Perempuan: Istri, Nyai, dan Pembantu

yang menjadi bagian dari riwayat hidunya di Hindia Belanda sebagai tindakan dan kejadian dalam realitas fiksi novelnya.

4.2.2.2.3 Perempuan: Istri, Nyai, dan Pembantu

Perempuan menjadi kosakata yang sensitif dalam relasi gender di perkebunan- perkebunan Deli. Perempuan dalam konteks ini berposisi sebagai istri, nyai, dan pembantu. Posisi istri mulai menemukan bentuk setelah perkebunan-perkebunan di Deli memberi penghasilan yang cukup bagi keberlangsungan hidup menurut ukuran orang Eropa. Ketidakmauan atau bahkan ketidakmampuan asisten mengikuti gaya hidup wanita Eropa yang tertolong dengan peraturan larangan menikah bagi asisten baru bertugas di Deli menumbuhkan praktik pergundikan di perkebunan Deli. Perempuan-perempuan yang terjerat pergundikan di kalangan asisten memperoleh kedudukan terhormat di kalangan pribumi dengan penyebutan: Nyai. Perempuan berstatus nyai pada hakikatnya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga yang merangkap sebagai istri tidak sah dari majikannya. Menurut Breman 1997:208, “Pengurus rumah tangga adalah istilah yang sangat netral untuk seorang gundik Jawa nyai yang cantik dan patuh, tetapi sekaligus bertingkah dan tak mudah dimengerti.” Bahkan, perempuan-perempuan yang bekerja di perkebunan biasanya bertempat tinggal di rumah laki-laki yang belum sah sebagai suaminya. Oleh karena itu, Breman 1997:208 melaporkan hasil pengamatannya bahwa, “Menurut anggapan yang berlaku di perkebunan; semua kuli perempuan adalah pelacur, atau terpaksa menjadi pelacur.” Universitas Sumatera Utara Praktik pergundikan di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur merupakan keharusan. Hal ini diungkapkan oleh Stoler 2005:49 bahwa, “Kuli-kuli perempuan masih muda-muda dan hampir semuanya berasal dari Jawa, walau tidak secara terang-terangan dipaksa melacurkan diri, mereka hanya diberikan sedikit pilihan selain berbuat demikian.” Kemudian, Stoler 2005:49 menyimpulkan bahwa, “Melayani kebutuhan-kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga umum dari para pekerja lelaki dan pihak manajemen lebih merupakan keharusan daripada pilihan.” Hal ini disebabkan upah pekerja perempuan hanya separuh upah pekerja laki-laki sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pergundikan yang terjadi di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur dihadapi sendiri oleh Székely-Lulofs selama mendampingi suaminya sebagai asisten kebun. Bahkan, praktik pergundikan ini dijadikan materi kejadian dalam realitas fiksi novel BNdKK sebagaimana dideskripsikannya berikut ini. “Kadang-kadang,” John mengaku, “terjadi juga peristiwa di sini. Tapi sudah ada beberapa pasangan yang kawin di sini. Apa yang disebut larangan kawin lebih lama berlaku di perkebunan tembakau. Asisten-asisten muda tidak dibenarkan kawin selama tiga tahun pertama masa dinasnya. Karena itu, perusahaan berusaha agar tuan-tuan kebun muda tidak terlalu banyak sibuk dalam urusan keuangan. Barangkali itulah yang utama. Seorang asisten yang tidak kawin biasanya dapat memberikan prestasi kerja yang lebih baik karena dia bebas dari segala urusan rumah tangga. Dan lebih baik belajar bahasa Melayu karena kebanyakan