Emansipasi Wanita Indonesia Novel Max Havelaar Karya Multatuli .1 Riwayat Hidup Eduard Douwes Dekker

dia sekolah di Yogyakarta, dan bersama Sunario Sastrowardoyo mendirikan Perguruan Rakyat di Jakarta 1928. Di samping itu, dia menjadi pelopor penerbitan pers yang mencapai puncak ketika pada 1937 dia ikut mendirikan dan dipercaya sebagai Direktur I, sedangkan Adam Malik menjadi Wakil Direktur Redaktur Kantor Berita Antara yang beralamat di Jalan Pos Utara No. 53, Pasar Baru, Jakarta. Sementara itu, tokoh Sudarmo dalam novel yang tidak suka bekerja di kantor pemerintah tetapi terpaksa bekerja di sana untuk memperoleh penghasilan memiliki kesamaan dengan riwayat Sugondo yang bekerja di kantor pemerintah. Sugondo pernah bekerja di Kantor Statistik yang beralamat di Jl. Sutomo, Pasar Baru 1935. Ia mondok di rumah pegawai pos bersama beberapa pegawai pos Pasar Baru lainnya di Gang Rijksman Rijswijk, sehingga ia bisa membaca majalah Indonesia Merdeka terbitan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang dilarang masuk ke Indonesia. Dengan demikian, elite birokrasi pendidikan Hindia Belanda yang fokus pada “sekolah liar” memiliki peran ganda, yakni berperan sebagai guru sekaligus jurnalis dan pejuang kemerdekaan Indonesia sebagaimana diperankan oleh Sulastri dan Sudarmo dalam realitas fiksi novel MB dan Suwarsih dengan Sugondo Djojopuspito dalam realitas historis.

4.2.2.3.3 Emansipasi Wanita Indonesia

Sepanjang hayatnya, Suwarsih Djojopuspito mendampingi suaminya, Sugondo Djojopuspito sebagai guru, jurnalis, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Di dalam posisinya sebagai istri, Suwarsih tidak melupakan kedudukannya sebagai Universitas Sumatera Utara perempuan berpendidikan modern yang hidup dalam tradisionalitas Indonesia. Oleh karena itu, dia bertindak lebih hati-hati dalam menyikapi benturan peradaban modern dan tradisional yang sedang tumbuh dan berkembang di Hindia Belanda. Tindakan Suwarsih untuk tidak menerima peradaban modern dengan sepenuh hati dan tidak menolak sepenuhnya peradaban tradisional memberikan sumbangan yang signifikan bagi gerakan emansipasi wanita Indonesia. Emansipasi wanita yang dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika telah memberi hasil pembebasan perempuan Indonesia dari kebodohan dan keterbelakangan. Kebodohan dihapus oleh pemunculan perempuan-perempuan di berbagai sekolah sedangkan keterbelakangan dapat dilihat dari keterlibatan perempuan Indonesia dalam berbagai perhimpunan pemuda dan perhimpunan khusus untuk perempuan. Menurut Wulan 2008:121, “Jaman kaum perempuan bergerak di Indonesia dibuka oleh pikiran R.A. Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan seperti Putri Mardika 1912, JongJava Meiskering, Wanita Oetomo, Wanito Muljo, serta Aisyiah 1917.” Di dalam berjuang membebaskan perempuan dari kebodohan dan keterbelakangan, Suwarsih memilih mengabdikan diri sebagai guru “sekolah liar” dan menjadi anggota PNI dan Perkoempoelan Perempoean Soenda. Posisi strategis Suwarsih dalam gerakan politik dan emansipasi wanita ini tercermin dalam perjuangan Sulastri sebagai tokoh utama novel MB. Dia berkenalan dengan tokoh- tokoh politik, tokoh wanita, sehingga berkesempatan bertemu dengan istri Bung Karno. Universitas Sumatera Utara Tokoh wanita dalam novel ini sedang sibuk menyiapkan Kongres Perempuan Indonesia, “Kongres Perempuan Indonesia sedang dipersiapkan. Marti sedang sibuk, lari ke sini, kemudian ke sana, melihat kembali catatan-catatan pendek yang telah dibuat oleh Kartonegoro, melihat-lihat dalam buku-buku, menulisi beberapa helai kertas, menyobeknya kembali dan tak dapat menyelesaikan ceramahnya.” MB:196 Kongres wanita yang ditampilkan oleh Suwarsih dalam novelnya ini menempatkan Marti sebagai salah seorang tokoh wanita yang ikut menyelenggarakan kongres. Kongres Perempuan Indonesia dalam novel adalah kongres yang diselenggarakan di Jakarta 20-24 Juli 1935. Kongres ini menghasilkan keputusan untuk menyelidiki secara mendalam kedudukan perempuan Indonesia menurut hukum Islam dan berusaha memperbaiki kedudukan itu dengan tidak menyinggung agama Islam. Kedudukan perempuan ini menjadi persoalan berkaitan dengan perlakuan laki-laki terhadap perempuan, seperti praktik poligami tanpa meminta izin dari istri sah pemoligami. Praktik ini terekam dalam novel MB melalui pernikahan ayah Sulastri tanpa persetujuan istri dan anak-anaknya. 4.2.2.4 Novel Oeroeg Karya Hella S. Haasse 4.2.2.4.1 Riwayat Hidup Hella S. Haasse