4.2.2.1.2 Elite Birokrasi Pemerintahan
Elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda yang terlibat langsung dalam “Peristiwa Lebak”
12
Menurut asas praduga tak bersalah, Regen Lebak Raden Adipati Karta Natanegara dan Demang Parangkujang Raden Wirakusuma terlibat KKN, baik
korupsi, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran undang-undang, persekongkolan elite birokrasi pemerintahan, dan penempatan pejabat yang berhubungan keluarga.
Setelah dilakukan penyelidikan oleh EDD sebagai Asisten Residen Lebak yang baru, ternyata terdapat dugaan kematian Asisten Residen Lebak yang lama Carolus tewas
diracun karena sedang mengumpulkan bukti-bukti kejahatan Regen Lebak. adalah pejabat tinggi negara, yakni Regen Lebak dan Demang
Parangkujang. Di samping itu, pejabat publik yang berkaitan dengan peristiwa tersebut adalah Residen Banten, Asisten Residen Lebak, Pengawas Kontrolir Lebak.
Pejabat tinggi negara tersebut secara sistemik memiliki jaringan KKN dengan pejabat-pejabat kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Menurut Moechtar 2005:32, “Asisten Residen Carolus yang digantikan oleh Dekker, dilukiskan sebagai orang yang memiliki sifat-sifat agak ganjil. Ia dapat
berbicara dalam bahasa daerah situ seperti penduduk pribumi saja. Istrinya adalah wanita pribumi, yang sama sekali tidak dapat berbahasa Belanda.” Oleh karena itu,
istri mantan Asisten Residen Corolus tetap tinggal di Lebak dan tidak kembali ke
12
Istilah ini diberikan Moechtar menyikapi tindakan dan kejadian dalam masa pengabdian Eduard Douwes Dekker sebagai Asisten Residen Lebak. Lihat, Moechtar, Multatuli: Pengarang Besar,
Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran Jakarta: Dian Rakyat bekerja sama dengan KITLV, 2005, pp. 18-65. Lihat juga, Hartoko 1979:102 yang menggunakan istilah “Perkara Lebak”
untuk merujuk hal yang sama, yakni “Peristiwa Lebak.”
Universitas Sumatera Utara
Belanda setelah suami tidak menjadi pejabat lagi. Keadaan istri pendahulu Havelaar di Lebak ini diceritakan dalam novel MH sebagai salah seorang pemberi informasi
keadaan Lebak dan perilaku Regen Lebak kepada suaminya. Peristiwa Lebak menempatkan Residen Banten dalam posisi yang tidak
menguntungkan dirinya. Hal itu memiliki keterkaitan antara dirinya dengan praktik KKN Regen Lebak. Keterkaitannya karena untuk mengamankan praktik KKN
tersebut, Regen Lebak menyediakan perempuan-perempuan cantik untuk Residen Banten. Hal ini terungkap dalam pengakuan Menteri Daerah Jajahan S. Hasselman
yang pernah menjadi Asisten Residen Pandeglang sebelum EDD bertugas di Lebak. Menurut Moechtar 2005:46, “Itulah sebabnya, maka Brest van Kempen tidak segan-
segan mengorbankan teman sekerjanya, untuk menghindarkan Bupati dari tuduhan, yang berarti menolong dirinya sendiri pula, karena kuatir jangan-jangan Bupati dalam
keputusasaannya, lalu ‘menyanyi’, membuka rahasia pribadinya.” Keterlibatan Regen Lebak dan pejabat tinggi lain di Keresiden Banten dalam
praktik KKN tidak dapat diketahui dengan serta-merta sebelum muncul penelitian dan pengakuan. Hal ini disebabkan EDD menggunakan nama samaran dalam
penulisan nama pengarang dan nama tokoh ceritanya. Padahal, elite birokrasi pemerintahan dalam novel MH memiliki rujukan yang nyata dan terukur dengan
realitas faktualnya. Akan tetapi, nama-nama orang dalam novel MH ditulis dengan nama samaran, kecuali Regen Lebak dan Demang Parangkujang. Menurut EDD
dalam Catatan Pengenalan Edisi 1875, “Cukup saya rujukkan pada akhir dari Bab 19, dan berkata bahwa saya ingin melindungi pengawas yang jujur namun penakut itu
Universitas Sumatera Utara
dari ‘bulan-bulanan’.” MH:396 Pada akhir Bab 19 novel MH tertulis, “Saya membaca di koran bahwa Tuan Slymering telah menjadi Ksatria Orde Singa
Belanda. Tampaknya sekarang dia menjadi Residen Yogyakarta. Jadi saya bisa memunculkan kasus Lebak lagi tanpa menyebabkan bahaya bagi Verbrugge.”
