Model dan Wujud Kepemimpinan

5.5.2 Model dan Wujud Kepemimpinan

Hibridisasi kepemimpinan dalam novel Hindia Belanda dapat diidentifikasi dalam empat fenomena. Pertama, hibriditasasi kepemimpinan dalam novel MH karya Multatuli dicitrakan dari pembentukan struktur elite birokrasi pemerintahan dan dampak kulturalnya terhadap rakyat Hindia Belanda. Struktur elite brokrasi pemerintahan ditandai oleh pemilihan pejabat dan pendirian kantor beserta rumah tempat tinggal pejabat yang bersangkutan. Kantor dan rumah tersebut menjadi pusat persebaran peradaban sehingga kepemimpinan pejabat sekaligus pemilik rumah tersebut berperan penting dalam proses hibridisasi kultural. Model dan wujud kepemimpinan dalam proses hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel MH dapat diamati dari penyelesaian Peristiwa Lebak. Peristiwa Lebak meninggalkan pertarungan dua peradaban yang diselesaikan secara alamiah. Penyelesaian alamiah ini terlihat dari keengganan Dewan Hindia dan Gubernur Jenderal Hindia untuk memberi hukuman yang pantas kepada Regen Lebak. Jangankan memberi hukuman, bahkan Regen Lebak yang menyalahgunakan kekuasaan diberi kesempatan memperbaiki kesalahan tanpa pemecatan. Pihak yang dihukum adalah Asisten Residen Lebak sebagai pihak yang membongkar KKN yang dilakukan Regen Lebak. Model dan wujud kepemimpinan yang diperankan oleh Max Havelaar sebagai Asisten Residen Lebak ternyata dianggap tidak sesuai. Padahal, Havelaar telah meneliti dan membekali pengetahuan yang cukup sebelum memimpin Lebak dengan mengadakan studi kelayakan wilayah kepemimpinannya. Havelaar memanfaatkan Universitas Sumatera Utara hibriditas struktural untuk menciptakan hibriditas kultural sebagaimana konsep hibriditas Pieterse yang diungkapkan oleh Barker 2011:212. Hal ini sesuai dengan pendapat Sardar dan Borin Van Loon 2001:120 yang menyatakan bahwa proses hibriditas kultural akan memunculkan susuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dan tidak dikenali sehingga memerlukan negosiasi yang representatif. Oleh karena itu, Havelaar tidak memerlukan waktu yang lama untuk membongkar persekongkolan berwujud KKN di Lebak dan sekitarnya yang menyengsarakan rakyat Lebak. Menurut Moechtar 2005:77-78, keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda telah memunculkan kesombongan dalam kepribadian Regen Lebak. Hal ini terlihat dalam peristiwa berikut. Diceritakan bahwa salah seorang Asisten Residen di daerah Lebak sesudah Douwes Dekker, pada suatu ketika berbuat kesalahan-kesalahan, sehingga ia akan dipecat dari jabatannya. Maka datanglah Bupati, melerai peristiwa sengketa itu. Atas usulnya, amtenar itu tidak jadi dipecat, melainkan mendapat cuti ke Eropa. Penggantinya adalah bekas Sersan yang selalu berteriak-teriak dan gemar sekali melontarkan kata-kata makian. Pesuruh dan pegawai-pegawai rendahan dalam lingkungannya suka mengganggu dan membuatnya marah-marah, untuk kemudian mentertawakannya. Meskipun demikian, orang ini sangat disukai oleh Bupati. Mereka berdua menjadi sahabat yang akrab, dan persahabatannya yang amat karib dengan Asisten Residen tersebut menyebabkan Bupati tua menjadi lebih sombong lagi. Regen Lebak menjadi representasi kepemimpinan tradisional yang menyandarkan diri pada tanggung jawab kolektif yang dibebankan oleh keluarga besarnya. Model