Menno ter Braak,“ dalam Verzameld werk. Jilid 5 1949, Menno ter Braak, “Indische ‘toestanden’” dalam Verzameld werk. Jilid 6 1950, Rob Nieuwenhuys, “4. M.H.
Székely-Lulofs” dalam Oost-Indische spiegel 1972, Maaike Meijer, “Witheid in de literaire verbeelding Rubber 1931 van Madelon Székely-Lulofs in het licht van
Playing in the Dark 1992 van Toni Morrison. Maaike Meijer” dalam Forum der Letteren. Tahun 1995 1995, Peter van Zonneveld, “3 Indische literatuur van de
twintigste eeuw Peter van Zonneveld” dalam Europa buitengaats 2 jilid 2002, Menno ter Braak, “Mevr. Székely-Lulofs aan het woord” dalam Vaderlandartikelen
1934 2009, dan Menno ter Braak, “Van de leestafel” dalam Vaderlandartikelen 1937 2009.
4.2.2.2.2 Elite Perkebunan Karet Deli
Liberalisasi sistem politik di Kerajaan Belanda berimplikasi pada sistem pemerintahan di Hindia Belanda. Liberalisasi politik dalam sistem pemerintahan
Belanda disikapi oleh politisi dan elite birokrasi pemerintahan di Hindia Belanda dengan pemunculan liberalisasi dalam bidang perekonomian. Liberalisasi
perekonomian ditandai oleh investasi asing di Hindia Belanda yang terbuka untuk pemilik modal tanpa memandang asal negara dan kebangsaannya. Hal ini
memunculkan penguasa-penguasa baru dalam perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda, terutama perkebunan tembakau, kopi, dan karet yang baru memperoleh areal
penanaman yang cocok di Deli, Sumatera Timur.
Universitas Sumatera Utara
Pembukaan perkebunan tembakau, kopi, dan karet di Deli dimulai oleh Said Abdullah bin Alsagaf
18
Tidak sampai satu tahun mengusahakan tembakau Deli, tepatnya 1963, Jacobus Nienhuys keluar dari firma tembakau Belanda dan mendirikan perusahaan
sendiri. Dia memperoleh konsesi tanah dari Sultan Mahmud untuk penanaman tembakau selama 20 tahun dengan 5 tahun pertama dibebaskan dari kewajiban
membayar pajak sebesar 200 gulden per tahun. Tanah yang diusahakannya terletak di seluas 4.000 bau di tepi Sungai Deli, tepatnya di daerah Martubung.
, keturunan Arab yang memiliki hubungan perkawinan dengan keluarga Raja Deli. Abdullah mengirim contoh daun tembakau Deli kepada pedagang
tembakau Belanda di Surabaya. Usaha pedagang yang menjadi penasihat Sultan Deli ini untuk menarik minat pengasaha Belanda membuka perkebunan di Deli membawa
hasil. Menurut laporan A. Hoynck van Papenrecht dalam Sinar-Basarshah II 2010:6, “Pada tanggal 7 Juli 1863 Tuan Falk, Tuan Kuyper, Tuan Eliot dan Tuan J.Nienhuys
dari firma tembakau Belanda “Van Leeuwen en Mainz Co.” tiba di Deli dengan “Josephine”. Mereka memperoleh sewa untuk masa 20 tahun dari Sultan.”
19
18
Luckman Sinar Basarshah II, Kedatangan Imigran-imigran China ke Pantai Timur Sumatera Abad ke-19 Medan: Formala Sumut, 2010, p. 5-6. Lihat juga, Nurhamidah., Sejarah Buruh Perkebunan di
Sumatera Timur”. Dalam Historisme Edisi No. 21Tahun XAgustus 2005, p. 15 yang menyebut nama Sayid Abdullah Ibn Umar Bilsaqih seorang Arab kelahiran Surabaya. Lihat juga, Pelzer 1985:51.
Menurut Sinar- Basarshah II 2010:6, di dalam menjalankan usahanya, Nienhuys mendatangkan 88
orang kuli Cina dari Penang dan menurut Nurhamidah 2005:16 terdapat 23 orang Melayu yang bekerja sebagai buruh harian.