MH:369 Berdasarkan keterangan tersebut, pencantuman nama samaran didasarkan pada perlindungan terhadap pejabat yang jujur dalam “Peristiwa Lebak”.
Berikut ini nama-nama tokoh cerita dalam realitas fiksi serta nama-nama asli dan jabatan yang disandang elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda yang terlibat
langsung dalam penceritaan novel MH.
Tabel 4.2: Elite Birokrasi Pemerintahan dalam Novel Max Havelaar Karya Multatuli Menurut Nama dalam Realitas Fiksi, Nama dalam Realitas Historis,
dan Jabatan di Hindia Belanda
No. Nama Samaran dalam
Realitas Fiksi Nama Asli dalam Realitas
Historis Jabatan di Hindia
Belanda 1
2 3
4
1 Tidak bernama, hanya
disebut: “Yang Mulia” Duymaer van Twist
Gubernur Jenderal Hindia Belanda
2 Van Damme
Mayor Jenderal Michiels Gubernur Sumatera Barat
3 Slijmering
Brest van Kempen Residen Banten
4 -
Max Havelaar -
Pria Berselendang Eduard Douwes Dekker
Asisten Residen Lebak 5
Raden Adipati Karta Natanegara
Raden Adipati Karta Natanegara
Regen Lebak 6
Verbrugge Langeveld van Hemert
Kontrolir Lebak 7
Duclari Collard
Kamandan Tentara di Lebak
8 Raden Wirakusuma
Raden Wirakusuma Demang Parangkujang
9 Corolus
Slotering Mantan Asisten Residen
Lebak
Universitas Sumatera Utara
Di samping nama-nama tokoh cerita yang memiliki rujukan nyata dalam realitas historis, maka surat-surat yang ditulis oleh Havelaar sebagai Asisten Residen
Lebak dalam novel MH memiliki kesamaan dengan surat-surat yang ditulis oleh EDD selama menjadi Asisten Residen Lebak. Kesamaan isi surat tersebut tidak semata-
mata karena penulisnya sama, yakni Multatuli sebagai nama samaran EDD, melainkan juga untuk meyakinkan kebenaran fakta yang terdapat dalam realitas fiksi
novel tersebut. Berikut ini kronologi surat yang terdapat dalam novel MH dengan surat yang ditulis dari dan untuk EDD.
Tabel 4.3: Perbandingan Isi Surat dariuntuk Multatuli pada Realitas Fiksi dan Eduard Douwes Dekker pada Realitas Historis
13
No. Surat Realitas Fiksi
Surat Realitas Historis 1
2 3
1 Rangkasbitung, 24 Februari 1856 No. 88.
Rahasia kepada Residen Banten: Slymering dari Asisten Residen Lebak:
Max Havelaar. MB:345-348 Isi surat yang sama ditujukan kepada
Residen Banten: C.P. Brest van Kempen di Serang.
2 Surat balasan tidak resmibersifat
pribadi dari Residen Banten kepada Asisten Residen Lebak surat ini tidak
dituliskan dengan lengkap. MB:348 Serang, 25 Februari 1856 kepada Tuan
Dekker dari Brest van Kempen. Isi surat relevan dengan penjelasan isi surat dalam
novel.
3 Rangkasbitung, 25 Februari 1856 No. 91.
Rahasia kepada Residen Banten dari Max Havelaar. MB:357-362
Isi surat sama, kecuali pada novel tertulis di bawah tanggal “pukul 11 siang” sedangkan
surat aslinya “pukul sebelas malam”. 4
Surat resmi Residen Banten kepada Max Havelaar: tidak ada informasi surat ini
dalam novel. Serang, 26 Februari 1856 kepada sisten
Residen Lebak dari Residen Banten: Brest van Kempen.