kepemimpinan ini sesuai dengan model kepemimpinan Jawa yang menjadikan raja sebagai poros dunia. Menurut Lombard 2008b:60-71, kekuasaan raja menempatkan kerajaan sebagai mikrokosmos dengan raja sebagain pelaku utama yang bertugas mempertahankan keserasian antara mikrokosmos dan makrokosmos Universitas Sumatera Utara jagat raya. Oleh karena itu, kediam raja dianggap sebagai tempat tinggal ribuan pengikut raja. Bahkan, raja dianggap sebagai perwujudan dewa dan wakil Allah di dunia sehingga raja memiliki legalitas kekuasaan. Oleh karena itu, Regen Lebak tidak hanya memberi penghidupan pada diri dan keluarganya melainkan juga pada semua pekerja dan famili yang menginap di rumahnya.Model kepemimpinan raja-raja Jawa inilah yang diwujudkan oleh Regen Lebak sehingga tidak menimbulkan pemberontakan dari rakyat Lebak yang menderita karena praktik KKN-nya. Dengan demikian, Regen Lebak tetap memiliki pelindung yang akan membenarkan dirinya karena orang-orang di rumahnya akan mencitrakan Regen Lebak sebagai pemimpin yang baik. Kedua, hibriditas kepemimpinan dalam novel BNdKK karya M.H. Székely- Lulofs ditampilkan dalam pembentukan lembaga formal dan nonformal elite perkebunan di Sumatera Timur. Lembaga formal yang didirikan adalah kantor, pabrik, dan perumahan kuli serta elite birokrasi perkebunan. Lembaga tersebut didirikan oleh pemilik perusahaan dengan memisahkan perumahan kuli dengan rumah asisten, administratur, dan manajernya. Pemisahan ini menumbuhkan identitas kultural yang berbeda sehingga memerlukan sebuah lembaga yang mempertemukan identitas kultural tersebut. Oleh karena itu, pihak perkebunan menyediakan izin pendirian pusat keramaian berupa pajak atau pasar malam untuk para kuli dan klub atau wisma untuk elite birokrasi perkebunan. Di pajak atau pasar malam tidak dilibatkan elite birokrasi perkebunan tetapi di klub atau wisma dilibatkan para kuli sebagai pelayan elite birokrasi perkebunan. Dengan demikian, klub menjadi pusat Universitas Sumatera Utara pertemuan dan hibridisasi bentuk dan wujud kepemimpinan bangsa penjajah dan bangsa terjajah dalam status sosial yang berbeda. Keramaian elite birokrasi perkebunan dan istrinya datang ke klub tidak hanya memunculkan hibriditas, melainkan juga mendatangkan keuntungan bagi orang-orang yang menginginkan promosi jabatan. Hal itu semakin menambah keuntungan pemilik klub sebagaimana dipaparkan berikut, “Alangkah panasnya, pikirnya. Bagaimana mungkin nanti orang masih berselera untuk berdansa. Ah, bukan urusannya. Asal saja mereka makan dan minum. Paling tidak dia bisa memikirkan dapat pulang. [...] Semuanya uang mabuk-mabukan manusia-manusia dungu ini. Seperti yang di sana itu, yang duduk di beranda muka, berjudi.” BNdKK:106 Artinya, pemilik klub hanya memikirkan keuntungan tanpa peduli pelanggaran etika dan kategori ideal, baik dalam agama maupun peradabannya. Fase pertama klub membentuk persahabatan berdasarkan etika dan kategori ideal Eropa yang menghormati keberadaan seseorang berdasarkan kekristenan. Fase ini hanya terjadi dalam masa-masa awal pembukaan perkebunan, di mana para elite perkebunan datang ke klub untuk bertukar pikiran tentang masalah dan cara mengatasi masalah yang terjadi di perkebunan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hairul dalam wawancara dengan peneliti di kantor