Secara umum, struktur penceritaan novel Hindia Belanda menggunakan plot flash back dengan latar kejadian Hindia Belanda. Akan tetapi, novel-novel tersebut
menggunakan struktur transmisi narasi yang bervariatif tetapi menceritakan hal yang relatif sama, yakni relasi Timur dan Barat dalam kehidupan elite birokrasi dan para
pekerja di Hindia Belanda. Oleh karena itu, pengarang novel menggunakan realitas historis dan menggabungkan dengan realitas fiksi untuk menyamarkan atau tidak
berterus terang sedang menghadirkan berbagai kejadian yang pernah dialaminya di Hindia Belanda. Apalagi, tiga orang pengarang novel yang menjadi fokus penelitian
ini lahir dan dibesarkan di Hindia Belanda sedangkan seorang lagi telah mempelajari kondisi alam dan masyarakat tempat bekerja sebelum menerima pekerjaan sebagai
elite birokrasi pemerintahan di Hindia Belanda. Dengan demikian, mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang problematika kehidupan masyarakat dalam
struktur ruang dan waktu Hindia Belanda.
5.2.1 Novel Max Havelaar Karya Multatuli
Novel MH yang dijadikan data penelitian ini dibangun oleh struktur penceritaan yang didasarkan pada realitas historis elite pemerintahan Hindia Belanda.
Elite birokrasi pemerintahan yang dijadikan realitas fiksi adalah para pejabat yang pernah berkedudukan sebagai atasan atau bawahan Multatuli selama bekerja di
Hindia Belanda. Elite birokrasi tersebut dikelompokkan dalam dua fase, yakni elite yang diceritakan dalam struktur flashback dan elite yang diceritakan sebagai
flashback pada ruang dan waktu flashback. Dengan kata lain, pada saat cerita
Universitas Sumatera Utara
berpindah dari masa kini ke masa lalu terjadi juga penceritaan masa lalu dalam kehidupan tokoh cerita, Max Havelaar.
Flashback novel MH terjadi pada ruang dan waktu Hindia Belanda antara 1839-1857. Struktur penceritaan ruang dan waktu kejadian di Hindia Belanda berada
pada tatanan permukaan flashback di Keresidenan Lebak. Maksudnya, sewaktu diceritakaan keadaan Lebak diceritakan pula secara flashback karier Havelaar sebagai
elite birokrasi pemerintahan di beberapa keresidenan. Kota-kota yang dijadikan latar keresidenan tersebut sesuai dengan kota tempat pengarang pernah menjadi pejabat
tinggi, seperti Batavia, Natal, Padang, Karawang, Purworejo, Manado, dan Ambon. Pada struktur ruang dan waktu kejadian di Hindia Belanda, pengarang
menampilkan tokoh cerita berupa pejabat yang menjadi elite birokrasi pemerintahan. Para pejabat tersebut terdiri dari bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Pejabat dari
bangsa penjajah ditampilkan pengarang dengan nama yang diciptakan pengaran sedangkan pejabat bangsa terjajah ditampilkan pengarang dengan nama diri
sebagaimana nama diri pada realitas historis, miisalnya, Regen Lebak tetap menggunakan nama aslinya, Raden Adipati Karta Natanegara. Kenyataan ini
memberi indikasi bahwa pengarang masih lebih melindungi nama baik identitas bangsa terjajah daripada identitas bangsa terjajah.
