berbahaya proses penyesuaian etika dan kategori idealnya, baik terhadap Barat maupun Timur.
5.3.3 Local Genius Mimikri
Mimikri sebagai peniruan atau penyesuaian etika dan kategori ideal dalam novel Hindia Belanda terjadi pada kehidupan orang-orang Belanda dan Indonesia.
Belanda sebagai representasi Barat dan Indonesia sebagai representasi Timur memiliki cara tersendiri untuk mempertahankan identitas kulturalnya. Pemertahanan
identitas kultural sebagai suatu kecerdasan lokal dalam realitas fiksi dan realaitas historis dapat diidentifikasi dalam novel Hindia Belanda.
Pertama, kecerdasan masyarakat mempertahankan identitas kulturalnya dalam novel MH karya Multatuli. Masyarakat yang bertempat tinggal di Lebak dalam
realitas fiksi dan realitas historis memilih menghormati pemimpin yang jujur dan berani daripada melawan pemimpin yang mementingkan diri dan kelompoknya. Oleh
karena itu, masyarakat berprinsip menghindari regen dan kroninya dengan cara melarikan diri keluar Lebak, terutama ke Lampung. Akan tetapi, masyarakat berusaha
mendekatkan diri kepada Havelaar dan mantan asisten residen sebelumnya. Hal itu disebabkan masyarakat berpihak kepada kejujuran dan keberanian melawan
kesenang-wenangan. Akibatnya, masyarakat Lebak yang pindah ke Lampung melakukan perlawanan terhadap pendudukan Belanda di daerah tersebut. Dengan
demikian, masyarakat Lebak mempertahankan identitas kultur sebagai masyarakat yang berpihak kepada realisasi prinsip hidup yang jujur dan berani berkorban
Universitas Sumatera Utara
daripada berpihak kepada sosok pemimpin meskipun pemimpin itu berasal dari bangsanya sendiri.
Kedua, peranan para nyai dalam menghadapi kultur Barat diperlihatkan dengan cara meniru sekaligus menampakkan identitas kulturalnya. Meskipun hal
seperti ini menjadi kebanggaan para asisten di Deli di mana mereka berhasil menjadikan para nyai berkarakter kebelandaan, tetapi para nyai tetap menyusupkan
identitas kulturalnya. Kejadian ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini. “Mim dan Tuan jangan di sini terus,” kata Saima, memegang pintu kawat ke
kamar bebas nyamuk, dengan terbuka sedikit: “Mim dan Tuan di sanalah duduk. Di sini Mim dan Tuan kena malaria.”
BNdKK:59 Kemudian, dalam kejadian berikut ini.
Sejenak kemudian mereka berbaring berdampingan. Sekitar mereka itu kamar kelambu, bagaikan lemari bebas lalat yang besar sekali. Panas pengap dan
berat. Tilam ranjang bau kapur barus dan kopor-kopor. BNdKK:61 Pengalaman Saima sebagai kuli kontrak dari Jawa ke perkebunan yang baru
dibuka oleh Belanda dan Amerika di Asahan dan Labuhan Batu telah memberi pelajaran hidup cara mengantisipasi penyakit malaria. Antisipasi seperti ini tidak
terpikirkan oleh Frank dan Marian sebagai representasi Barat yang telah berkenalan dengan berbagai peralatan elektronik pembunuh nyamuk. Di Deli, orang-orang Barat
mendapat kearifan lokal Hindia Belanda yang bersahabat dengan nyamuk tanpa terkena penyakit malaria. Secara tradisional, penggunaan kelambu, kapur barus, dan
kawat penangkal nyamuk telah digunakan bangsa Indonesia, terutama di rumah yang berada di perkebunan, tepi pantai, dan yang berada dekat dengan hutan.
Universitas Sumatera Utara
Local genius lain yang terjadi dalam realitas fiksi dan realitas historis adalah pemunculan identitas etnik dalam berbahasa. Di dalam realitas fiksi, hal ini terjadi
dalam perilaku Nyai Poppie yang mahir menyanyikan lagu Barat tetapi tetap menyanyikan lagu keroncong berbahasa lokal, Melayu campur Belanda.
Mula-mula Poppie dua kali berturut-turut memainkan Puppchen, Du bist mein Agust in, dan kemudian, O Du lieber Augustin Alles ist weg
Dengan tangan di bawah kepalanya, sambil menghembuskan awan-awan rokoh yang tebal, Meesters mendengarkan lagu-lagu itu. Tak ada yang
dipikirkannya. Dia hanya mendengarkan. Poppie beralih ke keroncong. “Ayo, ayo, ayo In die hoge klapperboom” Di bawah pohon nyiur yang
tinggi.