mereka mempunyai seorang nyai yang mengurus rumah mereka. Di kalangan kita larangan kawin itu sudah lama tidak ada, dan dalam dua tahun terakhir beberapa orang wanita turut berangkat dan mereka segera membawa suasana yang berlainan sekali.” BNdKK:47 Larangan kawin bagi para asisten perkebunan Deli yang berasal dari Eropa dibenarkan oleh Baay 2010:137, dalam penelitiannya berkesimpulan, “Hal itu – Universitas Sumatera Utara tidak lebih tidak kurang- merupakan eufemisme atas larangan menikah selama enam tahun pertama bagi orang Eropa yang bekerja di perkebunan.” Pengambilan perempuan pribumi sebagai nyai para asisten menjadi tradisi elite birokrasi perkebunan di Deli. Hal ini diungkapkan oleh Székely-Lulofs dari sudut pandang tokoh Jan Meesters yang sudah tinggal di Hindia Belanda selama 12 tahun. Segala pahit manis kehidupannya di perkebunan dibaginya bersama wanita Sunda yang mengurus rumahnya. Dia tidak lagi muda usia, dan setia. Dan sebagai imbalan, Meesters dikuasainya dengan cara pribuminya. Dia merasa dirinya sebagai istri yang dikawini dalam rumahnya dan sudah bertahun-tahun tak pernah dipikirkannya kemungkinan pada suatu masa harus menyerahkan kedudukannya kepada wanita jenis apa pun. Bila Meesters beberapa kali pergi keluar, mengunjungi teman sejawatnya, atau bila Meesters mengambil cuti empat belas harinya, dengan sendirinya dia pun turut serta. Diundangnya nyai-nyai yang lain datang ke rumahnya tanpa meminta persetujuan Meesters. Dia menguasai pengeluaran keuangan. Selanjutnya, sebagai Muslim dia menyadari bahwa suami adalah nomor satu, dan macam-macam tingkahnya haruslah dihadapi dengan sikap sedikit mengalah. BNdKK:20 Berdasarkan penjelasan di atas, kepemilikan nyai sebagai praktik pergundikan di perkebunan-perkebunan Deli masih berlangsung meskipun perempuan-perempuan dari Eropa telah datang ke Hindia Belanda sebagai istri elite perkebunan. Hadirnya dua sistem perkawinan ini memungkinkan para asisten untuk memilih sikap hidup praktis dalam pengembangan kariernya. Pilihan itu adalah mengadopsi sistem pergundikan dalam rumah tangganya di Deli. Sistem ini memerlukan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan beristri sah dengan wanita Eropa. Bahkan, elite birokrasi perkebunan dapat memutuskan secara sepihak hubungan dirinya dengan nyai yang mengurus dirinya, lahir dan batin. Bagi para nyai itu sendiri, kenyataan tersebut mereka terima sebagai sebuah suratan takdir. Praktik pergundikan seperti Universitas Sumatera Utara inilah yang kemudian melahirkan generasi Indo dan kebudayaan Indis di Hindia Belanda yang kini bernama Indonesia. 4.2.2.3 Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito 4.2.2.3.1 Riwayat Hidup Suwarsih Djojopuspito 26 Suwarsih Djojopuspito adalah penulis wanita Indonesia yang menulis novel dalam 3 bahasa, yakni bahasa Belanda, Sunda, dan Indonesia. Dia lahir di Cibatok, Bogor, 20 April 1912 dan meninggal dunia di Yogyakarta, 24 Agustus 1977 dan dimakamkan di Pemakamam Tamansiswa Taman Wijayabrata di Celeban, Umbulharjo, Yogyakarta. 