Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Tata Batas Kawasan Hutan
menyampaikan pandangan-pandangan tentang penanganan konflik status dan tata batas kepada pihak kabupaten.
Faktor lainnya adalah, indepedensi pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang dalam penyelesaian konflik tata batas ibarat “pisau bermata dua”. Di satu
sisi apabila terjadi rekonstruksi tata batas dan menghasilkan penyusutan luas kawasan maka akan mengundang reaksi Departemen Kehutanan, apalagi di
dalam UU No.411999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa sebesar 30 persen wilayah propinsi harus dipertahankan sebagai kawasan hutan. Sebaliknya jika
hasilnya ternyata justru memperluas kawasan maka akan mengundang reaksi dari pihak masyarakat karena berkemungkinan mengurangi luasan lahan-lahan
budidaya yang berlokasi di sekitar kawasan hutan. Bagi pihak masyarakat, apabila kondisi yang kedua tersebut terjadi, maka ada sebagian masyarakat
yang akan “dirugikan” dalam arti menurunnya luas lahan garapan yang merupakan modal utama dalam bermatapencaharian di sektor pertanian. Untuk
menghadapi resiko tersebut, diperlukan upaya-upaya yang bisa membangun pemahaman bahwa setiap penyeselaian tata batas melalui rekonstruksi semata-
mata untuk menyediakan kepastian pemilikan danatau penguasaan lahan land tenure security kepada semua pihak, baik pihak pemerintah maupun pihak
masyarakat. Dengan demikian, kebijakan “clear and clean” dapat ditafsirkan secara lebih luas, tidak hanya untuk mempertahankan kawasan hutan negara
seluas 30 persen wilayah, tetapi juga untuk mencegah terjadinya berbagai biaya sosial yang mungkin muncul akibat konflik yang berlarut-larut.
Dari sudut pandang penanganan konflik, gaya konflik yang bersifat kompromis dan kolaboratif merupakan aset sosial yang bisa dijadikan petunjuk
bahwa penyelesaian konflik tata batas kawasan bisa dilakukan dengan partisipasi semua pihak yang berkonflik dan melaksanakannya dengan cara-cara
yang konstruktif. Kekhasan kedua gaya tersebut yang dicirikan dengan adanya keinginan untuk bekerjasama, saling menghargai kepentingan semua pihak,
serta selalu berupaya mencari jalan keluar yang terbaik dan bermanfaat bagi semua pihak, dapat menjadi asupan untuk mengurangi perbedaan-perbedaan
kepentingan yang terjadi. Apalagi persoalan tata batas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis adalah persolaan nyata. Berdasarkan dokumen Berita
Acara Tata Batas yang telah disyahkan oleh Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan tanggal 24 Maret 1994, penataan batas kawasan tersebut
merupakan satu kesatuan dengan kawasan hutan lindung Register 43B Krui
Utara dan Register 44B Way Tenong Kenali. Sementara, tata batas antar register belum dikonstruksi sehingga dapat dinyatakan bahwa tata batas kawasan hutan
lindung Register 45B Bukit Rigis secara ekslusif belum temu gelang. Persoalan-persoalan tata batas tersebut di atas tidak hanya dapat
menyulut konflik antara pihak pemerintah kabupaten dengan pihak masyarakat, namun lebih jauh bahkan dapat menyulut konflik antar pemerintah kabupaten.
Potensi tersebut dapat dibuktikan dengan dokumen-dokumen ijin HKm yang dikeluarkan pada bulan Juni tahun 2006 seperti pada Tabel 5.4.3. Di dalam tabel
tersebut, dari 19 ijin kelompok HKm yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat Lihat Lampiran 9, terdapat 5 buah ijin yang lokasinya
berdasarkan TGHK Propinsi Lampung tahun 1991 berada di kabupaten lainnya dengan penjelasan sebagai berikut:
1 Kelompok HKm penerima ijin yang seluruh atau sebagian hamparannya berlokasi di kawasan hutan lindung register 34 Tangkit Tebak Kabupaten
Lampung Utara berbatasan dengan wilayah timur Kabupaten Lampung Barat.