19
Nurhamidah, “Sejarah Buruh Perkebunan di Sumatera Timur”. Dalam Historisme Edisi No. 21Tahun XAgustus 2005, p. 15. Lihat juga, Luckman Sinar Basarshah II 2010:6 dan Luckman
Sinar Basarshah II 2006:314-318.
Universitas Sumatera Utara
Keberhasilan Nienhuys menanam dan menaikkan harga tembakau di pasar internasional menarik minat pengusaha asing membuka perkebunan di Deli, seperti
pengusaha Belanda, Perancis, Swiss, Jerman, Inggris, dan Amerika. Menurut Suwirta 2002:22, menjelang 1920-an, perkebunan di Deli mencapai luas yang
mencengangkan. Mulai dari pusatnya di Medan, perkebunan terhampar sepanjang 100 km jaraknya ke arah timur laut berbatasan dengan Aceh, kemudian ke arah
selatan ke bukit-bukit sekitar Pematang Siantar, dan lebih dari 200 km ke arah tenggara ke dataran tinggi di daerah Asahan.
Jenis tanaman tidak hanya tembakau melainkan juga kopi dan karet. Menurut Sinar-Basharshah II 2006:315, tanaman kopi Liberia berkembang luas sejak 1880 di
Serdang, Asahan, Langkat, dan Batubara. Sedangkan tanaman karet dibuka untuk pertama kali oleh Deli Mij jenis karet hevea brasiliensis tahun 1897 di perkebunan
Pangkatan, Labuhan Batu. Menurut Pelzer 1985:74, percobaan penanaman karet dilaksanakan awal 1885 di onderneming tembakau Mariendal dan Rimbun.
Penanaman karet dalam jumlah besar mulai terjadi pada 1906 di Asahan dan memberikan produksi yang menguntungkan pengusaha dan pemerintah. Perusahaan
NV Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam, misalnya mengusahakan karet di Tanah Raja, Sei. Putih, Rambutan, Sei,. Mangkei, Sei. Silau, Sei. Dadap, Bandar
Selamat, Membang Muda, dan Merbau Selatan yang mementang dari Kabupaten Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Simalungun, Batubara, Asahan, Labuhan Batu
Utara, dan Labuhan Batu; NV Handel Vereeniging Amsterdam di Bangun dan Bandar Betsy Simalungun; dan, NV Rotterdam Tapanuli Cultuure Maatschappij di
Universitas Sumatera Utara
Hapesong Tapanuli Selatan
20
Keberhasilan perkebunan karet di Sumatera Timur diikuti oleh masuknya perusahaan-perusahaan asing yang tidak dimiliki bangsa Belanda. Menurut Indera
dan Suprayitno 2004:1, perusahaan asing seperti Horisson and Crosfield 1904, Good Year and Rubber Company 1909, Hollandsch Amerikanse Plantage
Maatschappij 1911 membuka perkebunan karet di Asahan, Simalungun, dan Labuhan Batu. Perkebunan karet yang luas tersebut membutuhkan tenaga kerja yang
besar tetapi murah sehingga agen kuli tidak hanya mendatangkan kuli Cina dan Tamil melainkan juga kuli Jawa. Menurut Hoetink dalam Breman, 1997:149 persoalan
kuli di perkebunan ini sesuai nasihat Dewan Hindia pada 1903 yang menyatakan, “Syarat utama agar dapat mengembangkan Hindia-Belanda adalah berdirinya
sejumlah perusahaan pertanian dan industri di pulau-pulau di luar Jawa, yak tak dapat berdiri tanpa datangnya tenaga kerja dari luar.” Oleh karena itu, untuk mengatur
“koeli kontrak” di Sumatera Timur, maka pada 1909 dibentuk AVROS Algemeene Vereniging Rubberplanters Dost kust Van Sumatra.
. Perusahaan-perusahaan tersebut memberi konstribusi dalam menciptakan kultur perkebunan dari hasil lelang karet yang mencapai masa
keemasan pada tahun 1920-an. Bahkan, karet menjadi juru selamat bagi onderneming tembakau dan kopi yang bangkrut di Sumatera Timur.