27 Suwarsih memiliki latar belakang pendidikan Dia lahir dari keluarga petani dengan nama kecil Tjitjih. Ibu seorang keturunan Tionghoa sedangkan ayahnya bernama Suwardi Djojosaputra, yang buta huruf namun mampu menjadi dalang wayang kulit dalam 3 bahasa Jawa, Sunda, dan Indonesia. HIS Hollansch-Inlandsche School di Buitenzorg Bogor tahun 1919-1926. Sekolah yang dikenal sebagai Sekolah Van Deventer ini berdiri atas dasar keputusan Raja Stb. No. 358 tanggal 16 Februari 1914 yang resmi menetapkan Sekolah Dasar Kelas Satu menjadi Sekolah Dasar berbahasa Belanda buat Bumiputera 28 26 Riwayat hidup Suwarsih Djojopuspito ini dihimpun dari berbagai sumber, seperti Nieuwenhuys 1978; Rampan 2000; Suwarsih 2000; Watson 2009, dan . Suwarsih bersekolah bersama http:id.wikipedia.org 27 Tanggal lahir Suwarsih tertulis 20 April 1912 dalam novel yang diterjemahkan sendiri oleh Suwarsih Djojopuspito; dan, Korrie Layun Rampan, Leksikon Susastra Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 2000, p. 469. Akan tetapi, tertulis 21 April 1912 pada http:id.wikipedia.org 28 Parakitri T. Simbolon, op.cit., p. 228. Universitas Sumatera Utara kakaknya, Soewarni 29 . Setelah tamat, Suwarsih meneruskan ke MULO Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, SMP zaman Belanda tahun 1927-1929 di Bogor dan Europeesche Kweekschool Sekolah Guru Atas Belanda di Surabaya tahun 1930- 1932. Di Sekolah guru ini hanya terdapat dua orang pribumi dari 28 murid. Selama menjalani pendidikan keguruan, Suwarsih menjadi guru di Perguruan Rakyat 1931 dan Perguruan Taman Siswa 1932. Setelah lulus tahun 1933, dia mengikuti suaminya pindah ke Bandung. Di Bandung, dia menjadi guru SR Sekolah Rendah Pasundan Isteri 1937 dan HIS 1939. Pilihannya mengajar di sekolah yang tidak mendapat subsidi pemerintah cukup mengejutkan karena dia memiliki ijazah sebagai guru sekolah Belanda yang seharusnya mengajar di sekolah Belanda. Akan tetapi, dia lebih memilih perguruan pribumi yang dikenal sebagai “sekolah liar”. Bahkan, ketika banyak bangsa Indonesia bekerja pada Pemerintah Dai Nippon, dia memilih bekerja sebagai guru pada Sekolah Guru Kepandaian Putri di Pasar Baru, Jakarta. Suwarsih, atas pilihannya sendiri, menikah dengan Sugondo Djojopuspito tahun 1934. Sugondo Djojopuspito yang menjadi pilihan hidupnya lahir di Tuban, Jawa Timur, 22 Februari 1904 dan meninggal di Yogyakarta, 23 April 1978 pada umur 74 tahun. Ayahnya, Kromosardjono adalah seorang penghulu dan mantri juru tulis desa di Tuban. Karena kedudukan ayahnya, Sugondo dapat menyelesaikan pendidikan HIS di Tuban 1911-1918, MULO di Surabaya 1919-1921. Selama di 29 Soewarni alias Nining sudah dua tahun bersekolah di sekolah ini. Soewarni kemudian menikah dengan Mr. A.K. Pringgodigdo atas pilihannya sendiri, bukan pilihan orang tuanya. Universitas Sumatera Utara Surabaya, Sugondo berteman dengan Soekarno karena sama-sama bertempat tinggal di rumah HOS Cokroaminoto. Setelah lulus MULO, dia melanjutkan ke AMS Algemeene Middelbare School afdeling jurusan B di Yogyakarta 1922-1924. Di Yogyakarta, dia tinggal di rumah Ki Hadjar Dewantoro di Jalan Wirogunan sekarang Jalan Tamansiswa Yogyakarta. Berdasarkan riwayat pendidikannya, Suwarsih dan Sugondo merupakan orang yang terpandang dan berpendidikan modern. Bahkan, Soegondo pernah kuliah di Recht Hoge School Sekolah Tinggi Hukum Jakarta walau hanya