5 Rangkasbitung, 28 Februari 1856 No. 93.
Rahasia kepada Residen Banten dari Max Havelaar. MH:365-367
Isi surat yang sama ditujukan kepada Residen Banten.
13
Surat bertanggal 24 Februari 1856 dinyatakan Moechtar 2005:36-62 dimuat dalam De Man van Lebak karya Du Perron dan tidak dimuat dalam Max Havelaar. Surat tersebut ternyata peneliti
temukan dalam Max Havelaar sebagai sumber data penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
1 2
3
6 Isi laporan tidak dicantumkan dalam
novel tetapi disebutkan dalam novel: “Gubernur Jenderal akan memanggil
Residen untuk menjelaskan.” MB:374 Laporan resmi Residen Banten kepada
Gubernur Jenderal berkaitan dengan ‘Peristiwa Lebak’ yang dilaporkan Asisten
Residen Lebak kepadanya.
7 Rangkasbitung, 15 Maret 1856 No. 114
kepada Pengawas Lebak dari Asisten Residen Lebak. MB:275-278
Belum ditemukan informasi surat sejenis yang dikirimkan EDD kepada Pengawas
Lebak 8
Bogor, 23 Maret 1856 No. 54 kepada Max Havelaar dari kantor Gubernur
Jenderal. MB:374-376 Isi surat yang sama dari Gubernur Jenderal
Dymaer van Twist kepada Amtenar E. Douwes Dekker.
9 Rangkasbitung, 29 Maret 1856 kepada
Gubernur Jenderal Hindia Timur di Bogor dari Max Havelaar. MB:378
Rangkasbitung, 29 Maret 1856 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor
dari Amtenar Douwes Dekker. 10
Rangkasbitung, 15 April 1856 kepada Pengawas Lebak: Verbrugge dari Max
Havelaar. MH:379-382 Surat yang sama ditujukan Dekker kepada
Kontrolir van Hemert. 11
Batavia, 23 Mei 1856 kepada Gubernur Jenderal dari Max Havelaar. MH:384-
385 Isi surat yang sama dikirimkan Dekker
kepada Gubernur Jenderal.
Peristiwa Lebak menjadi perhatian serius pemerintah Hindia Belanda, baik dalam masa kedinasan maupun sesudah masa kedinasan EDD. Dalam masa
kedinasan, pengungkapan skandal KKN di Lebak telah membuat Dewan Hindia Raad van Indië bersidang tanggal 3 Maret 1856. dan mengambil kesimpulan yang
mengikat atas perkara yang diajukan oleh Asisten Residen Lebak. Pertimbangan Dewan Hindia adalah surat Asisten Residen Lebak kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda dan Laporan Residen Banten yang diberikan secara tertulis dan dilaporkan secara lisan. Baik surat Asisten Residen Lebak maupun Laporan Residen Banten
dicantumkan dalam novel dan dalam arsip pemerintah. Dewan Hindia merupakan badan penasihat tertinggi di mana Gubernur
Jenderal secara ex officio adalah ketua badan ini. Menurut Nial 2009:24, hubungan
Universitas Sumatera Utara
Gubernur Jenderal dengan anggota yang lain merupakan primus inter pares berkedudukan tertinggi. Anggota dewan ini sebagian besar adalah pamong tingkat
tinggi dengan pengalaman yang cukup lama di tanah jajahan. Oleh karena itu, keputusan Dewan Hindia bersifat tetap dan mengikat untuk dilaksanakan oleh
pemerintah. Naskah keputusan Dewan Hindia berkaitan dengan “Peristiwa Lebak”
ditandatangi oleh Pejabat Sekretaris dan Wakil Ketua Dewan Hindia. Menurut Moechtar 2005:57-58, bunyi keputusan itu adalah:
Eduard Douwes Dekker, kini Asisten Residen Lebak, yang tidak menerima didikan untuk Pemerintahan BB Binnenlandsch Bestuur, serta tidak
memiliki kematangan, kebijaksanaan dan kewaspadaan maupun perasaan mengabdi, syarat yang diperlukan oleh seorang amtenar, guna, sesuai dengan
apa yang tertera dalam ayat 67 dari Peraturan mengenai Kebijaksanaan Pemerintahan Hindia Belanda, melaksanakan pengawasan lebih tinggi
terhadap Pembesar-pembesar yang diangkat atas nama Pemerintah. Tujuan suci, untuk memberantas penyalahgunaan kekuasaan serta penindasan oleh
Pembesar-pembesar tersebut, tidak dapat dibenarkan dengan tidak adanya kecakapan serta kurang adanya kepatuhan kepada perintah-perintah
atasannya. Dan orang tidak dapat menerima, bahwa kekuasaan pembesar Pemerintahan Pribumi dan Pemerintahan setempat akan dibahayakan oleh
keinginan yang, walau suci sekalipun, tanpa aturan dan merugikan umum itu. Karenanya Dewan Hindia menasihatkan: Eduard Douwes Dekker, Asisten
Residen Lebak dalam Keresidenan Banten, tidak tepat untuk jabatan itu, dan karenanya agar diberhentikan saja dengan hormat.
