Setelah bersantap rijsttafel, ketika semua berkumpul di ruang tengah –aku duduk di lantai samping lemari gramofon, luput dari perhatian mereka- salah
seorang tamu mengusulkan bertamasya ke Telaga Hideung, Telaga Hitam, yang letaknya agak tinggi di gunung. Mendengar nama itu saja jantungku
mulai berdegup kencang. Telaga gunung tersebut berperan besar dalam fantasi Oeroeg dan aku; terutama karena cerita-cerita misterius yang beredar. Telaga
Hideung, jauh di tengah hutan belantara, adalah tempat berkumpul roh-roh jahat dan arwah-arwah. Nenek gombel –vampir berwujud wanita tua yang
mengintai anak-anak yang telah mati- menghuni tempat itu. Oe:23 Bahkan, kepercayaan terhadap kekuatan mistis tersebut masih terbawa dalam
usia dewasa Oeroeg dan tokoh “aku”. Hal itu terlihat dari percakapan Oeroeg dengan tokoh “aku” dalam membicarakan kehebatan dukun dan dokter. “Semuanya orang
desa,” gumam Oeroeg semberi menyalakan sebatang rokok baru. “Dukun membunuh lebih banyak orang dengan jamu dan guna-guna. Mereka lebih senang ke dukun
daripada ke dokter.” Oe:96 Dengan demikian, sinkretisme tetap terjadi dalam kehidupan modern, baik terhadap orang-orang Barat maupun orang-orang Timur.
5.6.3 Local Genius Sinkretisme
Sinkretisme sebagai penggabungan paham sehingga paham yang menjadi anutan berterima memiliki kekuatan local genius. Di dalam realitas fiksi dan realitas
historis novel Hindia Belanda terdapat empat local genius sinkretisme. Pertama, sinkretisme dalam novel MH yang diperlihatkan oleh Saijah yang seperti kebanyakan
orang Lebak beragama Islam. Saijah memiliki keyakinan terhadap benda yang dapat mengusir makhluk gaib sehingga Saijah dan Adinda menjadikan tempat itu sebagai
tempat pertemuan mereka. Kepercayaan terhadap kegaiban tersebut mampu menjadikan Saijah sebagai pemuda yang konsisten memenuhi janjinya kepada
Universitas Sumatera Utara
Adinda yang justru telah mengikuti keluarga hijrah ke Lampung. Padahal Saijah telah menjadikan tempat sakral tersebut sebagai tempat bertemu sebagaimana terlihat
dalam kutipan berikut ini. Akhirnya dia melihat ketapang itu.[...] Dia mencari dalam gelap, dia
merasakan batang dari banyak pohon dengan tangannya. Itu tidak lama hingga akhirnya dia menemukan kekasaran yang sudah dikenal sebelumnya di sisi
selatan sebuah pohon, dan dia meletakkan jarinya ke dalam celah yang ditebas Si Panteh dengan parang, untuk mengusir pontianak yang bertanggung jawab
atas sakit gigi yang diderita ibu Panteh, tidak lama sesudah adiknya lahir. Ini adalah ketapang yang dicari Saijah. MH323-324
Kedua, keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan menjadi local genius dalam
kepribadian bangsa Indonesia. Prinsip hidup ini terbukti ampuh dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagaimana diperlihatkan dalam sistem perdagangan yang
mengabaikan perlindungan kesehatan. Sistem itu terlihat di Deli sebagaimana
digambarkan pengarang BNdKK dalam kejadian berikut ini.
Kadang-kadang, bila hari panas sekali dagingnya busuk. Maka, Salim pun mencium dan membauinya. Ditekannya ujung jari kecil yang berwarna
cokelat ke dalamnya, dan mengatakan bahwa kini tuan pasti tidak mau memakannya. Bila Mariam memperkenankan daging itu dibuang, Saima
memanggil Salim, yang menerimanya dengan ucapan terima kasih, lalu memasak serta memakannya.
Sekali Mariam bertanya kepada Saima, apakah Salim tidak sakit karenanya. “Ah, tidak” jawab Saima keheranan. “Mengapa dia sakit karenanya? Dia ‘kan
kuli kontrak” BNdKK:69-70
Bagi kuli seperti Salim, mendapatkan satu pon daging yang masuk kategori busuk tetapi pedagang Cina masih menjualnya mengandung makna manusia layak
memakannya. Bahkan, memunculkan sikap pasrah, “Seperti juga bagi orang-orang pribumi yang lain, bagi Salim itu pun logika yang tidak bisa diusik-usik. Bila kita kuli
kontrak, kita pun kehilangan semua kemanusiaan dan hak kita [...] karena itu akan
Universitas Sumatera Utara
sangat ganjillah bila kita sakit karena satu pon daging busuk. BNdKK:70 Oleh karena itu, kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib menjadi local genius masyarakat
Sumatera Timur pada masa pembukaan perkebunan karet. Kepercayaan tersebut diperkuat oleh religiusitas sebagaimana diperlihatkan pembantu rumah tangga berikut
ini. “Mim jangan bilang kepada Suster, ya?” katanya. “Suster nanti marah. Suster
tidak tahu, kalau tidak dipijit, Mim nanti tidak bisa jalan. Suster bodoh. Dokter juga bodoh. Dokter cuma potong saja. Semua kuli semua dipotong.
