Wacana Poskolonial Novel Hindia Belanda

novelnya. Pengarang yang lain juga menjadikan riwayat hidupnya sebagai dasar tindakan dan kejadian dalam realitas fiksinya. Bedanya, EDD menjadikan pengalamannya sebagai materi cerita sedangkan pengarang yang lain mengaburkan pengalaman hidupnya di Hindia Belanda. Secara umum, struktur penceritaan novel Hindia Belanda menggunakan plot flash back dengan latar kejadian Hindia Belanda. Akan tetapi, novel-novel tersebut menggunakan struktur transmisi narasi yang bervariatif tetapi menceritakan hal yang relatif sama, yakni relasi Timur dan Barat dalam kehidupan elite birokrasi dan para pekerja di Hindia Belanda. Oleh karena itu, pengarang novel menggunakan realitas historis dan menggabungkan dengan realitas fiksi untuk menyamarkan atau tidak berterus terang sedang menghadirkan berbagai kejadian yang pernah dialaminya di Hindia Belanda. Apalagi, tiga orang pengarang novel yang menjadi fokus penelitian ini lahir dan dibesarkan di Hindia Belanda sedangkan seorang lagi telah mempelajari kondisi alam dan masyarakat tempat bekerja sebelum menerima pekerjaan di Hindia Belanda. Dengan demikian, mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang problematika kehidupan masyarakat dalam struktur ruang dan waktu Hindia Belanda.

4.3.2 Wacana Poskolonial Novel Hindia Belanda

Tema wacana poskolonial menjadi tema sentral dalam novel Hindia Belanda yang menjadi fokus penelitian ini. Hal itu dapat diidentifikasi dari tindakan dan kejadian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita dalam realitas fiksi, baik sebagai bangsa penjajah maupun bangsa terjajah. Bangsa penjajah yang terepresentasi dalam Universitas Sumatera Utara diri bangsa Belanda mengalami proses mimikri dan ambivalensi dengan peluang yang nyaris sama dengan bangsa terjajah yang terepresentasi dalam diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, terdapat kecenderungan memunculkan hibriditas dan sinkretisme untuk mengendalikan konflik dengan tetap mempertahankan budaya tradisionalnya. Berdasarkan penjelasan di atas, wacana poskolonial yang tereduksi dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda terpusat pada masalah mimikri dan hibriditas. Wacana mimikri memunculkan bentuk-bentuk peniruan dalam berbahasa dan berperilaku dalam proses penyesuaian etika ideal Timur dan Barat. Dengan demikian, peniruan tidak hanya terjadi dalam kepribadian bangsa terjajah –bangsa Indonesia- melainkan juga terhadap bangsa penjajah, yakni Belanda. Misalnya, mimikri yang muncul dalam kepribadian bangsa Belanda adalah penggunaan bahasa Melayu dan Sunda untuk melancarkan komunikasi dengan masyarakat setempat sebagaimana terjadi dalam novel MH, BNdKK, dan Oe. Sebaliknya, mimikri yang muncul dalam kepribadian bangsa Indonesia adalah penggunaan bahasa Belanda untuk mendekatkan diri dengan elite birokrasi, bahkan, berperilaku seperti orang Belanda sebagaimana terjadi dalam novel BNdKK, MB, dan Oe. Kehadiran bangsa Belanda dalam kehidupan bangsa Indonesia tidak hanya memunculkan proses mimikri tetapi juga mengalami ambivalensi. Bentuk ambivalensi yang mencolok adalah cara berpikir dan cara hidup. Cara berpikir bertitik tolak dari pandangan seseorang terhadap orang lain sedangkan cara hidup berasal dari kebiasaan masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya, cara berpikir yang ambivalen terlihat dari anggapan bahwa orang Indonesia yang malas Universitas Sumatera Utara dan terbelakang sehingga tidak dapat diandalkan dalam bersikap profesional. Anggapan ini muncul dalam novel BNdKK yang ambivalen dengan kenyataan dalam realitas fiksi bahwa orang Indonesialah yang diandalkan elite birokrasi perkebunan Deli. Sebaliknya, novel BNdKK memperlihatkan ambivalensi kepribadian bangsa Belanda yang dipandang disiplin dan bermoral ternyata dipenuhi oleh pemuasan nafsu yang melanggar etika dan moralitas kedua bangsa dengan cara berselingkuh secara terbuka dan mabuk-mabukan di tempat perkumpulan elite birokrasi perkebunan itu sendiri. Tindakan yang diambil oleh elite birokrasi pemerintahan dan perkebunan dalam menghadapi pemunculan mimikri dan ambivalensi adalah menata kembali model dan wujud kepemimpinannya. Model dan wujud kepemimpinan Belanda dipandang sebagai sesuatu yang baru, modern, sedangkan model dan wujud kepemimpinan Indonesia dipandang sebagai tradisional. Konflik kepemimpinan ini muncul dalam novel MH yang memberi dukungan pada kepemimpinan tradisional tetapi tidak mengalahkan kepemimpinan modern yang ditawarkan oleh Asisten Residen Lebak. Hibriditas model dan bentuk kepemimpinan ini terus-menerus dimunculkan dalam novel-novel Hindia Belanda, seperti dalam novel BNdKK, MB, dan Oe dengan ditandai oleh sikap melunak dari pihak Belanda dan Indonesia yang berterima dalam konstelasi konflik kepentingan. Bagi pihak Indonesia bermaksud untuk menjaga martabat dan berusaha membebaskan diri dari kolonialisme Belanda sedangkan bagi Belanda untuk menyelesaikan konflik dalam masyarakat sehingga dapat terus menjajah Indonesia. Universitas Sumatera Utara Hibriditas dalam pola kepemimpinan publik figur dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda dipengaruhi oleh sinkretisme, baik secara religi maupun kultural. Secara religi, sinkretisme memunculkan moralitas Kristen dalam novel MH dan Oe untuk menangani konflik kepentingan Belanda di Hindia Belanda. Sebaliknya, sinkretisme yang melibatkan persoalan budaya tradisional terlihat kuat dalam novel MB dan BNdKK. Kultur tradisional ini menjadi pertahanan masyarakat dalam menghadapi benturan peradaban Barat yang menyatu dalam diri bangsa penjajah dan peradaban Timur yang menyatu dalam diri bangsa terjajah di Hindia Belanda. Universitas Sumatera Utara