Setelah sidang Dewan Hindia menetapkan kesimpulan hukumnya, keluarlah
Surat Keputusan Pemerintah bertanggal 23 Maret 1856 yang mengesahkan keputusan sidang Dewan Hindia tanggal 3 Maret 1856. Menurut Moechtar 2005:60, surat
keputusan diakhiri dengan frase “diketahui dan disetujui” antara lain berbunyi:
Universitas Sumatera Utara
Keempat: Perlu diperhatikan, bahwa amtenar Douwes Dekker, dalam Sidang Kabinet hari ini, No. 54, diperingatkan dengan keras, berkenaan dengan
tindakan-tindakannya yang sembrono sebagai Asisten Residen Lebak. Kelima: Memberitahukan kepada Residen Madium tentang duduk perkara di
samping pengiriman tindasan Keputusan Kabinet sebagai termaktub dalam pasal 4, dengan tambahan agar mengawasi setiap tindakan amtenar Douwes
Dekker dan setelah 6 bulan atau sebelumnya, apabila terdapat alasan-alasan tertentu, mengirimkan laporan tentang diri amtenar tersebut.
Berdasarkan keputusan sidang Dewan Hinda dan surat keputusan pemerintah
Hindia Belanda, maka pemerintah mengeluarkan surat keputusan pemindahkan EDD. Pemerintah memandang EDD sebagai amtenar yang memerlukan pengawasan
sehingga masih memberi kesempatan bekerja di Keresidenan Madiun. Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud 1856-1861, yang menggantikan Gubernur
Jenderal Duymaer van Twist, mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 17 Desember 1856, No. 17, yang berbunyi:
Berdasarkan surat-surat resmi: I.
Dari Residen Banten tertanggal 20 September 1856, Bo. 2372a beserta lampiran-lampirannya, berkenaan dengan Keputusan tertanggal 23 Maret 1856, No. 34, dari mana ternyata:
- bahwa Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Natanegara, menurut keterangannya sendiri,
telah melakukan kesalahan-kesalahan dalam berbagai macam permintaan yang terlarang mengenai tenaga kerja, uang dan kerbau, dengan ganti kerugian yang tidak seimbang atau
bahkan tanpa diberi ganti kerugian; -
bahwa untuk memaafkan perbuatan tersebut Residen menyatakan, bahwa Bupati, yang dalam tindak hidupnya tidak pernah ada sesuatu yang perlu dicela, senantiasa kekurangan
uang akibat dari besarnya keluarga, pengikut-pengikut serta pelayan-pelayan yang harus dipeliharanya dengan gaji yang hanya f 700 700 Gulden setiap bulan. Dari jumlah itu
setiap bulan masih harus dipotong f 150 guna melunasi pinjaman persekot, sesuai Surat Keputusan tertanggal 30 September 1855, No. 19, sehingga ia tinggal menerima f 550
setiap bulan;
- bahwa karenanya Residen mempertimbangkan untuk memberi keringanan kepada Bupati
tersebut dalam kesulitannya, dengan pertama-tama menghapuskan sisa persekot yang masih harus dilunasinya sebesar f 1.650 dan selanjutnya, dengan menambah jumlah uang
tunjangan, menjadikan jumlah gajinya sama dengan Bupati dari Kabupaten di sebelah utara Serang;
- bahwa juga Demang Parungkujang, Raden Wirakusuma, menantu Bupati Lebak, telah
Universitas Sumatera Utara
bersalah dalam penyalahgunaan kekuasaan, hal mana merupakan pula pertimbangan bagi Residen untuk memecat dari jabatannya, karena ia memang telah berulang kali sangat
mengecewakan pihak Pemerintah dan bahkan tahun yang lalu, disebabkan oleh perbuatan-perbuatan semau-maunya yang tanpa dikendalikan, ia telah dihukum selama 14
hari di paseban Kabupaten Lebak;
Diusulkan selanjutnya oleh Residen, agar: a.