Bahkan, Poppie tidak memiliki kesanggupan melepaskan identitas etniknya sebagai wanita Jawa dalam menyanyikan lagu Barat. Dia mengekspresikan kondisi
jiwanya dalam bahasa etniknya, Jawa. Kekuatan local genius ini terlihat dari kejadian berikut.
Poppie tertawa dengan rasa puas, ketika sampai pada akhir. Dan sambil berpikir sebentar, tiba-tiba dia menjadi bersungguh-sungguh. Digulungnya
sebatang rokok daun. Harum manis baru tembakau pribumi meliputi kamar. Lalu diambilnya lagi harmonika dan dimainkannya sebuah lagu Jawa. Sayu,
setengah mengeluh, setengah pasrah. Sederhana dan tak dapat dimengerti sekaligus. Sebuah lagu, yang tak pernah tercatat kecuali dalam perasaan dan
yang mengembalikan sesuatu dari kegaiban daerah tropis yang tak pernah terucapkan seluruhnya. BNdKK:24
Ketiga, di dalam novel MB karya Suwarsih Djojopuspito terdapat local genius
sistem kekeluargaan. Hal ini terlihat dari cara pengarang menyelesaikan masalah keuangan dan pendidikan. Masalah keuangan keluarga diatasi dengan cara menerima
bantuan dari keluarga yang sudah berhasil dalam kariernya. Bantuan keuangan inilah yang mereka gunakan untuk mendirikan sekolah dan surat kabar. Kekuatan ikatatan
Universitas Sumatera Utara
kekeluargaan ini tetap mengukuhkan keluarga besar pengarang sebagai keluarga yang berpendidikan Barat. Kekuatan local genius yang mengandalkan sistem kekeluargaan
ini juga dipraktikkan pengarang dan suaminya dalam mengoperasikan sekolah sehingga mereka berhasil keluar dari berbagai kesulitan hidup di masa pemerintahan
kolonial Hindia Belanda. Keempat, kekuatan persahabatan antarras memberi local genius bagi identitas
kultur bangsa penjajah yang menguasai bangsa terjajah. Kasus local genius mimikri ini terjadi dalam novel Oe di mana tokoh “aku” berusaha meniru karakter Oeroeg
dalam berbahasa dan bertingkah laku sehingga mengkhawatirkan ayahnya kalau- kalau anaknya akan kehilangan identitas kebelandaannya. Padahal, mereka
menginginkan bumiputeralah yang terpengaruh dengan karakter mereka sehingga mereka dapat dikatakan sukses memodernkan pribumi dari keterbelakangannya.
Proses penampakan local genius mimikri Hindia Belanda tersebut dimulai dari penggunaan bahasa. Bahasa yang dipergunakan anak elite birokrasi perkebunan
teh di Kebon Jati mengikuti bahasa Oeroeg, yakni bahasa Sunda. Kebiasaan ini diikuti oleh pergaulan mereka sehingga bahasa Sunda dijadikan bahasa percakapan
antarras, sebagaimana terlihat dari kejadian berikut ini, “Karena ada Oeroeg dan Ali, dengan sendirinya kami berbincang dalam bahasa Sunda.” Oe:53 Bahkan, kebiasaan
berbahasa Sunda menjadi local genius yang menjadi Oeroeg sebagai orang terpelajar karena mampu menguasai bahasa asing tanpa melupakan bahasa etniknya. Keseriusan
Oeroeg tersebut terlihat dalam kejadian berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Kami berbicara secara bergantian dalam bahasa Belanda dan Sunda, yang mana saja kebetulan kami ucapkan. Oeroeg mengerti bahasa Belanda dan
dapat membaca dalam bahasa Belanda, namun rasa malu menahannya berbicara dalam bahasa itu. Bila kami mendorongnya, ia nyengir malu dan
menggumamkan penolakan. Tetapi tak satu patah kata pun luput dari perhatiannya bila Gerard dan aku berbincang dalam bahasa Belanda.” Oe:56-
57
Berdasarkan kejadian dalam realitas fiksi novel Oe, penyesuaian etika dan kategori ideal Barat dalam diri Oeroeg mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan
adanya kontrol karakter secara tidak langsung dari tokoh “aku” yang mengalami mimikri budaya Sunda dan Abdullah yang menjalankan tradisi Islam. Oeroeg pun
berhasil keluar dari mimikri pembaratan dan menjadi orang Indonesia yang beragama Islam. Bahkan, Lida sebagai representasi wanita Barat mengikuti identitas
kebangsaan Oeroeg. Di dalam konteks ini, proses mimikri berlangsung sebagai suatu ejekan, mengolok-olok dan melemahkan pretensi yang sedang berlangsung dalam
proses pembaratan yang dilakukan bangsa penjajah, Belanda. Dengan demikian, kebiasaan berbahasa etnik mampu menjadi kekuatan local genius dalam menghadapi
persaingan penggunaan bahasa asing di Indonesia.
5.3.4 Pola Mimikri