Badan Warisan Sumatera, 21 Juni 2012 berikut ini. Mereka lebih cenderung membicarakan tentang bisnisnya kemudian bagaimana tentang strategi kemudian seperti apa kegiatan-kegiatan mereka waktu itu di Sumatera Timur tentang perkebunan. Mereka berkumpul tentu saja ada seremonialnya makan-makan dan yang lainnya seperti itu. Bukan itu yang utama perkumpulan mereka tetapi perkumpulan itu pertama itu Universitas Sumatera Utara sevenarnya membahas apa yang mereka lakukan terhadap wilayah kekuasaan mereka di Sumatera Timur ini. Setelah beberapa buku yang saya baca itu, kesimpulan itu bagian yang terpenting itu hiburan lebih cenderung membahas apa yang mereka lakukan di Sumatera Timur. Dari foto yang saya lihat, mereka bawa istri bawa anak ada juga bagian pesta-pesta, seperti ulang tahunnya Ratu Beatrix. Mereka bertemu berdasarkan kebutuhan, apa perlunya mereka bertemu. Hal seperti itu tidak terjadi dalam fase kedua klub yang terjadi sewaktu harga karet mengalami kenaikan di pasar internasional. Di klub tidak terjadi hubungan persahabatan yang santun lagi karena persahabatan didasarkan pada hubungan klik, yakni hubungan yang didasarkan pada status sosial, kekayaan, dan keberanian bernegosiasi. Relasi antarelite semakin meluas dan terfokus pada relasi gender sebagaimana dilaporkan pengarang BNdKK dalam peristiwa berikut ini. Berangsur-angsur klub itu pun penuh. Sekitar meja-meja, lingkaran kian bertambah luas juga. Tak ada perbedaan sudah kawin atau belum; para wanita telah menerima adanya sistem nyai. Mereka telah belajar memahami perlunya sistem demikian dan tidak lagi menjauhi para bujangan sebagai manusia- manusia bejat. Tapi mereka telah menarik garis-garis pemisahan lain dan yang lebih tajam. Mereka telah meruntuhkan persahabatan umum yang ramah dan menjadikannya “hubungan klik”, yang terbagi berdasarkan kaum atasan dan kaum bawahan; berdasarkan pendidikan yang lebih baik atau kurang, dan terutama, sejak tantéme naik, berdasarkan kemewahan yang lebih besar atau kurang. Dan di sini sempat timbul kegelisahan dengan adanya ambisi macam- macam, perselingkuhan, fitnah, pengkhianatan. Perjuangan untuk promosi. BNdKK:110 Hubungan klik yang terjadi di klub mulai terjadi setelah kepemimpinan perusahaan berpindah dari Belanda ke Amerika. Kepemimpinan Amerika pada perkebunan karet Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam di Sumatera Timur memberi corak baru hibriditas kultur yang berpusat pada kebebasan. “Alangkah bedanya hubungan yang kini terjadi dibandingkan dengan masa lalu di bawah Universitas Sumatera Utara pimpinan Stoops. Sama sekali tak tampak bekas-bekas pemisahan lagi. Mereka duduk di sana campur aduk dan berdampingan: asisten-asisten, para manajer, inspektur- inspektur, manajer kepala” BNdKK:151 Para elite birokrasi perkebunan tidak satu suara menyetujui pola pergaulan bebas seperti itu, bahkan, “Beberapa orang tuan besar lama hanya setengah-setengah menyetujui. Mereka harus kehilangan daerah kekuasaan dan kejayaannya, terutama Van der Meulen, si tukang mengomel –dan Horstman.” BNdKK:151 Akan tetapi, kepemimpinan yang dikendalikan oleh manager membuat tuan-tuan kebun dan para asisten mengikutinya. Apalagi, istri elite birokrasi perkebunan menjadi bagian dari hubungan klik di klub Ranjah, sebagaimana terlihat dalam kejadian berikut