sampai tingkat candidat II. Mahasiswa sekolah tinggi ini berlatar belakang sekolah menengah Belanda, seperti HBS Hogare Burgere School maupun AMS Algemene Middlebare School. Mereka adalah tokoh pemuda yang aktif berjuang memerdekaan Indonesia, baik melalui dunia pendidikan, media massa, dan perkumpulan pergerakan Indonesia. Suwarsih dikenal aktif dalam Perkoempoelan Perempoean Soenda sebagai anggota. Aktivitasnya dalam berpolitik di perkumpulan perempuan telah membawanya sebagai anggota Komite Nasional Pusat 1945 dan Wakil Kepala Biro Perjuangan Bagian Wanita 1946-1947. Sebaliknya, Sugondo bersama mahasiswa Stovis School tot Opleiding van Indische Artssen dan RHS Recht Hoge School di Jakarta mendirikan PPPI Perhimpoenan Peladjar Peladjar Indonesia pada September 1926 di mana dia terpilih sebagai Ketua. PPPI berhaluang nasionalisme sekuler Indonesia lintas agama dan etnik, seperti halnya Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda. Dari aktivitas kemahasiswaan ini serta perkenalannya dengan Soekarno, HOS Cokroaminoto, dan Universitas Sumatera Utara Ki Hadjar Dewantoro telah membawa Sugondo sebagai Ketua Kongres Pemuda Indonesia Kedua yang menghasilkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. 30 Selama mendampingi suami berjuang bersama pemuda dan mahasiswa memerdekakan Indonesia, Suwarsih tetap menjalankan profesinya sebagai guru dan penulis. Bahkan, pengalamannya berjuang dan berkenalan dengan berbagai suku bangsa tercitrakan dalam karyanya, misalnya pembicaraannya dengan Eddy Du Perrons dari Belanda tentang penolakan novelnya oleh Balai Pustaka. Menurut Nieuwenhuys 1978:402, “ Du Perrons advies staat ergens midden in bladzijde 13, al spreekt niet ‘Soelastri’, maar haar man ‘Soedarmo’ de woorden uit: ‘Doe wat je hart je ingeeft, soms spreekt de intuïtie sterker dan het scherpste intellect.’” 31 Pendapat Du Perron terdapat di tengah halaman 13, dia tidak berbicara sebagai Soelastri, tetapi sebagai suaminya ‘Soedarmo’ yang berkata, Lakukan apa yang hati Anda katakan, kadang-kadang intuisi berbicara lebih kuat dari ketajaman kecerdasan.” 30 Kongres Pemuda 1928 yang berlangsung Secara lengkap, perkataan Du Perrons yang dihadirkan oleh Suwarsih dalam perkataan Sudarmo pada novel MB. Ucapan Du Peron dalam kutipan novel MB 27-28 Oktober 1928 di Jakarta, para pemuda Indonesia menghasilkan trilogi Sumpah Pemuda 1928, “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia”. Selain itu, disepakati lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ciptaan Wage Rudolf Supratman. Dalam kesempatan ini, W.R. Supratman berbisik meminta izin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan lagu ciptannya. Oleh karena Konggres dijaga Polisi Hindia Belanda, dan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya Konggres dibubarkan atau para peserta ditangkap, maka Sugondo secara elegan dan diplomatis dengan bisik-bisik kepada W.R. Supratman dipersilahkan memperdengarkan lagu “Indonesia Raya” dengan biola tanpa memperdengarkan lirik lagunya. 