Kedudukan local genius ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula
berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilang atau musnahnya local genius berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan
kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian nasyarakat itu.
Berdasarkan penjelasan di atas, hibriditas dalam kajian poskolonial ini tidak hanya mendeskripsikan dan menganalisis keunggulan persilangan budaya, melainkan
juga peranan sinkretisme dalam keunggulan persilangan budaya. Misalnya, elite birokrasi pendidikan dalam novel MB karya Suwarsih Djojopuspito memperjuangkan
identitas kultural dengan prinsip-prinsip modernisme yang tidak menempatkan tradisi sinkretisme masyarakat Hindia Belanda. Di sini terjadi pertarungan terus-menerus
untuk mengadopsi atau menolak tradisi sinkretisme budaya Jawa dengan budaya Barat. Penolakan tradisi sinkretisme terbukti tidak menjadikan perjuangan Sulastri
dan Sudarmo berterima dalam elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda dan masyarakatnya sendiri. Sebaliknya, pengadopsian tradisi sinkretisme yang dilakukan
oleh keluarga mereka terbukti menjadikan hidup sederhana tetapi menemukan kedamaian dalam hidupnya. Tegangan Timur dan Barat dalam menciptakan hibriditas
dengan mempertimbangkan sinkretisme inilah yang muncul dalam novel Hindia Belanda.
2.3.2.3 Model Kajian Poskolonialisme
Penelitian ini akan menggunakan model keempat penelitian poskolonial yang dikemukakan oleh Bill Aschroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin dalam The
Universitas Sumatera Utara
Empire Writes Back: Theory and Practical in Post-Colonial Literature 1989. Aschroff, dkk. 2003:1 merumuskan empat model kajian untuk menjelaskan karya-
karya poskolonial berikut ini. Pertama, model ‘nasional’ atau regional yang menekankan pada pelbagai gambaran yang berbeda tentang kebudayaan nasional atau
regional. Kedua, model berbasis ras yang mengidentifikasi karakteristik tertentu yang secara bersama-sama terdapat pada pelbagai kesusastraan nasional. Ketiga, model
perbandingan yang berusaha menjelaskan karakteristik linguistik, historis, dan kebudayaan tertentu yang melintasi dua atau lebih kesusastraan poskolonial dengan
cara membandingkan beragam kompleksitas yang ada. Keempat, model perbandingan yang lebih luas yang menonjolkan hal-hal semacam hibriditas dan sinkresitas sebagai
elemen pembentuk utama kesusastraan poskolonial. Model keempat yang menjadi dasar penelitian ini adalah model perbandingan
yang lebih luas, dengan menonjolkan hibriditas dan sinkresitas. Menurut Ratna 2008:118, “Model keempat berkaitan dengan hibriditas dan sinkresitas, yaitu
persenyawaan kategori linguistik dan kebudayaan yang berbeda untuk menciptakan identitas dan makna baru.” Hal itu didasarkan oleh pengalaman bersama bangsa
terjajah dalam menyerap sikap hidup bangsa terjajah. Penyerapan sikap hidup ini memunculkan potensi local genius dalam membentuk hibriditas dan sinkretisme.
Oleh karena itu, Sikana 2009:466 berpendapat, ”Model ini berpegang pada pandangan bahawa negara-negara yang pernah dijajah tidak terlepas dari dipengaruhi
oleh unsur-unsur yang hadir sama dengan penjajahan itu. Pengalaman dijajah dibawa bersama di dalam proses melakukan dekolonisasi.” Bahkan, pengalaman bersama
Universitas Sumatera Utara
tersebut memunculkan sikap patriotik untuk memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing.
