Burung dan Pengelolaan Habitatnya

a. menginventaris dan mengidentifikasi fasilitas dan peralatan taman yang dipelihara; b. membuat perencanaan pemeliharaan rutin; c. membuat perencanaan alat-alat yang digunakan untuk pemeliharaan tidak rutin atau yang bersifat insidental; d. merencanakan jadwal dan cara pemeliharaan pencegahan untuk mengatasi keadaan yang mungkin mempercepat kerusakan taman; e. membuat jadwal tanggung jawab penugasan perorangan, kelompok, atau penyerahan tugas kepada kontraktor; f. melakukan pengawasan terhadap sistem pekerjaan perencanaan dan perancangan, ketepatan jadwal pekerjaan pemeliharaan, serta kapasitas pekerjaan; g. membuat sistem analisis biaya pemeliharaan. Pada pengelolaan lanskap diperlukan pula perhatian terhadap daya dukung. Daya dukung adalah konsep dasar di dalam pengelolaan lanskap dan sumber daya alam yang merupakan batas penggunaan suatu area Arifin et al., 2009. Batas penggunaan suatu areal lanskap tersebut terkait dengan pengelolaan jumlah pengunjung. Suatu wisata taman seperti taman burung memiliki kapasitas tertentu untuk diakses oleh pengunjung. Menurut Nurisjah, Pramukanto, dan Wibowo 2003, pertimbangan terhadap kenyamanan dan kepuasan pengunjung atas sumber daya wisata yang ditawarkan serta perlindungan terhadap sumber daya wisatanya itu sendiri merupakan hal yang penting dalam pengelolaan suatu area wisata.

2.5 Burung dan Pengelolaan Habitatnya

Burung merupakan hewan vertebrata yang bersayap, berkaki dua, berdarah panas, dan bertelur. Hewan ini mudah beradaptasi dan bersifat kosmopolitan sehingga burung terdapat di berbagai bagian dunia, dari kawasan gurun hingga kutub utara, dari permukaan laut hingga pegunungan tinggi, dan dari daerah hutan belantara hingga daerah perkotaan yang padat penduduk. Terdapat lebih dari 8.600 spesies burung yang diketahui dan terbagi ke dalam 27 ordo, antara lain, burung pemburu yang memiliki paruh menukik dan cakar tajam, burung pantai yang memiliki paruh yang ramping dan tajam serta tungkai yang panjang, burung pelatuk yang berparuh seperti pahat dengan tipe kaki penggenggam, burung air yang mempunyai jari bersirip dan paruh lebar, penguin yang memodifikasi sayap seperti dayung, dan burung pengicau yang memiliki tipe kaki untuk bertengger. Berbagai jenis burung ini secara ilmiah digolongkan ke dalam kelas Aves Collins, 1975. Burung merupakan salah satu satwa liar yang perlu dilestarikan karena mempunyai banyak manfaat, antara lain, 1 membantu mengendalikan serangga hama; 2 membantu proses penyerbukan bunga; 3 mempunyai nilai ekonomi yang lumayan tinggi; 4 memiliki suara yang khas yang dapat menimbulkan suasana yang menyenangkan; 5 menjadi sarana untuk berbagai atraksi rekreasi; 6 menjadi objek pendidikan dan penelitian Hernowo dan Prasetyo, 1989. Upaya terhadap kelestarian burung dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan konservasi. Konservasi burung dapat dilakukan baik secara in-situ di dalam habitat alaminya maupun ex-situ di luar habitat alaminya. Menurut Alikodra dalam Ontario et al. 1991, habitat merupakan tempat hidup suatu organisme yang dapat digunakan untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain, dan berkembang biak. Konservasi burung secara ex-situ dapat dilakukan dengan membuat penangkaran yang menyerupai habitat alaminya. Abas dalam Ontario et al. 1991 menyebutkan bahwa makanan, air, pelindung, dan ruang lingkup merupakan kebutuhan yang penting bagi kehidupan burung. Ruang lingkup dapat berupa komposisi jenis satwa liar lain di sekitarnya, faktor fisik yaitu suhu, kelembaban, cahaya, ketinggian tempat, dan keadaan tumbuhan yang ada serta pengaruh manusia. Berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, kegiatan koleksi dan penangkaran burung di daerah merupakan bagian dari pengelolaan di luar habitat ex-situ dengan maksud menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis satwa burung. Kegiatan tersebut meliputi pula pemeliharaan, perkembangbiakan, serta penelitian dan pengembangannya. Kegiatan pemeliharaan burung sebagai bagian dari kekayaan jenis flora fauna di luar habitat wajib memenuhi syarat sebagai berikut: 1 memenuhi standar kesehatan satwa burung; 2 menyediakan tempat yang cukup luas; 3 memberikan keamanan dan kenyamanan; 4 serta mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan. Setio dan Takandjandji 2007 menyatakan bahwa kegiatan penangkaran burung tidak hanya sekedar untuk kegiatan konservasi jenis dan peningkatan populasi, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk pendidikan, penelitian, dan pengembangan wisata. Pengelolaan habitat merupakan suatu manipulasi habitat untuk menyediakan kondisi yang cocok bagi hewan yang ingin dilindungi, atau dalam beberapa kasus untuk mengurangi jumlah spesies yang dianggap sebagai hama. Kebanyakan pengelolaan habitat burung dilakukan dengan menanam struktur vegetasi yang sesuai dengan habitat alaminya, meningkatkan ketersediaan pangan, dan memberikan daerah bersarang yang cocok bagi burung-burung Sutherland, Newton, dan Green, 2004. Pengelolaan habitat di taman burung dilakukan terhadap lingkungan biologi dan lingkungan fisik. Pada lingkungan biologi, pengelolaan dilakukan pada habitat hidup burung yang di dalamnya terdapat tumbuhan baik yang ditanam maupun tumbuh alami dengan populasi, kerapatan, dan arsitektur tajuk yang mendekati habitat alami, yang akan menciptakan iklim mikro dan suasana teduh yang disukai oleh burung-burung. Tumbuhan yang cocok untuk menyiapkan lingkungan alami tersebut memiliki karakter sebagai berikut: a. memiliki buah yang dapat dijadikan sumber pakan burung; b. merupakan tumbuhan yang berbuah sepanjang tahun; c. memiliki percabangan yang lateralhorizontal; d. memiliki tajuk yang tidak harus selalu tinggi dan juga tidak harus selalu lebat terutama untuk pengaturan cahaya matahari; e. merupakan jenis tumbuhan yang tidak berduri tajam, bergetah lengket, atau beracun. Pada lingkungan fisik, pengelolaan dilakukan terhadap kandang atau sangkar dalam hal kebersihan kandang, pemilihan lokasi kandang, bentuk dan ukuran kandang, dan jenis peruntukan kandang yang sesuai agar burung tetap aman, nyaman, dan sehat Setio dan Takandjandji, 2007.

BAB III METODOLOGI