Hibriditas Mimikri dan Hibriditas .1 Mimikri

sporadis mengucapkan “besok” dan “syukurlah” sebagai cara ungkap pribumi dalam proses mimikri bangsa penjajah terhadap bangsa terjajah. Gaya hidup seperti ini menjadi bagian kajian mimikri. Sebaliknya, pandangan elite birokrasi perkebunan terhadap ‘koeli kontrak’ sebagai orang yang malas, lamban, bahkan menjadikan sifat tersebut sebagai ciri Timur. Akan tetapi, pada saat yang sama, ‘koeli kontrak’ menampilkan sikap yang cekatan, cermat, bahkan berlomba mengikuti kecepatan dan ketepatan tuan-tuan kebun yang memberi kepercayaan bekerja pada mereka. Gaya hidup seperti ini menjadi bagian kajian ambivalensi.

2.3.2.2.2 Hibriditas

Istilah hibriditas dipopulerkan Homi K. Bhabha dalam kajian poskolonial. Menurut Bhabha sebagaimana diungkapkan oleh Sutrisno dan Hendar Putranto 2004, hibriditas merupakan produk konstruksi kultural kolonial yang mau tetap membagi identitas murni asli penjajah kepada bangsa terjajah dengan ketinggian kulturnya sebagai identitas budaya yang baru. Dengan demikian, pertemuan peradaban Barat dan Timur menghasilkan superioritas dan imperioritas di mana peradaban yang mendapat dukungan politik dan kultural menjadi peradaban yang mampu bertahan dalam arus globalisasi. Sejalan dengan pendapat di atas, Homi K. Bhabha pun menjelaskan bahwa hibriditas bukan hanya masalah identitas budaya saja melainkan masalah representasi kolonial dan individu yang kompleks. Hal ini diungkapkan oleh Huddart 2006:84 dalam kutipan berikut ini. Universitas Sumatera Utara Kolonial hybridity is not a problem of genealogy or identity between two different cultures which can then be resolved as an issue of cultural relativism. Hybridity is a problematic of colonial representation and individuation that reverses the effects of the colonialist disavowal, so that other ‘denied’ knowledges enter upon the dominant discourse and estrange the basis of its authority—its rules of recognition. Hibriditas kolonial bukan masalah silsilah atau identitas antara dua budaya yang berbeda yang kemudian dapat diselesaikan sebagai masalah relativitas budaya. Hibriditas adalah masalah representasi kolonial dan individuasi yang membalikkan efek dari penyangkalan kolonial, sehingga pengetahuan yang lain ditolak masuk pada wacana dominan dan menjauhkan aturan pengakuan basis otoritasnya. Secara ideal, hibriditas memunculkan budaya baru yang berterima sehingga memberi kenyamanan bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Menurut Sardar dan Borin Van Loon 2001:120, “Proses hibtiditas budaya memunculkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dan tak dapat dikenali, suatu wilayah baru negosiasi makna dan representasi.” Di dalam relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah, hibriditas merupakan suatu situs perlawanan atau pembalikan strategi dari proses dominasi yang mengembalikan yang terdiskriminasi –terjajah- menjadi mata kekuasaan yang selama ini didominasi oleh bangsa penjajah. Sejalan dengan pemikiran di atas, hibriditas dapat terjadi melalui pendirian berbagai organisasi dan pertemuan antarperadaban. Menurut Pieterse dalam Barker, 2011:212, hibriditas dapat dibedakan atas dua tipe hibridisasi, yaitu hibridisasi struktural dan kultural. Hibridisasi struktural mengacu kepada berbagai arena sosial dan institusional hibriditas. Hibridisasi ini memperluas cakupan pilihan organisasional bagi masyarakat. Sebaliknya, hibridisasi kultural membedakan Universitas Sumatera Utara berbagai respon kultural, yang merentang mulai dari asimilasi sampai dengan hibrida yang mendestabilkan dan mengaburkan sekat-sekat kultural. Hibridisasi kultural meliputi pembukaan ‘komunitas terbayang’ sebagai tanda- tanda semakin meningkatnya persilangan sekat tetapi tidak menunjukkan terhapusnya sekat, sehingga memerlukan kepekaan terhadap perbedaan kultural. Menurut Anderson dalam Barker, 2011:208-209, bangsa adalah suatu komunitas terbayang dengan