Kedudukan pengarang dalam mengungkapkan identitas bangsa penjajah dan bangsa terjajah relevan dengan penggunaan nama Multatuli sebagai nama samaran
pengarang. Bahkan, secara keseluruhan Multatuli menyamarkan nama-nama bangsa Belanda dan menuliskan dengan sebenarnya nama-nama bangsa Indonesia sebagai
Universitas Sumatera Utara
sesuatu yang kontras. Hal ini juga memberi indikasi bahwa penyidikan kasus KKN dalam realitas fiksi novel MH dapat dimulai dari Regen Lebak sebelum penyidikan
diarahkan kepada elite birokrasi berbangsa Belanda. Sejalan dengan penjelasan di atas, pemilihan nama diri sekaligus riwayat
penyandang nama diri tersebut menjadikan novel MH sebagai realitas fiksi sekaligus realitas historis. Keunikan cara ungkap realitas historis dalam realitas fiksi ini
mendapat sorotan Suleman. Menurut Suleman 1988:43, “Keunikan buku Max Havelaar memang karena buku itu merupakan suatu roman, tetapi sekaligus sebuah
otobiografi berdasarkan fakta-fakta historis dan politis.” Bahkan, Multatuli sendiri selalu menjadi gusar jika orang hanya memuji bukunya sebagai karangan indah
“mooischrijverij”, lain tidak.” Di samping hasil pengamatan terhadap novel MH, terdapat juga sebuah surat
yang ditulis oleh Multatuli kepada Tina bertanggal 22 September 1859. Surat tersebut menjelaskan kepuasan dan kebencian Multatuli terhadap isi novel MH. Menurut
Suleman 1988:44, isi surat itu antara lain, “Yang aneh ialah bahwa sambil bekerja pendapatku tentang karyaku itu sebentar-sebentar berubah. Kadang-kadang aku puas
dan kadang-kadang kuingin merobeknya saja.” Seminggu kemudian, surat ini disusul oleh surat berikutnya yang antara lain berbunyi sebagai-berikut:
“Bukuku ini berbentuk roman watak atau sebuah kisah, sebuah protes terhadap kesengsaraan kita, tetapi buku itu kutulis sedemikian rupa sehingga
sekaligus merupakan bacaan yang menawan, sehingga banyak orang takkan menduga bahwa buku itu mempunyai ruang lingkup yang resmi.... Buku itu
Universitas Sumatera Utara
adalah sebuah protes terhadap kedudukan kita, seperti “Gubuk Paman Tom”
35
terhadap perbudakan. Buku itu harus dibaca di mana-mana sebagai bacaan hiburan, dan kesadaran itu harus memaksa pemerintah untuk
memperhatikannya oleh karena tidaklah mungkin untuk menyampingkan sebuah buku yang dibaca di mana-mana seakan-akan hanya sepucuk surat saja
.... Namun rakyat harus bimbang apakah buku itu sebuah roman yang didasarkan pada kebenaran, tetapi yang disyairkan dan diperhias. Hal-hal yang
kuberitakan adalah sedemikian rupa sehingga orang mesti bertengkar apakah hal-hal itu benar adanya. Aku ingin sekali bahwa orng meragukannya.
Keraguan itu bisa menjadi dasar untuk mengajukan bukti-bukti, yang pasti akan dibaca sebab ada hubungannya dengan masalah mengenai sebuah buku
yang banyak dibaca, dan seandainya buku itu tidak mendahuluinya, niscaya bukti-bukti itu takkan menarik perhatian siapa pun.”
Penggabungan realitas fiksi dengan realitas historis dalam novel MH memerlukan waktu yang relatif lama untuk menyelesaikan persoalan KKN yang
melatarbelakangi penulisan novel tersebut. Persoalan KKN yang diperkarakan oleh Asisten Residen Lebak tersebut diselesaikan secara bertahap meskipun Eduard
Douwes Dekker telah berhenti sebagai pejabat Hindia Belanda. Dengan kata lain, solusi persoalan KKN yang menjadi kekuatan tematik novel MH terjadi dalam
realitas fiksi dan realitas historis. Pada realitas fiksi terjadi dengan keputusan Dewan Hindia dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghukum Demang Parangkujang
dan memberi peringatan keras kepada Asisten Residen Lebak dan Regen Lebak. Sebaliknya, solusi KKN pada realitas historis terjadi setelah Gubernur Jenderal
Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele memberhentikan Raden Adipati Karta Natanegara sebagai Regen Lebak. Dengan demikian, Gubernur Jenderal Hindia
35
“Gubuk Paman Tom” adalah terjemahan dari Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe 1852. Lihat juga, Samad 2003:147 yang menyatakan bahwa penerbitan buku tersebut membuat
Pemerintah USA bertindak terhadap nasib kaum negro di Amerika. Hal sama dilakukan Belanda terhadap kaum petani di Jawa dengan harapan lama-kelamaan orang akan melupakan karya tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Belanda yang terlibat menangani “Peristiwa Lebak” adalah: Dominique Jacques de Eerens 1836-1840, Carel Sirardus Willem van Hogendorp 1840-1841, Pieter
Merkus 1841-1844, JC Reijnst 1844-1845, Jan Jacob Rochussen 1845-1851, 1851-1856: Albertus Jacobus van Duymaer Putar 1851-1856, Charles Ferdinand
Pahud 1856-1861, dan Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele 1861-1866.