2 Kelompok HKm penerima ijin yang seluruh hamparannya berlokasi di
kawasan hutan lindung register 39 Kota Agung Utara Kabupaten
Tanggamus berbatasan dengan wilayah selatan Kabupaten Lampung
Barat. Kasus ijin HKm tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai suatu kebijakan yang melampaui kewenangan beyond
jurisdiction terutama dalam penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan yang berkaitan dengan urusan pengelolaan wilayah administratif
kabupaten dan terjadi sebagai akibat dari 1 belum tuntasnya penataan batas
antar register kawasan hutan, dan 2 belum tuntasnya penataan batas antar
wilayah administratif kabupaten yang
Gambar 5.18. Konflik tata batas kawasan hutan hutan Register 33 Kota Agung Utara
sudah terjadi sejak lama dan tak kunjung selesai. Pada bulan Maret 2003, peneliti
memfasilitasi dialog lapangan antara Kepala Kantor TN Bukit Barisan Selatan, Kepala
Dinas Kehutanan Kabupaten Tanggamus, Kepala Bagian RRL Dinas Kehutanan
Kabupaten Lampung Barat, aparat Pekon Trimulyo, dan kelompok HKm Tri Buana
Sumber Photo: Peneliti.
seharusnya menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi Lampung. Saat ini sedang dirintis negosiasi penataan batas kawasan hutan antara Kabupaten Lampung
Barat dan Kabupaten Lampung Utara terutama batas antara kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigisi Kabupaten Lampung Barat dengan kawasan
hutan lindung Register 34 Tangkit Tebak Kabupaten Lampung Utara. Apabila upaya tersebut dapat tuntas dilakukan, maka manfaatnya tidak hanya bagi kedua
tataran pemerintah, namun juga bagi kepastian akses masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan dari kawasan hutan lindung.
Tabel 5.4.3
Daftar Ijin HKm Juni 2006 yang Lokasinya Berpotensi Menimbulkan Konflik Tata Batas Kawasan Hutan Antar Kabupaten.
No Nama Klp HKm
No SK Lokasi Hamparan
Luas Ha
1 KMPH Abung
Jaya, Pekon Pura jaya,
Kec. Sumberjaya 503.522523IV.05.22006
HL,Reg 45B Bukit Rigis dan Reg 34 Tangkit
Tebak Lampung Utara 2077,9
2 KMPH Wana
Mulya, Pekon Ciptawaras,
Kec. Sumberjaya 503.522516IV.05.22006
HL, Reg 39 Kota Agung Utara
367,64 3
KMPH Wana Jaya, Pekon Mekarjaya,
Kec. Sumberjaya 503.522518IV.05.22006
HL, Reg 39 Kota Agung Utara
721 4 KMPH
Wana Makmur,
Pekon Purawiwitan, Kec. Sumberjaya
503.522519IV.05.22006 HL, Reg 34 Tangkit
Tebak 1576,82
5 KMPH Ribang
Alam, Pekon Muarajaya I,
Kec. Sumberjaya 503.522513IV.05.22006
HL, Reg 39 Kota Agung Utara
3535,56
Sumber: Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat, data diolah.
c. Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Akses
Dengan menggunakan definisi akses yang beralas hak access based right menurut Ribot dan Peluso 2003 seperti diuraikan di dalam Bab 4, dapat
dinyatakan hak masyarakat atas akses mengelola lahan kawasan hutan adalah kemampuan ability masyarakat untuk memperoleh manfaat melalui pengelolaan
lahan di dalam kawasan hutan yang diatur oleh hukum hukum positif dan hukum adat serta peraturan dan perundangan yang terkait lainnya. Dalam definisi
tersebut ditegaskan bahwa akses beralas hak juga mencakup tanggungjawab dan sanksi yang diterapkan. Definisi ini sengaja diulas kembali untuk
memberikan pengertian dasar tentang hak akses dalam membahas gaya konflik di sub-bab ini.
Berdasarkan hasil analisis gaya konflik para pihak terhadap hak akses masyarakat dalam mengelola lahan dalam kawasan hutan, diperoleh fakta
bahwa semua pihak bersikap kolaboratif dengan nilai tengah masing-masing yaitu pihak kabupaten sebesar 5,37, pihak kecamatan-pekon sebesar 5,21, pihak
LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang sebesar 5,06, dan pihak masyarakat sebesar 5,04 Tabel 5.4.2. Dengan membandingkan nilai tengah keempat pihak,
kabupaten adalah pihak yang paling kompromistis. Selain itu, seluruh pihak tersebut tidak memiliki perbedaan gaya konflik yang nyata ditunjukkan oleh nilai
tengah yang semuanya bernotasi “A”. Pihak kabupaten yang bersikap amat kolaboratif untuk membawa
kepentingan semua pihak bekerjasama secara terbuka untuk menghasilkan jalan keluar terkadap konflik hak akses tidak terlepas dari beberapa hal sebagai
berikut: 1 Dari total luas wilayah Kabupaten Lampung Barat 474.989 hektar, sebesar
77,76 persen wilayahnya adalah kawasan hutan dan tidak satupun peruntukkannya adalah kawasan hutan produksi. Kalaupun ada yaitu
kawasan hutan produksi terbatas HPT berupa repong damar di pesisir barat kabupaten yang pada tahun 2000 ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
sebagai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa KDTI yang secara hukum hanya boleh untuk disadap getah damarnya. Terbatasnya kawasan budidaya
yaitu hanya 22,24 persen dari total luas wilayah daratan memotivasi pemerintah kabupaten untuk mengoptimalkan pengelolaan kawasan hutan,
khususnya pengelolaan kawasan yang sebagian kewenangan pengurusannya sudah dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten,
diantaranya HKm. 2 Keinginan yang kuat pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk
membangun wilayahnya berbasis sumberdaya hutan tercermin dari visi Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten Lampung Barat Tahun 2003-
2007 yaitu “Terwujudnya Masyarakat Lampung Barat Yang Madani Berbasis Pertanian, Kehutanan, Kelautan, dan Pariwisata“. Pada berbagai kesempatan
dialog penanganan konflik pengelolaan hutan yang pernah terjadi, I Wayan Dirpha - Bupati Lampung Barat yang terdahulu, acapkali menegaskan bahwa
dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, kesejahteraan masyarakat adalah prioritas kesatu di atas kepentingan peningkatan pendapatan asli
daerah PAD. Walaupun berbeda asal partai politik, Bupati penerusnya saat
ini – Erwin Nizar, tetap melanjutkan kebijakan pembangunan kehutanan yang telah dirintis oleh bupati sebelumnya.