20
Perusahaan-perusahaan ini mengalami alih kepemilikan dari Belanda kepada Indonesia yang sekarang dikelola oleh PT Perkebunan III di Sei. Sikambing, Medan. Komoditi yang dihasilkannya
tidak terbatas pada karet saja melainkan juga kelapa sawit dan kakao.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.3: Grafik Perkembangan Jumlah “Koeli Kontrak” Menurut SukuBangsa di Sumatera Timur
21
Berdasarkan grafik di atas, pertumbuhan kuli Cina yang didatangkan dari Penang dan Cina mendominasi jumlah kuli di Deli. Periode 1874-1900 kuli Cina
mencapai 63 dari jumlah kuli di Deli. Sedangkan kuli Jawa mencapai 21,8 dan kuli Tamil mencapai 15,2 dari jumlah kuli di Deli. Meskipun kuli Cina paling
banyak di Deli tetapi kuli Jawa mengalami pertumbuhan yang signifikan dibandingkan kuli Cina dan Tamil. Bahkan, kuli Cina mengalami ketidakstabilan
sejak tahun 1890 di mana pertumbuhan tahun 1890-1900 hanya 108,7 sedangkan pertumbuhan tahun 1874-1890 sebesar 1.202,1. Sebaliknya, kuli Jawa mengalami
pertumbuhan pesat di mana tahun 1874-1890 mencapai 4.698,4 dan tahun 1890-
21
Grafik disusun berdasarkan tabel data perkembangan kuli-kuli yang berasal dari Cina, Tamil, dan Jawa yang dipekerjakan Belanda di perkebunan tembakau dan karet Deli dan sekitarnya. Lihat,
Basyarshah II, op.cit., p. 343; Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe Tanpa Kota dan Nama Penerbit, 2009, p. 58.
10.000 20.000
30.000 40.000
50.000 60.000
70.000
1874 1890
1900 Cina
Tamil Jawa
Universitas Sumatera Utara
1900 mencapai 169,9. Di samping kuli Cina dan Jawa, meskipun jumlahnya paling sedikit tetapi kuli Tamil mengalami pertumbuhan cukup signifikan di mana pada
1874-1890 tingkat pertumbuhannya mencapai angka 535,9 dan pada 1890-1900 mencapai angka 132,9.
Pemunculan perusahaan tembakau, kopi, dan karet dari berbagai negara Eropa dan Amerika memunculkan kelompok elite birokrasi perkebunan di Sumatera Timur,
dengan Deli sebagai pusat pertumbuhannya. Elite perkebunan karet Deli pada masa pemerintahan Hindia Belanda terdiri dari administratur kepala, administratur, asisten
kepala, dan para asisten yang berasal dari berbagai bangsa di Eropa. Mereka dibantu oleh para kerani dan mandor yang berasal dari bangsa pribumi dan “koeli kontrak”.
Elite birokrasi perkebunan ini mendapat perhatian dari Baay 2010:132 berikut ini. Kepala administrator di Deli mewakili seorang direksi. Ia bertugas mengawasi
perkebunan dan bertanggung jawab atas baik dan buruknya perusahaan. Detiap perkebunan dikepalai oleh seorang administrator. Di bawah
administrator terdapat para asisten seperti kepala administrator dan administrator, mereka juga selalu orang Eropa. Di bawah mereka masih ada
para mandor dan tandil pengawas yang orang Asia. Hirarkinya pun diakhiri oleh para kuli Pribumi.
