bangsa penjajah dan terjajah tersebut tetap berada dalam tegangan sehingga bangsa terjajah dapat keluar dari ambivalensi apabila menemukan local genius kepribadian
bangsanya. Hal ini telah diingatkan oleh Ashcroft, dkk. 2007:10 bahwa, “The relationship is ambivalent because the colonized subject is never simply and
completely opposed to the colonizer Hubungan itu ambivalen karena subjek tidak pernah dijajah secara sederhana dan benar-benar bertentangan dengan penjajah.
5.4.2 Ambivalensi Kepribadian Bangsa
Bangsa Belanda dalam novel Hindia Belanda mengalami ambivalensi dalam relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Sebagai bangsa penjajah, bangsa Belanda
memiliki wewenang untuk memperlakukan bangsa jajahan sesuai dengan desain penjajahannya. Sebaliknya, bangsa terjajah diperlakukan sebagai objek yang
dieksploitasi potensi fisik, psikis, dan lingkungan hidupnya. Oleh karena itu, tiga novel yang ditulis oleh pengarang berbangsa Belanda, dan satu novel yang ditulis
pengarang berbangsa Indonesia tetapi berpendidikan Belanda, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan ambivalensi yang menyatu dalam kepribadian tokoh ceritanya.
Pertama, novel MH karya Multatuli menampilkan ambivalensi kepribadian bangsa Belanda dalam menuliskan pesanan novel di Belanda dan menghadapi kasus
KKN di Lebak. Pada kasus yang pertama, laki-laki Barat yang direpresentasikan pada profil Droogstoppel bertindak ambivalen: bersikukuh sebagai makelar kopi tetapi
membuat MoU penulisan novel atas namanya di satu sisi dan di sisi lain ingin bersikap sebagai Kristiani tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan
Universitas Sumatera Utara
anggota keluarga dan pegawainya yang tidak bersikap sebagaimana moralitas Kristen.
Sebaliknya, pada kasus kedua, elite birokrasi pemerintahan mengalami ambivalensi, seperti Residen Banten dan Kontrolir Lebak. Kedua elite birokrasi
pemerintahan Hindia Belanda ini mengalami ambivalensi dalam menghadapi kasus KKN Regen Lebak. Residen Banten tidak dapat bertindak tegas menghadapi Regen
Lebak karena secara berkala mendapat pasokan perempuan-perempuan cantik untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Sebaliknya, Kontrolir Lebak bertindak ragu-ragu
melaporkan perbuatan Regen Lebak dan kroninya yang melanggar hukum karena mengetahui akibat yang akan diterimanya sebagaimana terjadi pada mantan Asisten
Residen Lebak: tewas diracun. Keadaan elite birokrasi pemerintan yang dilematis itu menyulitkan Havelaar untuk membongkar dan menuntaskan kasus KKN Regen
Lebak dan kroninya. Kedua, di dalam novel BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs terdapat sikap
ambivalensi asisten kebun dalam memandang “koeli kontrak”. Misalnya, pandangan asisten terhadap kelambanan pribumi ternyata tidak 100 benar. Hal ini disebabkan
kuli-kuli tersebut bekerja dengan cekatan dan tidak melambat-lambatkan pekerjaannya. Dengan demikian, pandangan asisten tentang kelambanan kuli-kuli
dalam bekerja ternyata disebabkan cara berbicara para asisten yang tidak sopan
seperti membentak sebagaimana diperlihatkan dalam kejadian berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan John van Laer terhadap tukang rakit sebagai orang yang lamban sekaligus orang yang cekatan dan tangkas. Hal ini dapat diidentifikasi dalam kejadian
pada permulaan cerita BNdKK berikut ini.
“Di mana suamimu?” bentaknya kepada wanita itu. Wanita itu tak bergerak. “He, di mana suamimu?”
Wanita itu berbalik. Wajahnya yang murung memandang John. “Kau tuli? Aku bertanya di mana suamimu”
“Tuh” Dengan kesal ia menunjuk ke seberang sungai. John menarik napas dengan kesal. Selalu saja kelambanan yang menjengkelkan Selalu kemalasan
yang menyakitkan hati BNdKK:2 Ambivalensi dalam realitas fiksi tidak hanya dialami oleh John melainkan
juga Renée. Renée sebagai istri elite birokrasi perkebunan di Sumatera Timur terjebak gaya hidup Barat di Deli: berselingkuh dan bercerai. Di satu sisi terdapat
keinginan untuk membina rumah tangga yang ideal tetapi di sisi lain ingin hidup bebas sebagai wanita karier. Hal inilah yang terus-menerus terjadi dalam kehidupan
Renée sebelum diceraikan oleh suaminya, John. Realitas fiksi ini berkaitan erat dengan realitas historis pengarang yang menimbulkan skandal perselingkuhan elite
birokrasi perkebunan di Sumatera Timur. Hal tersebut dapat diidentifikasi dalam kutipan berikut ini.