dasar, “Ia terbayang karena bahkan anggota dari suatu bangsa terkecil sekalipun tidak akan pernah mengenal sebagian besar anggota yang lain, bertemu dengan mereka, atau bahkan mendengar kabar mereka, sehingga pikiran masing- masing menghidupkan berbagai citra tentang komuni mereka.” Persoalan hibriditas tidak hanya melihat keunggulan persilangan budaya melainkan juga kehadiran sinkretisme. Oleh karena itu, kajian poskolonial ini memisahkan hibriditas dengan sinkretisme. Hibriditas berurusan dengan pembentukan organisasi atau lembaga sehingga memunculkan identitas kultur dan kebangsaan, sedangkan sinkretisme berurusan dengan penggabungan beberapa paham dalam usaha menciptakan keseimbangan hidup. Pemisahan ini sesuai dengan apa diungkapkan oleh Aschroft, dkk. 2007:109 berikut ini, “The idea of hybridity also underlies other attempts to stress the mutuality of cultures in the colonial and post- colonial process in expressions of syncreticity, cultural synergy and transculturation.” Ide hibriditas juga mendasari upaya lain untuk menekankan mutualitas budaya dalam proses kolonial dan poskolonial dalam ekspresi dari sinkretisitas, sinergi budaya dan transkulturasi. Universitas Sumatera Utara Penekanan proses hibridisasi pada mutualitas budaya telah menempatkan local genius sebagai kekuatan identitas kultur dalam relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Local genius merupakan istilah yang berasal dari H.G. Quaritch Wales 1951 sebagaimana diungkapkan oleh Atmodjo 1986:46, “the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experience in early life.” keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakatbangsa sebagai hasil pengalaman di masa lampau. Istilah ini dikembangkan dari konsep basic personality yang dikemukakan oleh antropolog Ralph Linton dan psikolog Abraham Kardiner pada 1930-an. Berdasarkan gagasan mereka, menurut Friedl sebagaimana diungkapkan oleh Haryono 1986:208, yang dimaksud dengan basic personality dalam model cultural studies seperti ini adalah: “konfigurasi kepribadian yang secara bersama-sama dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat sebagai hasil pengalamannya sejak kecil.” Berdasarkan pendapat di atas, Quaritch Wales menempatkan local genius sebagai a less extreme acculturation. Menurut Poespowardojo 1986:31, “A less extreme acculturation merupakan proses akulturasi yang masih memperlihatkan local genius, yakni adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli.” Oleh karena itu, local genius memiliki posisi strategis membertahankan identitas kultural suatu bangsa. Sejalan dengan hal itu, Poespowardojo 1986:33 mengatakan sebagai-berikut: Universitas Sumatera Utara Kedudukan local genius ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilang atau musnahnya local genius berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian nasyarakat itu. Berdasarkan penjelasan di atas, hibriditas dalam kajian poskolonial ini tidak hanya mendeskripsikan dan menganalisis keunggulan persilangan budaya, melainkan juga peranan sinkretisme dalam keunggulan persilangan budaya. Misalnya, elite birokrasi pendidikan dalam novel MB karya Suwarsih Djojopuspito memperjuangkan identitas kultural dengan prinsip-prinsip modernisme yang tidak menempatkan tradisi sinkretisme masyarakat Hindia Belanda. Di sini terjadi pertarungan terus-menerus untuk mengadopsi atau menolak tradisi sinkretisme budaya Jawa dengan budaya Barat. Penolakan tradisi sinkretisme terbukti tidak menjadikan perjuangan Sulastri dan Sudarmo berterima dalam elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda dan masyarakatnya sendiri. Sebaliknya, pengadopsian tradisi sinkretisme yang dilakukan oleh keluarga mereka terbukti menjadikan hidup sederhana tetapi menemukan kedamaian dalam hidupnya. Tegangan Timur dan Barat dalam menciptakan hibriditas dengan mempertimbangkan sinkretisme inilah yang muncul dalam novel Hindia Belanda.

2.3.2.3 Model Kajian Poskolonialisme