Elite birokrasi perkebunan di Deli memunculkan pola hidup baru dalam
kehidupan yang multikultur di Sumatera Timur. Hubungan antarorang didasarkan pada relasi tuan dan kuli yang meluas pada keluarga tuan dan kuli. Istilah “tuan”
mengacu pada elite birokrasi perkebunan sedangkan kuli mengacu pada pekerja, baik penduduk lokal maupun “koeli kontrak” dari Cina, India, dan Jawa. Menurut Breman
1997:82-83, tuan dalam istilah Deli meliputi tuan besar dan tuan kecil. Untuk diangkat sebagai tuan kebun atau administratur, orang harus bekerja selama bertahun-
Universitas Sumatera Utara
tahun sebagai asisten tuan kecil. Soal pendidikan dan kebangsaan tidak terlalu diperimbangkan karena yang diperlukan pengusaha perkebunan adalah badan yang
sehat dan kuat sehingga tahan bekerja seharian di perkebunan karet. Akan tetapi, dikotomi Barat dan Timur tetap dipertahankan dengan orang Barat dari Eropa sebagai
elite birokrasi perkebunan, kelompok Indo-Eropa sebagai klerek juru tulis, dan orang-orang Jawa, Cina, serta India yang didatangkan khusus oleh pengusaha dan
pemerintah berkedudukan sebagai “koeli kontrak”. Berdasarkan penjelasan di atas, elite birokrasi perkebunan tidak harus
berpendidikan tinggi, bahkan terdapat elite yang tidak jelas pendidikannya yang merantau ke Deli karena menjadi pengangguran di Eropa. Salah seorang elite
birokrasi perkebunan dideskripsikan oleh Székely-Lulofs dalam novelnya berikut ini. Dan John menganggap, dengan rasa syukur dan puas bahwa dia sekarang
tidak merasa sepi sama sekali lagi di antara Van der Meulen; memang dia orang yang baik, tapi tidak berpendidikan dan kasar, yang hampir-hampir buta
huruf. Bahwa dia, sesudah setengah tahun hidup dari yang itu ke itu saja, bicara tidak lain dari kerja, dari keret, dari kuli-kuli ... bahwa dia sekarang
bisa lagi dan membicarakan sebuah buku, menamatkannya; bisa berfilsafat sedikit, bicara sedikit tentang hal-hal yang tak dapat dijadikan harga-harga
dan ukuran. BNdKK:55 Elite birokrasi perkebunan di Deli menerapkan aturan khas yang memaksa
para kuli tetap bekerja di perkebunan itu. Sistem yang diterapkan antara lain penerapan “kupon” sebagai alat bayar yang sah untuk pembelian sembako di tempat
berjualan yang ditetapkan oleh pihak perkebunan. Biasanya para kuli, kerani, dan mandor menukarkan kupon di kedai-kedai Cina yang berada di lingkungan
perkebunan, sedangkan para asisten dan administratur menukarkan kupon di toko dan
Universitas Sumatera Utara
klub elite birokrasi perkebunan di perkotaan. Bahkan, perkebunan di Sumatera Timur telah memiliki mata uang sendiri yang hanya berlaku di perkebunan tersebut,
sehingga tidak memiliki nilai investasi bagi keberlangsungan hidup kuli. Hal ini diakui oleh Ichwan Azhari dalam wawancara tanggal 20 Juni 2012 di Kantor Program
Studi Antropologi Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan, “Kalau uang itu mereka tabung, mereka lari, tidak laku uangnya. Itu Ada 100 uang kebun yang saya
berikan di Museum Negeri Sumatera Utara itu. Kalau itu jahat sekali, gulden tidak dipakai.” Mengenai bentuknya, Ichwan Azhari mengatakan, “Bentuknya bermacam-
macam, ada segitiga bentuk uangnya, suka-suka, dan dicetak di Belanda. Di tengah uang ada lubang. Lama saya berpikir untuk apa lubang itu. Rupanya waktu gajian
kebun ada paku di meja, waktu gajian diletakkan uangnya di situ.” Uang tersebut hanya digunakan di lingkungan perkebunan. “Untuk judi boleh, bahkan, untuk
melonte juga boleh. Mereka boleh menukarkan itu kurs kembali pada tuan kebon tukar gulden, boleh.”