31 Lihat juga Bianglala Sastra sebagai isi Oost Indische Spiegel yang ditulis kembali oleh Dick Hartoko. Di sini dijelaskan kunjungan Du Perrons ke rumah Suwarsih untuk memberi sugesti agar Suwarsih menuliskan kembali naskah yang ditolak Balai Pustaka dalam bahasa Belanda karena menurut Du Perrons, Sulastri yang mahir berbehasa Belanda telah berpikir dalam bahasa itu. Universitas Sumatera Utara berikut ini diberi cetak miring dalam perkataan Sudarmo kepada Sulastri. “Menurut pendapatku, tulislah dalam bahasa apa pun juga. Bahasa Sunda paling-paling tinggal sebagai bahasa daerah saja. Dan juga, yang penting bukan bahasanya, tetapi apa yang ingin kau katakan. Tulislah, jika kau ingin membuat karangan. Tak peduli, bagaimana caranya kau menulis.” MB:4 Kemudian dilanjutkannya, “Berlakulah menurut dorongan hatimu. Kadang-kadang intuisi seseorang lebih benar daripada pikiran otak yang setajam-tajamnya.” MB:5 Profesi Suwarsih sebagai novelis tidak dapat dilaksanakan dengan intens. Hal ini disebabkan dia dan suaminya harus selalu berpindah tempat tinggal dalam menyiasati perjuangan melawan Belanda. Misalnya, pada masa revolusi fisik mereka pernah berpindah-pindah tempat tinggal dari Jakarta, Cirebon, Purworejo, dan Yogyakarta. Bahkan, Suwarsih tidak sempat menulis novel, karena mengikuti suami yang Anggota BP-KNIP di Jakarta dan Purworejo. Baru pada tahun 1949, Suwarsih menetap di Yogyakarta mengikuti suaminya, Sugondo Djojopuspito. Di sini, dia mulai menulis novel dan menterjemahkan buku-buku dari bahasa Perancis, Belanda, Jerman, maupun Inggris. Profesinya sebagai penulis tetap ditekuninya meskipun telah menjadi orang terpandang dan pernah menetap di Belanda 1953. Karier Suwarsih sebagai penulis tidak diragukan lagi kebenarannya. Dia menulis sebuah novel sebelum kemerdekaan sedangkan yang lain ditulis setelah pemerintahan RIS 1949. Novel pertamanya ditulis tahun 1933, yakni Buiten het gareel yang diterbitkan oleh De Haan Uitgevery di Utrecht, Belanda 1940. Novel ini diberi kata pengantar dari E. du Perron. Tahun 1946, novel ini dicetak kembali di Universitas Sumatera Utara Amsterdam. Karya-karyanya yang lain berupa cerita pendek, novel, dan biografi diterbitkan di Jakarta. Kedelapan karya sastranya adalah: Tudjuh tjeritera pendek, Pustaka Rakjat, Jakarta 1951, Empat Serangkai: Kumpulan tjerita pendek, Pustaka Rakyat, Jakarta 1954, Riwayat Hidup Nabi Muhammad s.a.w. Bulan Bintang, Jakarta 1956, cetakan kedua 1976, Marjanah, Balai Pustaka, Jakarta 1958, novel berbahasa Sunda, Siluman Karangkobar, Pembangunan, Jakarta 1963, Hati Wanita, Pembangunan, Jakarta 1964, Manusia Bebas, Djambatan, Jakarta 1975, penulisan ulang novel berbahasa Belanda: Buiten het gareel, Arlinah 1975, dan Maryati, Pustaka Jaya, Jakarta 1982. Dua buah novel yang ditulis oleh Suwarsih dalam masa pemerintahan Orde baru mendapat penghargaan dari DKJ Dewan Kesenian Jakarta. Novel Arlinah memperoleh Hadiah Penghargaan Sayembara Mengarang Roman DKJ tahun 1975. Tahun berikutnya, novelnya Maryati dan Kawan-kawannya memperoleh rekomendasi Dewan Juri Sayembara Mengarang Roman DKJ tahun 1976 sebagai karangan yang dapat diterbitkan. Novel ini kemudian diterbitkan oleh Pustaka Jaya dengan judul Maryati pada tahun 1982. Di samping menulis novel, cerita pendek, dan biografi, Suwarsih juga menulis artikel. Artikel yang ditulisnya antara lain: De Indonesische vrouw en het passief