ini. Orang-orang berdansa ketika mereka tiba. Nyonya Spoor dan Nyonya Steenhof masing-masing duduk di pangkuan salah seorang asisten yang lebih muda itu, rupanya tanpa suami mereka mengacuhkannya. Di ruang dansa pasangan-pasangan berdansa dalam gelap. Mereka berciuman ketika berdansa. Mereka saling merapatkan tubuh. Mereka bukan pasangan kekasih. Beberapa orang di antaranya malah tidak berteman sama sekali, hampir-hampir tidak kenal. Tapi mereka berbeda jenis. Itu saja soalnya. BNdKK:214 Gaya hidup para istri elite birokrasi yang tidak dapat dikendalikan oleh petinggi elite tersebut melahirkan gaya hidup baru di Sumatera Timur. Bahkan, elite birokrasi perkebunan melakukan pelecehan seksual kepada kuli perempuan. Fakta tersebut menjadian bagian dari kesaksian pengarang selama menjadi istri asistem kebun sehingga fakta sejarah tersebut didesain oleh pengarang sebagai realitas fiksi. Hal ini diakui oleh Muhammad TWH dalam wawancara dengan peneliti di Medan, 23 Juni 2012 dengan pertanyaan, “Menurut Bapak boleh tidak kalau fakta sejarah dijadikan latar fiksi?” dan memperoleh jawaban berikut ini. Universitas Sumatera Utara Saya rasa bisa saja. Apa sebab fakta-fakta sejarah yang terjadi di zaman penjajahan Belanda untuk tidak nyata-nyata menyerang Belanda maka dijadikan novel. ‘Ndak usah jauh-jauh, itu, buruh-buruh perkebunan yang muda-muda ini dijadikan filer mereka malah di perkebunan itu di kantor- kantor Belanda itu ada ruangan khusus ya kan ini di situ dinodai yang muda- muda itu malah ada yang tidak mau untuk itu alah ditelanjangi dijemur di panas terik oleh Belanda. Gaya hidup elite birokrasi perkebunan tidak menyentuh para kuli sebab kuli tetap bekerja dalam batas-batas kekuasaan yang telah ditetapkan asistennya. “Mereka menyadap tiga ratus lima puluh pohon setiap hari. Mereka masukkan lateks. Mereka tidak tahu selanjutnya apa yang terjadi, kecuali bahwa cairan ini mengental di bak- bak dan kemudian diangkut dengan kereta api kecil ke pabrik.” BNdKK:105 Kehidupan kuli sudah diatur sedemikian rupa dalam sistem kepemimpinan elite birokrasi perkebunan sehinga yang ada dalam pikirannya, “Mereka menyadap. Mereka makan. Mereka tidur. Ada kalanya mereka punya istri. Mereka berjudi. Bila mereka berbicara, tentang inilah mereka terpikir dan akan sebuah desa yang jauh di Jawa.” BNdKK:105 Dampak model dan wujud kepemimpinan yang diterapkan para elite birokrasi perkebunan di Sumatera Timur adalah pemunculan aksi penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan kuli terhadap asistennya di Bukit Panjang. Di afdeling inilah kemudian Frank ditugaskan menggantikan singkeh yang terbunuh. Selama bekerja di SHC, Marian menghadapi dua pembunuhan asisten. Pembunuhan pertama dilakukan kuli terhadap Johansen 23 tahun. Dibunuh. Diserang kuli. Itulah pembunuhan asisten pertama yang dialaminya. Jadi, pagi ini, ketika dia memandikan Bobbie, atau ketika dia berpakaian, ketika itulah seorang pemuda Belanda dibunuh, kena tikam, sampai mati, Universitas Sumatera Utara disembelih, dan tak seorang pun yang tahu, kecuali kuli-kuli itu. Ketika dia memberikan bubur kepada Bob, atau ketika Frank pulang ke rumah untuk sarapan, waktu itu, pada waktu yang sama, entah di mana di pohon-pohon karet, anak yang terbunuh itu terkapar. BNdKK:93 Pembunuhan kedua dilakukan kuli bernama Tukimin