BAB V PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN

5.1 Pengantar Pembahasan

Pembahasan temuan penelian ini dilakukan dalam tujuh subbab dengan dua subbab berupa “Pengantar Pembahasan” dan “Kontekstualitas Pembahasan”. Subbab “Pengantar Pembahasan” sebagai subbab pertama ini berisi penjelasan umum model pembahasan dalam setiap subbab yang memberi pedoman pembacaan pembahasan temuan penelitian. Sebaliknya, subbab “Kontekstualitas Pembahasan” sebagai subbab ketujuh terakhir dalam bab pembahasan temuan penelitian ini berisi kedudukan pembahasan penelitian ini dengan pembahasan penelitian yang lain. Pembahasan penelitian yang lain dalam penelitian ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain terhadap mimikri dan hibriditas novel Hindia Belanda. Di luar subbab pertama dan ketujuh terdapat lima subbab yang menjadi inti pembahasan penelitian ini. Kelima subbab tersebut didasarkan pada kata kunci rumusan masalah penelitian ini, yaitu: struktur penceritaan, mimikri, ambivalensi, hibriditas, dan sinkretisme dalam novel Hindia Belanda. Kelima subbab ini memiliki dua pola pembahasan yang sama, yakni i pembahasan didasarkan pada realitas fiksi setiap novel sebelum ditemukan homologinya pada realitas historis; dan, ii pembahasan terhadap novel Hindia Belanda dilakukan secara kronologis yang dimulai dari novel MH karya Multatuli, BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs, MB karya Suwarsih Djojopuspito, dan diakhiri dengan novel Oe karya Hella S. Haasse. 256 Universitas Sumatera Utara