Apakah itu keterlaluan? Permainan yang berbahaya? Pengkhianatan kepada John? Ah, tidak Renée ‘kan tahu apa yang dilakukannya. Dia ‘kan bukan
anak kecil lagi. Dan ratusan kali permainan telah dilakukannya dulu di Belanda. Dulu di Belanda.Tapi itu permainan di antara permainan-permainan,
sambilan. Di sini ini merupakan permainan satu-satunya. Ah, omong kosong Dia cinta kepada John. Hanya, dia menginginkan pergantian. Tidak bisa dia
seperti Marian, seluruhnya menyatu dengan perkawinan. Tidak ada hal-hal lain dalam hidupnya kecuali popok, buku masak, kesempatan promosi, dan
ayam. BNdKK:139
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, di antara ketiga novel Hindia Belanda di atas, muncul novel MB yang ditulis oleh pengarang berkebangsaan Indonesia, penduduk asli Hindia Belanda,
yakni Suwarsih Djojopuspito. Novel ini tidak terlepas dari persoalan ambivalensi yang terjadi dalam kepribadian bangsa terjajah yang direpresentasikan pada sosok
Sudarmo. Meskipun Sudarmo berstatus kepala sekolah dan tokoh pergerakan kemerdekaan melalui sekolah dan surat kabarnya, Sudarmo tetap terjebak dalam
ambivalensi. Bentuk ambivalensi yang terjadi dalam diri Sudarmo merupakan akibat yang
logis dari kesulitan ekonomi para pemuda pergerakan. Di satu sisi mereka melawan pemerintah tetapi di sisi lain mereka bekerja dan memperoleh penghasilan dari
pemerintah Hindia Belanda. Hal inilah yang terjadi dalam diri Sudarmo sebagai representasi Sugondo, suami Suwarsih yang mempelopori pelaksanaan Kerapatan
Pemuda-pemuda Indonesia yang kemudian terkenal dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sudarmo dalam realitas fiksi dan Sugondo dalam realitas historis
berprofesi sebagai guru dan aktivis pers yang mengalami kesulitan keuangan sehingga terpaksa bekerja sebagai pegawai kantor Hindia Belanda di Batavia.
Keempat, novel Oe karya Hella S. Haasse memperlihatkan ambivalensi kepribadian bangsa dalam sosok ayah tokoh “aku”. Ayah tokoh “aku” sebagai
representasi orang Barat yang menjadi elite birokrasi perkebunan mengalami ambivalensi dalam menghadapi masa depan Oeroeg. Semula, dia ingin memisahkan
anaknya yang terpengaruh oleh kepribadian Oeroeg. Hal itu dengan tegas diucapkannya kepada anaknya, “Kau tidak berkembang, dengan cara begini. Nanti
Universitas Sumatera Utara
kau mirip pribumi, itu yang kucemaskan.” Oe:60 Akan tetapi, jasa ayah Oeroeg yang menyelamatkan nyawa keluarganya dari kecelakaan di Telaga Hideung telah
menjadikan dia ragu-ragu dalam bertindak. Sikap ambivalen ayah tokoh “aku” tersebut dapat diidentifikasi dari kekesalannya berikut ini.
“Oeroeg, Oeroeg,” katanya kesal, “selalu Oeroeg.” Ia menambahkan ketika menatap wajahku, “Suatu hari nanti kau harus bisa hidup tanpa Oeroeg.
Menurutku, pertemanan ini sudah terlalu lama. Kau tidak pernah bergaul dengan teman-teman sekelasmu ya? Undang beberapa orang ke sini, saat
ulang tahunmu. Mereka akan dijemput dan diantar pulang dengan mobil. Aku mengerti kau tidak bisa lepas dari Oeroeg. Itu tidak bisa dihindari. Aku harus
melakukan sesuatu untuk anak itu. Tapi begitu Oeroegb tamat sekolah, ia harus bekerja sementara kau harus terus belajar. Lagi pula...,” ia ragu-ragu
sebentar sebelum menambahkan, “kau pasti bisa mengerti, Nak. Kau orang Eropa.” Oe:61
Dari kejadian di atas, Oeroeg sebagai representasi Timur ingin dipisahkan dari
tokoh “aku” oleh ayah tokoh “aku” sebagai reprsentasi Barat. Akan tetapi, sikap tersebut mengalami perubahan karena kesibukan ayahnya bekerja dan memenuhi
kebutuhan istri barunya. Oleh karena itu, ayah tokoh “aku” memberi garis tegas dalam batas ambivalensinya dengan cara memberi biaya sekolah dan membebaskan
anaknya bergaul dengan Oeroeg. Apalagi, terdapat relasi gender Oeroeg dengan Lida yang meyakinkan ayah tokoh “aku” sebagaimana terlihat dalam kejadian berikut,
“Kalau ayahmu membayar uang sekolah anak ini, ia juga harus diurus,” kata Lida sebagai penjelasan atas keputusannya membawa Oeroeg ke rumahnya.” Oe:73
Universitas Sumatera Utara
5.4.3 Local Genius Ambivalensi