Sistem perekonomian yang terjadi di perkebunan karet di Deli –Sumatera Timur- mendapat perhatian Székely-Lulofs dalam novelnya BNdKK sebagaimana
terekam dalam kutipan berikut ini. “Di sini semuanya beres saja,” ia menjelaskan. “Tak pernah kita membayar
tunai. Semuanya memakai bon. Ingat, kamarmu juga, semua yang kaupesan di hotel. Dan kalau kau sempat punya uang, bayarlah utangmu. Tiap orang
berbuat demikian. Di toko mana saja, kita tidak perlu membayar. Hanya menulis pesanan, tapi jangan lupa menandatanganinya. Kemudian, jangan
menerima rekening apa pun tanpa bon kita disertakan. Kalau tidak, kita akan disuruh membayar macam-macam, yang justru tidak kita lakukan. Tidak perlu
buru-buru membayar. Kebanyakan orang membayar kalau mereka menerima tantieme-nya, dan kalau kebetulan mereka datang ke kota. Begitulah akhlak
Universitas Sumatera Utara
tuan kebun khusus di Deli. Hal ini akibat sebagian besar mereka bujangan .... Tak ada orang yang turut membereskan urusan kita, dan malam-malam kita
sendiri teralu lelah untuk itu. Nah, prosit, kawan-kawan Kalian sudah tahu juga, bukan?” BNdKK:38
Perkembangan industri tembakau, kopi, dan karet yang meluas di Sumatera
Timur tidak hanya menghidupkan perekonomian melainkan juga membuat insan pers menjadikan Kota Medan sebagai pusat industri persuratkabaran. Menurut Sinar-
Basharshah II 2006:340, “Mula-mula terbit “De Deli Courant” 1885 meskipun permulaannya terbit hanya 2 kali seminggu, kemudian disusul oleh “De Sumatra
Post” 1898 dan majalah “De Planter” 1909.” Surat kabar yang hadir pertama di Medan ini menggunakan bahasa Belanda tetapi memberitakan peristiwa aktual di
Sumatera Timur. Misalnya, surat kabar De Sumatra Post, Medan, 22 Juli 1929, memberitakan pembunuhan Parnabolon dengan judul berita “De Moord op
Parnabolon” dengan teras berita, “Hedenochtend om 9 uur kwam de Landraad van Siantar bijeen, om het vonnis to vellen over den moordenaar van mevr. Landzaat.”
22
Terdakwa dijatuhi hukuman mati. Pagi ini pukul 9 pertemuan Dewan Siantar memberikan penilaian terhadap Putusan untuk pembunuh Ny. Landzaat. Terdakwa
itu sendiri diberitakan, “In den loop van den dag werd Salim onder politiegeleide naar de gevangenis te Medan overgebracht.”
22
Pembunuhan terhadap perempuan Eropa ini diberitakan oleh koran-koran di Medan, seperti De Sumatra Post Medan terbitan 22 Juli 1929. Lihat juga pada Deli Courant. Bahkan, kasus ini
menimbulkan polemik yang melibatkan koran Pewarta Deli dengan Deli Courant.
Dalam perjalanan ke penjara, Salim di bawah pengawalan polisi dipindahkan ke Medan.
Universitas Sumatera Utara
Kasus kuli membunuh istri asisten kebun menjadi polemik surat kabar di Medan. H.N.A. inisial Hasan Noel Arifin dalam tajuk rencana surat kabar Pewarta
Deli menganggap pembunuhan Ny. G.J. Landzaat van Rijnerk di Parnabolon, Simalungun sebagai peristiwa kecil dibandingkan dengan korban Perang Dunia I. Di
‘Indonesia Restaurant’ Jalan Kanton Medan, H.N.A. nyaris dipukul oleh JHR Tack – sipir penjara di Binjai- yang tidak senang dengan tajuk rencana itu. Bukannya
berhenti, H.N.A. justru menanggapi respon tersebut dengan tidak mengubah penyebutan korban sebagai “si” perempuan.
Tulisan H.N.A. yang menggunakan kata “si” untuk menyebut perempuan terhormat Belanda mendapat protes keras dari elite pemerintahan Hindia Belanda.
Hal ini disebabkan, orang-orang Belanda di Deli lewat surat kabar “Deli Courant” menganggap Ny. Landzaat bukan seorang “si” melainkan seorang “dame” terhormat
dari kalangan bangsa “tuan”. Akibat polemik tersebut, pengusaha Belanda mencabut iklannya dari Pewarta Deli sesuai surat rahasia perkumpulan dagang Belanda
bertanggal 22 Juli 1929. Bahkan, Belanda mengadakan penggeledahan dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh pers di Medan.
23
Penyerangan dan korban yang tewas selama masa konflik kuli dengan asisten di Deli dapat dilihat dari grafik berikut ini.
