orang Timur terjebak dalam hibriditas struktural dan kultural sebelum akhirnya menemukan identitas kultural dan kebangsaannya.
5.5.3 Local Genius Hibriditas
Kecerdasan yang bersifat lokal dapat muncul kapan saja dan di mana saja sesuai dengan respon penduduk lokal menghadapi sesuatu yang asing. Di dalam
novel Hindia Belanda, kecerdasan tersebut dapat diidentifikasi sejak pemunculan novel MH hingga novel Oe. Kecerdasan sebagai local genius tersebut terjadi dalam
realitas fiksi dan realitas historis hibriditas pada empat bentuk. Pertama, memosisikan diri sebagai pusat kekuasaan atau raja kecil sehingga rakyat memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap pusat kekuasaan. Hal ini dilakukan oleh Regen Lebak dengan cara menjadikan rumahnya sebagai tempat keluarga dan orang lain
berkumpul, bekerja, dan berharap pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan, regen memperkuat posisi sebagai pusat spritual dengan cara menunaikan ibadah haji
berkali-kali. Oleh karena itu, gaji Regen Lebak dipandang tidak cukup untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dan pekerjanya, sehingga Dewan Hindia menjadikan
“pusat kekuasaan raja kecil” tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan posisi regen pada laporan tertulis Asisten Residen Lebak dan Residen Banten.
Local genius dalam sistem pemerintahan yang dipraktikkan Regen Lebak terbukti memiliki kekuatan dalam menghempang sikap ambivalensi. Rakyat memiliki
pusat pengaduan dan pusat keberpihakan. Akan tetapi, pemosisian seperti ini memiliki kelemahan apabila pemosisi menjadikan kecerdasan masyarakat ini sebagai
Universitas Sumatera Utara
pelindung diri dari penyalahgunaan kekuasaan. Kekuatan local genius ini dimanfaatkan mantan Asisten Residen Lebak dan Asisten Residen Lebak untuk
menjadikan rumahnya sebagai pusat kekuasaan alternatif. Sebaliknya, kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh Regen Lebak untuk memperkuat kedudukan, sehingga
praktik KKN-nya dipandang sebagai akibat yang logis dari pemosisian regen sebagai pengemban amanat penderitaan rakyat dan pemberian gaji yang rendah dari
pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian, perbuatan Regen Lebak dimaklumkan Dewan Hindia sebagai sebuah kewajaran dan ditindaklanjuti dengan kenaikan gaji
Regen Lebak. Kedua, di dalam ketidakberdayaan mengubah sistem maka “koeli kontrak”
dari Jawa bekerja baik-baik tanpa banyak bicara. Mereka menjadi saksi hidup perilaku buruk elite birokrasi perkebunan di Sumatera Timur. Bahkan, mereka tidak
mau protes terhadap tindakan istri tuan-tuan kebun yang berselingkuh dan berzinah. Posisi kuli yang rendah secara struktural tidak memiliki kekuatan untuk mengubah
gaya hidup yang bertentangan dengan adat dan agama tersebut. Hal itu dapat diidentifikasi dari kejadian berikut ini.
Dan tanpa banyak bicara orang-orang Jawa membersihkan semua itu. Barangkali tak terpikirkan apa pun oleh mereka ketika bekerja. Barangkali
mereka berpendapat, memang sudah begitu cara orang kulit putih berpesta- pora dan mereka kagumi keborosan itu dengan kekaguman Timur, dan
menyetujuinya karena dari semua itu tak ada yang mengenal kemiskinan, derita, atau perjuangan untuk hidup. Paling-paling mereka menggelengkan
kepala karena tidak mengerti bagaimana orang-orang kulit putih bisa berlaku demikian bodoh membiarkan istri mereka berdansa dan berbaring dalam
pelukan laki-laki lain. Tapi ini pun tak lama menjadi pikiran mereka: demikianlah kebiasaan di kalangan bangsa itu, yang datang dari Eropa dan
dari Amerika, orang-orang Belanda. BNdKK:249
Universitas Sumatera Utara
Dengan memosisikan diri sebagai pekerja yang patuh, para kuli memperoleh kenyamanan dalam bekerja. Oleh karena itu, para kuli bersikap apatis terhadap
pembunuhan asisten oleh sesama kuli. Dengan kata lain, sikap tidak mau tahu para kuli terhadap perilaku tidak senonoh elite birokrasi perkebunan merupakan protes
yang berterima. Bahkan, sikap tersebut memberi local genius kuli kontrak dari Jawa untuk mempertahankan identitas kulturalnya.
Ketiga, memperlihatkan kearifan lokal dalam menghadapi keandalan medis orang-orang Barat menjadi local genius realitas fiksi dan realitas historis novel MB.
Bentuk local genius ini menjadi tradisi turun-terumun setiap warga Indonesia sehingga kehadiran bidan atau dokter, misalnya, harus bersaing dengan dukun
beranak dalam mengurus kelahiran anak. Bahkan, kekuatan local genius ini diiringi oleh pengobatan tradisional yang terbukti tidak membahayakan ibu dan anak yang
lahir. Oleh karena itu, Sulastri mendapat teguran dari ibunya akibat meremehkan kemampuan persalinan tradisional sebagaimana terlihat pada kejadian berikut.