terhadap asisten Joop masih muda dan memiliki istri yang mengandung anak pertamanya. Pembunuhan kali ini tidak disebabkan oleh pemukulan asisten terhadap kuli. Kejadian sebelum pembunuhan adalah Tukimin yang kalah judi tidak mau bekerja sehingga mandor melapor dan mengajak asisten untuk membujuk kuli tersebut bekerja. Joop melakukan tindakan persuasif tetapi tidak mampu menggerakkan kuli. “Joop jadi gugup karena perlawanan yang tenang ini. Apa yang harus dilakukannya? Dia tidak boleh memukul. Memaki juga tidak. Mengirimkan ke pengadilan, ... Ya, enak mengatakannya. Sebab, orang ini berdiri saja pun tidak mau” BNdKK:164. Bahkan, yang melakukan makian dan bentakan justru mandor sehingga memancing asistennya untuk memaksa, “Pergi segera ke pekerjaanmu Dan sekarang persetan Akhiri kerusuhan ini Kamu mengerti kata-kataku? Ayo ke pekerjaanmu” BNdKK:164 Setelah perkataan inilah, Tukimin membunuh asistennya. Dengan demikian, pembunuhan asisten oleh kulinya sendiri memberi indikasi kegagalan kepemimpinan dalam sistem perburuhan di Sumatera Timur. Ketiga, hibriditas dalam novel MB karya Suwarsih Djojopuspito terjadi dalam pendirian sekolah dan perhimpunan perempuan. Pengarang menghadirkan berbagai organisasi dalam realitas fiksi sebagaimana terjadi dalam realitas historis Indonesia. Organisasi yang hadir dalam realitas fiksi antara lain Sekolah Perguruan Kebangsaan Universitas Sumatera Utara Bandung dan Yogyakarta, Pantai Kebangsaan, Partai Marhaen, Sekolah Dagang Nasional Yogyakarta, Majalah Penghidupan Rakyat Yogyakarta, Perempuan Insyaf, Kongres Perempuan Indonesia, Koran Pendidikan Perekonomian Rakyat Bogor yang mendapat pengawasan dari PID sebagai agen politik kepolisian Hindia Belanda. Pendirian berbagai organisasi sebagai bentuk hibriditas struktural tersebut dalam perjalanan hidup tokoh cerita novel MB memunculkan berbagai hibriditas kultural. Realitas fiksi novel MB berpusat pada Perguruan Kebangsaan sebagai representasi Perguruan Taman Siswa, tempat pengarang dan suaminya menjadi guru. Di perguruan ini, Sudarmo menerapkan keterbukaan budaya akademis, sehingga dia memaparkan program-program peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan di sekolah tersebut. Bahkan, dia menjelaskan kondisi keuangan sekolah dan perhitungan gaji kepada para guru. Keterbukaan Sudarmo dalam memimpin pengelolaan sekolah dan surat kabarmajalah masih belum memuaskan masyarakat. Hal ini disebabkan dia tidak menerima hal-hal yang bersifat mistis dan tidak logis serta tidak mau berkompromi dengan kepentingan partai dan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, kepemimpinan Sudarmo mendapat respon beragam, mulai dari yang mendukung sampai yang tidak mendukung. Bahkan, dia dijuluki sebagai diktator dan borjuis oleh sebagian guru, padahal biaya operasional sekolah diperolehnya dari uang pinjaman keluarga. Akan tetapi, Sudarmo tetap konsisten dengan prinsip kepemimpinannya meskipun harus Universitas Sumatera Utara berpindah-pindah tempat hingga akhirnya memulai perjuangan dari titik nol, yang direpsentasikan dari Bandung kembali lagi ke Bandung. Keempat, hibriditas dalam novel Oe karya Hella S. Haasse terjadi dalam lingkungan sekolah dan perkebunan di mana pendirian sekolah dan perkebunan di Batavia dan Sukabumi. Di sekolah, Oeroeg dan tokoh “aku” mendapat