23
Muhammad TWH., Sejarah Perjuangan Pers Sumatera Utara Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, 2001, pp. 19-21. Novelber 1929, H.N.A. akhirnya
diberhentikan oleh direksi Abdullah Loebis setelah terlebih dahulu memberhentikan Mangaradja Ihoetan sebagai pemimpin redaksi Pewarta Deli.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.4: Grafik Penyerangan “Koeli Kontrak” terhadap Asisten Kebun Belanda Menurut Jumlah Penyerangan dan Korban Tewas Periode 1922-1925
24
Polemik berkepanjangan antara insan pers Hindia Belanda dan Belanda didasarkan pada frekuensi penyerangan kuli terhadap asistennya. Menurut Sinar-
Basharshah II 2006:436, “Di berbagai kebon milik asing terjadi penyerangan buruh terhadap asisten kebon. Gubernur Jenderal di Betawi mendesak agar “Poenale
Sanctie” segera diganti dengan “Koeli Ordonantie 1931”
25
24
Grafik disusun berdasarkan tabel data perkembangan kuli-kuli yang berasal dari Cina, Tamil, dan Jawa yang dipekerjakan Belanda di perkebunan tembakau dan karet Deli dan sekitarnya. Lihat,
Basyarshah II, op.cit., p.433.
. Berdasarkan gambar 4.4, kasus pembunuhan terhadap asisten perkebunan di Deli dalam empat tahun tersebut
25
Kasus penyerangan asisten oleh kuli tidak semata-mata disebabkan oleh perilaku tidak baik dari kuli melainkan juga disebabkan oleh perilaku asisten yang selalu melakukan penganiayaan terhadap kuli.
Kasus Pulau Mandi, misalnya, melibatkan asisten bernama Kozo Oriuchie 32 tahun berkebangsaan Jepang yang menjadi terdakwa penganiayaan yang terbuas terhadap “koeli kontrak” di Asahan, 7-16
Agustus 1926. Kutipan laporan lengkap harian Benih Timoer Medan mengenai persidangan itu dapat dilihat pada Mohammad Said, Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya
Medan: Percetakan Waspada, 1977, pp. 177-216. 5
10 15
20 25
30 35
1922 1923
1924 1925
Penyerangan Korban Tewas
Universitas Sumatera Utara
rata-rata 6,7 korban tewas dari penyerangan yang dilakukan oleh para kuli. Penyerangan yang paling banyak dengan korban tewas paling banyak terjadi pada
tahun 1925 dengan persentase korban tewas sebesar 10,71 di mana dari 28 kali penyerangan terdapat 3 korban tewas. Kemudian, tahun 1923 dengan persentase
sebesar 6,45 di mana dari 31 kali penyerangan terdapat 2 korban tewas. Selebihnya, tahun 1924 dengan persentase 5,26 di mana dari 19 kali penyerangan terdapat 1
korban tewas dan tahun 1922 dengan persentase 3,85 di mana terdapat 26 kali penyerangan dengan 1 korban tewas.
Sebetulnya, mula-mula dibuka perkebunan di Indonesia di Medan ini mereka mendatangkan kuli-kuli itu dari Cina melalui Penang, sudah itu berubah
dibawa dari Jawa. Nah tetapi karena kuli kontral ini penderitaannya luar luar biasa dibandingkan dengan masyarakat di luar, lebih parahlah ini. Malah
dikatakan itu perbudakan modern. Belanda-belanda sendiri memprotes tindakannya itu tetapi Belanda tidak mau tahu, pemuda Belanda tak mau tahu.
Karena dengan hasil yang luar biasa ini dan hukuman yang luar biasa terhadap buruh-buruh ini maka mereka produksi yang tinggi. Nah akibat dari mereka
banyak yang membunuh asisten perkebunan, tuan Belanda. Penyerangan dan pembunuhan asisten oleh kuli sesuai dengan pengakuan
Muhammad TWH dalam wawancara dengan peneliti di sekretariat Yayasan Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, Medan, 27 Juni 2012. Muhammad TWH sebagai
jurnalismantan wartawan mengatakan sebagai-berikut:
Perlawanan kuli terhadap elite birokrasi perkebunan melahirkan berbagai
perkumpulan penguasa perkebunan. Bahkan, perusahaan-perusahaan besar di Deli memiliki kekuasaan yang besar setelah berdiri Deli Plantersvereniging perkumpulan
pengusaha perkebunan Deli pada tahun 1879. Menurut Baay 2010:135, “Pendirian perkumpulan ini merupakan permulaan dari planterslobby lobi pengusaha
Universitas Sumatera Utara
perkebunan, sebutan dari faktor kekuasaan yang mereka bentuk. Lewat lobi ini, mereka memiliki otonomi yang cukup dan bekerja tanpa banyak pemeriksaan dari
pemerintah.” Lobi pengusaha perkebunan Deli ini disusul oleh pembentukan AVROS 1909 yang dikonsentrasikan pada urusan kuli.