“Karena,” ujar ibu, “daun jarak membuat perut bayi kempis, yang paling penting untuk seorang anak perempuan.” Sudarmo yang tak tahan melihat
cara-cara kuno dengan daun-daun, rempah-rempah, dan bunga melati, menggerutu. Ibu merasa bersalah sekali dan wajahnya menjadi malu; akan
tetapi mempertahankannya, mengurus bayi dengan caranya sendiri; jika nangis sebentar saja, bayi digendong, ditimang-timang dan dipeluknya.
Sulastri merasa tertusuk menganggap dengan konsekuen bermacam-macam kebiasaan dengan kebodohan, seperi juga waktu mengubur cabang bayi
dengan tata cara kuno. MB:140-141
Keempat, memperlihatkan identitas etnik dalam globalisasi budaya semesta sebagaiman terjadi dalam kehidupan Oeroeg pada novel Oe. Identitas etnik Sunda
dalam realitas fiksi dan realitas etnik telah mengglobal pada tataran peradaban Barat
Universitas Sumatera Utara
dan Timur di perkebunan milik Belanda, Kebon Jati. Bahkan, orang-orang Sunda tetap mempertahankan tata krama berbicara bahasa Sunda kepada orang lain sesuai
dengan status sosialnya. Hal ini terlihat dari perilaku Sidris kepada tokoh “aku” sebagaimana terlihat dalam kejadian berikut ini.
Sidris menyapaku dalam bahasa Sunda dan ungkapan yang dalam bahasa Sunda digunakan rakyat jelata terhadap bangsawan. Aku ingin sekali elakukan
hal yang sama terhadapnya, namun tidak berani, karena takut ia akan berpikir aku menghinanya. Oe:107
Sidris yang tinggal di desa tetap bertahan dalam tata krama bahasa Sunda.
Sebaliknya, Oeroeg putra kandungnya mengalami hibriditas struktural dari satu sekolah dan asrama ke sekolah dan asrama yang lain dengan tetap di dalam
pengasuhan dan pengawasan Lida, wanita Belanda. Kemudian, dia juga mengalami hibriditas kultural dengan memakai berbagai atribut Indo agar setara dengan orang-
orang Barat. Akan tetapi, Oeroeg tidak pernah melupakan atribut etniknya, seperti keris, kain ikat kepala khas Sunda, logat bahasa Sunda dalam berbicara Belanda.
Atribut etnik ini telah berakar dalam kepribadian Oeroeg sehingga menjadi kekuatan local geniusnya dalam menghadapi peradaban Barat di Hindia Belanda. Hal ini dapat
diidentifikasi dalam suasana pertemuan terakhir Oeroeg dengan tokoh “aku” di Telaga Hideung berikut ini.
Secarik kain kotor terikat di lengan kanannya, lambang Palang Merah masih tampak di kain itu. Keris di sabuknya, kain yang diikat dengan cara Sunda di
kepalanya –celana pendeknya yang berwarna khaki, bergaya Amerika, dan revolverny, mungkin warisan tentara Jepang- apa lagi yang dibutuhkan untuk
mengetahui tahap-tahap yang telah ditempuhnya? Oe:129
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjelasan di atas, local genius hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda dimulai dari pemilihan posisi kepemimpinan
hingga pembentukan identitas kultural dan kebangsaan. Oleh karena itu, segala kejadian dan tindakan bangsa penjajah dan bangsa terjajah memosisikan diri sebagai
kreator dalam membertahan identitas kebangsaannya. Di dalam konteks ini, bangsa terjajah memiliki kebertahanan identitas kebangsaan sehingga bangsa penjajah
mengharuskan diri mengadaptasi identitas kultur bangsa terjajah. Berdasarkan penjelasan di atas, local genius hibriditas yang muncul dalam
realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda berkesesuaian dengan biografi teori hibriditas Bhabha yang dituis oleh Huddart 2006:84, bahwa hibriditas
merupakan permasalahan representasi kolonial dan individuasi yang membalikkan efek dari penyangkalan kolonial, sehingga pengetahuan yang lain ditolak masuk
dalam proses hibridisasi yang sedang memperkuat basis otoritasnya. Artinya, terdapat perlawanan dan negosiasi terus-menerus untuk memperkuat basis otoritas kekuasaan
sebelum tercipta sesuatu yang baru dan tidak dikenal dalam pola kepemimpinan, baik bagi bangsa penjajah maupun bangsa terjajah. Dengan demikian, relasi bangsa
terjajah dengan bangsa penjajah di Hindia Belanda berlangsung dalam tegangan otorisasi kekuasaan. Hal ini disebabkan hibridisasi struktural dikuasai oleh bangsa
penjajah tetapi dalam hibridisasi kultural dikuasai oleh bangsa terjajah dalam proses penjajahan Belanda di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
5.5.4 Pola Hibriditas