994:191-192, hal ini disebabkan Renan lewat laboratoriumnya membuktikan bahwa, “Bahasa-bahasa Timurnya, bahasa Semit, sifatnya anorganik,
terhambat, sama sekali beku, tidak mampu melakukan regenerasi diri; dengan kata lain, ia membuktikan bahwa bahasa Semit bukanlah bahasa yang hidup dan oleh
karenanya kaum Semit juga bukan makhluk yang hidup.” Secara poskolonial, Ashcroft, dkk. 2003:43 setelah meneliti bahasa dalam
koloni Inggris mengelompokkan bahasa dalam wacana poskolonial atas tiga kelompok, yaitu monoglossic, diglossic, dan polyglossic. Kelompok monoglossic
terdiri dari masyarakat berbahasa tunggal sebagai bahasa ibu mereka. Mereka biasa tinggal di koloni-koloni hunian dan pengucapan mereka sama sekali tidak sama atau
Universitas Sumatera Utara
seragam. Sementara itu, masyarakat diglossic adalah mereka yang dengan bilinguisme telah lama menjadi bagian tidak terpisahkan dari tatanan
kemasyarakatannya sehingga dapat mengadopsi suatu bahasa sebagai bahasa pemerintahan dan perdagangan. Kemudian, masyarakat polyglossic atau polydialectic
di mana beragam dialek saling terjalin dan secara umum membentuk rangkaian linguistik.
Bahasa dalam novel bahan penelitian ini adalah bahasa Indonesia. Meskipun menggunakan bahasa Indonesia tetapi tetap memberikan suatu rangkaian linguistik
yang terdiri dari bahasa Indonesia dan bahasa Belanda, baik dalam deskripsi maupun dialog antartokoh. Oleh karena itu, di dalam konteks kajian poskolonialisme ini,
penelitian difokuskan untuk mengidentifikasi dan mengkaji rangkaian linguistik tersebut pada dialog tokoh cerita dan narasi pengarangnya. Dengan demikian,
penggunaan bahasa hasil penerjemahan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia dalam keseluruhan bahasa novel dapat ditempatkan pada kelompok masyarakat
monoglossic, diglossic, atau polyglossic secara valid dan representatif.
2.3 Kerangka Teoretik