berasal dari kata syncretism bermakna campuran, gabungan, paduan, dan kesatuan. Dengan demikian, terdapat kesesuaian pemaknaan sinkretisme sebagai pencampuran
beberapa paham keagamaan dan unsur budaya lokal den gan maksud agar tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama.
Berdasarkan penjelasan di atas, sinkretisme dalam novel Hindia Belanda berkaitan dengan hibriditas. Hibriditas dalam pola kepemimpinan publik figur dalam
realitas fiksi novel Hindia Belanda dipengaruhi oleh sinkretisme, baik secara religi maupun kultural. Secara religi, sinkretisme memunculkan moralitas Kristen dalam
novel MH dan Oe untuk menangani konflik kepentingan Belanda di Hindia Belanda. Sebaliknya, sinkretisme yang melibatkan persoalan budaya tradisional terlihat kuat
dalam novel MB dan BNdKK. Kultur tradisional ini menjadi pertahanan bangsa terjajah dalam menghadapi benturan peradaban Barat dan Timur di Hindia Belanda.
5.6.2 Dampak Sinkretisme
Sinkretisme yang muncul dalam tindakan dan kejadian yang dialami tokoh cerita dalam novel Hindia Belanda dapat dimulai dari pesan ratu kepada pejabat di
Hindia Belanda. Menurut Nirwandhono 2011:87, pesan Ratu Belanda terlihat dalam kutipan pidato berikut ini.
Pidato Ratu Wilhelmina di depan Parlemen Belanda pada 17 September 1901. “Sebagai negara Kristen, Negeri Belanda wajib memperbaiki kedudukan
hukum orang-orang Kristen pribumi di Kepulauan Hindia, memberikan dukungan kuat pada misi Kristen, dan menanamkan pada seluruh sistem
pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk di kawasan ini.”
Universitas Sumatera Utara
Ratu Belanda meminta elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda mendukung program kerajaan yang berdasarkan pada moralitas Kristen. Di dalam
realitas fiksi, hal ini dapat diidentifikasi dari pemunculan Droogrstoppel dan Havelaar yang bertindak atas dasar ajaran Kristen hingga pengkristenan Oeroeg. Oleh karena
itu, analisis sinkretisme ini akan dimulai dari pemunculan novel MH hingga Oe. Pertama, penggunaan moralitas Kristen dalam sistem perdagangan dan
pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana terepresentasi dalam novel MH. Dari realitas fiksi novel tersebut diketahui bahwa apabila pihak elite birokrasi yang berasal
dari Belanda menggunakan ajaran Kristen, maka elite birokrasi yang berasal dari Indonesia menggunakan ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dari kepemimpinan Regen
Lebak yang memadukan pola kepemimpinan pembesar Hindia Belanda dengan pola kepemimpinan kesantrian dalam melaksanakan ajaran Islam. Regen Lebak telah
menunaikan ibadah haji dan dipandang sebagai orang yang pantas disakralkan sehingga tidak layak untuk diperlakukan sebagai terpidana. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut. Regen sudah tua, dan merupakan sebuah kepala keluarga yang anggotanya
hidup dalam kekayaan di provinsi tetangga, di mana kopi diproduksi dalam jumlah besar. Tidaklah menyakitkan bagi dia yang harus mengalami hidup
begitu sederhana dibandingkan kerabatnya yang lebih muda? Lagi pula, dipengaruhi oleh kefanatikan, dia harus membeli pembebasan jiwanya dengan
cara membiayai haji ke Mekah, dan dengan memberi sedekah pada para pemalas yang berdoa secara monoton. Pejabat yang sebelumnya menjadi
pendahulu Havelaar di Lebak tidak selalu memberikan contoh yang baik. Dan akhirnya, jumlah keluarga Regen di sana, yang sepenuhnya hidup dalam
tanggungannya, membuatnya sulit untuk kembali ke jalan yang benar. MH:271-272
Universitas Sumatera Utara
Pandangan pengarang sebagaimana teridentifikasi dalam kutipan di atas cenderung menistakan perbuatan Regen Lebak karena, “...dia harus membeli
pembebasan jiwanya dengan cara membiayai haji ke Mekah, dan dengan memberi sedekah pada para pemalas yang berdoa secara monoton.” MH:271 Tindakan Regen
Lebak di dalam realitas fiksi menjadi representasi moralitas Islam. Sebaliknya, pengarang tetap mengedepankan moralitas Kristen meskipun mempertimbangkan
kelengkapan ibadah Islam. Profil pria Belanda yang bermoral Kristen diperankan oleh Droogstoppel dalam menjalankan usaha dagang kopi di Belanda dan Havelaar dalam