disetujui pemecatan atas diri Kepala Desa Ciligen-Ilir dan Bolang, yang masing- masing bernama Amsa dan Anaya, karena pemerasan dan penyalahgunaan kekuasaan;
b. disetujui pemecatan atas diri Mantri Distrik Warunggunung, Agus Abdulmadjid, juga
dikarenakan perbuatan-perbuatannya menyalahgunakan kekuasaan, penipuan- penipuan dan pemerasan terhadap penduduk;
II. Dari Direktur Perkebunan-perkebunan tertanggal 13 Oktober 1856, No. 365622;
menimbang: -
bahwa meskipun Bupati Lebak tidak bisa dibebaskan seluruhnya dari tindakan- tindakannya yang terlarang, namun apa yang dinamakan sebagai pemerasan yang
dituduhkan terhadap dirinya dan telah diakuinya pula, termasuk pemerasan yang oleh pembesar-pembesar tinggi Pribumi dipandang sebagaia tidak terlarang;
- bahwa jika sekiranya diadakan penelitian terhadap perbuatan-perbuatan Bupati di seluruh
Jawa, pasti akan ternyata, bahwa hanya sejumlah kecil saja Bupati yang betul-betul taat pada peraturan yang telah ditentukan;
- bahwa Bupati Lebak senantiasa dinyatakan terkenal sebagai pembesar yang rajin, cakap
dan disegani, sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya; -
bahwa Residen Banten berusaha memberikan kejernihan terhadap fakta-fakta yang dikemukakan terhadap diri pembesar ini; sementara itu ia, daripada mengajukan usul
hukuman bagi Bupati ini, justru menganjurkan pemberian anugerah baru baginya; -
bahwa demi kepentingan Negara dan Pemerintahan, adalah tidak selayaknya untuk menghukum Bupati yang sudah tua dan tidak sedikit jasa-jasanya itu, selama untuk ini
tidak ada alasan-alasan yang lebih besar lagi; -
bahwa setelah adanya keterangan-keterangan dari Residen Banten, jelaslah bahwa pendapatan sebesar f 550 sebulan tidak akan cukup bagi seorang Pembesar, yang menurut
adat harus menanggung beban memelihara sekian banyak jiwa, seperti halnya Bupati Lebak itu;
- bahwa pada waktu sekarang ini pada hakikatnya kurang tepat untuk menganugerahkan
sesuatu kurnia kepada Bupati tersebut, melainkan bahwa sebaiknya kepadanya dapat diberikan saja bantuan, dengan misalnya: terhadap pinjaman persekotnya yang berjumlah
f 3.000 yang diberikan atas dasar Keputusan tertanggal 30 September 1855, No. 19 itu, tiap bulan tidak usah lagi dipotong f 150 melainkan f 50 saja;
Dewan Hindia mendengar pertimbangan tanggal 14 November 1856, No. XXXVI, mengetahui dan menyetujui:
Pertama: Pemecatan terhadap diri Kepala Distrik Parungkujang Raden Wirakusuma, disertai perintah kepada Residen untuk mengajukan dalam waktu singkat calon baru sebagai penggantinya.