kiesrecht pada Algemeen, Onafhankelijk en Vooruitstrevend Indisch Tijdschrift I 1938, halaman 75-76 fragmen, De Indonesische vrouw van Morgen pada Onafhankelijk en Vooruitstrevend Indisch Tijdschrift I, 1938, halaman 145-147, 3. Onze moslim-zusters in en buiten Indonesië pada Algemeen, Onafhankelijk en Universitas Sumatera Utara Vooruitstrevend Indisch Tijdschrif I 1938, halaman 279-280, De taal der Soendanese jongeren pada Onafhankelijk en Vooruitstrevend Indisch Tijdschrift I l939, halaman 348-350, In memoriam E. du Perron pada Onafhankelijk en Vooruitstrevend Indisch Tijdschrift 3, l940, halaman l92-l93, In de schaduw van de Leider pada Onafhankelijk en Vooruitstrevend Indisch Tijdschrift 4, l941, halaman 191-l92, In memoriam E. du Perron pada Criterium 4, 1946, halaman 386-388, Ontmoeting met E. du Perron pada Vrij Nederland, 14 desember 1946, Eddy du Perron, de vriend die nooit gestorven is pada Tirade 17, 1973, halaman 68-70, dan De thuiskomst van een oud-strijder pada Tirade 21, 1977, halaman 38-47. Suwarsih sebagai sastrawan memiliki kedudukan yang unik karena namanya tercatat di Indonesia dan Belanda. Di Indonesia, dia dikenal sebagai sastrawan dan dapat diidentifikasi dalam Leksikon Susastra Indonesia. Di Belanda, dia dikenal sebagai sastrawan Hindia Belanda yang dicatat oleh Nieuwenhuys dan kawan-kawan. Bahkan, novel pertamanya mendapat perhatian luas sebagaimana terlihat dari ulasan para ahli sebagai-berikut: Buiten het gareeloleh Rob Nieuwenhuys pada majalah Oost-Indische Spiegel, edisi 1978, halaman 401-404, Soewarsih Djojopoespito, Cibatok 20 april 1912-Yogyakarta 24 Agustus 1977 oleh Gerard Termorshuizen pada Maatschappij der Nederlandse Letterkunde Yaarboek di Leiden 1978-1979, halaman 39-48, Een leven buiten het gareel oleh Gerard Termorshuizen pada Engelbewaarder Winterboek 1979, halaman 109-122, Soewarsih Djojopoespito, E. du Perron dan novel Buiten het gareel oleh Robert-Henk Zuidinga pada Indische Letteren, 1986, halaman 158, Maryanah, Novel Sunda dari Soewarsih Universitas Sumatera Utara Djojopoespito oleh 5. J. Noorduyn pada Indisch-Nederlande Literatuur dengan redaksi Reggie Baay dan Peter van Zonneveld, Utrecht, 1988, halaman 232-242, A life free from trammels : Soewarsih Djojopoespito and her novel Buiten het gareel pada Canadian Journal of Netherlandic Studies Vol. XII, no. ii Spring 1991, dan Bij de dood van een vriendin oleh Beb Vuyck pada NRC, 2 September 1977. Sepanjang hayatnya, Suwarsih Djojopuspito mendampingi suaminya, Sugondo Djojopuspito sebagai pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka dikaruniai tiga orang anak yang memiliki pendidikan dan kedudukan yang terhormat. Anak pertama, Sunartini Djanan Chudori, S.H. almarhum, 1935-1996 semasa hidupnya berprofesi sebagai aktivis LBH Yogyakarta. Anak kedua, Sunarindrati Tjahyono, S.H. 22 Februari 1937, tanggal kelahiran sama dengan tanggal kelahiran bapaknya pernah bekerja di Bank Indonesia dan menjadi Direktur Bank Mizuho Jakarta. Anak ketiga, Ir. Sunaryo Joyopuspito, M.Eng. yang lahir tahun 1939 merupakan pensiunan Departemen Perhubungan dan menjadi guru musik di Jakarta piano dan biola.

4.2.2.3.2 Elite Birokrasi Pendidikan Hindia Belanda