Model perbandingan yang diperkenalkan oleh Ashcroft, dkk. 2003:14-32 terdapat lima unsur yang memerlukan kajian perbandingan. Kelima unsur berikut ini
akan menjadi model identifikasi dan kajian terhadap novel bahan penelitian ini. 1
Pencarian nama. Model pencarian nama yang tepat secara geografis dan politis merupakan masalah dalam kajian poskolonialisme. Keterbatasan geografi dan
politik telah mengakibatkan penolakan terhadap istilah “Kesusastraan Persemakmuran”, “Kesusastraan Inggris Baru”, “Kesusastraan Kolonial”, dan
bahkan “Kesusastraan Dunia Ketiga”. Kontroversi batasan nama kesastraan novel-novel yang terbit masa penjajahan Belanda di Indonesia menjadi inti kajian
model pencarian nama. 2
Bahasa dan ruang. Model yang dikembangkan oleh D.E.S. Maxwell 1965 ini memusatkan perhatian pada disfungsi tempat dan bahasa. Dengan kata lain,
mempertanyakan ‘ketepatan’ bahasa impor dalam melukiskan pengalaman tempat pada masyarakat poskolonial karena adanya kesamaan tertentu dalam
penggunaan bahasa non-pribumi pada masyarakat tersebut. Di dalam konteks ini, masyarakat dibagi dua kelompok, yaitu koloni-koloni hunian dan koloni-koloni
taklukan. Menurut Ashcroft, dkk. 2003:17-18, dalam kasus koloni-koloni hunian, tanah yang dikuasai oleh penjajah dari Eropa yang datang merampas hak
milik penduduk pribumi sekaligus membanjiri populasi mereka. Di tanah tersebut mereka membangun peradaban cangkokan yang akhirnya mendapat kemerdekaan
Universitas Sumatera Utara
politiknya dengan tetap menguasai bahasa non-pribumi. Konflik bahasa dan ruang dalam novel bahan penelitian ini akan diidentifikasi dan dikaji dalam
struktur naratif pada konteks poskolonialisme di Indonesia. 3
Kesejajaran tema. Tema dalam kajian poskolonialisme merupakan manifestasi dari kesamaan kondisi psikis dan historis yang mengatasi perbedaan-perbedaan
antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Kesejajaran tema novel bahan penelitian ini akan diidentifikasi dan dikaji dalam struktur naratif
pada konteks poskolonialisme di Indonesia. 4
Penjajah dan yang dijajah. Model ini didasarkan pada teks-teks ataupun dalam daerah-daerah poskolonial selalu mempersoalkan kontrol politik, imajinatif, dan
sosial yang ada dalam hubungan antara pihak penjajah dan yang dijajah. Di dalam konteks penjajah dan yang dijajah muncul dekolonisasi kebudayaan,
dampak psikososio kolonisasi, dan strategi feminis dalam masyarakat kolonial. Kondisi penjajah dan yang dijajah ini merupakan aspek kajian yang dapat
memunculkan ambivalensi, mimikri, hibriditas, dan sinkresitas dalam realitas fiksi novel yang menjadi bahan penelitian postkolonial ini.
5 Yang didominasi dan yang mendominasi. Model ini mengedepankan hegemoni
kecenderungan ke arah subversi. Akibatnya, muncul polarisasi antara pusat dan pinggiran, dan bahkan penegasan nasionalis yang memproklamirkan dirinya
sebagai pusat dan berhak menentukan nasib sendiri. Realitas fiksi hegemoni ini menjadi kajian strktur naratif terhadap novel bahan penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
Model perbandingan yang lebih luas dalam penjelasan Ashcroft, dkk. 2003:32-38 dinamakan model-model hibriditas dan sinkretisitas. Model ini
menitikberatkan pada relasi penjajah dan terjajah dalam realitas fiksi dan realitas historis. Realitas fiksi mengacu kehidupan yang terjadi dalam novel sedangkan
realitas historis mengacu pada kehidupan sehari-hari masyarakat yang terjadi dalam sejarah peradaban manusia. Oleh karena itu, kajian poskolonial ini akan
menggunakan metode hermeneutik dengan teknik analisis dokumen untuk menguji kesejajaran realitas fiksi dengan realitas historis.
Di dalam konteks kajian ini, model perbandingan yang lebih luas akan mengidentifikasi dan menganalisis persoalan mimikri dan hibriditas secara konstrual.
Artinya, mimikri dan hibriditas tidak dapat berdiri sendiri sehingga antara satu dengan yang lain memiliki keterkaitan, baik secara politik, kultural, maupun agama.
Oleh karena itu, kajian ini akan mengklasifikasi aspek yang membedakan kedua unsur dalam perbandingan yang lebih luas ini dengan mengidentifikasi persoalan
ambivalensi dalam pola mimikri dan persoalan sinkretisme dalam pola hibriditas bangsa penjajah dan bangsa terjajah.
2.4 Penelitian Terdahulu
Teori poskolonialisme pada hakikatnya dapat diterapkan pada berbagai bidang keilmuan. Meskipun teori poskolonialisme digunakan oleh Edward W. Said dalam
bidang kesusastraan tetapi tetap relevan untuk diterapkan pada bidang lain. Penelitian poskolonial yang dilakukan oleh para ahli sastra pada umumnya mempertentangkan
Universitas Sumatera Utara