Kedua: Memerintahkan kepada Residen Banten untuk menggunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya berdasarkan Surat Keputusan tanggal 19 Mei 1847, No. 1 Staatsblad No. 25,
berkenaan dengan usul-usulnya yang termaktub dalam ayat I sub a dan b. Ketiga: Memaklumkan kepada Residen Banten, bahwa Pemerintah, berkenaan dengan jasa-jasa
Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara, pada dewasa ini sama sekali tidak bermaksud menyatakan kekecewaannya terhadap pembesar ini secara langsung, melainkan memerintahkan
Universitas Sumatera Utara
kepada Residen agar memberikan peringatan keras kepada Bupati mengenai perbuatan- perbuatannya yang tidak dapat dibenarkan itu, dengan anjuran supaya untuk selanjutnya tidak lagi
berbuat semacam itu, demi kepentingan dirinya sendiri mapun keluarganya. Keempat: Mengingat kesulitan-kesulitan keuangan yang dialami oleh Bupati Lebak, Raden Adipati
Karta Natanegara, menetapkan mengubah sedemikian rupa Surat Keputusan tertanggal 30 September 1855, No. 19, sehingga pemotongan atas sisa utang persekot sebesar f 3.000 tiga ribu
Gulden, setiap bulannya tidak lagi f 150 seratus lima puluh Gulden, melainkan f 50 lima puluh Gulden dari gaji Bupati itu.
14
Surat Keputusan Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud yang menguntungkan Regen Lebak dalam kasus KKN yang diperkarakan EDD diteliti
kembali tujuh tahun kemudian atau empat tahun setelah penerbitan novel MH. Pada tanggal 8 November 1864, Menteri Daerah Jajahan Belanda: Fransen van de Putte
mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda: Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele 1861-1866. Menurut Moechtar 2005:69-70, isi surat Menteri
Jajahan Belanda kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut adalah:
Berdasarkan Keputusan Kabinet tertanggal 3 bulan ini, No. 58, ternyata bahwa Raja telah menganugerahkan kuasa untuk menaikkan gaji Bupati-bupati dalam daerah Keresidenan Banten.
Tanpa mengadakan perubahan dalam tunjangan pegawai, yang terakhir dalam tahun 1857, dianugerahkan kepada Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara, semuanya sesuai dengan
usul Tuan, seperti yang termuat dalam surat Tuan tertanggal 4 Mei yang lalu, No. 4016.
Dalam menyelesaikan persoalan ini saya meninjau pula keputusan-keputusan yang membicarakan segala sesuatu mengenai diri Bupati Lebak tersebut.
Terutama Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 11 Desember 1856, No. 17, mengenai tuduhan terhadap pembesar Pribumi ini yang diajukan oleh mantan Asisten Residen
Lebak Eduard Douwes Dekker, sangat menarik perhatian saya. Pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada keputusan Gubernur Jenderal waktu itu, yang mengakibatkan dikeluarkannya
ketentuan yang sangat menguntungkan bagi Bupati, sungguh mengherankan diri saya....
Di samping itu, dalam hal ini rupanya telah diadakan perbedaan antara pemerasan dan semacam pemerasan, yang walaupun dikatakan juga termasuk perbuatan terlarang tetapi dianggap
‘boleh dilakukan’, hanya karena pembesar-pembesar Pribumi itu dianggap tidak tahu akan adanya larangan tersebut. Lagi pula hampir semua Bupati di tanah Jawa melakukannya.
Kiranya akan berlebih-lebihan untuk memberitahukan kepada Tuan, bahwa saya sama sekali tidak dapat menyetujui keputusan yang demikian murah sifatnya semacam itu, yang mengorbankan
dan merugikan penduduk pribumi.
14
Mochtar, ibid., pp. 66-69. Frase “Bupati Lebak” merujuk penamaan masa kini dari penamaan masa kolonial, “Regen Lebak”.
Universitas Sumatera Utara
Terhadap Keputusan Raja tersebut di atas, saya mengharap sudi kiranya Tuan melaksanakannya seperti adanya.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele, Regen Lebak Raden Adipati Karta Natanegara diberhentikan dari
jabatannya pada 1865. Pemberhentian ini memakan waktu yang lama yang melibatkan tiga Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yakni Duymaer van Twist 1851-
1856, Charles Ferdinand Pahud 1856-1861, dan Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele 1861-1866. Padahal, dampak “Peristiwa Lebak” terhadap kelangsungan
jabatan Raden Adipati Karta Natanegara sebagai Regen Lebak telah memunculkan kesombongan elite birokrasi pemerintahan dalam penyelesaian kasus KKN tanpa
harus kehilangan jabatan.
4.2.2.1.3 Perlawanan Rakyat