Tabel 5.1: Struktur Waktu Realitas Fiksi dan Realitas Historis Novel Max Havelaar Karya Multatuli
36
No. Realitas Fiksi
Realitas Historis Tahun
Peristiwa Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Masa Dinas
1 2
3 4
5
1 1833-1834
Droogstoppel bertemu Pria Berselendang di Amsterdam
Dominique Jacques de Eerens
1836-1840 2
1842-1844 Havelaar bertugas di Natal
danmenjalani masa rehabilitasi di Padang
Pieter Merkus 1841-1844
3 1845
Havelaar bekerja di Kantor Asisten Residen Karawang
J.C. Reijnst 1844-1845
4 1848
Havelaar menjadi Sekretaris Residen di Manado
Jan Jacob Rochussen 1845-1851
5 1856
Asisten Residen Lebak membongkar KKN Pembesar
Lebak Albertus Jacobus van
Duymaer Putar 1851-1856
6 1958
[Multatuli menulis “Surat Kepada Pensiunan Gubernur
Jenderal] Charles Ferdinand
Pahud 1856-1861
7 1859
Droogstoppel bertemu kembali dengan Pria Berselendang yang
baru pulang dari Hindia Belanda di Amsterdam
Charles Ferdinand Pahud
1856-1861
8 1864
[surat Menteri Daerah Jajahan Belanda kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda] Ludolph Anne Jan Wilt
Sloet van de Beele 1861-1866
36
Diolah dalam bentuk tabel dari berbagai sumber.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tabel di atas, ruang dan waktu penceritaan novel MH terjadi di Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda dalam rentang waktu ± 30 tahun. Selama
kurun waktu tersebut, Multatuli memunculkan peristiwa kekinian dengan peristiwa masa lalu yang menjadikan peristiwa kekinian layak hadir pada struktur penceritaan.
Misalnya, Droogstoppel yang mendapat kiriman parsel Pria Berselendang merupakan kejadian yang wajar karena dia merupakan teman sekolah dan pernah mendapat
pertolongan dari Pria Berselendang. Pria Berselendang itu adalah Max Havelaar sebagai tokoh dalam struktur penceritaan flashback dan Multatuli sebagai nama
samaran pengarangnya, EDD. Berdasarkan penjelasan di atas, Peristiwa Lebak yang menjadi target utama
penyelesaian konflik kepemimpinan Havelaar dalam realitas fiksi telah mendapat alasan bertindak dengan kehadiran peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan
keberanian Havelaar dalam pengabdiannya sebagai seorang elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda di Natal, Padang, dan Manado. Keadaan tersebut
membuat elite birokrasi pemerintahan pusat Hindia Belanda sangat berhati-hati dalam menyelesaian perkara Havelaar. Akibatnya, Peristiwa Lebak memerlukan masa
pemerintahan tiga gubernur jenderal untuk menyelesaikannya. Bahkan, pemberhentian Regen Lebak terjadi setelah pengarang tidak menjadi Asisten Residen
Lebak dan memilih berhenti sebagai pejabat negara dan mulai menjalani karier kesastrawanannya di Belanda. Dengan demikian, struktur penceritaan novel MH
karya Multatuli dimulai dari waktu kekinian yang diselingi oleh masa lalu
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan realitas historis pengarang sebagai elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda.
5.2.2 Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet Karya M.H. Székely-Lulofs