3 Adanya kebijakan Departemen Kehutanan tentang Hutan Kemasyarakatan HKm yang diatur di dalam Surat Keputusan Menteri No.31Kpts-II2001
yang memberikan kewenangan kepada kabupaten dalam memberikan ijin HKm bagi masyarakat setempat dijadikan peluang emas untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat berbasis pengelolaan sumberdaya hutan. Sejak Tahun 2001 hingga Juni 2006, Kabupaten Lampung Barat telah menerbitkan
sebanyak 24 ijin HKm meliput areal kawasan hutan lindung seluas 13.897,81 hektar yang memberi hak akses terhadap 6.535 keluarga petani hutan untuk
mengelola areal HKm tersebut Data diolah dari Tabel 4.12 dan Lampiran 9. Pemberian ijin tersebut menempatkan Kabupaten Lampung Barat termasuk
sebagai kabupaten yang paling proaktif dalam melaksanakan kebijakan HKm di daerah.
4 Pemberian hak akses mengelola areal kawasan hutan lindung tersebut didukung oleh kebijaksanaan Bupati yaitu untuk sementara belum
menerapkan pelaksanaan Perda Propinsi Lampung No.72000 tentang Retribusi Izin Pemungutan Terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu
Di Kawasan Hutan hingga kesejahteraan masyarakat benar-benar dapat tertopang oleh kegiatan HKm mereka. Padahal di dalam perda tersebut
dinyatakan bahwa dari penerimaan retribusi, 50 persen untuk pemerintah kabupaten, dan sisanya 50 persen disetorkan kepada pemerintah Propinsi
Lampung Pasal 10 ayat 1. 5 Kebijakan kabupaten dalam mengeluarkan ijin HKm dan kebijaksanaan
mereka dalam menunda penerapan Perda Propinsi Lampung No.72000 tidak terlepas dari dukungan analisis mitra kabupaten terutama LSM. Lembaga
litbang, dan perguruan tinggi. Setidaknya tercatat beberapa LSM, lembaga litbang, dan perguruan tinggi yang memberikan analisis pendukung
pengambilan keputusan diantaranya Watala, Yacili, WWF Lampung, LATIN, Beguwai Bejama, PMPRD, ICRAF Asia Tenggara, Puslitanak Bogor,
Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
6 Sebagai wujud tanggung jawab, pelaksanaan kebijakan HKm oleh Kabupaten Lampung Barat disertai dengan mekanisme pengendalian yang diatur di
dalam Keputusan Bupati Lampung Barat Nomor: 11 Tahun 2004 Tentang
Panduan Teknis Indikator Dan Kriteria Monitoring Dan Evaluasi Pelaksanaan Program Hutan Kemasyarakatan Di Kabupaten Lampung Barat. Mekanisme
tersebut menuai sukses. Bahkan pada tanggal 11 Agustus 2006, kelompok HKm Mitra Wana Lestari Pekon Simpangsari Kecamatan Sumberjaya
memperoleh penghargaan dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan sebagai kelompok “Inisiator Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat” yang telah
berhasil mengubah padang alang-alang kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis seluas 250 hektar menjadi sistem wanatani kebun kopi multi tajuk
yang secara teknis dapat menyangga fungsi hidroorologis kawasan hutan tersebut. Penghargaan tersebut hanya diberikan kepada 10 inisiator terbaik
se-Indonesia.