Di dalam perkembangannya, lobi Deli Plantersvereniging dan AVROS hanya berkisar pada legalitas “koeli kontrak”. Masalah kesejahteraan dan peningkatan
martabat kuli belum memberikan sehingga memunculkan perlawan terhadap perilaku asisten. Hal ini tercermin dari munculnya penyerangan-penyerangan kuli terhadap
asistennya sendiri. Meskipun persentase korban tewas belum mencapai satu digit tetapi penyerangan dan korban tewas memunculkan spekulasi adanya kesadaran
rakyat untuk perbaikan nasibnya. Hal ini memunculkan kekhawatiran tersendiri bagi elite birokrasi perkebunan yang justru telah membawa keluarga menetap bersama
asisten dan kuli perkebunan di Deli dan sekitarnya. Meskipun demikian, Neil 2009:276 menyangsikan kesadaran rakyat
Indonesia akan perubahan di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan sedang terjadi perubahan gaya hidup dalam relasi gender di Hindia Belanda. Misalnya, kedatangan
perempuan-perempuan Eropa ke Jawa dan Sumatera pada awal abad XX memberi perspektif baru dalam kekuasaan, gaya hidup, dan relasi gender. Berdasarkan keadaan
tersebut, Neil 2009:276 berkesimpulan, “Sebenarnya sukar mengatakan akan ke mana menjuruskan modifikasi ini, karena sebelum konsep-konsep baru dapat
distabilkan, depresi ekonomi tahun 1929 pun datang mencampuri.”
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1929-1930 menjadi masa buruk dalam masa keemasan perkebunan di Deli. Depresi ekonomi dunia melemahkan harga-harga komoditi perkebunan,
sehingga berpengaruh terhadap keberlangsungan pekerjaan para kuli dan asisten. Bahkan, PHK Pemutusan Hubungan Kerja menjadi kebijakan tidak populis yang
terpaksa dilakukan terhadap asisten bagi pengusaha di Deli. Hal ini menjadi sorotan Székely-Lulofs dalam novelnya, BNdKK, di mana asisten Frank yang tergolong
berhasil dalam karier harus menerima kenyataan pahit: diberhentikan dengan hormat dari pekerjaannya sebagai asisten kebun karet di Deli. Keadaan Deli pada masa
depresi ekonomi dunia dideskripsikan oleh Sinar-Basarshah II 2010:436 berikut ini. Mulai berpuncaknya zaman “malaise” depresi ekonomi dunia yang
menyentuh hebt wilayah Sumatera Timur yang selama ini hanya bergantung dari eksport. KNILM membuka hubungan udara Polonia menyinggahi Medan.
Pendapatan rakyat menurun. Uang kontan jarang ada dan beras sulit sehingga rakyat di kampung mulai membuka hutan untuk berladang. Pajak sulit dikutip,
kriminalitas meningkat, orang banyak berutang pada ceti. Banyak toko-toko tutup dan pengangguran bertambah. Kebon banyak ditutup.
Berdasarkan penjelasan di atas, elite birokrasi perkebunan memainkan peranan penting dalam menghadirkan relasi “tuan” dan “kuli” di Deli, Sumatera
Timur. Relasi “tuan” dan “kuli” memunculkan sistem perekonomian dan sistem budaya yang khas Deli sehingga memaksa pemerintah Hindia Belanda melakukan
penyesuaian aturan hukumnya. Penyesuaian aturan hukum tidak hanya mempertimbangkan kepentingan pengusaha tetapi juga kepentingan kuli. Pengabaian
aturan yang tidak berpihak pada martabat kuli mengakibatkan penyerangan dan pembunuhan asisten beserta istri asisten di perkebunan-perkebunan Deli. Realitas
histroris ini menjadi perhatian Székely-Lulofs sehingga memasukkan realitas historis
Universitas Sumatera Utara
yang menjadi bagian dari riwayat hidunya di Hindia Belanda sebagai tindakan dan kejadian dalam realitas fiksi novelnya.
4.2.2.2.3 Perempuan: Istri, Nyai, dan Pembantu