Saima lebih baik mati. Kalau Allah berkata: Saima harus mati..., ya, Saima mati. Tapi Saima bukan kuli kontrak. Kalau kuli kontrak, dipotong dulu, baru
mati.” BNdKK:75 Ketiga, pengamalan sinkretisme yang diiringi ancaman terjadi dalam realitas
fiksi dan realitas historis novel MB. Pengamalan sinkretisme dalam novel ini memiliki kekuatan local genius sehingga sinkretisme tersebut justru dilakukan oleh
orang-orang berpendidikan Barat yang berlatar belakang budaya Timur. Misalnya, Bung Karno mengamalkan Islam dengan disertai perangkat ritual tradisional Jawa
sebagaimana terlihat dalam kejadian yang disaksikan oleh Sudarmo berikut ini. “Yah,” sambung Sudarmo. “Ia acap kali membakar menyan pada malam
Jumat. Kemudian ia mengurus keris-kerisnya dengan penuh kehormatan. Kadang-kadang ia berpuasa pada hari Senin atau Kamis.”
“Apa? Betul-betulkah begitu?” “Ya, pada suatu hari ia tak ikut makan, ia meminta maaf, karena tak lapar.
Akan tetapi isterinya berbisik, duduk dengan menunjuk ke arah kamarnya, di mana ia sedang duduk, “ia berpuasa.” Aneh sekali, sifat takhayul padanya.
Tetapi dia di rapat-rapat acapkali berkata: “Biar pun kalian membakar menyan sepikul, Indonesia takkan merdeka karena itu. Tapi, ah, mungkin tidak ada
dari kita yang bebas dari gugon tuhon, biar pun kita memungkirinya sekeras- kerasnya.” MB:60
Universitas Sumatera Utara
Pertentangan pengamalan local genius sinkretisme ini dengan terus-terang ditentang oleh Sudarmo. Padahal, setelah mendengar perbuatan Bung Karno, istrinya
bersikap moderat menghadapi local genius tersebut. “Ia berpikir: “Ya, kita ini orang modern. Akan tetapi dalam hati kita, kita masih menyediakan sedikit tempat untuk
membakar menyan pada saat-saat kehilangan harapan.” MB:61 Akan tetapi, Sudarmo lebih percaya pada ilmu pengetahuan daripada kearifan lokal masyarakatnya
sendiri. Dia berkata, “Bayi itu takkan menjadi sehat karena selametan. Saya pandang itu tak berguna.” MB:141 Oleh karena itu, ibu Sulastri menjadi marah karena
Sulastri pun mengikuti paham suaminya: tidak mau mengamalkan kearifan lokal sebagai local genius sinkretisme yang terbukti ampuh menyejahterakan dan
memintarkan masyarakat. Keluhan ibu Sulastri dapat diidentifikasi dalam kutipan berikut ini.
Ibu Sulastri menyerah dengan mengeluh dan ia merasa cemas akan sikap tidak percaya dari anak-anak muda. Ia berkata pada Sulastri: “Kau menjadi begitu
pandai, karena aku pada kelahiranmu, Selasa Kliwon, selalu berpuasa. Itu dosa terhadap Allah jika kau mengabaikan selametan-selametan dan tak
mengindahkan kebiasaan-kebiasaan kita, yang sudah ditinggalkan oleh leluhur kita. Itu sudah menjadi adat kita dan jika kau mengabaikan semua itu, kau
tentu akan celaka.” MB:141
Keempat, sikap pasrah sebagai local genius sinkretisme terjadi dalam kehidupan keluarga Oeroeg di desa. Sikap pasrah merupakan puncak dari penyerahan
diri pada kemahakuasaan pencipta alam semesta. Oleh karena itu, sikap pasrah tidak dimonopoli satu atau dua agama saja, melainkan berlaku bagi semua agama dan
aliran kepercayaan. Local genius sinkretisme yang mengajarkan manusia Indonesia bersikap pasrah terepresentasikan dalam kejadian berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Sidris menanyakan Oeroeg yang sudah dua tahun tidak bertemu dengannya. Ia membicarakan Oeroeg dengan nada yang terdengar tidak hanya mengandung
rasa bangga namun juga kesedihan. Kenyataan bahwa Oeroeg tak pulang dan tak berkabar tidak ia keluhkan dengan kata-kata. Kurasa ia sudah pasrah
menerima kenyataan bahwa Oeroeg telah meninggalkan dirinya dan dunianya. Oe:107
Berdasarkan penjelasan di atas, local genius sinkretisme merupakan kecerdasan masyarakat memadukan kesamaan paham keagamaan dan keyakinan
kepada kemahakuasaan pencipta alam semesta. Local genius tersebut dimulai dari keyakinan pada kekuatan gaib benda-benda tertentu MH, keyakinan akan
keselamatan diri berasal dari kemahakuasaan BNdKK, pelaksanaan Islam dengan tradisi Jawa MB, hingga pasrah pada yang mahakuasa sebagai kearifan lokal
menghadapi pembaratan di Hindia Belanda. Dengan demikian, keyakinan dan kepasrahan hidup pada kemahakuasaan Allah, meskipun pengamalan untuk itu terjadi
dalam tradisi masyarakat Jawa, juga merupakan kekuatan local genius dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda.
5.6.4 Pola Sinkretisme