menjalankan tugas pemerintahan di Lebak. Pemosisian Havelaar sebagai seorang Kristen pada komunitas Islam sebagaimana kutipan di atas terjadi juga pada awal
kedatangannya ke Lebak. Havelaar bertanya, “Dan apakah ada masjid yang dibangun di divisi ini?” lanjut Havelaar, sekali lagi dengan nada suara yang, berbeda dengan
kalimatnya sendiri, tampaknya mengidentifikasikan sebuah hubungan antara masjid- masjid itu dan “keluarga besar” Regen.” MH:110
Kedua, sinkretisme dalam kehidupan kuli dan tuan kebun di Sumatera Timur tidak memperlihatkan wujud yang konkret. Hal ini disebabkan realitas fiksi dan
realitas historis novel BNdKK hanya mengedepankan penggambaran gaya hidup elite birokrasi perkebunan. Oleh karena itu, terdapat kesulitan menemukan bentuk dan
akibat sinkretisme dalam pelaksanaan ajaran agama. Bahkan, kehadiran pendeta dalam pemakaman asisten yang terbunuh dipandang sebagai sesuatu yang janggal,
sebab tidak terbiasa memperoleh siraman rohani. Hal ini juga diakui oleh Ichwan Azhari dalam wawancara dengan peneliti di Gedung Pascasarjana Universitas Negeri
Universitas Sumatera Utara
Medan, 20 Juni 2012. Menurutnya, “Mereka tak begitu sholeh. Orang-orang Jerman sulit berdakwah, jengkel sekali melihat orang-orang itu. Gereja pun tak mereka
bangun di sini.” Kenyataan tersebut dalam realitas fiksi dapat diidentifikasi dari kejadian berikut ini.
Di makam pertama-tama berbicara pendeta. Dia sulit berbicara, lingkungan yang asing baginya dan hampir-hampir tak dihormati di antara tuan-tuan
kebun ini, yang sudah bertahun-tahun tanpa gereja dan tanpa agama menghayati kehidupan mereka yang kasar dan berfoya-foya. Tuan-tuan
kebun, yang hatinya penuh rasa kepahitan berdiri di sekitar kubur seorang kawan, tewas karena nasib yang malang, yang dapat menimpa setia orang dari
mereka setiap hari. Sesudah pendeta, berbicara kontrolir. Disesali peristiwa malang yang menyedihkan itu. Dengan kata-kata diplomatis, hati-hati
dikatakannya bahwa setiap orang mengharapkan peradilan yang cepat dan adil, tapi tegas, terhadap si pembunuh. BNdKK:172
Kejadian di atas memberi indikasi menjauhnya ajaran agama dalam lingkungan elite birokrasi perkebunan di Sumatera Timur. Maka, hubungan klik yang
membebaskan relasi gender bertemu dan bertukar pasangan seks dalam klub di kota Ranjah menjadi sesuatu yang wajar karena mereka menjauhkan diri dari ajaran
agamanya. Oleh karena itu, kehadiran Frank dan Marian di perkebunan tersebut menjadi obsesi ideal keluarga orang Barat yang pantas ditiru oleh pribumi, kuli
mereka sendiri. Meskipun tidak melaksanakan ajaran agama dengan baik, elite birokrasi
perkebunan melaksanakan sinkretisme religi atas dasar kepercayaan terhadap kenangan, masa lalu. Misalnya, mereka berkeyakinan ada kekuasaan Allah, Tuhan
yang mahaesa dalam kehidupan di perkebunan, sehingga anak-anak yang makan
Universitas Sumatera Utara
makanan sembarangan tetap hidup sehat. Amalan keyakinan seperti ini dapat diidentifikasi dalam kejadian berikut ini.
Di belakang mobil mengepul debu, menyebar ke barang-barang makanan, di toko, kedai buah-buahan dan sayur-mayur, kepada anak-anak kecil. Gumpalan
penuh kuman yang mendorong masuk di semua rumah dan toko. Bahwa dari semua manusia itu sebagian besar tetap hidup, bahwa dari semua
anak-anak itu sebagian besar sehat dan gemuk tampaknya, tentulah tidak boleh tidak karena kehendak Allah jua. BNdKK:51
Bahkan, mereka masih percaya pada hal-hal yang bersifat mistis di tengah
kehidupan modern elite birokrasi perkebunan. Misalnya, di tengah pembicaraan Anne Terhaide, Terhaide, Van Hemert di Tumbuk Tinggi tentang Stevenson dari Amerika
sebagai calon favorit pengganti manajer kepala yang saat itu dijabat oleh Stoops, muncul laba-laba yang besar. Pemunculan laba-laba tersebut dihubung-hubungkan
secara mistis dengan nasib yang tidak baik, kesusahan besar sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Ah, sebenarnya, bila kita mengenalnya lebih baik, mereka lebih menyenangkan dalam pekerjaan, ketimbang orang-orang Belanda. Ambillah
Stoops ... Lihat Dia berubah tiba-tiba. :Lihat, ada labah-labah di situ, labah- labah di waktu pagi. Kesusahan besar, Anda percaya kepada takhyul?”