gaya hidup Barat, padahal di perkebunan mereka menjalankan gaya hidup orang Sunda sebagai bagian dari gaya hidup Timur. Gaya hidup di sekolah berkolerasi langsung dengan keinginan ayah tokoh “aku” yang sempat mengkhawatirkan anaknya lebih pintar berbahasa Sunda daripada berbahasa Belanda. Hal itu dikatakan ayah tokoh “aku” sebagai-berikut, “Tidak bagus untuknya. Bahasa Belanda-nya tidak santun sama sekali. Kau dengar tidak? Dia akan jadi anak kampung. Mengapa kau tidak melarangnya?” Oe:16 Secara struktural, sekolah berfungsi sebagai lembaga pembentuk hibriditas kultural. Hal ini terjadi dalam kehidupan Oeroeg yang mengalami perubahan identitas kultural dari “orang kampung” menjadi “orang terhormat; orang kota; orang Barat”. Kejadian berikut ini memperlihatkan perubahan kultural dalam sistem kekerabatan keluarga Oeroeg di desa. Untuk pertama kalinya dalam hidup kami, Oeroeg dan aku jongkok agak canggung di antara Sidris dan anak-anak. Setahun hidup dengan ketertiban dan keteraturan di rumah Lida yang bersih menimbulkan keengganan kami pada keadaan kotor dan kemiskinan di desa. Oeroeg terlihat bagai pangeran di antara saudara laki-laki dan perempuannya yang berpakaian compang- camping. Kami ikut makan: nasi dan kerupuk udang. Lalu Oeroeg berpamitan dengan keluarganya. Kemudian kami pulang. Oe:80 Universitas Sumatera Utara Perubahan identitas kultural Oeroeg merupakan akibat yang logis dari peningkatan pendidikannya di Batavia, dari orang yang tidak pantas sekolah menjadi orang yang berpendidikan Barat untuk pribumi di Batavia. Batavia dalam realitas fiksi novel Oe menjadi simbolitas pembaratan sehingga pengarang memunculkan Abdullah sebagai figur pengembali Oeroeg pada identitas kulturnya. Abdullah yang muslim mengajak Oeroeg melanjutkan pendidikan di Surabaya. Di kota ini Oeroeg menjadi heroik dan mengembalikan identias kulturnya yang berubah selama sekolah di Batavia. Bahkan, Oeroeg mulai berani mengungkapkan pendapatnya terhadap sistem pemerintahan Hindia Belanda yang tidak berpihak pada kebutuhan hidup ideal bangsa Indonesia. Hal ini diungkapkan Oeroeg kepada tokoh “aku” dalam pertemuan mereka di Surabaya. “Pak Kromo, rakyat jelata, sengaja dibodohi,” katanya tajam sambil bersandar di kursi, menatap luruh ke arahku. “Kalian punya kepentingan untuk mencegah orang-orang ini berkembang. Tapi kini itu sudah lewat. Kami yang akan membereskannya. Mereka tidak lagi butuh wayang, gamelan, dan dukun –kami kini tidak tinggal di kerajaan Mataram, dan pulau Jawa tidak perlu seperti gambar kartu pos untuk para turis. Apa gunanya semua beban ini? Borobudur juga hanya merupakan gundukan batu-batu tua. Lebih baik kami diberi pabrik, kapal perang, klinik, sekolah, dan kuasa atas urusan-urusan kami...” Oe:119 Berdasarkan penjelasan di atas, hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda dimulai dari sistem pendidikan seperti HIS, MULO, AMS, dan NIAS. Lembaga pendidikan ini menerima pribumi sebagai pelajar dan mahasiswanya, terutama pribumi yang berlatar belakang priyayi dan anak-anak berprestasi luar biasa sebagaimana terjadi pada Oeroeg. Oeroeg sebagai representasi Universitas Sumatera Utara orang Timur terjebak dalam hibriditas struktural dan kultural sebelum akhirnya menemukan identitas kultural dan kebangsaannya.

5.5.3 Local Genius Hibriditas