Anne memandang ke atas, diikutinya seekor labah-labah besar yang berjalan ke pojok membawa sekantung penuh telur yang melekat pada perutnya.
Wanita itu mengangkat bahu. Kemudian katanya berbisa: “Kau ‘kan orang yang percaya kepada nasib baik ... atau nasib jelek. Setidak-
tidaknya, kau ingin memperdayakan aku dengan itu.” BNdKK:126
Ketiga, terjadi ritual sinkretisme yang memadukan ajaran Islam dan kepercayaan tradisional yang mistis. Sudarmo dan Sulastri menghadapi fenomena
tersebut dalam kehidupan orang-orang di sekitarnya. Misalnya, di tengah pembicaraan keluarga Sudarmo-Sulastri dan Supardi-Juhariah di halaman rumah
Universitas Sumatera Utara
Sudarmo, Supardi berkata, “Tiga bulan lagi istri saya akan melahirkan anaknya. Kita ambil seorang dukun saja. Mengapa kita akan mengambil bidan, sedangkan rakyat
kita harus memakai seorang dukun.” MB:89 Hal ini mengejutkan Sulastri dan Sudarmo sehingga Sudarmo mengajukan usul modernitasnya, “Jika kalian tak
keberatan, kita akan menyediakan seorang bidan.” MB:89 Tanggapan Sudarmo tersebut sama dengan tanggapan Mas Karno –yang juga melakukan sinkretisme
dengan menjalankan Islam, puasa Senin dan Kamis, dengan tetap memandikan kerisnya- yang menawarkan bidan untuk menggantikan peran dukun. Bahkan, “Mas
Karno telah mengirim beberapa macam obat-obatan kepadaku. Ia biasa ingat kepada orang lain.” MB:90.
Keempat, sinkretisme dalam kehidupan Islam dan Kristen yang dibayangi takhyul dalam novel Oe. Sinkretisme ini terjadi dalam kepribadian tokoh “aku”
sebagai representasi laki-laki Barat. Tokoh “aku” yang seharusnya berpikir logis sesuai dengan tradisi filsafat Barat ternyata termimikri oleh suasana mistis yang
dibangun oleh Oeroeg dan keluarganya. Suasana mistis yang ditonjolkan adalah keberadaan hantu: nenek gombel dan makhluk halus lainnya di Telaga Hideung.
Telaga representasi Telaga Warna ini menjadi mistis karena keberanian pengarang memindahkan kecelakaan di tempat lain ke telaga tersebut. Akibatnya, tertanam
dalam diri tokoh “aku’ bahwa di sana terdapat “penunggunya” berupa rokoh-rokoh jahat, sehingga mereka mendapat kecelakaan dengan menewaskan ayah Oeroeg. Hal
tersebut dapat diidentifikasi dari kejadian berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Setelah bersantap rijsttafel, ketika semua berkumpul di ruang tengah –aku duduk di lantai samping lemari gramofon, luput dari perhatian mereka- salah
seorang tamu mengusulkan bertamasya ke Telaga Hideung, Telaga Hitam, yang letaknya agak tinggi di gunung. Mendengar nama itu saja jantungku
mulai berdegup kencang. Telaga gunung tersebut berperan besar dalam fantasi Oeroeg dan aku; terutama karena cerita-cerita misterius yang beredar. Telaga
Hideung, jauh di tengah hutan belantara, adalah tempat berkumpul roh-roh jahat dan arwah-arwah. Nenek gombel –vampir berwujud wanita tua yang
mengintai anak-anak yang telah mati- menghuni tempat itu. Oe:23 Bahkan, kepercayaan terhadap kekuatan mistis tersebut masih terbawa dalam
usia dewasa Oeroeg dan tokoh “aku”. Hal itu terlihat dari percakapan Oeroeg dengan tokoh “aku” dalam membicarakan kehebatan dukun dan dokter. “Semuanya orang
desa,” gumam Oeroeg semberi menyalakan sebatang rokok baru. “Dukun membunuh lebih banyak orang dengan jamu dan guna-guna. Mereka lebih senang ke dukun
daripada ke dokter.” Oe:96 Dengan demikian, sinkretisme tetap terjadi dalam kehidupan modern, baik terhadap orang-orang Barat maupun orang-orang Timur.
5.6.3 Local Genius Sinkretisme